Ilustrasi oleh Deadnauval
DALAM sebuah foto yang legendaris, pasukan infanteri Reich Ketiga melintasi Arc de Triomphe di hari kejatuhan Paris. Pemerintah republik kabur kocar-kacir ke negeri jiran. Teritori utara Prancis diduduki tentara Reich Ketiga dan belahan selatan diurus pemerintahan kacung di bawah Maréchal Philippe Pétain.
Sementara itu, gerakan bawah tanah terorganisir bekerja secara kucing-kucingan dari intaian Gestapo yang luar biasa durjana. Tak sedikit pula penduduk koloni-koloni Prancis yang menyandang senjata (boleh jadi dengan terpaksa), menyabung nyawa untuk membebaskan “negeri induk” mereka dari okupasi.
Sukacita atas berakhirnya pendudukan, dan Perang Dunia II, tidak terasa di negeri-negeri jajahan Prancis. “Pemenang perang” ini justru mengirim balatentara dengan perangkat-perangkat perang canggih abad 20 (dan barbarisme abad pertengahan) ke “kawasan lepas laut”-nya: Indochina, sebagian Afrika dan Karibia, untuk merestorasi kekuasaan kolonial pra-perang.
Perang dikobarkan terhadap bangsa jajahan yang mayoritas buta huruf dan minim bekal mitraliur, kecuali tekad merdeka yang tak terpadamkan oleh apapun.
Historikus Vijay Prashad, dalam bukunya The Darker Nations, menyebutnya sebagai “pengkhianatan nomor dua Prancis” terhadap “bangsa-bangsa berkulit gelap”, setelah Napoleon Bonaparte menginstruksikan seorang jenderalnya guna melibas Revolusi Haiti. Revolusi kaum hamba pertama itu sukses mengenyahkan kekuasaan puak-puak Kaukasian ngehek dan mengeliminir perbudakan serta hirarki rasial dari konstitusi negara baru, persis di saat tetangga mereka di utara yang lebih dulu memproklamirkan “semua manusia tercipta sederajat” tutup mata dan telinga dari soal-soal perbudakan.
Prancis di bawah Napoleon berpetualang ke bekas koloninya itu dan memicu suatu fase paling berdarah dalam Revolusi Haiti, kendati keok juga akhirnya. Jejaknya diikuti oleh tragedi di bumi koloni, seabad berselang. Buntutnya selalu sama; kombinasi antara kekalahan memalukan, kekejian tiada tara dan kemunafikan yang hina dina:
“Kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan” dan “daulat manusia” tidak berlaku di koloni-koloni tropisnya.
Alih-alih, sebagaimana diterangkan Aimé Césaire dalam manifestonya ihwal ruang kosong di antara penjajah dan kaum jajahan, “perbudakan, intimidasi, tekanan, aparat bersenjata, pajak, pencolengan, pemerkosaan, tanam paksa, kecurigaan, arogansi, elite-elite otak udang dan massa yang terhinakan.”
Discours sur le colonialisme terbit ketika aspirasi dan gerakan merebut kemerdekaan di Asia dan Afrika makin tak terbendung. “Deklarasi perang yang puitik” itu adalah buah pikiran seorang penyair dan filsuf dan pentolan anti-kolonialisme kelahiran Martinique—yang sampai sekarang masih termasuk teritori Prancis. Bagian awal karyanya menyentil kolonialis yang, mencerca Hitler dan gerombolan kriminilnya habis-habisan, tetapi sederajat belaka barbarismenya dengan yang bersangkutan.
Bukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan penistaan harkat martabat manusia, apapun warna kulitnya atau nasionaliteitnya, oleh Nazi yang dikecam otak-otak kolonial, menurut Césaire, tapi prosedur-prosedur kolonial yang diterapkan Nazi terhadap mereka, bangsa kulit putih; prosedur-prosedur kolonial yang “khusus buat bangsa Arab di Aljazair, “kuli-kuli” di India dan “negro-negro” di Afrika”.
***
Bukan hal baru apabila di Malang atau Jawa, tempat saya bersekolah 12 tahun serta kota yang lama menyandang julukan “kota pelajar”, mahasiswa atau perantauan asal Papua jadi sasaran kebencian.
