Greta Thunberg sedang duduk di luar gedung parlemen Swedia pada Agustus 2018. Kredit foto:Medium
SEORANG pelajar Swedia berusia 16 tahun Greta Thunberg, pada Agustus 2018 menginisiasi aksi nirkekerasan dengan melakukan mogok sekolah sebagai salah satu metodenya. Ia menuntut aktor-aktor pemerintah dan perusahaan untuk mengubah sistem yang, dalam status quo, bersifat destruktif terhadap iklim. Aksi Greta perlahan mendapatkan perhatian dunia. Sejauh ini ia telah menginspirasi puluhan ribu pemuda dan pelajar di negara-negara Utara[1] lain (seperti Australia, Belanda, Belgia, Inggris, Jerman, Kanada, dan Swiss) untuk melakukan aksi serupa.
Gerakan sosial berskala internasional ini utamanya mengusung gagasan keadilan iklim (climate justice) di dalam repertoar-repertoarnya. Keadilan iklim, secara garis besar, berkaitan erat dengan persoalan pembagian beban, tanggung jawab, dan sumber daya dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di tingkat global.[2] Pertanyaan yang kemudian layak diajukan adalah: keadilan bagi siapa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan ini? Bentuk keadilan seperti apa yang dituntutnya? Apa relevansi aksi iklim semacam ini bagi negara-negara Selatan, seperti Indonesia, yang mengalami dampak buruk akibat ketimpangan ekonomi-politik global? Untuk mencari tahu persoalan tersebut, kita perlu memahami diskursus yang terkandung dalam aktivisme iklim ini.
Keadilan Iklim Antargenerasi
Diskursus dominan yang disuarakan oleh Greta dan aktivis-aktivis muda lainnya berhubungan erat dengan konsep ‘keadilan iklim antargenerasi’ (intergenerational climate justice). Konsep ini didasari oleh, setidaknya, dua asumsi. Pertama, aktivitas manusia di masa lampau membentuk dunia di masa sekarang, dan aktivitas di masa sekarang akan membentuk dunia yang nantinya diwariskan kepada generasi penerus di masa depan, sehingga apa yang kita lakukan dapat memengaruhi kehidupan manusia di masa depan. Dalam kasus ini, perubahan iklim merupakan hasil dari emisi antropogenik selama berabad-abad yang dinilai akan berdampak buruk, bahkan mengancam eksistensi kehidupan generasi di masa depan. Kedua, mengingat adanya keterkaitan antara aksi di masa lampau, masa sekarang dan masa depan, maka keberlangsungan kehidupan manusia serta alam di masa depan menjadi persoalan yang harus dipikirkan oleh manusia yang hidup saat ini. Hal ini berhubungan dengan kepentingan untuk mewariskan alam (beserta beragam bentuk kemanfaatannya) kepada generasi penerus, sehingga juga mencakup persoalan tentang bagaimana sumber daya ekonomi, sosial dan budaya untuk mengatasi perubahan iklim seharusnya didistribusikan lintas generasi.[3] Gagasan ini jelas mengandung logika antroposentrisme, tetapi tulisan ini tidak akan membahas aspek antroposentris dari konsep keadilan iklim antargenerasi.
Lantas apa relevansi konsep ini dengan aksi iklim pemuda-pemuda Utara? Terdapat resonansi antara konsep keadilan iklim antargenerasi dengan tuntutan yang disuarakan aktivis-aktivis muda di Utara. Mereka berusaha menekan generasi tua untuk mulai memperlakukan perubahan iklim sebagai krisis yang harus ditangani sekarang juga. “Kenapa aku harus belajar untuk masa depan yang dapat lenyap dalam waktu dekat?” tegas Greta. “Kita mogok sekolah untuk meminta para politisi agar mereka menganggap serius masa depan kami dan memperlakukan perubahan iklim sebagaimana mestinya—sebagai sebuah krisis,” demikian pernyataan School Strike 4 Climate, jejaring pelajar yang ikut menyuarakan isu iklim di Australia.
