DALAM artikel sebelumnya kita telah membahas bagaimana bentuk masyarakat hari ini mampu dikenali hanya melalui sekaleng Coca-Cola. Masyarakat yang kita maksud tentu merupakan kumpulan dari relasi-relasi manusia dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Bayangkan saja pemandangan orang yang berlalu-lalang di Shibuya, Time Square, atau Stasiun Dukuh Atas. Ratusan hingga ribuan orang dari latar belakang berbeda, pekerjaan yang berbeda dan dengan urusannya yang juga berbeda bertemu di suatu waktu dan tempat yang sama. Siapa yang membuat kemejanya? Siapa yang menyiapkan sarapannya tadi pagi? Atau bahkan siapa yang membuat mereka sampai bertemu di saat yang bersamaan di sana? Keterkaitan dan kesalinghubungan antar orang atau antar kelompok orang itu bersifat kasat mata. Sehingga yang menampak cuma suatu kumpulan orang banyak yang memenuhi suatu tempat pada waktu tertentu. Seperti itulah kiranya suatu masyarakat. Lantas apa yang membuatnya hadir dan bertahan? Tentu karena ada manusianya, tapi ada yang lebih esensial di balik manusia-manusia itu. Inilah yang akan kita bahas dalam tulisan kali ini.
Masyarakat disokong keberlangsungannya oleh apa yang disebut dengan cara atau mode produksi. Paling sederhana dijelaskan menjadi cara suatu masyarakat dalam mempertahankan bentuk kehidupannya. Tentu yang paling utama yaitu makan. Bagaimana cara memenuhi perut lapar kita? Setiap masa memiliki caranya sendiri. Sudah pasti dari masa ke masa, makan yaitu dengan tangan lalu memasukan makanan ke dalam mulut, tapi yang dimaksud di sini ialah bagaimana cara mendapatkan makanan itu sendiri. Hari ini untuk mendapatkan semangkuk nasi goreng kita mesti membeli bumbu masak dan bahan masakannya, atau yang paling sederhana yaitu membelinya dari pedagang nasi goreng. Namun untuk mendapatkannya kita mesti membeli dengan uang yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan dicetak oleh Perum Peruri. Inilah ciri suatu masyarakat itu, agar supaya perut kita kenyang harus hadir terlebih dahulu pedagang nasi goreng yang membuatkan nasi goreng seharga 12.000 rupiah, petani yang memproduksi padi untuk beras, pasar untuk membeli bahan nasi goreng, Bank Indonesia yang melegalkan mata uang Rupiah hingga Perum Peruri yang mencetak uang kertas Rupiah. Kekhasan itu ditambah oleh suatu alat tukar yang menjadi sarana pertukaran, yaitu uang. Uang merupakan suatu alat yang mampu menyediakan nasi goreng di meja kosanmu dan juga Xiaomi di sakumu. Namun apa uang selalu menjadi hal utama dalam kehidupan suatu masyarakat? Jawabannya tidak juga. Ada masa dalam sejarah ketika umat manusia tidak bergantung kepada uang untuk hidup.
Tak sedikit kiranya antropolog yang pernah tinggal bersama kelompok-kelompok masyarakat terpencil dunia lalu mencatat bahwa mereka tidak menggunakan mata uang sebagai alat tukar. Suku Anak Dalam di Jambi, orang-orang Kanekes di Banten dan Suku Sentinel di Kepulauan Andaman, misalnya. Melihat mata orang asing saja mereka merasa ganjil, apalagi melihat mata uang. Mungkin tak pernah terpikirkan oleh mereka. Namun, suka tidak suka mereka merupakan sisa-sisa dari suatu bentuk masyarakat paling sederhana yang pernah mendiami bumi. Berdasarkan bukti tersebut kita bisa sedikit membayangkan bagaimana bentuk masyarakat sebelum sampai seperti hari ini. Pastinya mereka tidak bergantung kepada uang kertas macam yang terselip di dompet Anda sekarang.
Dalam The German Ideology, Marx sempat membahas tahapan-tahapan perkembangan bentuk suatu masyarakat berdasarkan kepemilikan atas sarana-sarana produksi. Mulai dari tahap awal kelompok suku yang masih mengolah langsung sumber daya alam untuk dimiliki oleh suku masing-masing berkembang menjadi masyarakat komunal purba yang menguasai sumber daya untuk hajat kelompok sukunya dengan relasi-relasi kekerabatan di antara mereka. Saat itu mulai muncul suatu kelas yang menguasai sumber daya dan mereka yang tidak, atau mereka yang memenangkan peperangan antar suku serta mereka yang kalah dan ditaklukan. Pada suatu waktu tertentu, karena banyak faktor sejarah, bentuk masyarakat berubah lagi menjadi masyarakat feodal yang mana sumber daya kehidupan dikuasai oleh segelintir bangsawan dengan relasi perhambaan dengan para hamba-hamba yang bekerja kepada bangsawan itu. Lalu masyarakat pun akhirnya berkembang menjadi masyarakat kapitalisme, yang mana sumber daya masih dikuasai segelintir orang atau kelompok dengan relasinya upahan terhadap mereka yang tak memiliki sumber daya apapun dan di sinilah uang hadir menjadi perantara hidup yang utama. Meski tidak semua masyarakat di dunia secara bertahap dan bersamaan berkembang ke arah yang sama atau linier ke arah bentuk kehidupan kapitalisme, setidaknya sekarang ini yang bentuk masyarakat kapitalismelah yang mendominasi di dunia.
Jika kapitalisme mendominasi, lalu apa yang membedakan mode produksi kapitalisme dengan semua mode produksi yang sebelumnya? Apanya yang khas? Jawabannya yaitu beralihnya rumus yang digunakan oleh para pedagang Money-Comodity-Money (M-C-M) atau “membeli untuk menjual” menjadi rumus utama dalam melangsungkan hidup di bumi. Pada bentuk masyarakat berburu dan meramu, manusia atau kelompok menukarkan ikan dengan daging babi kepada kelompok manusia lainnya sehingga rumus yang berlaku yaitu Commodity-Commodity (C-C) atau barter. Lalu di masa Raja Leonidas hingga Sultan Mehmed II, manusia membawa rempah-rempah ke pasar untuk dijual dengan seharga sekoin dan dua koin perak atau emas untuk ia belikan sepasang sepatu. Sehingga rumus yang berlaku di sana yaitu Commodity-Money-Commodity (C-M-C). Meski sebagian orang lainnya, seperti pedagang-pedagang yang memiliki sekoin perak untuk ia belikan padi dan padi tersebut ia jual di pasar dengan harga dua koin perak. Rumus pedagang inilah berbentuk Money-Commodity-Money (M-C-M), namun di masa itu belum menjadi dominan sebab uang bukan hal utama dalam hidup, karena relasi kerja belum merupakan relasi upahan melainkan relasi perhambaan.
Bila dipikir-pikir mana mungkin untung seribu dua ribu bisa membuat seseorang menjadi seorang Crazy Rich Asian atau menjadi seorang Nadiem Makarim. Lantas bagaimana caranya? Jawabnya tentu dari keuntungan. Rumus dagang inilah yang memungkinkan sebuah transformasi rumus yaitu menjadi M-C-M+∆M yang berarti “membeli untuk menjual dengan keuntungan di akhir penjualan.” Rumus M-C-M inilah yang oleh Marx dinamakan dengan “rumus umum kapital.” Apabila pada zaman Firaun rumus pertukaran ini hanya berada pada ranah sirkulasi dan sifatnya sekunder saja, pada zaman Donald Trump kini bentuk tersebut masuk ke dalam ranah kehidupan sehari-hari atau menjadi primer sifatnya. Bagaimana bisa terjadi seperti itu? Tentu saja karena sejarah manusia mendukung muncul dan berkembangnya mata uang sebagai alat tukar, negara modern berdaulat yang mendukung perdagangan, perbankan yang menciptakan alat tukar dan lembaga-lembaga hukum yang mendukung setiap kegiatan perbankan sehingga memungkinkan berubahnya cara hidup dari C-M-C menjadi M-C-M. Namun yang paling utama yaitu peralihan suatu kelas penguasa sumber daya atau sarana produksi serta pedagang-pedagang kaya menjadi produsen. Mereka yang tadinya berada di pasar hanya berdagang kini memproduksi langsung barangnya untuk dijual. Bagaimana caranya?
Untuk mendapatkan keuntungan, pertama-tama kita harus punya modal awal. Modal awal yang khas di sini tentu berupa uang. Entah dari mencuri, berjudi, rajin menabung atau yang lain sebagainya. Pertama Uang (M) digunakan untuk membeli Komoditi berupa bahan baku (C¹), kemudian produsen juga mesti menyediakan Tenaga Kerja (LP) dan Sarana Produksi (MP) untuk mengolah bahan mentah tersebut. Setelah proses tersebut maka terciptalah proses Produksi (P) untuk menghasilkan Komoditi Baru (C²) yang nantinya akan dijual demi mendapatkan kembali Uang (U). Uang yang diterima kembali bukanlah sekedar uang, namun uang yang sudah mendapatkan lebihnya atau laba (∆M). Mengapa demikian? Sebab jika hanya sekadar membeli dan menjual, nilai dari komoditas yang dijual tidak bertambah. Dengan tidak bertambahnya nilai, maka harga di pasar pun tidak bertambah, sehingga produsen tidak akan mendapatkan keuntungan sama sekali. Dengan cara apa produsen menambah nilai komoditinya? Yaitu dengan paduan sarana produksi atau alat-alat pendukung pembuatan barang bernilai dan tentu tenaga kerja atau buruh yang mencurahkan kerjanya untuk menambahkan nilai pada saat barang berada di proses produksi.
Karena rumus umum kapital dagang tersebut sudah masuk ke dalam ranah produksi seiring dengan beralihnya kelas-kelas borjuasi perkotaan menjadi produsen. Sehingga rumus ini dinamakan dengan rumus umum kapital. Rumus ini sangat laku ketika Eropa mengalami keruntuhan feodalismenya dan dilanda demam revolusi industri, bahkan masih berlangsung hingga detik ini di Cikarang, Rancaekek, Majalaya dan sekitarnya. Gambaran dari rumus ini adalah sebagai berikut:
Oleh karena itu mode produksi kapitalislah, dengan pengerahan tenaga kerja lewat relasi upahan, yang memungkinkan adanya sekaleng Coca-Cola yang berada di lemari es Circle K. Bukan bermaksud meremehkan mode produksi yang lain sebelum mode produksi kapitalis, namun melalui mode produksi kapitalislah produksi masal yang ada hari ini dimungkinkan. Mulai dari sekaleng Coca-Cola hingga sisir Miniso kini diproduksi secara masal dan bahkan tanpa perencanaan sama sekali. Karena satu-satunya rencana yang dimiliki produsen ialah agar bisa bertahan hidup di rimba kapitalisme ini dengan rumus umum kapital yang dijelaskan di atas. Berkat mode produksi kapitalisme inilah, kulkas dan lemari pakaian di rumah Anda selalu penuh dengan benda-benda yang Anda butuhkan. Melalui kekuatan rumus umum kapitalnya itu, sebuah zaman baru dibentuk dan dibuat seakan menjadi alamiah. Kapitalisme melalui uang hadir secara gaib layaknya Yang Maha Kuasa dari setiap lubuk hati manusia terdalam hingga perut yang meminta kenyang. Kini yang sakral dan profan tak lagi terlihat batasnya, nilai-nilai lama tergantikan kecerdasan buatan dan manusia hanya bisa tercengang dengan apa yang telah mereka ciptakan sendiri. Maka, sekaleng Coca-Cola tersebut merupakan salah satu bukti yang terlihat dari berjalannya suatu mekanisme di balik suatu masyarakat kapitalis. Suatu cara kerja masyarakat yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya, yang memperkaya satu dan mengeksploitasi lainnya, yang menghidupi satu dan membunuh lainnya. Lantas Anda sendiri berada di mana? Apa Anda sendiri lebih sering untung atau buntung? Entahlah, mungkin hanya Arie Untung yang tahu jawabnya. Coba saja Anda renungkan sejenak setelah membaca, disarankan merenung saat absen di toilet pagi ini, semoga segera mendapatkan pencerahan.***