Kredit foto: Flicker.com
PERTENGAHAN tahun 2019, kebakaran hutan dan lahan kembali meluas di Sumatera dan Kalimantan. Catatan terakhir, luas kebakaran sampai bulan Agustus 2019 telah melampaui luas total kebakaran di tahun 2018. Hal ini seakan mengulang kenangan pahit 2015 silam, dimana ketika itu kebakaran telah mengakibatkan sebanyak 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita ISPA (infeksi saluran pernapasan akut), dan – yang mencengangkan – prediksi kerugian ekonomi mencapai Rp 221 triliun[1].
Siapa pihak yang bertanggungjawab terhadap kejadian ini? Sekelompok peneliti yang dipimpin oleh Herry Purnomo menemukan setidaknya terdapat 20 aktor yang terkait dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Aktor-aktor tersebut antara lain pemerintah pusat (KLHK), pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa), pengklaim lahan, kelompok tani (pengurus dan anggota), tim pemasar lahan, pengusaha sawit (skala kecil dan besar), makelar/spekulan tanah, pembeli lahan (skala kecil dan besar), korporasi lahan, lembaga advokasi, lembaga penguatan masyarakat madani, lembaga donor, lembaga penelitian, dan BPBD[2].
Jika hasil kajian tersebut dikelompokkan berdasarkan peranannya, maka terdapat 6 aktor yang berasal dari unsur pemerintah, hal ini mengindikasikan bahwa peranan pemerintah sangat vital. Konsekuensinya, jika peran tersebut tidak dilaksanakan dengan baik, maka bencana lah yang akan muncul, persis seperti yang kita alami saat ini. Walaupun hasil kajian tersebut bukan ditujukan untuk menjawab pertanyaan di atas, tetapi peranan yang vital tentu berimbas pada tanggungjawab yang besar.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu bukti buruknya tata kelola kehutanan. Kejadian yang sama terus berulang, seakan tidak belajar dan cenderung gagap, pada akhirnya upaya-upaya jangka pendek yang didahulukan. Kita sering mendengar bahkan sampai hafal dengan kalimat “…..ini merupakan upaya bersama” yang lazim diucapkan oleh pejabat-pejabat kita. Kalimat normatif ini memang benar, namun jika diucapkan berulang-ulang akan menjadi racun, seakan ingin melepas tanggungjawab. Dalam hal mengelola apapun, tidak akan mungkin semua pihak setara dalam tugas dan fungsinya, harus ada pihak-pihak terdepan yang mendapat mandat untuk membawa anggotanya ke arah perbaikan. Dalam konteks kebakaran hutan dan lahan, peran ini disematkan pada pemerintah. Sangat normal kemudian, jika publik sangat berharap kerja-kerja yang dilakukan pemerintah semata-mata untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Sayangnya, hal itu pula yang luput.
Bukti lain dari buruknya tata kelola kehutanan adalah deforestasi yang terus menerus terjadi, dimana menurut data KEMENLHK, deforestasi tertinggi terjadi pada kurun waktu tahun 1996-2000, yaitu sebesar 3,51 juta hektare/tahun. Pada periode berikutnya, dari tahun 2002-2014, terlihat adanya penurunan laju deforestasi. Pada periode tahun 2014-2015, tercatat angka deforestasi di Kawasan Hutan sebesar 0,82 juta hektare. Pada periode berikutnya terjadi kembali penurunan laju deforestasi. Angka deforestasi pada tahun 2015-2016 sebesar 0,63 juta hektare dan pada tahun 2016-2017 sebesar 0,48 juta hektare[3]. Sejak dirilis pada bulan Desember 2018, laporan KEMENLHK ini mendapatkan beragam tanggapan. Beberapa pihak meragukan penurunan angka deforestasi tersebut, karena melihat penebangan hutan masih masif terjadi. Pihak lain menilai terjadinya penurunan angka deforestasi bukan karena intervensi pemerintah, melainkan karena kawasan hutan yang potensial untuk ditebang memang semakin berkurang. Walaupun begitu, terdapat pula kesamaan pandangan bahwa deforestasi terus terjadi dan hal ini adalah ancaman serius terhadap lingkungan.
