Kredit foto: picbon.com
Tulisan ini sebelumnya disusun saat kasus Budi Pego disidangkan di tingkat pertama tahun 2017. Sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan), yang berusaha memberikan masukan akademik pada majelis hakim. Sayangnya, alih-alih mendapatkan keadilan, Budi Pego di tingkat kasasi diperberat hukumannya menjadi 4 tahun pada Oktober 2018 kemarin.
***
Berdasarkan pengamatan saya, sama sekali tidak ada upaya sungguh-sungguh dari Heri Budiawan alias Budi Pego menyebarkan-luaskan ajaran Komunisme. Budi, yang tidak tahu apa itu komunisme, harus dihukum atas perbuatan yang sama sekali tidak pernah ia lakukan.
Seperti yang banyak diwartakan di media, pada 4 April 2017, Budi Pego mengorganisir aksi unjuk rasa penolakan tambang PT. BSI (Bumi Sukses Indo) di Banyuwangi. Usahanya menggapai hak sipil dan politik dengan demonstrasi melawan tambang berbuntut terseretnya Budi Pego ke jeruji besi lantaran spanduk yang kebetulan ada gambar palu arit.
Ia dipidana dengan Pasal 107a UU No. 27 Tahun 1999.[1] Padahal, ketentuan pasal ini tentang larangan menyebarkan ajaran komunisme. Tidak tertulis secara eksplisit pelarangan gambar palu arit! Kalau kita telisik dari ragam penafsiran, utamanya tafsir tekstual normatif, pasal tersebut tidak menunjukkan pelarangan terhadap gambar palu arit.[2]
Apakah Budi Pego benar mengajarkan doktrin komunisme? Apakah niatnya sungguh ingin memberi ceramah di rapat akbar soal pemikiran Karl Marx dan Lenin?
Ia hanya protes atas penambangan yang tak bermusyawarah dan meminta izin kepada warga desa. Lantas, dari mana datangnya gambar palu arit di spanduknya? Fakta di persidangan membuktikan bahwa ia pun tak mengetahuinya. Lalu, kenapa ia harus dihukum penjara 10 (sepuluh) bulan oleh Putu Endru Sonata dan majelis hakim yang dipimpinnya itu?[3]
Bandingkan kasus Purhandi yang jauh berbeda dengan Budi Pego. Purhandi pada 11 Januari 2017 mengunggah foto buku berjudul ‘Indonesian Communism under Soekarno Ideology […].’ Selang beberapa hari, Purhandi, pada 14 Januari 2017, juga menayangkan foto orang dengan tulisan ‘Gua Bangga Jadi Komunis.’[4] Sementara Budi Pego, hanya fokus soal tambang yang dikhawatirkan akan menggerus kelestarian alam desanya.
Sama sekali Budi Pego tidak berurusan dengan komunisme dan tetek bengeknya.
Sebenarnya, sah-sah saja; seorang warga punya hak berdemonstrasi dan mengutarakan pandangannya. Hak tersebut jelas sudah dijamin oleh Pasal 19 UU N0. 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik. Pasal itu berkumandang bahwa ‘setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.’
Dibandingkan negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia sudah sepatutnya bersombong karena demokrasi dan penghormatan terhadap HAM. Coba bayangkan apa yang terjadi di Filipina, Myanmar, Laos, dan bahkan Malaysia sekalipun. Warga tak ubahnya macam pengungsi yang haknya dengan mudah dirampas.
Kasus Budi Pego ini jelas potret buram penegakan Hukum dan HAM di Indonesia. Saat ia menyuarakan hak berekspresi dan hak masyarakat, mulutnya pun dibungkam. Scheingold berkeyakinan bahwa pembela hak rakyat pada umumnya punya tekad serius serta kesadaran yang tangguh dan komitmen yang radikal. Tentu, orang-orang macam Budi Pego akan banyak dihadapkan pada risiko.[5]
Kesan Soal Kejahatan Keamanan Negara
Budi Bego dihajar menggunakan payung hukum kejahatan terhadap keamanan negara. Cukup mengagetkan memang. Padahal, ia pun sama sekali tidak membahayakan keamanan instansi negara apa pun di tanah air ini. Yang ia lawan adalah korporasi. Apakah korporasi bagian dari instansi negara? Tidak. Mereka swasta sejati.
