Kredit ilustrasi: Perempuan Mahardhika
KEKERASAN berbasis gender dalam relasi industri manufaktur masih menjadi isu yang terpinggirkan dalam wacana perburuhan Indonesia. Kajiannya sering ditempatkan pada analisis soal pemenuhan hak dasar (normatif) yang kaitannya hanya persoalan hubungan pengusaha- buruh. Padahal menyoal kekerasan berbasis gender sesungguhnya sangat problematis dan perlu tindak lanjut dalam lingkup kajian perburuhan.
Industri manufaktur di Indonesia merupakan sektor andalan penyumbang pendapatan ekspor non-migas terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan karet. Ekspor industri tekstil dan garmen nasional terus mengalami pertumbuhan sebesar 6,20% per tahun. Dalam hal ini, buruh perempuan merepresentasikan 70-80% dari total 3,1 Juta buruh yang bekerja di sektor manufaktur— utamanya garmen, tekstil, dan sepatu.
Jumlah buruh perempuan yang tidak sedikit, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan dari strategi perusahaan melakukan rasionalisasi produksi. Mundayat, Agustini, dan Maimunah pada tahun 2008 menyatakan bahwa buruh perempuan kerap dipahami sebagai elemen sosial yang diletakkan dalam relasi produksi semata. Kecenderungan perusahaan memilih buruh perempuan yang bekerja di pabrik seringkali lebih didasarkan pada sterotipe kultural, meletakkan perempuan dalam konstruksi gender yang dikaitkan dengan wacana domestik. Pelabelan dengan dalih buruh perempuan sebagai pekerja yang rajin, penurut, dan teliti— menjadi alasan untuk mempekerjakan buruh perempuan dalam relasi kerja yang timpang.
Kompetisi pasar yang semakin ketat juga mendorong perusahaan padat karya untuk berstrategi agar terus memperoleh keuntungan, salah satunya dengan cara: mempekerjakan buruh perempuan dalam suatu skema kontrak. Sejak tahun 2000-an, banyak perusahaan di Indonesia telah menerapkan mekanisme pasar tenaga kerja fleksibel (LMF/Labour Market Flexibility) melalui sistem alih daya pekerja (outsourcing). Peraturan tersebut sesungguhnya problematis sebab sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang menaungi posisi buruh kontrak. Laporan Forum Pendamping Buruh Nasional (FPBN) menunjukkan pada tahun 2005-2007, 62% dari 92 Pabrik di Tangerang dan Bekasi menggunakan tenaga buruh kontrak, yang mana 50% nya perempuan (Mundayat, 2008).
Sistem kontrak didasarkan pada asumsi bahwa mempekerjakan buruh perempuan secara tetap jauh lebih ‘mahal’ dibandingkan dengan buruh laki-laki, terutama bagi mereka yang telah menikah, sebab nantinya perusahaan berkewajiban memberikan hak maternitas seperti cuti kehamilan, cuti melahirkan, maupun cuti haid. Detil yang wajib dipenuhi itu tentu memerlukan biaya (cost) yang lebih besar. Selain itu, skema kontrak juga memungkinkan perusahaan melepas diri dari kewajiban membayar pesangon apabila buruh mengundurkan diri.
Dalam konstelasi lingkungan perburuhan di level pabrik, sulit untuk menciptakan posisi tawar bagi buruh perempuan. Kesulitan naik pangkat, menjadi salah satu contohnya. Seringkali kenaikan pangkat hanya bisa diakses oleh buruh laki-laki dengan asumsi yang tidak mendasar. Buruh perempuan dianggap tidak konsisten dalam bekerja, biasanya setelah menikah atau melahirkan, buruh perempuan akan mengundurkan diri, sehingga tidak perlu diberi kenaikan pangkat. Perbedaan akses ini berujung mendorong terjadinya perbedaan tingkat upah dan potensi pendapatan buruh perempuan terhadap buruh laki-laki.