Setahun lalu, acara nobar yang digelar mahasiswa Papua disatroni massa yang kalap dan aparat yang ‘mengawal’. Kakak saya, waktu itu kebetulan sedang makan malam di McDonalds yang berdekatan dengan TKP, menggambarkan peristiwa itu terlihat “bak tawuran”. Sedangkan pemerintah yang baik hatinya lebih menggemari istilah ‘bentrokan’. Tentu, kejadian sesungguhnya jauh dari kata ‘tawuran’, apalagi ‘bentrokan’, tapi penyerbuan segerombolan ‘patriot’ terhadap “elemen-elemen a-nasionalis” – kendati acaranya cuman kumpul-kumpul sambil nonton film, hak yang (konon) dijamin sepenuhnya oleh negara.
Lalu minggu kemarin. Kurang dari 24 jam peringatan Agustusan yang mahakeramat, peristiwa yang sebelas dua belas terjadi hampir bebarengan di sejumlah kota: Malang, Surabaya, dan lainnya. Asrama mahasiswa Papua di Surabaya dikepung aparat dan peliharaannya. Yang diserbu dituduh bertanggung jawab atas perusakan pusaka merah putih. Buktinya tak pernah ada.
Sama nyaringnya dengan semboyan kacrut “NKRI HARGA MATI”, mulut-mulut urakan bertalu-talu melontarkan umpatan-umpatan jorok. Selain, pastinya, tangan-tangan yang enteng melayangkan batu atau mengayunkan pentung.
Kendati tak begitu mengejutkan, umpatan-umpatan menistakan sejenis itu selalu mencengangkan. Setidaknya bagi saya. Umpatan “monyet!” dan lainnya yang dialamatkan pada bangsa Papua tidak diucapkan oleh pejabat-pejabat tinggi Gubermen, mandor-mandor perkebunan gula atau nyonya-nyonya bawel terhadap babu dan jongos mereka, tetapi justru oleh keturunan orang-orang jelata di zaman kolonial yang juga pernah diteriaki “monyet!”.
Dan kendati bukan rahasia pula, perampasan tanah, bisnis hitam aparat, pembakaran rumah beserta penghuninya hidup-hidup, muntahan pelor ke seisi desa yang dilabeli “separatis OPM”, pemberlakuan operasi militer serta barbarisme serupa yang diringkus dalam “sayang yah, ada orang Papua di Papua”, sebelum dan terutama sesudah Pepera akal-akalan itu, (lagi-lagi) selalu mencengangkan bagi saya. Saya yang tak pernah dibuntuti pegawai hipermarket ketika belanja, tak pernah ditolak untuk menyewa kamar kos, tak pernah digrebek pencinta kesatuan NKRI saat berkumpul ngomongin politik dan tak pernah menerima kabar dari kampung halaman bahwa sanak atau kawan diberondong pelor.
Bukan anak buah Westerling yang menembaki penduduk sipil atau perkebunan-perkebunan milik perseroan triwarna yang mencaplok lahan (dan memiskinkan penghuninya).
Kita tahu itu. Namun sepanjang bukan, dan asal bukan, kita yang berada dalam posisi terinjak sepatu lars, selamanya kita akan, seperti kolonial-kolonial lawas yang diseruduk Reich Ketiga dalam Discourse, “menoleransi, tutup mata, melegitimasi” barbarisme.
Tak terbilang berapa kali preambul UUD 1945 dan lima sila dibacakan, Indonesia Raya dikumandangkan, hikayat penderitaan leluhur dan rasa laparnya akan kemerdekaan yang melahirkan Indonesia dituturkan dari bapak ke putranya dan dari ibu ke putrinya.
Namun begitu, sejak berpuluh-puluh tahun, sebagaimana halnya nasib “kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan” Revolusi Prancis yang tak berlaku di Indochina hingga Karibia, “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” ala Revolusi Indonesia tidak berlaku pula di bumi Cenderawasih. Yang berlaku hanya operasi militer, intelijen, eksplorasi sumber daya alam dan opbouw gaya Daendels.
***
Dua belas purnama pasca rilisnya Discourse, menanggapi kekerasan Prancis di Aljazair, Claude Bourdet, veteran Resistance dan rais France-Observateur, publikasi kiri dan corong intelektual anti-kolonialis Eropa Barat, melemparkan pertanyaan dalam tulisannya yang berjudul J’accuse:
“Apa kita sudah jadi Gestapo sekarang?”***