Kredit foto: Kronologi.id
DALAM acara yang didapuk sebagai “Visi Indonesia” di Sentul, Bogor, 14 Juli 2019, presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin, memberikan pidato politik yang menurutnya mewakili visi masa pemerintahannya yang kedua.[1]
Mari kita bedah satu-persatu dan kita lihat dari sudut pandang kepentingan gerakan rakyat pekerja.
Soal reformasi birokrasi
Jokowi membuka pidatonya dengan menyinggung perkara inovasi dan efisiensi lembaga-lembaga pemerintahan. Dia menyebut soal “cara baru” dan “meninggalkan pola lama” dalam menjalankan pemerintahan. Ini kemudian diulanginya lagi dengan menyebut secara khusus mengenai “reformasi birokrasi”. Secara eksplisit, Jokowi bertekad akan memangkas dan mencopot pejabat-pejabat yang tidak efektif atau efisien.
Reformasi birokrasi adalah hal yang sangat dekat dengan kepentingan rakyat pekerja. Untuk buruh, misalnya, reformasi birokrasi merupakan satu syarat untuk memangkas biaya siluman yang selama ini membebani pengeluaran perusahaan. Data (yang sebenarnya sudah kadaluwarsa karena dirilis tahun 2013) menunjukkan bahwa biaya tenaga kerja hanya 12% dari total biaya produksi, sementara sebagian besar biaya berasal dari biaya siluman.[2] Karena pengusaha tidak punya cara untuk memangkas biaya siluman ini, setiap kali terjadi krisis dalam bisnisnya buruhlah yang dikorbankan.
Namun sangat disayangkan bahwa ada setidaknya dua hal yang tidak ada dalam pidato Jokowi tersebut terkait dengan reformasi birokrasi ini:
- Jokowi hanya menyebut reformasi birokrasi ini dalam kaitannya dengan perijinan, tanpa menyebut soal pelayanan publik, terutama yang menyangkut hak-hak kewarganegaraan seperti data kependudukan.
- Jokowi tidak menyangkutkan reformasi birokrasi ini dengan kesejahteraan masyarakat secara luas. Ini tidak menjamin bahwa pemangkasan atas biaya siluman, yang akan dinikmati perusahaan, akan berdampak pada keleluasaan perusahaan untuk meningkatkan upah buruh. Dengan kata lain, pemangkasan biaya siluman ini hanya akan meningkatkan keuntungan perusahaan tanpa berdampak pada kesejahteraan buruh.
Soal Infrastruktur
Ini adalah program di mana Jokowi benar-benar bersinar. Pembangunan infrastruktur yang pesat harus diakui merupakan kerja besar yang nyaris mustahil, mengingat kerumitan logistik yang dihadirkan oleh kondisi geografis Indonesia. Jokowi berjanji bahwa simpul-simpul infrastruktur ini akan disambungkan dengan sentra-sentra produksi rakyat dan pusat produksi usaha kecil dan menengah serta pariwisata.
Sebagai kelas pekerja, kita berkepentingan untuk hadirnya infrastruktur yang modern dan merata di seluruh tanah air. Kehadiran infrastruktur ini dapat memacu industrialisasi dan penyempurnaan formasi kelas proletar di negeri ini.
Tapi, pidato Jokowi gagal menyebutkan beberapa hal:
- Bahwa pembangunan infrastruktur niscaya menimbulkan korban. Tidak ada Jokowi menyatakan bahwa dia berniat meminimalkan jatuhnya korban atau menjamin mekanisme pemulihan bagi mereka yang menjadi korban pembangunan infrastruktur;
- Jokowi juga hanya bicara tentang pembukaan lapangan kerja, tanpa menyebut tentang jaminan pemenuhan hak para pekerja yang akan mengisi lapangan kerja tersebut—terutama jaminan keamanan kerja;
- Jokowi tidak bicara tentang jaminan akses bagi rakyat untuk menikmati ketersediaan infrastruktur ini. Apalah gunanya berbagai infrastruktur dibangun apabila harga layanannya terlalu mahal sehingga tak dapat diakses rakyat kebanyakan?
Pembangunan Sumber Daya Manusia
Jokowi lantas mengungkap rencananya untuk membangun sumber daya manusia Indonesia. Yang digarisbawahinya adalah tujuan-tujuan The Sustainable Development Goals (SDGs) seperti kesehatan ibu-anak, pencegahan stunting dan penurunan angka kematian ibu melahirkan. Dia juga menekankan pada pembangunan lebih banyak fasilitas untuk penyiapan angkatan kerja.
Dari sudut pandang kelas pekerja, tentu ini hal yang baik. Tujuan-tujuan SDGs, sekalipun moderat, namun jika tercapai akan sangat meningkatkan kesejahteraan rakyat pekerja secara umum. Begitu pula dengan peningkatan kapasitas angkatan kerja baru yang tentunya akan mengubah reserve army of labor menjadi pasukan buruh garis depan.
Namun demikian, hal-hal yang lebih fundamental tidak disinggung sama sekali oleh Jokowi dalam pidatonya:
- Tidak ada tersirat komitmen Jokowi untuk membangun sumber daya manusia yang mampu berpikir kritis. Di tengah situasi politik yang sangat rentan dihantam berita palsu dan politisisasi isu-isu agama, kemampuan berpikir kritis akan menjadi kunci untuk ketahanan rakyat Indonesia dari kemungkinan dipecah-belah atau dihasut untuk melakukan diskriminasi/kekerasan;
- Tidak ada tersirat pemahaman Jokowi bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia akan sangat tergantung pada pemenuhan HAM, terutama yang menyangkut akses rakyat pada layanan publik, keadilan, permodalan, dan mekanisme pemulihan dari pelanggaran HAM;
- Untuk memastikan pemerataan dalam pembangunan sumber daya manusia, kelompok-kelompok minoritas dan kelompok rentan harus dilindungi dan dijamin aksesnya pada haknya sebagai warga negara. Perlindungan terhadap minoritas ini akan menjamin partisipasi warga negara sepenuhnya dalam pembangunan, tidak ada kelompok yang ditinggal atau tertinggal.
Investasi
Jokowi menegaskan bahwa dirinya akan membuka pintu seluas-luasnya pada investasi. “Jangan ada yang alergi pada investasi,” katanya. Memang Jokowi hanya mengaitkan soal pembukaan investasi ini pada soal reformasi birokrasi dan perijinan namun, kenyataannya, korporasi merupakan salah satu pelanggar HAM terbesar di Indonesia,[3] terutama di sektor ekstraksi sumber daya alam.[4]
Pada poin inilah rakyat pekerja Indonesia harus paling waspada. Kita jelas tidak menentang pembangunan lebih banyak industri dan pembukaan lapangan kerja; tapi kita tidak ingin pembangunan industri ini melanggar hak-hak rakyat, merusak lingkungan hidup atau menimbulkan konflik horisontal dalam masyarakat.
Yang jelas absen dalam pidato Jokowi tersebut adalah komitmen Jokowi pada penerapan konsep Bisnis dan HAM, yang mengatur tanggung jawab pemerintah untuk memastikan bahwa operasi perusahaan-perusahaan, baik modal asing maupun domestik, mematuhi ketentuan-ketentuan HAM.
Penggunaan Anggaran Negara
Jokowi menyinggung sedikit soal penggunaan APBN, di mana menurutnya, “Setiap rupiah yang keluar dari APBN harus memberikan manfaat untuk ekonomi, rakyat, dan kesejahteraan.”
Dari sudut pandang kelas pekerja, tentu ini adalah hal yang baik. Namun kita semua tahu bahwa proses penentuan peruntukan anggaran negara adalah sebuah medan pertempuran yang luar biasa keras baik di eksekutif maupun legislatif, dari tingkat pusat sampai desa. Tanpa pembangunan kemampuan rakyat untuk berjuang lewat politik anggaran, “manfaat untuk rakyat dan kesejahteraan” hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.
Pancasila
Jokowi menutup pidatonya dengan menyinggung Pancasila sebagai ideologi negara. Di samping bicara tentang kebhinekaan, “komitmen berdemokrasi yang berkeadaban,” dan “hak yang sama di depan hukum,” Jokowi juga menyatakan bahwa, “tak ada toleransi sedikitpun bagi yang mengganggu Pancasila.”