Jumlah buruh perempuan yang sedemikian besar, skema kontrak, dan posisi tawar yang rendah, telah menciptakan permasalahan tersendiri bagi buruh perempuan yang jarang ditindaklanjuti secara serius. Peranan perempuan dalam melakukan perjuangan hak mereka pun seringkali masih tersubordinasi. Artikel berbasis riset ini merupakan upaya penulis mengkritisi wacana buruh perempuan dalam relasi industri, utamanya soal kekerasan seksual yang terjadi di Pabrik garmen dan tekstil di wilayah Cakung, Jakarta Utara dan Pabrik Sepatu di Kota Tangerang, Banten, Jawa Barat.
Buruh Perempuan dalam Konstelasi Wacana Perburuhan di Indonesia
Buruh perempuan meskipun secara jumlah paling besar, namun haknya jarang diperjuangkan oleh organisasi buruh di Indonesia. Serikat buruh bahkan belum menjadi tempat ideal bagi mereka untuk menyuarakan pendapatnya. Secara institusional, serikat lebih banyak diatur oleh buruh laki-laki. Terutama para pemegang jabatan struktural seperti pimpinan atau ketua divisi. Domestifikasi aktifitas buruh perempuan masih sering terjadi, misalnya ditempatkan sebagai divisi konsumsi.
Mengenai persoalan regulasi, wacana soal buruh perempuan belum menjadi isu utama. Misal soal cuti haid, yang dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 telah diatur. Namun, implementasi terhadap peraturan tersebut di lapangan masih sangat problematis. Untuk mengambil jatah cuti haid, pekerja harus menunjukkan kapas/celana dalam yang menunjukkan buruh yang bersangkutan sedang haid. Ironisnya, para buruh sendiri banyak tidak tahu-menahu soal regulasi cuti haid. Padahal faktanya, perempuan yang bekerja di industri sering mengalami cedera (tertusuk, teriris mesin pemotong)— dikarenakan kurang fokus ketika menahan nyeri haid. Beberapa dari mereka mengaku pernah menangis sebab harus berdiri sepanjang 8 jam (apalagi jika ditambah lembur)— bahkan ada pula yang pingsan sebab tidak kuat menahan nyeri haid.[1]
Hak cuti haid, hak maternitas, dan masalah penanggulangan kekerasan seksual gaungnya memang tidak sebesar bahasan soal regulasi upah, hubungan kerja, status kerja, tunjangan, dan permasalahan pemenuhan hak normatif lainnya. Bahkan, hingga saat ini, organisasi buruh seperti serikat sering memandang bahwa kekerasan seksual di dalam relasi industrial sebagai kasus tidak signifikan. Masalah tersebut dilihat sebagai ranah privat yang dianggap tidak memiliki urgensi tertentu untuk diadvokasi lebih jauh.
Kasus kekerasan dan pelecehan seksual—misalnya— jarang sekali dilaporkan oleh buruh kepada serikat. Hal ini pun berkaitan dengan pemahaman buruh soal konsep kekerasan seksual yang berbeda secara konseptual. Pun buruh yang memahami terma kekerasan seksual pun masih menganggap masalah seksualitas sebagai masalah personal yang bisa diselesaikan sendiri tanpa bantuan serikat sehingga tidak perlu dilaporkan. Jumlah yang dilaporkan oleh sebuah serikat di Jakarta bahkan tidak lebih dari dua laporan per tahun dalam skala nasional.
Pemahaman Kultural tentang Gender dan Seksualitas di Kalangan Buruh
Buruh perempuan, dalam relasi kerja industrial sering mendapatkan pelanggaran berganda (double violation) terkait haknya. Mereka mendapat pelanggaran hak sebagai pekerja perempuan secara khusus dan pelanggaran terhadap haknya sebagai pekerja secara umum. (Asia Floor Wage Alliance 2014). Buruh perempuan harus menanggung beban ganda— bahkan multiple burden, sebagai pengelola rumah tangga sekaligus menanggung beban finansial keluarga. Faktanya, sepertiga buruh perempuan merupakan pencari upah utama— bahkan satu-satunya dalam keluarga. Banyak dari suami para buruh ini tidak bekerja, atau bekerja serabutan sebagai buruh bangunan atau mengojek yang upahnya tidak tetap.
Membicarakan seksualitas pun menjadi hal yang masih dinilai tabu bagi buruh perempuan. Misalnya, ketika bicara soal kekerasan seksual dalam relasi industrial, pelaporan seringkali menuntut bukti yang konkret jika kasusnya ingin diusut tuntas. Namun, pengawalan terhadap kasus kekerasan seksual ini lantas menjadi sulit karena korban dan saksi bungkam ketika dimintai keterangan, sehingga proses tindak lanjut terhadap kekerasan seksual tidak pernah tuntas. Terlebih lagi, permasalahan kekerasan seksual seringkali dinarasikan sebagai sesuatu yang normal, wajar, sehingga tidak perlu dilebih-lebihkan sebab dianggap bisa diselesaikan secara personal (normalisasi). Kasus kekerasan seksual dianggap sebagai hal yang sudah biasa terjadi sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Meraba, mencium, menjadikan istri simpanan, meraba pantat, dan sebagainya bahkan telah menjadi hal yang sudah sangat biasa terjadi di lingkungan pabrik sehari-hari.
Jika melihat data yang telah dihimpun oleh LPM Mahardika tahun 2017 tentang kasus pelecehan seksual yang terjadi di KBN Cakung, Jakarta Utara, menunjukkan bahwa 56,5% buruh dari 773 responden menyatakan pernah mengalami pelecehan seksual baik secara verbal maupun non-verbal. Namun faktanya, 93,67% di antaranya menganggap pelecehan seksual yang terjadi sebagai hal wajar, atau menganggap perlakuan tersebut sebagai resiko kerja yang harus diterima. Normalisasi demikian berkaitan erat dengan bagaimana buruh perempuan memahami tubuh mereka, yang nantinya berhubungan juga dengan bagaimana buruh memaknai kekerasan yang mereka alami sebagai mekanisme untuk bertahan hidup.
Kredit foto: photo.sindonews.com
Kekerasan Berbasis Gender: Rasionalisasi dan Normalisasi demi Kepentingan Produksi
Kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap perempuan, didefinsikan dalam Konferensi PBB di Beijing tahun 1995 sebagai tindakan yang membahayakan dan mengancam perempuan, seperti tindakan pemaksaan dan perampasan kebebasan secara sewenang-wenang baik dalam ranah publik maupun privat (Russo and Pirlott 2006). Kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual mengacu pada tindakan yang tidak diinginkan, di mana tindakan tersebut berkaitan erat dengan norma dan relasi gender yang tidak setara. Tindakan tersebut meliputi kekerasan dan paksaan baik secara fisik, emosi, psikologis, seksual, dan dapat dilihat dalam keterbatasan akses terhadap hal tertentu. Kekerasan berbasis gender dan kekerasan seksual pada dasarnya dapat terjadi pada siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan (UNHCR 2016). Namun, relasi asimetris yang terbentuk antara laki-laki dan perempuan kemudian membentuk relasi gender yang tidak setara sebab pembagian kerja yang berbeda di mana perempuan dibebani peran domestik sementara laki-laki lebih berperan dalam wilayah publik. Shelley Budgeon (2014) menyebutnya sebagai male active dominance and female passive receptivity— laki-laki berperan sebagai pihak yang aktif-dominan, sedangkan perempuan dianggap pasif dan ‘menerima’. Hal tersebut menunjukkan bagaimana hegemoni patriarki dan relasi kuasa terbentuk. Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah kesehatan, ketimpangan gender, dan bentuk penindasan terhadap hak asasi manusia. WHO (World Health Organization) memperkirakan 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual, yang sebagian besar dilakukan oleh relasi terdekat (WHO 2017).
Memahami soal kekerasan berbasis gender dalam relasi industrial berarti perlu memahami bahwa terdapat bentuk, pola, dan arah yang bervariasi dalam rasionalisasi dan normalisasi terhadap bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender yang telah terjadi. Menilik lebih jauh, kekerasan yang terjadi dapat dilihat sebagai implikasi dari praktik politik produksi. Hal ini dapat dilihat dalam pembagian kerja yang juga di bagi berdasarkan gender. Misal di pabrik sepatu, pembagian kerja terdiri dari pengerjaan upper, menjahit (sewing), assembling, dan pergudangan. bagian pengerjaan upper dan penjahitan (sewing) yang seluruhnya terdiri dari perempuan, di bagian tersebut lah yang seringkali mengalami kejadian kekerasan seksual paling banyak. Atau paling sedikit, kejadian seperti ditampar atau dibentak atasan. Sementara di pabrik garmen yang terdiri dari bagian sewing, ironing, cutting, dan finishing, sebagian besar kasus intimidasi, tekanan, dan pelecehan seksual lebih banyak terjadi di bagian sewing sebab jumlah pekerjanya paling banyak dan paling di kejar target produksi harian paling besar.