Greta, pada Conference of the Parties ke-24 (COP24) di Katowice, pertemuan tahunan yang diselenggarakan oleh United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), berpidato di hadapan para pemimpin dunia,
“. . . Pada tahun 2078, aku akan merayakan ulang tahun ke-75. Jika aku punya anak mungkin mereka akan merayakan hari itu bersamaku . . . Mungkin mereka akan bertanya mengapa kalian dulu tidak melakukan apapun ketika masih ada waktu untuk beraksi. Kalian bilang, kalian mencintai anak-anak kalian lebih dari apapun, tetapi kalian mencuri masa depan anak-anak kalian di depan mata mereka . . . Kami tidak datang kemari untuk memohon agar para pemimpin dunia peduli. Kalian telah mengabaikan kami di masa lalu dan kalian akan mengabaikan kami lagi . . .”
Narasi-narasi yang berkembang secara konsisten menyuarakan bahwa generasi tua bertanggungjawab dan patut disalahkan atas masifnya kerusakan iklim dan lingkungan yang telah merugikan generasi masa kini, sekaligus akan membahayakan generasi masa depan. Karenanya, aktivis-aktivis muda ini menuntut transformasi dalam sistem yang kini berlaku, demi masa depan mereka dan generasi selanjutnya yang terancam oleh krisis iklim.
Aksi-aksi iklim yang dimotori para pemuda di Utara sekilas tampak hanya menonjolkan gagasan keadilan iklim yang berhubungan dengan rentang hidup suatu generasi dan relasi antara generasi-generasi di beberapa masa yang berbeda. Namun ada satu narasi lain yang muncul dalam aksi iklim ini, yaitu ketimpangan Utara-Selatan dalam rezim iklim global. Sayangnya narasi ini kurang memperoleh sorotan dan masih perlu diarusutamakan dalam konteks masyarakat di negara-negara Selatan.
Ketimpangan Utara-Selatan dalam Rezim Iklim Global
Rezim iklim global, yang mengatur dan melembagakan upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, tidak terlepas dari persoalan ketimpangan. Ketimpangan ini terjadi antara Utara (negara-negara yang telah terindustrialisasi, lebih maju, lebih kaya, dan memiliki daya tawar yang lebih besar dalam relasi kekuasaan di suatu tatanan ekonomi-politik global) vis-à-vis Selatan (negara-negara yang sedang berkembang, relatif lebih miskin, dan berada pada posisi subordinat dalam tatanan ekonomi-politik global). Ketimpangan ini berkaitan dengan tiga persoalan politis dalam rezim iklim global: (1) negara mana yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perubahan iklim; (2) negara mana yang paling menderita atas dampak perubahan iklim; dan (3) negara mana yang berpotensi akan menanggung biaya lebih besar untuk mengatasi dampak perubahan iklim.[4]
Dalam konteks ini, negara-negara Selatan menjadi pihak yang mengalami ketidakadilan dan dirugikan akibat ketimpangan relasi kekuasaan dalam rezim iklim global. Ketimpangan ini pun tak luput dari konteks tatanan ekonomi-politik global. Secara empiris, Selatan dapat dikatakan sebagai negara-negara yang pembangunan ekonominya relatif lebih “lamban” dan “terbelakang” daripada Utara. Namun perbedaan kondisi antara Utara-Selatan ini bukanlah sesuatu yang inheren ataupun alamiah, melainkan berakar dari pembagian kerja internasional (international division of labor) yang terbentuk akibat kesenjangan dalam proses akumulasi kapital dan pembangunan global.[5] Perluasan kapitalisme di tingkat global menuntun pada upaya-upaya Utara untuk memaksimalkan nilai surplus melalui eksploitasi dan hegemoninya terhadap Selatan. Konteks ekonomi-politik yang asimetris ini kemudian menciptakan realitas sosial yang berbeda antara Utara dan Selatan. Tak pelak, terdapat perbedaan konsepsi atas “keadilan” dalam menegosiasikan isu-isu kunci terkait tata kelola iklim global, yakni isu-isu seperti siapa yang harus bertanggung jawab untuk mengurangi emisi karbon; seberapa besar dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya; serta bagaimana mekanisme pendistribusian sumber daya finansial dan teknologi dalam mengatasi perubahan iklim seharusnya dijalankan.[6]
Salah satu isu kunci terkait pengurangan emisi karbon misalnya, tidak terlepas dari kepentingan pembangunan nasional suatu negara. Negara-negara Selatan cenderung dirugikan dalam isu ini karena aturan-aturan main yang dilembagakan dan berlaku dalam perjanjian iklim bilateral dan/atau multilateral mensyaratkan negara-negara Selatan untuk “mengorbankan” aktivitas pembangunannya. Perjanjian iklim global secara dominan menghalangi Selatan untuk menerapkan strategi-strategi pembangunan yang dulunya pernah diterapkan oleh Utara untuk meningkatkan kekayaannya.[7] Meski gagasan ‘pembangunan berkelanjutan’ sedang digalakkan di tingkat global, pada praktiknya, negara-negara Selatan masih mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan dua kepentingan yang kerap saling meniadakan satu sama lain, yakni kepentingan untuk memajukan pembangunan dan untuk melestarikan lingkungan.