Kelas pekerja Indonesia tidak memiliki masalah dengan kesetiaan pada Pancasila karena, jika diterapkan secara sepenuhnya, Pancasila telah mengandung kerangka yang dibutuhkan untuk pembangunan sebuah negara yang berpihak pada kelas pekerja. Komitmen untuk demokrasi dan kesetaraan di depan hukum juga merupakan hal yang diperjuangkan oleh rakyat pekerja; karena kesejahteraan rakyat pekerja akan sangat tergantung pada kedua hal ini. Kelas pekerja Indonesia juga memahami bahwa menguatnya ideologi berbasis politisasi agama merupakan bahaya bagi seluruh rakyat Indonesia, terutama bagi perjuangan rakyat pekerja, karena ideologi tersebut menganjurkan diskriminasi dan pecah-belah atas persatuan rakyat pekerja yang senasib dalam perjuangan melawan dominasi dan eksploitasi kapital.
Namun demikian patutlah kelas pekerja Indonesia mewaspadai kemungkinan munculnya interpretasi otoritarian atas “ideologi tunggal” dan jargon-jargon semacam “tidak ada toleransi sedikitpun”. Rakyat pekerja harus melancarkan pertarungan tanpa kenal lelah agar “ideologi Pancasila” tidak diterjemahkan sebagai alasan untuk justru melakukan represi atas perbedaan pendapat.
Perjuangan Politik Menjadi Hal yang Mendesak bagi Rakyat Pekerja
Sebagaimana dapat kita lihat, pidato politik Jokowi yang bertajuk Visi Indonesia ini mengandung banyak hal yang dapat menguntungkan rakyat pekerja, jika dan hanya jika, interpretasi dan implementasinya dilakukan dengan cara yang tepat bagi rakyat pekerja.
Persoalan interpretasi dan implementasi sebuah visi politik akan menjadi wewenang para pejabat eksekutifl dari tingkat pusat sampai ke desa. Jika rakyat pekerja ingin memastikan bahwa pelaksanaan Visi Indonesia ini sungguh-sungguh akan menguntungkan bagi rakyat pekerja, jabatan-jabatan eksekutif harus berada di bawah kontrol, atau setidaknya pengaruh kuat, dari rakyat pekerja.
Agar dapat melakukan hal ini, maka rakyat pekerja harus bersiap dan mengorganisasi diri agar dapat merebut jabatan-jabatan eksekutif. Peluang yang terbuka bagi kita saat ini adalah pada Pilkada 2020 dan pemilihan-pemilihan kepala desa. Apakah kita akan mengajukan calon sendiri, yang maju sebagai calon independen, atau membangun blok politik untuk memenangkan calon yang pro pada rakyat pekerja, masih dapat didiskusikan secara mendalam dalam satu tahun mendatang ini.
Jika rakyat pekerja terlambat mengorgansiri dirinya untuk berebut jabatan-jabatan eksekutif, maka kita bisa dengan keyakinan tinggi memastikan bahwa interpretasi dan implementasi atas Visi Indonesia itu akan merugikan bagi rakyat pekerja Indonesia.***
Jakarta, 14 Juli 2019
—————–
[1] Pidato Jokowi ini merujuk pada tayangan Live Pidato Visi Indonesia https://www.youtube.com/watch?v=6d42-25hvsg. Diambil 14 Juli 2014.
[2] Upah Buruh Hanya 12 Persen dari Total Biaya Produksi;
https://www.tribunnews.com/bisnis/2013/11/06/upah-buruh-hanya-12-persen-dari-total-biaya-produksi. Diambil 14 Juli 2019.
[3] Korporasi Masuk Tiga Besar Institusi yang Dilaporkan. https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt587f60d9b3bbb/korporasi-masuk-tiga-besar-institusi-yang-dilaporkan/, Diambil 14 Juli 2019.
[4] PBB Sebut Industri Ekstraktif Indonesia Sarat Pelanggaran HAM. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20180208021554-106-274696/pbb-sebut-industri-ekstraktif-indonesia-sarat-pelanggaran-ham. Diambil 14 Juli 2019.