Lalu kenapa Budi Pego dijerat dengan hukum kejahatan keamanan negara? Apa lantaran ia (tanpa sepengetahuannya) mempertontonkan lambang komunisme?
Menyebarkan ideologi dan simbol terlarang bukan termasuk kejahatan yang membahayakan keamanan negara di negara-negara Barat. Tindakan ini pada umumnya masuk kategori kejahatan ujaran kebencian (hate crime). Bahkan, salut Hitler yang terlarang di Barat saat sudah mengalami pergeseran.
Dalam sebuah wawancara, Prof. Marcel Nigli berpandangan bahwa salut Hitler tidak selalu berujung pada pemidanaan. Pada mulanya Switzerland punya legislasi anti-rasisme sejak 1995 untuk menghukum tindakan berbau Nazi sebagai rasa respek pada brutalnya Holocaust. Namun, praktiknya hari ini, ketentuan tersebut sudah mulai pudar.
Lalu, kenapa salut Hitler dan penggunaan simbol swastika tidak lagi dipidana? Nigli percaya: apabila si Fulan mengenakan simbol keagamaan atau busana religi, apakah hal ini secara langsung akan meyakinkan orang lain untuk mengikuti dan menuruti keyakinan si Fulan ini? Jelas tidak mungkin seorang mendadak berbondong-bondong secara otomatis mengikuti si Fulan lantaran ia mengenakan simbol tertentu.[6]
Ya, kejahatan terhadap keamanan negara. Kesannya, terlampau berlebihan disematkan pada Budi Pego. Kalau saya amati delik ini pada Kitab Hukum Pidana Belanda 1891, yang disebut kejahatan terhadap keamanan negara (Veilighed van den Staat), sangatlah terang benderang yang dimaksud kejahatan keamanan negara adalah serangan yang dilakukan (aanslag ondernomen) dengan maksud membunuh dan menculik Raja atau bupati (Pasal 92).[7] Bentuk berikutnya dalam kitab hukum pidana lama, selain upaya pembunuhan dan penculikan Raja dan Bupati, adalah serangan yang menyebabkan seluruh wilayah kerajaan atau sebagian jatuh ke tangan penguasa asing (vreemde heerschappij) akan dipidana seumur hidup atau 20 tahun penjara (Pasal 93).[8]
Dalam nota penjelasan (memorie van toelichting) Pasal 92 dan 93 KUHP 1891, disebutkan bahwa kejahatan terhadap keamanan negara menyangkut segala sesuatu yang mengancam fisik penguasa sah dan memprovokasi (atau bekerja) dengan kekuatan asing untuk melakukan serangan (hetzij door vijandelijkheden van buitenlandsche mogendheden uit te lokken). Ketentuan ini juga berlaku pada warga asing yang tinggal di wilayah Belanda yang melakukan dua tindakan terlarang dalam dua pasal tersebut.
Dari genealogi atau sejarah kejahatan terhadap keamanan negara, menyebarkan ajaran tertentu tidak termasuk dalam bentuk kejahatan ini. Tindakan persuasif atau demonstrasi seperti yang dilakukan oleh Budi Pego tentu juga bukan merupakan kejahatan terhadap keamanan negara.
Sekali lagi, kejahatan terhadap keamanan negara adalah upaya agresi dan penyerangan terhadap penguasa. Bukan aksi penyebaran ajaran tertentu.
Budi Pego yang mengerakkan rakyat melakukan demonstrasi melawan tambang dituduh mengancam keamanan negara. Sinisnya, bolehlah dikatakan bahwa hakim sebenarnya tidak hendak menafsirkan kejahatan terhadap keamanan negara, melainkan ‘kejahatan terhadap keamanan tambang.’ Lalu, apakah tambang juga termasuk bagian dari penguasa negara?
Jelas pertanyaan ini akan dijawab dengan mudah oleh akal sehat kita. Apa yang dilakukan oleh Budi Pego bukan merupakan tindakan terhadap keamanan negara. Ia tidak mencoba melakukan serangan bersenjata dan tidak hendak bekerja sama dengan pihak asing untuk merongrong kekuasaan sah pemerintah hari ini.
Konteks HAM
Pada Mei 1999, parlemen menyusun perumusan regulasi HAM. Masing-masing fraksi di parlemen, seperti FKP, FABRI, FPP, dan FPDI mengajukan usulan redaksional rumusan pasal-pasalnya. Pasal 23[9] dan Pasal 24[10] UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM nampaknya sangat relevan dibaca dalam konteks Budi Pego ini.
Jalan Raya Pance Desa Sumberang menjadi saksi bisu. Budi Pego pada 4 April 2017, saat matahari lagi terik-teriknya, menggelar aksi tolak tambang. Secara geografis daerah Gunungsalak adalah tempat yang asri nan sejuk. Tiba-tiba muncul penambangan tanpa minta izin terlebih dahulu kepada masyarakat desa. Bersama sohib kampungnya, Mustakim, Pur, dan Sunarto, ia mengkritik tambang tanpa ijin warga itu.[11]
Apa yang dilakukan Budi Pego itu pun sah dilindungi oleh Pasal 23 UU No. 39 Tahun 1999 soal hak mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya. Pada Mei 1999, baik itu FKP, FABRI, FPP, FPDI bersepakat untuk menyusun perlindungan kebebasan mengekspresikan pendapat di muka umum.
Pada saat itu, FPP menambahkan kata-kata ‘nilai-nilai agama,’ selain kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.[12] Dengan kata lain, saat seseorang mengemukakan pendapatnya, ia tak boleh menerjang norma-norma tadi. Terlebih, apa yang dilakukan oleh Budi Pego bukanlah pelanggaran terhadap norma-norma itu; bukan juga dosa atas perbuatan yang diharamkan oleh agama.
Pada saat yang bersamaan, di akhir cerita penalaran dan pertimbangan hukumnya sang majelis menyimpulkan bahwa ‘aksi unjuk rasa (Budi Pego) tersebut terbukti menyebarkan ajaran komunisme, marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya.’[13] Padahal aksi Budi Pego adalah tindak tanduk yang dilindungi oleh regulasi HAM.
Penggunaan Pasal 17 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang disadur oleh majelis, rasa-rasanya kurang tepat dan bijak. Ini seperti peribahasa membunuh lalat dengan bom. Tak hanya sang lalat yang tewas, melainkan lokasi ledakan hancur porak-poranda.
Sang majelis tidak hanya membungkam Budi Pego, dengan penggunaan pasal tersebut mereka juga telah menyumbat tumbuh kembangnya demokrasi. Padahal, aksi semacam itu, umpamanya tidak menyalahi prosedur, cukup saja dibubarkan, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 15 UU No. 9 Tahun 1999. Penghukuman ini, jelas jauh dari nilai-nilai keadilan dan proporsionalitas.[14]
Padahal hak untuk berkumpul berapat dan berserikat (Pasal 24) dan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum (Pasal 25) dengan terang dijamin oleh undang-undang. Bahkan pada Mei 1999, FPP mengusulkan agar kebebasan berdemonstrasi semacam itu tidak hanya dinikmati warga negara, melainkan setiap orang yang bernafas di Indonesia.
Dan, sekali lagi, demonstrasi tersebut adalah aksi tolak tambang, bukan aksi propaganda komunisme. Kenapa harus dijerat dengan pidana yang tidak sebagaimana mestinya?***
Awaludin Marwan adalah anggota Konsorsium Hukum Progresif
* Penulis berterima kasih kepada Unu Herlambang, dosen UNUSIA Jakarta, yang telah mengedit tulisan ini.
————–
[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara. Budi Pego diancam dengan menggunakan Pasal 107a yang berbunyi: Barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
[2] Beberapa buku pengantar ilmu hukum yang berkembang di Indonesia sejak tahun 1950-an, mulai dari Soetjipto&Woerjono, D. Mutiara, Sudikno dst, menyebutkan bahwa tafsir hukum ada beberapa macam, mulai dari tafsir bahasa, teleologis, komparasi, gramatikal, sistematis, dst.
[3] Putusan Nomor 559/ Pid.B/ 2017/ PN.Byw.
[4] Putusan Nomor 140/ Pid.B/2017/ PNKBG.