Sebagai ilustrasi, skema Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) di bawah UNFCCC mengharuskan Selatan untuk mengurangi emisi karbon di negaranya dengan menekan aktivitas ekonomi yang memerlukan eksploitasi terhadap hutan. Padahal, sebagian besar perekonomian di negara-negara Selatan masih bergantung pada sektor agrikultur yang mensyaratkan alih fungsi lahan hutan ke lahan pertanian. Sebagai penjelas, tulisan ini tidak berusaha membenarkan aktivitas perekonomian apapun yang destruktif terhadap lingkungan. Namun perlu diingat bahwa model perekonomian agrikultur yang masih dominan di Selatan adalah konsekuensi dari pembagian kerja internasional yang, secara historis, telah memaksakan peran penyuplai bahan-bahan mentah kepada Selatan dan mengeksploitasi Selatan dalam tatanan ekonomi-politik dunia.[8] Dengan relasi kekuasaan dan titik pangkal pembangunan yang asimetris—yaitu meminggirkan dan mendudukkan Selatan pada posisi subordinat—pengubahan mode produksi ataupun proses transisi model perekonomian menjadi hal yang tidak mudah bagi negara-negara Selatan.
Sementara itu, negara-negara Utara telah “berhasil” melewati tahap-tahap awal pembangunannya dan terindustrialisasi berkat akumulasi primitif yang secara intens mengeksploitasi lingkungan dan mengkomodifikasi sumber daya alam di negaranya, lebih-lebih di negara-negara Selatan. Ketidakadilan ini juga diperburuk dengan keengganan Utara untuk secara serius berkomitmen mengurangi emisi karbonnya. REDD+ misalnya, memungkinkan negara-negara Utara dan perusahaan-perusahaan privat untuk membayar negara-negara Selatan agar menjaga dan meningkatkan cadangan karbon di hutan-hutan Selatan. Bahkan cadangan karbon ini diperlakukan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan melalui skema pasar karbon. Konsekuensinya, negara-negara Utara memiliki privilese untuk tetap mengejar pertumbuhan ekonomi sembari melemparkan tanggung jawab atas masifnya kerusakan lingkungan dan emisi karbon yang diakibatkan oleh industrialisasi besar-besaran di Utara selama berabad-abad. Kondisi ini telah memicu beberapa negara, lembaga swadaya masyarakat dan koalisi masyarakat adat di tingkat global untuk menentang REDD+.
Apakah wacana tentang ketidakadilan iklim yang dialami Selatan hadir dalam aktivisme lingkungan para pemuda di Utara? Repertoar-repertoar aksi pemuda di Utara pada dasarnya mengandung narasi ketimpangan Utara-Selatan dalam rezim iklim global, meskipun masih belum beresonansi dengan gerakan-gerakan lingkungan di Selatan.
“Peradaban kita dikorbankan untuk segelintir orang yang terus-menerus menghasilkan uang dalam jumlah yang sangat besar. Biosfer kita dikorbankan sehingga orang-orang kaya di negara-negara seperti negaraku dapat hidup dalam kemewahan,” (Greta, dalam pidatonya pada COP24).
“. . . negara-negara kaya seperti negaraku harus menurunkan emisinya hingga nol, dalam kurun waktu 6-12 tahun dengan kecepatan emisi saat ini, supaya orang-orang di negara-negara yang lebih miskin dapat meningkatkan standar kehidupannya dengan membangun infrastruktur-infrastruktur yang telah kita bangun. Seperti rumah sakit, listrik, dan air minum bersih . . . Karena bagaimana bisa kita mengharapkan negara-negara seperti India, Kolombia atau Nigeria untuk peduli terhadap krisis iklim jika kita, yang telah memiliki segalanya, bahkan tidak memedulikan komitmen-komitmen kita terhadap Perjanjian Paris?” (Greta, dalam pidatonya di hadapan Sekjen PBB, António Guterres).
Narasi semacam ini menegaskan anggapan bahwa negara-negara Utara seharusnya berlaku adil dengan mengurangi emisi dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan negara-negara Selatan, terlebih karena negara-negara Selatan masih harus memajukan pembangunan domestiknya. Namun, narasi ini barangkali perlu diperluas dengan pemahaman mengenai tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi Selatan dalam upayanya memajukan pembangunan negaranya di tengah rezim iklim global.
Bercermin pada kasus Indonesia misalnya, pembangunan yang didorong oleh negara dan perusahaan kerap memunculkan masalah sosial dan lingkungan. Masalah ini ditunjukkan oleh munculnya gerakan-gerakan perlawanan akar rumput, seperti Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) melawan industri semen; kelompok masyarakat adat di Kalimantan melawan perusahaan-perusahaan minyak sawit; masyarakat petani Kulon Progo melawan proyek pembangunan bandara internasional; Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa; dan masih banyak lagi. Perlawanan-perlawanan ini mengindikasikan pembangunan di negara-negara Selatan yang kerap sulit berjalan beriringan dengan kebutuhan untuk melestarikan lingkungan dan memenuhi hak-hak masyarakat akar rumput.
Meski demikian, bukan berarti mekanisme seperti skema pengurangan emisi REDD+, yang dibebankan oleh Utara kepada Selatan, dapat serta-merta dipandang sebagai solusi terbaik untuk menengahi kontradiksi pembangunan-pelestarian lingkungan. Persoalannya justru terletak pada logika kapitalisme yang melandasi tata kelola mekanisme tersebut. REDD+ misalnya, memberi ruang bagi Utara untuk “menghapuskan” hutang emisinya di masa lampau melalui pemberian insentif finansial kepada Selatan agar bersedia meningkatkan (dan menjual) cadangan karbon di hutannya. Sementara pemerintah dan perusahaan dari Utara masih terus-menerus mengakumulasi kekayaan melalui eksploitasi besar-besaran terhadap lingkungan.
Mengaitkan Aksi Iklim di Utara dengan Konteks Selatan
Narasi aktivisme iklim milik gerakan pemuda di Utara perlu diarusutamakan dan dikontekstualisasikan dengan perlawanan di Selatan melalui dua cara. Pertama, menyadari bahwa aksi iklim global ini bukan hanya tentang “generasi tua yang berhutang kepada generasi muda atas kerusakan lingkungan dan tingginya emisi karbon di masa sekarang.” Narasi yang masih harus dikembangkan, baik oleh gerakan lingkungan di Utara maupun Selatan, adalah bahwa “negara-negara Utara berhutang kepada negara-negara Selatan atas kerusakan lingkungan global.” Sebagai konsekuensinya, perlu adanya solidaritas dan perjuangan kolektif—baik di dalam gerakan-gerakan di Selatan maupun antara gerakan-gerakan Utara dan Selatan—untuk mendorong perubahan tatanan ekonomi-politik global yang selama ini telah menyebabkan ketimpangan bagi Selatan dan merusak lingkungan.
Kedua, menyadari bahwa kepentingan pembangunan di Selatan adalah hal yang tidak mungkin serta-merta ditolak sepenuhnya. Namun, bukan berarti bentuk-bentuk pembangunan yang predatoris terhadap lingkungan dan masyarakat akar rumput dapat dibenarkan. Terlebih lagi, di saat kapitalisme kini sedang giat menampilkan wujudnya yang lebih “etis” dan “ramah”, perlu sikap yang lebih kritis terhadap berbagai gagasan baru yang diajukan negara dan perusahaan sebagai solusi penengah antara dilema pembangunan-pelestarian lingkungan.
Negara-negara kini semakin aktif mempromosikan berbagai gagasan pembangunan-pelestarian lingkungan yang melibatkan partisipasi aktor-aktor privat. Para investor dan pelaku bisnis didorong oleh pemerintah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk membantu upaya pelestarian lingkungan global melalui inisiatif-inisiatif yang pendekatannya berbasis neoliberalisme, misal: green investment, green growth, jual-beli karbon melalui pasar karbon, dsb. Gagasan-gagasan internasional yang mulai diadopsi Indonesia seperti Sustainable Development Goals (SDGs), REDD+, dan Obligasi Infrastruktur Berwawasan Lingkungan (Green Bond/Green Sukuk), menjadi perlu dikawal dan ditelaah secara kritis: apakah pada praktiknya, solusi tersebut benar-benar demokratis dan adil bagi lingkungan maupun masyarakat, terutama masyarakat yang rentan dan termarjinalkan? Ataukah solusi tersebut justru melanggengkan bentuk-bentuk eksklusi, ketidakadilan, dan ketimpangan?
Sebagai sebuah refleksi singkat, kita masih perlu mengkaji lebih lanjut kemungkinan untuk menciptakan model-model pembangunan alternatif yang mampu menyasar masalah-masalah struktural selaku akar dari perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Diskursus terkait “bentuk pembangunan seperti apa yang tepat bagi suatu negara dan/atau komunitas” akan terus menjadi arena kontestasi antar berbagai pemangku kepentingan. Di sinilah peran penting aksi-aksi dalam isu iklim dan lingkungan: mengevaluasi pembangunan sekaligus mendorong gagasan pembangunan yang menjunjung hak-hak lingkungan, kesetaraan dan keadilan, terutama bagi orang-orang di Selatan.
Husna Yuni Wulansari adalah mahasiswi dan asisten peneliti di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada
————-
[1] Definisi istilah “Utara” (“Global North” dan/atau “North”) dan “Selatan” (“Global South” dan/atau “South”) sebenarnya masih banyak diperdebatkan pada tataran konseptual. Meski demikian, tulisan ini menggunakan istilah “Utara” untuk merujuk pada negara-negara yang, menurut konsepsi umum, lebih maju, lebih kaya, dan menempati posisi yang diuntungkan dalam tatanan ekonomi-politik global. Sementara “Selatan” merujuk pada negara-negara yang masih berkembang, lebih miskin, dan terpinggirkan dalam tatanan ekonomi-politik global. Pemisahan “Utara” dan “Selatan” dalam tulisan ini tidak dimaknai secara harfiah; Utara dan Selatan bukan penanda geografis konvensional bagi negara-negara yang ada di belahan bumi utara dan selatan.
[2] Okereke, C. (2010). Climate justice and the international regime. WIREs Climate Change, Vol. 1, 462-474.
[3] Lih. Gosseries, A., & Meyer, L. H. (2009). Intergenerational Justice. New York: Oxford University Press; Page, E. (1999). Intergenerational Justice and Climate Change. Political Studies, XLVII, 53-66.
[4] Roberts, J. T., & Parks, B. C. (2007). A Climate of Injustice: Global Inequality, North-South Politics, and Climate Policy. Cambridge: MIT Press.
[5] Lih. Galtung, J. (1971). A Structural Theory of Imperialism. Journal of Peace Research, 81-94; Amin, S. (1976-1977). Social Characteristics of Peripheral Formations: An Outline for An Historical Sociology. Berkeley Journal of Sociology, 21, 27-50.
[6] Wulansari, H. Y. (2018). Can South-South Cooperation on Climate Change Bridge the North-South Divide within Global Climate Regime?. IIS BRIEF, Issue 01, 1-7.
[7] Lih. Parks, B. C., & Roberts, J. T. (2008). Inequality and the global climate regime: breaking the north-south impasse. Cambridge Review of International Affairs, 21(4), 621-648.
[8] Galtung, J. (1971). A Structural Theory of Imperialism. Journal of Peace Research, 81-94.