Kredit foto: livemint.com
LA YAMIN, pengumpul tuna terbesar di Kecamatan Seram Utara, mengenal komputer. Namun, sebagaimana warga Kampung Parigi lainnya, baginya, komputer adalah barang mewah, wahana hiburan, atau sarana anak-anak sekolah mengerjakan tugasnya. Ia tetap mencatat, menginventarisasi, menghitung tangkapan para nelayan dengan kalkulator, buku catatan, serta tabel-tabel buatannya sendiri.
Pekerjaannya tersebut bisa menghabiskan 3-4 jam. Kalau ada kesalahan hitung, ia bahkan tidak akan tidur karenanya.
Saya, lantas, mencoba membuatkannya formulir Excel yang dapat memudahkan pekerjaannya. Semua tangkapan di satu hari dapat terekapitulasi lengkap cukup dengan memasukkan data tangkapan nelayan ke dalamnya. La Yamin tak perlu lagi memilah dan menjumlah tangkapan para nelayan berdasarkan bobot ikan. Pekerjaannya cukup mencatat, dan perhitungan akan didapat.
Hasilnya, begitu menggunakannya, pekerjaan La Yamin rampung cukup dalam waktu 15-30 menit. Ia bukan saja mempersingkat waktu kerjanya melainkan mempersingkat lebih dari separuh waktu kerjanya. Sayang, La Yamin tidak menggunakan formulir tersebut bila saya tidak bersamanya. Komputer masih menjadi momok yang menakutkan baginya. Menghadapi layar, tuts, serta peranti lunak yang lebih rumit dari penyetel video atau pengolah kata adalah pengalaman menghadapi galaksi penanda asing yang mencekam—sama seperti pengalaman saya sendiri, sebenarnya, bila sekonyong-konyong ke atas tangan saya diletakkan benang pancing yang tengah beradu tarik dengan tuna.
Eksperimen ini, kendati demikian, menyingkap kepada kita satu-dua serba-serbi menarik terkait otomasi. Benar, otomasi—apa yang terjadi dengan pekerjaan La Yamin adalah teknologi mengotomasi kerjanya. Piranti lunak mengambil alih dan menuntaskannya dalam sekejap. Kerja yang sebelumnya mutlak harus dilakoni oleh insan yang hidup kini dapat dilakoni oleh barang-barang tak bernyawa. Dan otomasi, yang dibayangkan sebagai bahaya tak ayalnya terminator, adalah berkah. Andai La Yamin lebih fasih dengan komputer, dua-tiga jam dari waktunya dapat direngkuhnya kembali. Ia bisa memanfaatkannya untuk memancing ikan, mempercantik perahunya, atau bermain gaplek. Tidur siang? Belajar bahasa Korea? Boleh saja. Waktunya adalah miliknya. Tidak ada yang dapat mengambilnya.
Tentu saja, situasi ini bukannya tanpa catatan—situasi yang nikmat selalu punya catatan bukan? Bagi La Yamin, otomasi menjadi berkah karena ia tetap menguasai nilai yang diraup dari pekerjaannya.
Dan hal ini tidak terjadi pada kebanyakan pekerja.
Otomasi, pada kebanyakan kasus, berarti pemodal atau kelas manajerial mendapatkan kesempatan emas untuk mengirit tenaga kerja. Bagi mereka yang sudah ketinggalan gerbong, otomasi adalah agenda yang mutlak mereka tunaikan agar bisnisnya tak tergilas kompetisi yang tidak berperasaan. Hasilnya, hal yang paling pertama mengiringi otomasi bukanlah waktu luang yang kian berlimpah melainkan terserapnya tenaga buruh satu pekerjaan yang usang untuk pekerjaan-pekerjaan lain.
Truk molen—satu benda besar ini tak mungkin luput dari pandangan Anda—merupakan wujud otomasi sebelum otomasi menjadi mainstream. Sebelum adanya teknologi ini, mengaduk semen selalu menjadi pekerjaan tersendiri yang menyita waktu. Dampak kala teknologi ini mulai diadopsi kontan dramatis. New York Times mencatat, berkat truk molen, pada 1927 kontraktor bangunan di Ohio memperkerjakan lima belas persen tenaga kerja lebih sedikit. Mereka juga merampungkan sebelas persen bangunan lebih banyak ketimbang beberapa tahun sebelumnya.
Di Amerika Serikat, otomasi juga jelas punya andil dalam penurunan penyerapan tenaga kerja sektor manufaktur. Sektor manufaktur, yang pada tahun 1960 memperkerjakan 26 persen tenaga kerja, hanya memperkerjakan di bawah sepuluh persen pada 2017. Pekerjaan operator sambungan telepon punah. Buruh pelabuhan nyaris punah. Namun, kita tahu, pekerjaan terus-menerus ada. Nyaris satu dekade setelah John Maynard Keynes yang kondang meramalkan akan maraknya pengangguran lantaran teknologi, tenaga kerja secara penuh terus-menerus terserap. Tenaga kerja, artinya, teralihkan untuk pekerjaan-pekerjaan lain.
Hal ini tidak dengan sendirinya buruk. Ia merupakan syarat berkembangnya pekerjaan-pekerjaan lain. Kerja-kerja yang sebelumnya tidak diprioritaskan menjadi lebih mungkin untuk dihargai seraya berlimpahnya hasil produksi komoditas-komoditas mendasar dan berkurangnya jumlah pekerja yang diperlukan untuknya. Tidak buruk? Terdengar kapitalistis? Karl Marx sendiri, setidaknya, saya ingat sempat mengatakan, agenda-agenda pertama diktator proletariat adalah menggeber sekencang-kencangnya keseluruhan daya produktif yang sebelumnya merupakan fitur khas masyarakat kapitalis (ditambah juga menyatakan, masyarakat komunis adalah masyarakat merengkuh segenap kekayaan dari kurun sebelumnya).
Namun, memang, di tangan yang keliru otomasi akan berakhir sebagai mimpi buruk. Bukan hanya satu mimpi buruk melainkan dua mimpi buruk. Nilai yang dihasilkannya, pertama, terkepul ke antara segelintir orang. Kebanyakan orang tetap harus melakoni pekerjaan-pekerjaan lain yang menyita waktu, menghasilkan nilai pas-pasan baginya dan, bahkan, manfaatnya dapat dipertanyakan. Dan, kedua, teknologi menyodorkan ke tangan segelintir orang yang sudah saya sebutkan metode guna mengatur pekerja secara lebih total.
Upah riil rata-rata warga AS bergeming sejak lima dekade terakhir. Peningkatan upah riil adalah fenomena eksklusif di antara warga kelas atas. Jam kerja mereka? Pada tahun 1938, kongres menetapkan aturan yang membatasi kerja buruh menjadi 8,8 jam per hari. Hari ini, rata-rata warga Amerika mengaku bekerja 9,4 jam per hari dan banyak yang mengatakan mereka bekerja di atas sepuluh jam per hari.
Hal ini terjadi terlepas otomasi, sudah saya singgung, secara berkesinambungan membebaskan mereka dari satu pekerjaan dan pekerjaan lain.
Saya percaya dengan taksiran antropolog David Graeber bahwa salah satunya yang terjadi adalah bertumbuh suburnya pekerjaan omong kosong. Benar, pekerjaan omong kosong—pekerjaan yang pekerjanya sendiri sadar tidak berguna untuk siapa-siapa. Mereka digaji untuk sekadar memperpanjang alur birokrasi, menyibukkan diri dalam rutinitas menyesakkan dan, yang paling penting, meladeni pemahaman yang mencengkeram bahwa pekerjaan yang nyata adalah pekerjaan yang menyiksa diri serta jauh dari mimpi-mimpi masa belia. Merespons esai Graeber, YouGov menggelar jajak pendapat di Inggris dan Belanda. Temuannya, 37 persen pekerja di Inggris merasa pekerjaan mereka tak punya alasan untuk ada. Demikian juga dengan 40 persen pekerja di Belanda.
Lantas, bagaimana ceritanya otomasi berujung teknik pengaturan pekerja yang lebih mengimpit? Saya ambilkan saja cerita yang relatif sudah banyak didengar orang-orang. Jumlah mitra Gojek (ya, saya tahu mitra adalah idiom yang berbalur siasat) per 30 Juni 2018 sudah melewati satu juta orang. Apa yang mereka lakukan untuk memanajemen mitra yang sedemikian membeludak? Jawabannya, mereka tidak memerlukan manajemen. Mereka cukup menetapkan peringkat yang dibutuhkan para pengemudi dan tingkat penerimaan pesanan untuk meraih bonus atau tetap menjadi mitra. Hasilnya, terlepas iming-iming kelenturan bekerja sebagai mitra Gojek, sebagian besar para mitra bekerja tanpa hari libur. Tiga puluh persen bekerja lebih dari delapan jam sehari.
Otomasi tak harus berakhir menggurat kenyataan yang memprihatinkan, memang. Masalahnya, bukan tanpa alasan saya menganggap apa yang dapat dialami La Yamin, yang tinggal jauh dari pusat-pusat yang gemerlapan, adalah kasus yang sangat terkecuali.
Para pemantik atau pengapropriasi paling sigap dari revolusi otomasi, dalam sejarahnya, adalah mereka yang sanggup memberdayakannya untuk mengeruk keuntungan ekonomis. Produksi di tangan pihak-pihak ini, mengutip kata-kata junjungan kalian, konstan terevolusi. Segenap kondisi sosial tergoyahkan tanpa interupsi. Ketidakpastian serta kegamangan berlarut-larut. “Semua yang pejal menguap ke udara.”
Namun, satu relasi tetap tersisa. Mereka yang tidak memiliki apa-apa kecuali tenaganya harus menjajakannya ke atas semurah-murahnya.
Apakah, toh, bisnis yang pertumbuhan valuasinya paling mencengangkan—bahkan mendekati gaib—hari-hari ini kalau bukan bisnis yang menjanjikan kepada investor kehebatan mengoordinasi berbagai bentuk kerja secara efisien, nyaris tanpa biaya koordinasi (lantaran sudah diotomasi) dan biaya-biaya lain untuk menjamin keamanan sosial “mitranya?” Karena hal ini pulalah bukankah muncul fenomena kecerdasan buatan yang dibuat-buat? Saking terobsesinya para investor dengan otomasi, bisnis-bisnis mengelabui mereka dengan mengatakan kerjanya secara penuh ditangani oleh kecerdasan buatan sementara yang sebenarnya melakukannya adalah buruh murah?
Atau, kalaupun bukan pebisnis ambisius, kita tahu, juru bicara paling getol hype otomasi adalah para politisi. Dan kita tahu di bibir siapa revolusi industri 4.0 hari-hari ini rajin dicuap-cuapkan. Para politisi yang insaf nama mereka hanya bisa terangkat sejauh daya bius jargon mereka dan insaf ranah teknologi, yang ciptaan-ciptaan termutakhirnya punya kualitas membius, mengesankan dunia dapat diubah dalam semalam, merupakan repositori jargon yang bisa mereka kutil sewaktu-waktu.
Dan komitmen orang-orang ini kepada yang nyata-nyata, perkaranya, tak pernah teruji. Mereka akan berkomitmen kepada entitas abstrak seperti daya saing bangsa yang, dampaknya, berujung mereka memuji-muji startup teknologis megah tanah air dan sibuk memikirkan bagaimana caranya mengesankan bisnis tersebut muncul karena andilnya. Kenestapaan mereka yang terpintal dalam jejaring pengambilan nilai bisnis-bisnis berbasis teknologi mutakhir ini? Selama tak menjadi keributan yang menyita perhatian khalayak, bukan urusan para pahlawan teknologi dadakan tersebut.
Bagaimana, seharusnya, kita memandang otomasi dengan demikian? Mengatur ekspektasi? Mengatur fantasi lebih penting, saya kira. Otomasi bukanlah isyarat kebangkitan pasukan mesin yang akan menundukkan manusia. Penerapannya punya potensi membebaskan manusia dari pekerjaan-pekerjaan paling membebani dan membelenggu hidupnya. Hanya saja, ada yang terus-menerus mencegah kebebasan tersebut jatuh ke tangan banyak orang dan mengharuskan mereka bergelut dengan pekerjaan-pekerjaan yang wataknya memang untuk menyakiti serta meluluhkan semangat manusia.
Matrix hanya khayalan tingkat tinggi Wachowski bersaudari. Mesin tidak memperbudak manusia.
Manusia yang selalu memperbudak manusia.***
Geger Riyanto, Mahasiswa Ph.D. Institut Antropologi Universitas Heidelberg