Deforestasi telah menyebabkan berbagai dampak buruk, hilangnya keanekaragaman hayati, terganggunya siklus hidrologi, abrasi, perubahan iklim, serta kerugian ekonomi. Selain itu, deforestasi juga telah merugikan negara secara langsung, hal ini dibuktikan melalui sebuah kajian yang dilaksanakan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan bahwa negara mengalami kerugian sebesar Rp. 499,507 Triliun pada rentang 2006 – 2015. Kajian yang dilakukan dengan memantau dua sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), yaitu Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR) ini juga menemukan tingginya jumlah volume kayu yang mengalami deforestasi selama tahun 2006 – 2015, mencapai angka 2.547.023.080 m3. Hal lain yang ditemukan yaitu ketimpangan antara jumlah kayu yang tercatat dan tidak tercatat. Jumlah kayu yang tidak tercatat diketahui lima kali lebih banyak dibanding kayu yang tercatat[4].
Daniel Murdiyarso[5], guru besar dari Institut Pertanian Bogor, menyatakan bahwa tata kelola kehutanan kita memang masih jauh panggang dari api sehingga kalau kita bertanya dimana saja hutan kita berada, berapa luasnya, dan bagaimana kondisi serta statusnya, jawaban untuk masing-masing pertanyaan bisa sangat beragam. Permasalahan yang paling mendasar, menurut penerima LIPI Sarwono Award XVII ini, adalah lemahnya akuntabilitas sehingga untuk bertanggungjawab kepada masyarakat pun kita masih kesulitan.
Tata kelola kehutanan yang buruk bersebab akibat dengan mental korupsi yang semakin menjadi-jadi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa korupsi merupakan “penyakit” paling mematikan di republik ini. Pergantian rezim dan regenerasi pejabat ternyata tidak serta merta membuat korupsi menghilang. Justru semakin menyebar, canggih, dan sulit ditebak. Hasil kajian Eko N. Setiawan dkk pada tahun 2017, mengindikasikan bahwa tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia memiliki keterkaitan dengan tingkat korupsi yang tinggi. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2015, sebanyak 39 pelaku korupsi sektor kehutanan yang terdiri dari anggota DPR, pejabat Kementerian Kehutanan, Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Kepala Dinas) serta pengusaha, telah diproses hukum dan mendapatkan vonis dari pengadilan. Hasil kajian ini menemukan 4 bentuk kerawanan korupsi pada sektor kehutanan yaitu: proses perizinan, pengawasan, proses tata ruang kehutanan, dan pengadaan barang dan jasa kehutanan.[6] Potensi suap pada proses perizinan, berdasarkan kajian KPK mencapai 22 miliar rupiah per izin per tahun[7].
Hari-hari ini kita semakin melihat bahwa tata kelola kehutanan hanya sebatas basa-basi yang dipenuhi komitmen semu. Aspirasi publik yang dipenuhi semangat untuk memperbaiki telah dikalahkan oleh kepentingan sebagian pihak yang berkelindan dengan penguasa. Saya teringat sebuah sindiran yang pernah disampaikan oleh KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) di dalam salah satu ceramahnya bahwa “kalau Indonesia mau berubah, masing-masing kepalanya mesti dicopot, dan diganti dengan kepala yang baru”.***
Mohammad Yunus adalah Founder of Amdal Indonesia Online, Ketua Perkumpulan Alam Zamrud
—————
[1] Trinirmalaningrum, Nurdiyansah Dalidjo, Frans R. Siahaan, Untung Widyanto, Ivan Aulia Achsan, Tika Primandari, Karana Wijaya Wardana. 2015. Di Balik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015. Perkumpulan Skala. Jakarta.
[2] Herry Purnomo, Bayuni Shantiko, Soaduon Sitorus, Harris Gunawan, Ramadhani Achdiawan, Hariadi Kartodihardjo, Ade Ayu Dewayani. 2017. Fire economy and actor network of forest and land fires in Indonesia. Forest Policy and Economics, 78, 21–31.
[3] KEMENLHK. 2018. Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.
[4] Egi Primayogha, Firdaus Ilyas, Siti Juliantari Rachman. 2017. Indikasi Kerugian Negara Akibat Deforestasi Hutan: Hasil Pemantauan di Sektor Kehutanan 2006 – 2015. Indonesia Corruption Watch. Jakarta.
[5] Daniel Murdiyarso. 2014. Hutan dan Kedaultan Indonesia. Akses pada 11 Agustus 2019, dari https://forestsnews.cifor.org/25134/hutan-dan-kedaulatan-indonesia?fnl=id
[6] Eko N. Setiawan, Ahmad Maryudi, Ris H. Purwanto, Gabriel Lele. 2017. Tipologi dan Kerawanan Korupsi Sektor Kehutanan di Indonesia. Jurnal Ilmu Kehutanan, 11(1), 142–155.
[7] KPK. 2014. Kajian Kerentanan Korupsi di Sistem Perizinan Sektor Kehutanan. Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta.