Kredit foto: Pixabay
KEPUNAHAN masyarakat berkelas tidak akan terjadi pada 2019. Ia akan terjadi, saya percaya. Namun, kalau saat ini Anda masih wira-wiri memburu resolusi tahun baru, jangan jadikan masa depan tersebut sebagai resolusi 2019 Anda.
Hal ini bukan berarti Anda seyogianya menyerah dengan agenda progresif dan menganggap resolusi 2019 yang realistis adalah mencicipi restoran sambal di seantero ibu kota atau menambah sekian ratus pengikut di Instagram. Ada segelintir resolusi berfaedah yang, bahkan, dapat rampung Anda amalkan dalam kurun beberapa hari awal tahun 2019. Dan kebanyakan tak mensyaratkan Anda menjadi pertapa kiri yang acap dibayangkan murung dan meninggalkan kehidupan fana.
Apa saja? Perkenankan saya membantu merunutkannya untuk Anda sebagai tindakan berfaedah pertama saya di 2019 ini (dan sebelumnya, mohon maaf juga untuk judul artikel ini yang jelas-jelas adalah umpan klik.)
Rangkul teknologi. Jangan antiteknologi.
Teknologi tak berperasaan, saya tahu. Media sosial menggulung Anda hingga Anda tidak bisa kabur dari labirinnya. Perusahaan-perusahaan rintisan berbasis teknologi mengolah mahadata yang mereka kepul dari Anda untuk memastikan Anda tidak mangkir dari aplikasinya. Gawai dan laptop termutakhir didesain semolek mungkin hingga Anda dapat kepincut dengannya tanpa perlu tahu apa fungsinya.
Namun, bahaya-bahaya barusan tidak seharusnya membuat Anda alergi dengan teknologi. Pun, tak seyogianya Anda menghindari teknologi lantaran sebuah sinisme klise, “katanya kiri. Kok gunain produk kapitalis?”
Jawab dengan gagah: “teknologi itu yang bikin juga pekerja! Nilainya saja yang direnggut secara tidak adil dari mereka. Penggunaannya saja yang sekarang digeber oleh manajemen dan pemodal untuk mengontrol pekerja dan pengguna.”
Teknologi, pada dasarnya, memungkinkan kerja diotomasi atau dikoordinasi dengan lebih efisien. Anda dapat menghasilkan nilai yang sama dengan waktu yang lebih irit. Lantas, sisa waktu Anda? Anda dapat menghabiskannya untuk berleha-leha, menggeluti aktivitas yang Anda gemari, atau menunaikan mimpi-mimpi yang tertunda. Dan, percayalah, gagasan yang nampak sepele ini bukannya tidak revolusioner mengingat yang pertama kali menggaungkannya adalah junjungan kalian.
Tentu saja, pengadopsi paling sigap dari teknologi biasanya adalah segelintir pihak berkocek, pengepul investasi, dan empunya gurita-gurita bisnis. Namun, bila Anda mempunyai kolektif bersama kolega-kolega tercinta, Anda dapat mencoba memanfaatkannya untuk mengelolanya atau merealisasikan ambisi bersama. Pasrah lantaran tak tahu bagaimana caranya mendesain teknologi yang Anda inginkan? Banyak programer dan insinyur baik yang mimpinya mentok pada memperkaya perusahaannya hanya karena tidak ada kenalan yang mengajak mereka bermimpi lebih.
Eksperimen-eksperimen menarik, kemungkinan-kemungkinan baru menanti bila Anda dapat merangkul mereka.
Jangan takut bahagia.
Kiri dan murung sudah menjadi kepaduan mengherankan yang sulit ditepis. Dan, sayangnya, keduanya bukan kepaduan yang benar-benar berfaedah.
“Awkarno, ayo main PES!”
“Tidak! Tidak revolusioner!”
“Awkarno, ayo pacaran!”
“Tidak! Saya tidak akan pacaran sebelum Indonesia revolusi!”
Tentu, saya mengguyon. Namun, saya pun tak akan heran bila hal semacam memang pernah terjadi atau suatu hari kelak terjadi. Dan bukan tanpa alasan kalau saya curiga simpatisan Indonesia tanpa pacaran adalah orang-orang kiri semacam ini.
Objektif saja, Anda tidak dengan sendirinya menghilangkan andil nyata Anda terhadap apa yang sedang Anda bangun dengan bergembira sewaktu-waktu. Perubahan, kalau Anda masih percaya dengannya, dicicil oleh begitu banyak orang dan dalam kurun yang lama. (Tak jarang pula, ia mengecewakan Anda dengan sekonyong-konyong terjadi tanpa ada yang sempat bersiap-siap.) Kita tak seyogianya berbesar kepala dengan merasa bulan depan revolusi akan gagal bila kita tidak menunda kebahagiaan kita.
Murung, artinya, tidak benar-benar membantu selain memupuk citra antisosial orang-orang kiri. Apalagi bila diam-diam Anda ternyata juga WOTA.
“Tapi, Bung Geger—”
Tapi apa? Butuh kutipan? Michel Foucault, yang teorinya kritis, edgy, dan kemungkinan besar Anda gandrungi itu, pernah menyarankan jangan murung. Tepatnya sih, “jangan berpikir seseorang harus murung untuk menjadi militan, kendati apa yang dihadapinya begitu mengerikan.”
Pun, tak sebatas itu. Apakah tatanan yang Anda perjuangkan kalau bukan yang memungkinkan orang-orang memiliki lebih banyak waktu untuk berbahagia? Anda hanya akan mengerti watak dari eksploitasi yang merebak dan benar-benar muak dengannya pada saat Anda mengerti kebahagiaan yang direnggut olehnya.
Anda, toh, selalu harus mengerti apa yang dipertaruhkan sebelum Anda memutuskan berjudi.
Jangan tepis kerja reproduktif.
Jangan kira apa yang bernilai dalam gera’an cuma mobilisasi massa, program, celoteh diskusi, atau tulisan. Nilai ada di mana-mana. Cara berpikir yang membatasi bahwa nilai sekadar ada di tindakan-tindakan yang tercitra gagah, maskulinistis, dan merombak masyarakat rawan mengabaikan kerja-kerja reproduktif yang esensial untuknya dan rekan-rekan yang andilnya adalah dalam bidang ini.
Saya bocorkan saja fakta perihal sebagian LSM yang para juru bicaranya tampil mentereng, membela hak-hak umat manusia. Di balik kegagahan segelintir manusianya, ada kerja-kerja berdarah-darah, berderai air mata mengurusi proposal, mengutak-atik anggaran, mengelola para penerima manfaat, melakoni drama Korea dengan para atasan, penyantun, serta organisasi lain. Kegagahan para juru bicaranya tidak dimungkinkan tanpa adanya para pekerja yang mengorbankan jam tidur dan kewarasannya.
Dan, tebak, siapa yang mampu mengepul santunan para penyandang dana? Para juru bicara. Apropriasi nilai secara telanjang terjadi akibat semesta pikiran kita yang terpaku pada kerja-kerja produktif. Upaya merawat organisasi, mengurus tetek-bengek yang menentukan kelangsungannya, mengayomi para anggota, atau bahkan pukpuk yang menguatkan mereka menghadapi hari esok tidak dianggap.
Konsekuensi lebih lanjutnya? Laki-laki, yang suaranya dalam, nyaring, dan tempat alaminya dianggap adalah di publik akan terus lebih mudah mengepul nilai dan perempuan yang dipandang tempatnya adalah mengurus dapur organisasi kian dan kian kehilangan kesempatan. Ketimpangan gender purba terus berlanjut dan pelaku yang mereproduksinya tak lain dari sosok-sosok idola advokat kesetaraan.
Dan, oh, jangan kira hal ini tidak terjadi di gera’an. Mari kita bertanya pada hati kecil kita sendiri.
Jangan termakan dikotomi copras-capres.
Beberapa minggu silam saya menulis tentang monster dalam karung. Satu pasangan capres-cawapres, pada titik ini, boleh jadi tampak seperti juru selamat kemajemukan dan yang lainnya terlihat seakan ancamannya. Namun, pikiran semacam adalah pikiran yang fatal—lebih-lebih kalau ia dianut oleh kelompok rentan. Partai-partai nasionalis terbukti adalah partai yang sama antusiasnya mengusung Perda Syariah, RUU yang mengancam keberadaan kelompok rentan, serta pejabat-pejabat perisak kelompok ini.
Pada hari-hari ini juga, Anda tahu, ada kandidat capres yang nampak tegas lantaran kandidat yang lainnya sipil, tak pernah terlibat dalam operasi-operasi militer, serta, ups, penculikan. Sang kandidat capres, lantaran rekam jejaknya tersebut pula, mudah tercitra sebagai bakal pemimpin yang antiasing, antiaseng, serta mungkin antiasong dan antiasu. Namun, apa yang diajarkan oleh mantan mertua kandidat capres bersangkutan, yang kekejamannya tujuh kali lipat dari sang capres sendiri, adalah “ketegasan” tidak ada hubungannya dengan sikap terhadap modal asing. Kekejaman demi kekejaman Suharto ialah manuver untuk membersihkan negerinya dari resistensi-resistensi terhadap modal asing.
Dan kurang nrimo apa Suharto dalam foto legendaris ini? Pemerintahan membutuhkan uang—anak SMP juga tahu ini. Kemampuan seseorang untuk memerintah aparaturnya memenjarakan, memberangus, atau bahkan membantai rakyatnya tak berarti ia dapat mencetak uang dari badannya sendiri.
Justru, ketika kita berpikir sosok yang mampu memimpin adalah sosok yang kita ingat dengan kejahatan-kejahatan kemanusiaannya, kita harus mulai memeriksa kewarasan kita sendiri. Mengapa kita mengingat pembangunan dengan pekikan mereka yang tergilas olehnya? Mengapa kita mengingat hari-hari yang lebih tenang dengan adanya pembungkaman tanpa ba-bi-bu mereka yang dicitrakan mengancam keamanan?
Tentu saja, saya tak menderetkan fakta-fakta barusan untuk mempromosikan kandidat capres yang lainnya. Kandidat capres petahana yang nampak santun, merakyat, dan mengakomodasi tersebut tak ragu menggunakan TNI-Polri untuk menyosialisasikan kinerja pemerintahannya, menginstruksikan relawannya yang sudah terkenal dengan fanatismenya untuk berani berkelahi, serta meraup keberpihakan politik kepala-kepala daerah karena mereka nampak gentar diciduk dengan kasus korupsi bila tidak mendukungnya.
Dan di era kekuasaannya, kita menyaksikan pasal lèse-majesté—penghinaan terhadap presiden—kembali digodok.
Berpikir dikotomis adalah kemalasan. Kemalasan yang dampaknya tidak akan menyenangkan kala apa yang terpilah dengan sederhana dan seadanya adalah pilihan politik
Dan terakhir…
Sekadar mengingatkan, proposal politik harus menyertakan rencana transformasi modus produksi yang jelas. Jangan lupa.
Seperti yang dikutip dan diterjemahkan oleh Hizkia Yosie dari Antonio Negri dalam ucapan tahun barunya yang nyinyir seperti ucapan-ucapannya yang lain:
“Proposal politik apa pun yang katanya melawan sistem kapitalis, struktur politik yang menopangnya, dan seluruh sistem kehidupan yang ada, tanpa menyajikan perencanaan jelas untuk transformasi modus produksi, adalah revolusioner PALSU.”
Geger Riyanto, mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg