RUU Permusikan: Mau Ke Mana Musik Indonesia?

Print Friendly, PDF & Email

Kredit foto: Alinea.ID

 

 

DRAF Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang telah tersebar, menimbulkan berbagai pertanyaan dan tanggapan dari, terutama, para musisi. Rancangan tersebut dirasa aneh dan juga kontroversial; yang pada titik tertentu sebenarnya sangat mengada-ngada. Beberapa pasal karet dan berpotensi untuk memberangus kreativitas. Secara mendasar, karya-karya musik mereduksi realitas. Dengan kata lain, merupakan bentuk ekspresi estetis daripada lapisan masyarakat yang bernama seniman, atau musisi secara khusus, yang merefleksikan berbagai lapis kehidupannya. Oleh karena itu, musik akan selalu bersinggungan dengan berbagai aspek realitas.

Menurut Bambang Sugiharto (2013), musik merupakan pengalaman sosial, di mana musik mempunyai sistem kerja yang melibatkan orang banyak bagi masyarakat modern. Musik secara misterius juga menunjukan korelasi yang menarik antara bangunan musik tertentu dengan latar sosial dan budayanya, bahkan dengan latar alamnya. Artinya, musik merupakan suatu bentuk daripada gambaran realitas, atau dengan kata lain, realitas yang diartikulasikan melalui musik.

Oliver Messiaen, komponis beken di awal abad 20 asal Prancis, pernah berkata bahwa ia tidak dapat menciptakan karya dengan birama 4/4, karena itu mengingatkannya pada hentakan kaki serdadu Nazi. Messiaen jelas tidak mengada-ngada. Hidupnya sudah cukup masam dengan merasai dua kali Perang Dunia. Hal itu menunjukkan bagaimana kondisi sosial-budaya-politik sangat memberikan pengaruh yang amat besar terhadap karakteristik karya seorang seniman. Lain hal dengan Messiaen, System of a Down (SOAD), band metal asal Amerika yang dibentuk di penghujung abad 20, yang semua anggotanya merupakan keturunan Armenia dengan lantang menyerukan bagaimana genosida (Armenian Holocaust) yang merenggut kematian warga Armenia hingga mencapai 1,8 juta jiwa dalam aksi pemusnahan tersebut, yang pernah dilakukan oleh negara Turki.

Dari kedua fenomena tersebut, memberikan gambaran bahwa sebuah karya, baik individu maupun kolektif, tidak dapat dipisahkan dengan keadaan sosial yang melatarbelakanginya. Pada RUU Permusikan Pasal 5, justru membiaskan hubungan realitas dengan karya yang tercipta. Seperti musik yang melakukan tindakan melawan hukum, menurut Pasal 5 di RUU. Bias ini dapat muncul jika seseorang atau sekelompok pemusik memiliki indikasi pembangkangan sesuai dengan kriteria pasal tersebut. Alih-alih mengkritik pemerintah justru mendapat tuduhan upaya melawan hukum. Musik dianggap media pembangkangan yang mapan, jika boleh disebut begitu, oleh para elit. Keterputusan nalar ini sangat berimplikasi represif; upaya pembungkaman musik-musik yang menyuarakan kritik terhadap elit, maupun, meminjam istilah Ucok Homicide, yang beririsan dengan kondisi sosial tertentu.

Selanjutnya dalam definisi musik yang memuat konten pornografi, juga dari Pasal 5, manghadirkan bias yang semakin membingungkan. Apa yang disebut dengan pornografi itu? Lantas, apakah konten tersebut di dalam sebuah karya musik mengindikasikan tindak amoralitas, sehingga ia patut diatur? Hal ini sangat tidak berdasar. Mungkin para elite perancang RUU ini tidak pernah menginjakkan kakinya ke pameran atau galeri lukis, dan melihat bagaimana Basuki Abdullah melukiskan bentuk-bentuk tubuh dengan cara yang paling primitif: telanjang bulat.

Ada potongan frasa yang menarik dari .Feast, band asal Jakarta yang mulai beken belakangan ini, di lirik lagunya yang berjudul Peradaban: Budaya bahasa berputar abadi/Jangan coba atur tutur kata kami/Hidup tak sependek penis laki-laki/Jangan coba atur gaya berpakaian kami. Kita mafhum, yang mereka lakukan tidak lebih dari sekedar hiperbola untuk menghindar dari bentuk-bentuk klise. Bagi saya, lagu ini menunjukan bagaimana penulis lirik tersebut memiliki kecerdasan berbahasa, Pertanyaan selanjutnya, apakah hal-hal tersebut bertujuan untuk membikin satu negara jadi mesum, atau merupakan sebuah usaha pencapaian artistik?

Bias yang lain berbunyi: membawa pengaruh negatif budaya asing. Mungkin banyak orang akan kesulitan mencerna sederet kalimat tersebut, sama seperti saya. Bagaimana sesuatu bisa disebut negatif, dan ukuran apa yang dipakai? Lantas mengapa harus menggunakan kata asing? Saya berpikir semalaman untuk mencari jawaban, dan hasilnya nihil belaka. Jika yang mereka maksud adalah penggunaan minuman keras dalam aktivitas praktik-praktik bermusik (kebanyakan orang menganggap ini negatif), maka kebijakan pelarangan musik yang membawa pengaruh negatif budaya asing itu meleset jauh dari sasaran. Karena minuman beralkohol juga merupakan produk kebudayaan nenek moyang kita sendiri.

Tindakan represif terhadap musik merupakan barang lama yang cukup tokcer kalau dikembangkan; jika di era Sukarno, seperti yang terjadi pada Koes Bersaudara, menerapkan musik anti kebarat-baratan dengan lirik menye-menye; lalu Orde Baru merepresi musik-musik yang mengkritik elite pemerintahan secara langsung; maka di masa sekarang, dengan sedikit modifikasi dan beberapa tambahan berjenis: inhuman, chaotic, dan ekshibisionisme, dengan konsekuensi hukum dari Pasal 50: “…dipidana dengan pidana penjara paling lama … tahun atau pidana denda paling banyak …” Jika memang kebijakan ini sah diresmikan, tentu kita bakal melangkah mundur lagi ke belakang.

Jika Pasal 5 secara khusus menggambarkan karya-karya musik yang tidak ideal, maka di Pasal 18 terfokus pada masalah penyelenggaraan: bahwa penyelenggara acara musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik sesuai dengan ketentuan peraturan. Lalu bagaimana dengan para penyelenggara musik yang independen dan berdikari, misalnya, seperti penyelenggara komunitas-komunitas musik underground? Akhirnya, para penyelenggara musik minoritas (sidestream) bakal disibukkan dengan berbagai urusan birokrasi, yang pada titik tertentu, sangat tidak rock n’ roll dan bakal penuh nestapa. Belum lagi jika tema-tema kaum marginal semacam itu dikait-kaitkan sebagai bentuk glorifikasi perlawanan hukum.

Pada Pasal 32, ini juga cukup menggelitik. Bagaimana tidak? Katanya: Untuk diakui sebagai profesi, Pelaku Musik yang berasal dari jalur pendidikan, atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi… yang didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman. Latar belakang pendidikan saya adalah musik. Saya adalah sarjana musik. Jadi, apa yang telah saya capai secara akademis, ternyata tidak membuat saya, dan ribuan sarjana musik lainnya, serta-merta mendapatkan pengakuan secara profesi, maupun kemapanan …pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.

“Enggak,” ia tidak setuju dengan RUU Permusikan, “talenta musik enggak bisa diukur dari surat ataupun sertifikat. Contohnya, pengamen-pengamen di jalanan itu, apa mereka enggak pantes disebut berprofesi musik?” Lalu ia melanjutkan, “profesi musik kan macam-macam. Enggak mesti masuk dapur rekaman dan muncul di televisi, apalagi, dinilai dari selembar surat.”

Putri (24) merupakan sarjana musik dari salah satu perguruan tinggi seni di Jakarta. Saat ini ia menjadi tenaga pengajar di salah satu sekolah musik di Kemayoran, Jakarta Pusat. Tatkala mendengar wacana RUU Permusikan, ia meringis, “Kalaupun hal tentang surat pengakuan profesi musik ini disahkan, kayaknya saya juga enggak bersedia ikut,” lanjutnya, “buat apa, enggak menjamin musikalitas saya bakal lebih baik, ataupun lebih mudah dalam mencari lapangan pekerjaan,” tegasnya.

Tentu saja kemampuan musik seseorang tidak dapat dinilai secara gamblang, apalagi sebatas ukuran-ukuran formal. Mungkin, jika Kurt Cobain dihidupkan kembali lantas mengikuti uji kompetensi ini, ia bakal kandas dan jadi guyonan belaka. Karena keterampilan musiknya sangat menyedihkan.

Terakhir, Pasal 42 berbunyi: Pelaku usaha di bidang perhotelan, restauran, atau tempat hiburan lainnya wajib memainkan Musik Tradisional di tempat usahanya. Ini sudah cukup menjanjikan, bahwa kalian, para pecinta Electronic Dance Music (EDM), akan mengisi lantai dansa di klub-klub kesayangan kalian dengan gerakan-gerakan rancak dan tetabuhan gamelan.

Selain substansi rancangannya, para penyusun naskah RUU pun tidak kalah ganjil; selain Anang, mereka sama sekali tidak memiliki kapasitas sebagai pelaku dalam industri ini, maupun akademisi musik formal. Jika memang industri musik ini harus dirumuskan, terutama untuk kepentingan dan kesejahteraan para musisi, maka harus dikaji secara mendalam terlebih dahulu. Ada jutaan orang hidup dan berkecimpung di dalamnya. RUU Permusikan memang belum diresmikan, namun berbagai kritik yang muncul atas rancangan awal tersebut merupakan gambaran bahwa begitu banyak yang sangat peduli dengan industri ini.

Bentuk ekspresi semacam ini juga meliputi berbagai jenis kesenian yang lain: teater, tari, lukis, film, dan sebagainya. Tentu saya tidak mempersoalkan itu, namun upaya RUU ini tidak lain akan memangkas daya kreatif para pelaku musik. Padahal ia bertautan dengan berbagai masalah-masalah yang ada di realitas penciptanya. Seni merupakan artikulasi atas realitas. Jika realitasnya tidak baik, maka seninya pun tidak akan baik-baik saja. Seperti kata Jason Ranti (Tirto.id, 31/01/19), jangan menuntut lagu yang baik-baik, Indonesia tidak sedang baik-baik saja.***


Almer Sidqi adalah alumnus jurusan musikologi di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Ia meminati kajian musik dan politik. Sekarang tinggal di Jakarta, bekerja sebagai jurnalis.


Kepustakaan:

Sugiharto, Bambang. “Untuk Apa Seni?” Pustaka Matahari, Bandung, 2013.

“Jason Ranti Soal Proses RUU Permusikan: Anang Hermansyah Payah!” 31 Januari 2019. https://tirto.id/jason-ranti-soal-proses-ruu-permusikan-anang-hermansyah-payah-dfuW

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.