Eliezer Jan Bonay di rumahnya di Kota Wijhe, 31 Desember 1988.
Kredit foto: John Rumbiak/ Suara Papua Nomor 5, Maret/April 1990/dokumentasi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda
FRAGMEN-fragmen bentangan sejarah Papua, salah satunya, ada di media-media yang diterbitkan atas inisiatif pemerintah Belanda saat masih menduduki Papua. Media-media tersebut hampir mustahil kita dapatkan kini di Indonesia. Tidak hanya media massa, begitu juga dengan buku-buku yang diterbitkan oleh pemerintah Belanda tentang Papua pada tahun 1950-hingga 1960-an. Saya masih ingat betul, seorang paitua (bapak) lulusan sekolah zending dan saksi sejarah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969, sangat bangga menunjukkan salah satu media terbitan GKI (Gereja Kristen Injili) di Papua. Seolah ingin menunjukkan perhatiannya dengan dokumen-dokumen sejarah itu, paitua ini kemudian menunjukkan beberapa buku karya Izaak Samuel Kijne, salah satu tokoh penting dalam sejarah perkembangan pendidikan Papua yang dibawa oleh zending.
Paitua yang dengan bersemangat bercerita pengalamannya pada zaman Belanda itu kemudian minta izin ke dalam kamar untuk mengambil sesuatu. Dari sana ia membawa dua buku yang mulai lusuh kulit mukanya. Buku itu adalah Itu Dia, Djalan Pengadjaran di Nieuw Guinea dan Seruling Mas Njajian Pemuda Pemudi dan Perkataanja. Keduanya dalam kondisi yang mulai rusak. Seruling Mas telah dicetak berulang-ulang, tapi paitua ini memiliki yang aslinya. “Bapa dapat ini saat sekolah di Serui. Selalu jadi teman tidur dengan menyanyi. Tong (kita) kadang-kadang diskusiakan (mendiskusikannya) apa maksud di balik syair-syair di buku ini. Tong percaya, Kijne menyimpan rahasia di Papua. Ini misteri. Tersembunyi di ujung jalan,” kisahnya sambil tertegun.
Pendidikan yang dikembangkan oleh zending dan misi di berbagai wilayah di Papua beriringan dengan masuknya para Bestuur dan dibukanya pos-pos pemerintahan. Generasi Papua tumbuh menjadi pamong yang terjun bersama pegawai Belanda ke kampung-kampung dan membuka pemerintahan. Di sisi lainya, sekolah guru berjalan lebih mantap dengan tangan dingin Kijne. Sejalan dengan itulah tumbuh kesadaran politik baru yang dijiwai oleh semangat Kekristenan dan tentu saja hasil didikan politik para pejabat pemerintahan Belanda. Hal itu, saya kira, tak terbantahkan.
Cetakan pertama seri buku pelajaran membaca “Itu Dia!” oleh I.S. Kijne
(dokumen STT I.S Kijne Abepura)
Kesadaran
Kesadaran atas wilayah Papua yang memiliki posisi penting dan pendidikan yang didapatkan dari sekolah guru dan pamong, membuat sekelompok kecil orang-orang Papua terdidik mulai bersuara untuk membangkitkan semangat Pan-Papua, sebuah usaha awal untuk menggelorakan semangat kebangkitan. Usaha ini tentu saja difasilitasi oleh Belanda dan media-media massa terbitannya tahun 1950-1960-an.
Johan Ariks, salah satu tokoh terdidik penting pada masanya mengungkapkan:
Kedudukan Nieuw-Guine Barat kita setjara politiek adalah amat penting. Maka oleh sebab itu adalah penting sekali bahwa kita, orang Papoea – kaum terpelajar dan pemimpin-pemimpin—pikir akan bahaja jang besar jang mengantjam rakjat kita. Keinginan jang amat kita pudji hendak direbut dari kita. Keinginan itu jang isinja: kedaulatan – keamanan dan kemakmuran. Kedaulatan oleh karena kebanjakan kita orang Kristen dan kita didik setjara orang Kristen (PENGANTARA, Tahun 13 No. 20, 27 Mei 1961).