[5] Scheingold menekankan pada keberadaan advokat HAM. Sementara, saya menggunakan analogi dan ilustrasinya soal ini. Scheingold mengungkapkan bahwa advokat HAM kebanyakan memilih sebuah keputusan yang krusial, tapi taktis. Meskipun pilihannya itu sangat pahit, melelahkan, seolah olah tanpa akhir, dst, mereka pun kehilangan kemungkinan memiliki banyak klien. Namun itulah sebuah ‘takdir’ dari pejuang HAM., Stuart A. Scheingold. The politics of rights, lawyers, public policy, and political change, Michigan, The University of Michigan Press, 2004, p. 179
[6] Logika yang digunakan oleh Nigli cukup inovatif dan tajam. Renat Kuenzi, sang wartawan mengajukan pertanyaan, ‘lhah apakah nanti orang akan banyak melakukan salut Hitler di Switzerland, kalau di negara ini tidak mengkriminalisasikan tindakan ini?’ Jawaban Nigli cukup sederhana, ‘Lalu, jelas tidak mungkin, seseorang datang ke Switzerland, hanya untuk melakukan salut Hitler saja.’ Ia menyadur putusan-putusan pengadilan federal dan utamanya kasus Rutli Meadow yang menganggap penggunaan lambing swastika adalah atribut individual yang personal, tanpa ada hubungannya dengan kejahatan rasisme dan ujaran kebencian. Di Switzerland, hukum anti-rasisme pada tahun 1995 pasal 261 mengatur pemidanaan terhadap salut Hitler dan pengenaan simbol Swastika, pada tahun 2004 parlemen menguatkan pemidanaan tindakan ini. Wacana makin menghangat kembali pada tahun 2010, dan mula-mula pada Februari 2014 putusan-putusan pengadilan federal hanya fokus pemidanaannya pada persoalan rasisme yang berkenaan dengan warna kulit, agama, kebangsaan dan etnisitas. https://www.swissinfo.ch/eng/nazi-gestures_it-s-the-law–hitler-salute-is-not-always-a-crime/38682072 diakses pada tanggal 24 Mei 2016.
[7] Pasal 92 berbunyi ‘de aanslag ondernomen met het oogmerk om den Koning, de regeerende Koningin of den Regent van het leven of de vrijheid te berooven of tot regeeren ongeschikt te maken, wordt gestraft met levenslange gevaugenisstraf of tijdelijke van ten hoogste twintig jaren.’ Dalam terjemahan bebas, pasal ini bisa diartikan ‘Serangan yang dilakukan dengan maksud untuk membunuh atau menculik Raja, Ratu atau Bupati yang berkuasa, harus dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara maksimal dua puluh tahun.
[8] Pasal 93 berbunyi ‘De aanslag ondernomen met het oogmerk om het rijk geheel of gedeeltelijk onder vreemde heerschappij te brengen of om een deel daarvan af te scheiden, wordt gestraft met levenslange gevangenisstraf of tijdelijke van ten hoogste twintig jaren.’ Yang terjemahan bebasnya, Serangan yang dilakukan dengan maksud untuk membawa kekaisaran seluruhnya atau sebagian di bawah kekuasaan asing atau untuk memisahkan bagiannya, dihukum penjara seumur hidup atau penjara sementara maksimal dua puluh tahun.
[9] Pasal 23 (1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan pilitiknya; (2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.
[10] Pasal 24 (1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai; (2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Juga bisa dibaca Pasal 25 yang menyebutkan bahwa Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
[11] Lihat, kronologis kasus Budi Pego, p. 6. Putusan Nomor 559/ Pid.B/ 2017/ PN.Byw.
[12] Risalah sidang UU 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia., p. 239
[13] Putusan Nomor 559/ Pid.B/ 2017/ PN.Byw, p. 53
[14] Keadilan terejawantahkan pada setiap hukum, institusi, sistem sosial, keputusan, dst. Yang pada akhirnya, komponen semuanya itu perlu dikotomikan antara mana yang adil dan mana yang tidak adil. Komponen yang mengandung norma yang valid dan berbasis hak fundamental. Lihat John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge, The Belknap Press of Harvard University Press, p. 6