Desa Mina, Arab Saudi. Kredit foto: India Today
SYAHDAN, di masa-masa Perang Dunia Pertama, ada sekelompok orang yang baru pulang haji dan tiba-tiba-tiba menjadi radikal. Seorang juragan batik dari Solo selepas naik haji, tiba-tiba menjadi tenar. Ia terlibat aktif dalam Inlandsche Journalisten Bond, wadah kaum jurnalis yang didirikan oleh Mas Marco Kartodikromo. Dari sana, ia terlibat banyak aktivisme pergerakan melawan kolonialisme Belanda. Naik haji bukannya membuat dirinya bisa nyalon pilkada; gara-gara aktivitas radikalnya itu, ia berurusan dengan polisi kolonial Belanda dan dibuang ke Digul hingga akhir hayatnya. Orang kemudian mengenalnya sebagai Haji Misbach, si Haji Merah.
Ada lagi Haji yang lain. Tahun 1902, setelah lulus dari OSVIA, sekolah kedinasan yang mendidik calon-calon PNS Kolonial—ia berkenalan dengan Samanhoedi, seorang haji lain yang baru saja tenar di Solo gara-gara inisiatifnya di pasar. Ia terlibat mendirikan Sarekat Dagang Islam, yang kemudian –setelah kepemimpinan jatuh ke tangannya—ia ubah jadi Sarekat Islam. Ia kemudian naik haji, dan tenar sebagai aktivis pergerakan terkemuka. Dari tangannya lahir banyak aktivis pergerakan yang kemudian berselisih jalan: Sukarno, Kartosoewirjo, dan Semaoen. Di masa tuanya, ia memang terlibat perselisihan dengan kaum kiri. Tapi orang-orang di kemudian hari mengenalnya sebagai “Raja Jawa tanpa Mahkota”: Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
Berhaji di masa kolonial memang penuh suka-duka. Masa itu adalah masa ketika Mekkah belum ada Starbucks dan Zamzam Tower yang megah masih belum berdiri di hadapan pintu Masjidil Haram. Itu adalah masa ketika Mekkah tidak hanya menjadi tempat persinggahan para hujjaj, tetapi juga pertukaran ide-ide dan tempat diskusi kaum intelektual. Banyak yang berhaji sekalian nyantri. Konon Muhammad Darwisy, pendiri Muhammadiyah yang kemudian dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan, menyerap ide-ide pembaharuan Islam ketika berhaji dan berdiam di sana selama beberapa saat. Ia membaca publikasi Al-Manar yang diterbitkan oleh Muhammad Abduh dan murid-muridnya (terutama Rasyid Ridha) di Mekkah, dan membawanya secara kreatif ketika kembali ke Indonesia.
Satu abad sebelumnya, berhaji malah menjadi cara untuk terhubung dengan arus intelektualisme Muslim. Ulama-ulama nusantara yang dikenal di abad ke-18, seperti Arsyad Al-Banjari, Abdussamad Al-Falimbani, atau Wahab al-Bugisi (untuk menyebut beberapa nama) memulai pendidikannya dengan berhaji. Mereka kembali ke nusantara setelah beberapa lama dan kemudian membawa ‘pembaharuan’ pemikiran keagamaan di masanya; plus membangun otoritas keagamaan yang kuat. Azyumardi Azra menyebutnya sebagai “jaringan ulama” yang penting dalam tradisi intelektual Islam Indonesia hari ini.
Beberapa Haji, seperti Haji Misbach dan lain-lain, malah jadi kiri selepas pulang ke Indonesia.
***
Dus, kita mungkin bisa bertanya, mengapa berhaji di masa lalu bisa membuat orang bersemangat melawan kolonialisme –alias menjadi ‘radikal’? Ada konteks sosial, intelektual, dan spiritual yang berbeda, yang melatarbelakanginya. Dalam artikelnya yang cukup bagus, Sean McLoughlin menyoroti aspek sosial dari haji saat ini: bagaimana ‘globalisasi’ di kota Mekkah dan Madinah mengubah makna ibadah haji hari ini menjadi sangat lekat dengan kapitalisme global.