Kesadaran politik itulah yang membuat masa-masa kesadaran berpolitik tumbuh subur di Nederlands Nieuw-Guinea (West Papua). Pada saat itu, Papua telah memiliki partai-partai lokal yang menyemarakkan dinamika politik pada dekade 1950-1960-an. Manokwari, sebagai salah satu kota penting dalam pemerintahan Belanda, memiliki dua partai besar yang diotaki oleh tokoh-tokoh penting diantaranya adalah: Johan Ariks, Lodwijk Mandatjan dan Barend Mandatjan. Tahun 1960-an juga adalah masa-masa puncak dalam perkembangan politik orang Papua. Berbagai golongan masyarakat sudah menunjukkan pendiriannya dengan mendirikan atau bergabung ke dalam partai-partai politik lokal Papua. Tentu saja gairah politik ini menjadi kabar gembira saat kebebasan menentukan sikap politik dibuka lebar oleh Pemerintah Belanda ketika itu.
Media PENGANTARA, salah satu media penting pada masa Belanda yang berhubungan dengan Nederlands Nieuw-Guinea
(foto: Dokumentasi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda)
Majalah Triton edisi Januari 1961, No.1 menuliskan semaraknya perkembangan politik di Nieuw-Guinea dengan menuliskan judul “Perkembangan Politiek Sudah Mulai”. Majalah Triton menuliskan analogi perkembangan partai politik bagai bangunan rumah yang nanti akan berperanan penting dalam membangun negara Papua Barat:
Kami bersama-sama harus membangun rumah rakjat kita. Djangan sampai kami kumpulkan bahan bangunan lalu membawanja ke lain tempat sehingga rumah tidak djadi. Masing-masing pendirian ada sebagai bahan membangun rumah, semangat kita itulah tenaga untuk bekerdja, tudjuan kita jaitu kepentingan rakjat, itulah tjiptaan rumah.
Gairah politik memang sangat terasa di daerah Nederlands Nieuw-Guinea dengan terbentuknya partai-partai politik lokal. Kondisi ini sebagai permulaan dalam persiapan pemilihan wakil-wakil Papua yang akan duduk di Nieuw Guinea Raad pada 5 April 1961. Aktivis-aktivis politik, baik tua maupun muda, memainkan pengaruhnya untuk merebut hati rakyat Papua dengan pandangan-pandangan politiknya. Keinginan utamanya adalah keterlibatan orang Papua untuk menentukan sikapnya dalam serangkaian perundingan-perundingan yang membahas nasib dari tanah mereka sendiri. Kelak di kemudian hari, inilah yang menjadi duri dalam daging permasalahan Papua terintegrasi (aneksasi?) ke wilayah Indonesia.
Johan Ariks, Ketua Partai PONG (Persatuan Orang Nieuw-Guinea) bersama ketua mudanya O. Manupapami
(foto: Majalah Triton No.1 Januari 1961/dokumentasi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda)
Johan Ariks, salah satu tokoh terdidik itu, adalah seorang guru yang berasal dari Manokwari. Ia sangat keras memperjuangkan agar ada keterwakilan orang Papua dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Negeri Belanda. Tujuan dari perjuangan Ariks adalah menolak bergabung dengan Indonesia dan adanya keterwakilan orang Papua di KMB. Materay (2012: 170-171) dengan mengutip laporan pembicaraan Ariks dengan P.J.Koets pada 10 Februari 1949, menggambarkan dengan jelas bahwa Ariks berbicara tegas menolak bergabung dengan Indonesia dan mengambil tempat terhormat di lingkungan kerajaan Belanda. Demikian kutipan pernyataan Ariks:
Rakjat Irian memang betoel beloem terpeladjar dan sebagian besar betoel masih hidoep didalam zaman koeno dan keadaan koeno akan tetapi rakjat ini tahoe apa jang terasa dalam hati mereka sendiri. Dalam hal ini hanja ada doea peranjaan jaitoe: Indonesia atau soeka sama Belanda: dan didjawab atas pertanjaan ini biarpoen dari anak ketjil adalah: tidak Indonesia.
Ini adalah pendapat rakjat djelata, rakjat jang tidak terpeladjar, rakjat jang menurut pemerintahan Belanda beloem bisa melapoerkan soeara!
Rakjat Irian bisa mengeloearkan soeranja dan pemerintah Belanda haroes toendoek pada kepoetoesan serta kemaoean rakjat ini. Kita tidak maoe dimasoekan di dalam Negara Indonesia Serikat, kita maoe di bawa mahkoeta Belanda dan maoe dipimpin oleh bangsa Belanda serta mengambil tempat jang terhormat didalam lingkoengan keradjaan Belanda.
Gerakan-gerakan politik untuk menggalang dukungan dari negara lain dan juga menyebarkan informasi kepada masyarakat di seantero Papua, juga dilakukan oleh tokoh-tokoh politik seperti Nicolaas Jouwe dan Markus Kaisiepo. Di kemudian hari, Nicolaas Jouwe kemudian mendirikan Gerakan Persatuan New Guinea (GPNG) di Hollandia (Jayapura) pada 1951. Partai politik ini mempunyai pengaruh di wilayah Biak, Manokwari, Sorong, Merauke, dan tentu saja Hollandia. Tokoh-tokoh yang terlibat di Manokwari dari partai GPNG diantaranya adalah Johan Ariks, Wanma, Marino, Welem Simorit, Melky Rumfabe, Barend Mandatjan dan Lodwijk Mandatjan. Tujuan partai ini adalah menentang Indonesia dan mempromosikan persatuan orang Papua serta memperjuangkan kemerdekaan untuk Papua (Materay, 2012: 179).
Berend Mandatjan berpidato dalam pendirian Eenheidspartij Nieuw Guinea (EPANG) atau Partai Persatuan Nieuw Guinea. Saudaranya, Lodwijk Mandatjan menjadi ketua partai ini
(foto: Majalah Triton No.1 Januari 1961/dokumentasi Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda).
Secara khusus di Manokwari, Johan Ariks kemudian memilih jalan berbeda dengan Barend Mandatjan dan Lodwijk Mandatjan. Mereka memilih untuk mendirikan partai yang berbeda. Pada 20 September 1960, berdiri Eenheidspartij Nieuw Guinea (EPANG) atau Partai Persatuan Nieuw Guinea. Lodwijk Mandatjan bertindak sebagai ketua dan mendapatkan dukungan dari sebagian besar masyarakat Arfak di Manokwari. Johan Ariks tiga hari kemudian, yaitu pada 23 September 1960, mendirikan Partai Orang Nieuw Guinea (PONG) dengan ketua mudanya yaitu O. Manupapami (Materay, 2012: 191-193).
Partai-partai lain yang ada pada saat itu diantaranya adalah DVP (Democratische Volks Partij), PARNA (Partei Nationaal) di wilayah Hollandia dan di bagian Sentani terdapat Partai Kena U Embay, yang didirikan pada 20 November 1960. Di Manokwari, selain EPANG dan PONG, juga berdiri PERSEPP (Partai Serikat Pemoeda Pemoedi Papoea) yang berdiri pada 20 Oktober 1960. Sementara di Sorong terdapat Partai Sama-Sama Manusia (SSM) dan Partai Persatuan Christen Islam Raja Ampat (Perchisra) yang berdiri di Sorong pada 2 Desember 1960. Begitulah, partai lokal Papua tumbuh dan para elite pun merengkuh kesempatan-kesempatan yang tersemai dari masa gegap gempita politik dan janji-janji Belanda untuk memerdekakan Papua.
Kelokan Tajam Bonay
Nama Eliezer Jan Bonay (E. J .Bonay) sangat penting memberikan cermin elite Papua yang dituntut bersikap pada kondisi yang terjadi. Ia adalah Gubernur Papua pertama pada masa transisi kekuasaan di Tanah Papua (1963-1964). E.J. Bonay termasuk dua kepala pemerintahan pertama orang asli Papua selain Frans Kaisiepo (1964-1973).
Dasar dari munculnya dua pemimpin asli Papua ini pada masa Presiden Sukarno adalah Penetapan Presiden Nomor 1/1962 dan Undang-Undang 12 Tahun 1969. Selain itu adalah alasan politis yang berhubungan dengan pengalihan kekuasaan administrasi pemerintahan dari Nederlands Nieuw Guinea kepada Republik Indonesia melalui badan pemerintahan dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) yang disebut dengan UNTEA pada 1 Mei 1963. Hal ini dilakukan juga untuk mengalihkan perhatian kelompok-kelompok masyarakat lokal agar tidak menimbulkan kesan seakan-akan pemerintah Republik Indonesia sebagai penjajah baru (Griapon, 2010: 23-24).
Latar belakang itulah memunculkan E. J. Bonay yang merupakan tokoh terpelajar dan pamong praja lokal yang berasal dari Pulau Yapen, Kabupaten Yapen Waropen. Saingan utama dari E.J.Bonay adalah Frans Kaisiepo yang kemudian akan menggantikannya menjadi Gubernur Irian Barat. Dalam perjalanannya, hidup Bonay penuh dengan kelokan tajam: dari mendukung pemerintah Belanda, berbalik mendukung pemerintah Indonesia, namun akhirnya kecewa dan bergabung dengan para elite Papua di perantauan.
E.J. Bonay adalah generasi elite Papua saat gerakan kelompok elite Papua yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda mendeklarasikan negara Papua Barat dengan bendera, lagu, lambang, nama wilayah. Ia juga adalah anggota Komite Nasional Papua yang mendeklarasikan Negara Papua Barat pada 1 Desember 1961. Dua tahun yang menjadi titik balik dalam hidup E. J. Bonay ketika ia mengetahui bahwa akan terbentuk Provinsi Irian Barat di bawah Indonesia melalui Penetapan Presiden Sukarno Nomor 1 tahun 1962. Ia menaruh harapan dengan otonomi pemerintahan terhadap Irian Barat yang akan memberikan perhatian utama terhadap perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan yang mungkin melebihi Belanda.
Semangatnya yang menggebu-gebu untuk memajukan putra-putri Irian tergambar jelas dalam tulisannya pada Musjawarah ke-1 Rakjat Propinsi Irian Barat (30 April – 9 Mei 1964):
Pembangunan Irian Barat terutama terletak pada putera-puteri Irian Barat sendiri. Tenaga-tenaga putera Indonesia dari luar kita tetap hargakan sebagai tenaga-tenaga tehnis, tapi apa tendensi jang kita lihat pada umumnja. Sedangkan saudara-saudara dari pulau-pulau lain di luar Irian Barat jang telah padat penduduknja sangat susah membudjuknja meninggalkan tempat kelahirannja, biarpun hidupnja umpamanja agak sulit, apalagi jang tjukup kesenangan hidupnja. Sungguhpun ia keluar djuga dari tempat kelahirannja, masih amat susah menghapuskan perasaan dan pikirannja, bahwa di hari tuanja ia akan pulang lagi ke tempat-tempat kelahiran asalnja dan akan dikubur disana, dengan mendjual harta kekajaannja jang telah diperolehnja ditempat ia mengembara.
Sudah tentu kita tidak menolak sama sekali mereka tetap tinggal di daerah ini dan menganggapnja sebagai saudara-saudara sendiri, akan tetapi menusia tetap manusia. Sifat ini masih harus diperhitungkan. Sebab itulah masih sering dikatakan, bahwa pembangungan jang kontinju dari satu daerah terutama terletak ditangan putera-putera daerah itu sendiri dengan bantuan dan pengaruh unsur-unsur jang dibawa oleh saudara-saudara dari luar Irian Barat (hlm. 151-152).
E.J.Bonay pada akhirnya harus kecewa dengan harapannya tersebut. Sukarno digulingkan oleh Suharto lewat “kudeta merangkak” dan dilanjutkan dengan pembantaian massal terhadap orang-orang Indonesia yang dituduh komunis pada tahun 1965-1966. Mimpi dapat mengatur pemerintahan Irian Barat sendiri dan menyiapkan putera-putera Papua untuk membangun Papua harus pupus. Bersama dengan D. S. Ajamiseba dan S. D. Kawab, E. J. Bonay pernah meminta kepada Pemerintah Indonesia mengenai izin konsensi penambangan logam mulia bagi penduduk lokal. Namun permintaan itu ditolak. Lengkaplah sudah sakit hati E. J. Bonay yang dapat tipu (kena tipu) Pemerintah Indonesia (Griapon, 2010: 43).
John Rumbiak mewawancarai E. J. Bonay dalam pengasingannya di Belanda yang dimuat di Suara Papua Nomor 5, Maret/April 1990. Bonay mengungkapkan bahwa tidak terbersit keinginannya untuk mengungsi ke Eropa. Kisah awalnya adalah ketika dia memberikan kesaksian dalam Melanesian Solidarity Week yang diadakan di ibukota Papua New Guinea, Port Moresby pada 23-31 Mei 1981. Namun, pemerintah Papua New Guinea kemudian mengusirnya secara tiba-tiba dan ia selanjutnya berangkat ke Swedia pada 27 Juni 1981 dan tiba pada 30 Juni 1981. Pada 1982, Bonay pindah Belanda dan menetap di kota kecil bernama Wijhe.
Di negeri kincir angina itu, E. J. Bonay bergabung dengan elemen perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Ia menyelesaikan manuskrip panjang berjudul “Sejarah Kebangkitan Nasionalisme Papua” di sana dengan masukan data-data sejarah dari M.W. Kaisiepo, tokoh senior gerakan kemerdekaan Papua Barat di Negeri Belanda. Pandangannya yang kuat dan meyakinkan tentang tumbuhnya nasionalisme saat kolonialisme berlangsung tampak dalam kalimat berikut:
Tapi lazimnya di dunia ini, dimana ada kolonialisme, di sana pasti ada nasionalisme. Itu jelas. Belanda juga berjuang 80 tahun (melawan bangsa Spanyol). Akibat adanya kolonialisme. Rakyat Papua juga. Nasionalisme bukan baru tumbuh empat puluh tahun terakhir ini. Nasionalisme sudah ada sejak nenek-moyang, Tapi biasanya orang asing, terutama orang-orang Barat sering menterjemahkan nasionalisme itu lain, Dan Papua sering disebut Barbarian, Kanibal dank open-sneller. Itu kebiasaan kolonial. Indonesia juga. Pemerintah rezim militer Indonesia yang berkuasa saat ini member cap kepada pejuang Papua, kepada gerilyawan figters kita di hutan sebagai gerakan pengacau keamanan, gerakan pengacau liar dsb. Itu tidak aneh. Tidak usah heran. Kalau dulu, pada waktu revolusi 1945 di Pulau Jawa, Belanda juga memberi cap “ekstremisme” bangsa Indonesia. Jadi sama saja. Kalau dulu dia disebut eksremisme, sekarang dia balik dan bilang “GPL”.
Sayang, E.J.Bonay tak bisa berlama-lama terlibat dalam perjuangan memerdekakan bangsanya. Ia wafat pada usia 65 tahun, di rumah sakit Saint Joseph, Deventer-Nederland pada 14 Maret 1990 Pukul 18.15 waktu Nederland. Jenazahnya kemudian diperabukan pada 19 Maret 1990 di kota Zwolle dengan upacara keagamaan dan politik.***
Leiden – Belanda, Januari 2018