Aspek intelektual juga berperan. Intelektualisme Islam yang kian konservatif (terlihat dari, misalnya, pengajian keagamaan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) serta buku-buku yang dijual di sekitar dua Masjid itu, menciptakan iklim pengetahuan yang tidak mendukung bagi pengembangan nalar pemikiran keagamaan yang progresif. Apa yang disebut oleh ‘palingan konservatif’ dari banyak akademisi, sebetulnya, adalah fenomena yang sangat global.
Selain itu, juga ada aspek spiritual yang terlupakan. Dalam bukunya yang terkenal, Ali Syariati memberikan sebuah refleksi yang sangat mendalam tentang ibadah haji. Bagi Syariati, Haji bukan sekadar ibadah dan napak tilas perjuangan Ibrahim. Haji menyimpan semangat revolusioner, bagi sesiapapun yang menghayatinya. Semua proses ibadah haji adalah proses membangun organisasi, mempertahankannya secara kolektif dari awal ber-Ihram sampai tahallul akhir ketika kembali ke Mekkah.
Tentu berhaji adalah proses yang sangat personal. Sebelum berhaji, tentu orang juga harus menabung, mengumpulkan sejumlah uang, dan antre sebelum bisa berangkat. Tapi bisakah kita membayangkan ada proses pelaksanaan ibadah haji yang tidak diorganisir sedemikian rupa? Apa yang terjadi ketika semua jamaah haji datang ke Jamarat tanpa diatur oleh panitia, dan melemparkan batu-batu besar –sementara yang harusnya dilakukan cukup dengan kerikil? Bagaimana mengatur jamaah haji di Mina selama tanggal 10-13 Dzulhijjah?
Haji, dengan demikian, adalah satu ibadah yang ‘terorganisir’. Esensi haji, dalam dimensinya yang paling sederhana, mungkin adalah perjuangan untuk membangun kolektivitas agar bisa lulus menjadi haji yang mabrur. Lebih dari itu, haji mungkin adalah salah satu arena pembelajaran tentang egalitarianisme dan masyarakat yang tak bersekat.
***
Mari kita mulai dari satu cerita. Setiap orang yang melaksanakan ibadah haji biasanya akan memulai dari berangkat ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah (sebagian lagi langsung berangkat ke Arafah di tanggal 9 Dzulhijjah). Mina adalah permulaan dari ibadah haji. Sebelum berangkat, setiap jamaah sudah harus melepaskan sekat-sekat duniawinya – kemewahan, keindahan gemerlap dunia, bahkan pakaian—dan menggantinya hanya dengan dua helai kain putih tak berjahit. Itulah prosesi yang kita kenal sebagai ihram.
Tak ada pengecualian dalam prosesi ini. Baik mereka yang berangkat melalui Haji Plus, Undangan, Haji Reguler, atau mungkin bagi yang muqiim –tinggal di kota Mekkah. Baik mereka yang tinggal di Aziziyah, Mahbasy Jin, Jarwal, atau di Zamzam Tower yang megah itu. Baik mereka yang pejabat eselon 1, tukang becak, guru, dosen, mahasiswa pascasarjana, maupun peneliti yang belum menikah. Semuanya sama di hadapan Allah.
Ihram adalah simbol pengakuan kita atas keesaan Allah. Yang konsekuensinya adalah bahwa tidak ada yang bisa lebih tinggi dari manusia yang lain, karena di hadapan Allah kita semua adalah makhluk yang fana. Konsekuensi sosialnya adalah egalitarianism; kesetaraaan di hadapan semua manusia. Karena tidak ada sesuatu yang lebih tinggi di hadapan Allah, maka di antara manusia kita semua mestinya juga punya derajat yang sama.
Selepas ber-Ihram, jamaah haji bergerak menuju padang Arafah. Tidak ada haji tanpa Arafah. Semua jamaah, dengan hanya dua helai kain ihram tanpa boleh ada wewangian, bergerak dan berjalan bersama. Dulu, menurut catatan Hamka di bukunya Di Bawah Lindungan Ka’bah, orang-orang pergi ke Arafah dengan menumpang tandu dan unta. Sekarang mungkin lebih mudah, karena ada Bus yang disediakan. Tapi semua orang harus tetap datang ke Arafah. Inilah “rapat besar”; tempat semua jamaah haji berkumpul untuk memenuhi panggilan Allah.
Labbaikallahumma Labbaik! Labbaika laa syariikalalabbaik!
Malam kemudian menjelang, dan jamaah sudah harus bergerak ke Muszdalifah untuk bermalam dan mengumpulkan batu. Ini adalah masa istirahat untuk mengumpulkan “amunisi” –senjata untuk membangun gerakan. Istirahat, hiatus, bukanlah sesuatu yang negatif. Ia justru diperlukan untuk membangun nafas gerakan yang lebih panjang. Arafah adalah proses yang melelahkan, secara fisik, mental, dan emosional. Ada satu titik dimana jamaah haji harus berhenti, mengumpulkan energi dan asumsi, dan bangkit dengan energi yang lebih baru. Itulah Muzdalifah, tempat dimana jamaah haji bertafakkur, tidur di tengah alam yang terbuka, dan beristirahat dari penatnya ibadah haji.
Subuh hari menjelang, dan jamaah haji bangkit dari istirahatnya untuk menuju ‘medan pertempuran’: jamarat. Gelombang jamaah haji mulai berdatangan ke bukit Aqabah untuk melontar. Syahdan, dulu nabi Ibrahim dan Ismail melempar Syaithan yang menghalangi jalan mereka. Maknanya, jamarat adalah sebuah aksi kolektif untuk melawan siapapun yang menghalangi jalan revolusi. Ia adalah aksi kolektif yang memperlihatkan, dengan jelas, kawan dan lawan, dalam sebuah proses gerakan. Tapi bahkan dalam melontar jamarat saja, kita tidak dianjurkan untuk melakukannya secara sporadis. Paling tidak, ada jamaah yang melakukannya ketika waktu dhuha, sesudah Zhuhur, atau di pagi hari, agar tidak ada jamaah yang terinjak-injak justru ketika ingin melontar. Haji mengajarkan kita tidak hanya perlawanan, tapi juga keteraturan fungsional dalam proses gerakan. Haji adalah “komune”.
Selepas melontar Jamarat, sebagian jamaah kembali ke Mina untuk mempersiapkan proses ibadah yang sama di hari berikutnya. Sebagian lagi kembali ke kota Mekkah untuk melakukan prosesi penting: Tawaf Ifadah. Jika hewan qurban (atau “dam” bagi yang melakukan haji Tamattu’) sudah dibayarkan, maka jamaah diperbolehkan untuk bercukur. Ini proses awal dimana jamaah haji diperbolehkan untuk melepaskan Ihramnya. Tapi jangan lupa, ia tetap punya kewajiban untuk kembali ke Mekkah, melakukan Tawaf dan Sa’i. Jamaah haji harus mengelilingi Ka’bah, melakukan shalat sunnah dua raka’at, dan berlari ke bukit Safa dan Marwah. Proses ini mengenang perjuangan Siti Hajar ketika dilanda kekeringan, hingga kemudian ia mendapat anugerah berupa zamzam setelah berjuang lari ke bukit Safa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Perubahan sosial, bisa jadi mengharuskan adanya perjuangan dan hasil yang tidak disangka-sangka. Ia membutuhkan keyakinan yang kuat akan ‘tujuan’ di samping juga pengorganisasian yang kuat dan ketepatan strategi.
Tapi jangan lupa, tugas belum usai! Masih ada proses melontar jamarat di tanggal 11, 12 dan (bagi yang melakukan nafar tsani) 13 Dzulhijjah. Perjuangan masih terus berlanjut, hingga kemudian jamarat terakhir selesai dilalui, dan jamaah kembali ke Mekkah, kali ini sebagai seorang haji, untuk melakukan Tahallul Akhir. Selesai sudah semua prosesi, sebelum Jamaah melakukan Tawaf Wada untuk berpisah dengan Baitullah sebelum meninggalkan kota Mekkah.
***
Cerita di atas menyiratkan satu hal: haji bukan sesuatu yang dilakukan hanya untuk mendapatkan prestise. Tapi lebih daripada itu, dari haji juga berarti perjuangan. Haji berarti membangunkan sebuah memori tentang perjuangan. Bahwa untuk mewujudkan ‘Masyarakat Utama’, seorang manusia harus berjuang sampai pada dimensi spiritual. Bahkan pada dimensinya sebagai ibadah mahdhah, haji memerlukan perjuangan. Sejak para jamaah haji melafalkan niat dan menyatakan diri pada kondisi Ihram, sejak itu pula ia harus berjuang. Paling tidak, ia harus berjuang menahan diri dari kondisi yang membatalkan ihram. Lalu memperbanyak mengingat Allah, sebagaimana ditanfidzkan dalam Al-Baqarah. Itu saja bukan hal yang mudah.
Haji, sebagaimana juga diingatkan oleh Ali Syariati dalam perenungannya, adalah berjuang untuk melakukan perubahan diri dan masyarakat.
Hal ini membawa kita pada perenungan-perenungan lain. Ihram adalah perlambang persamaan derajat. Mina adalah tempat peristirahatan. Arafah adalah tempat berkumpul, mengorientasikan niat kita. Masy’aril Haram adalah tempat persiapan. Jamarat adalah perlawanan. Tawaf Ifadah mengingatkan kita bahwa hanya kepada Allah kita akan kembali. Sai adalah pelambang bahwa mungkin kita harus mengerahkan seluruh tenaga, dan bahwa pertolongan Allah itu dekat. Nashrun Minallah wa Fathun Qariib.
Haji mengajarkan kita untuk memulai dengan diri sendiri, dengan mensucikan diri, dengan ber-Ihram. Terkadang, sebagai generasi muda, dengan semangat yang berkobar-kobar, kita menyalakan ambisi untuk mengubah masyarakat, dengan jargon-jargon heroik semacam ‘pemimpin masa depan’ atau ‘agent of change‘ dan semacamnya. Kembali pada Ibrahim, kita dituntut untuk mawas diri: bahwa sebelum menjadi future leaders atau semacamnya, ber-Ihram-lah! Lepaskan semua kepentingan diri, perasaan lebih tinggi daripada manusia yang lain, sekat-sekat kelas sosial, dan serahkan semua pada Allah.
Pada titik ini, maknanya tidak hanya menjadi spiritual, tetapi juga sosial. Kita dituntut untuk menyadari bahwa diri kita bukan siapa-siapa. Dan ternyata tidak hanya terbatas pada hal-hal demikian. Ada godaan yang melunturkan niat ikhlas kita, yang juga harus kita lawan. Haji mengajarkan kita untuk melawan dan berjuang, dengan mengesampingkan nafsu. Itu saja bukan hal yang mudah, tentu saja.
‘Ala kulli hal, Haji mengajarkan bahwa upaya-upaya kita untuk mengubah masyarakat, tak bisa tuntas hanya dengan jargon. Ia membutuhkan perjuangan semua pihak. Haji, maka dari itu, adalah tempat pembelajaran. Belajar untuk berjuang menaklukkan diri sendiri, sebelum kemudian turun ke masyarakat dengan kompleksitas permasalahannya, berjuang melawan “syaithan” yang lebih nyata.
Dan bisa jadi syaithan-syaithan itu kini tidak lagi hanya berada pada ilusi Ibrahim. Ia mungkin sudah mewujud menjadi nyata, di tengah rumah-rumah yang tergusur, di tengah petani-petani yang kehilangan lahan, atau di tengah gedung-gedung pemerintah yang bergelimang suap dan penyalahgunaan anggaran. Tugas kita, hari ini, adalah mempersiapkan diri untuk jamarat yang lebih besar, yaitu melempar “batu” kepada setan-setan modern itu.
Nuun wal qalami wa maa yasthuruun.***
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah mahasiswa PhD di The University of Queensland – UQ, Australia