Pelanggaran SOP (Standard of Operational Procedure) yang berada di wilayah kultural, seperti kekerasan seksual, jarang terjadi di pabrik yang sebagian besar buruhnya laki-laki. Pelanggaran kode etik lebih banyak berada di wilayah struktural seperti permasalahan PHK, upah, dan berbagai pelanggaran perusahaan yang bersumber dari kebijakan manajemen. Menurutnya, jarang pula terjadi kasus-kasus seperti dihukum berdiri, ditampar, atau mengalami kekerasan seksual baik secara vertikal (atasan) maupun horizontal (teman sebaya). Sementara dalam perusahaan yang karyawannya terdiri dari 80% perempuan, buruh laki-laki jarang mendapatkan perlakuan seperti di-strap (berdiri satu jam di tengah lapangan ketika melakukan kesalahan), atau mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari atasan (dijawil, dicium, dipeluk dari belakang saat sedang bekerja). Bahkan, seperti telah disinggung di awal bahwa perempuan jarang mendapat promosi kerja sebab perusahaan menganggap kebanyakan buruh perempuan akan memilih berhenti bekerja setelah menikah. Hal ini berimplikasi terhadap tingkat upah dan potensi pendapatan yang tidak setara antara buruh perempuan dan buruh laki-laki dalam relasi industri. Dalam kasus lainnya, perusahaan juga kerap mempersulit pekerja untuk mendapatkan cuti haid padahal peraturannya sudah diatur dalam Undang- Undang.
Cuti haid seringkali dianggap berlebihan dan dibuat-buat sehingga perusahaan tidak percaya pada pernyataan buruh yang hendak melakukan cuti haid. Kesulitan dan pembatasan yang dilakukan oleh perusahaan sangat berlapis, contohnya melalui skema izin yang berbelit, mulai dari akses ke dokter yang sulit (dokter klinik pabrik lebih memiliki tendensi untuk menolak buruh yang ingin melakukan cuti haid) hingga yang paling parah, buruh harus memperlihatkan celana dalam atau pembalut untuk meyakinkan perusahaan bahwa mereka betulan sedang haid.
Kasus lain, misalnya, terkait dengan pengabaian hak maternitas adalah mengenai hak cuti hamil. Buruh yang hamil tidak mendapatkan keringanan kerja melalui pengurangan target produksi. Yang menjadi problematis, pihak manajemen seringkali menyatakan bahwa lemburnya buruh hamil merupakan lembur sukarela (voluntary) dan tidak ada unsur paksaan sama sekali. Selain itu, banyak perusahaan garmen, tekstil, dan sepatu di Jakarta dan Tangerang, yang memberikan cuti hamil kepada pekerjanya, tetapi ketika masa cuti sudah berakhir, para buruh diminta untuk mengajukan surat lamaran baru dan dihitung bekerja dari awal (0 tahun). Bahkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika (2017), terungkap bahwa lingkungan kerja cenderung tidak ramah terhadap buruh hamil. 82,2% buruh tidak mendapat fasilitas fisik, 84,8% tidak mendapat kesempatan istirahat, dan 25,4% di antaranya masih mendapatkan wajib lembur. Bahkan, target skor tetap diberlakukan kepada buruh yang hamil apabila tidak memenuhi target harian. Hal tersebut pada akhirnya turut mendorong resiko terjadinya keguguran. Faktanya, 7 dari 93 buruh perempuan mengalami keguguran di tempat kerja. Ketika mengalami keguguran, buruh tidak diberikan cuti dan jika ia tidak masuk kerja maka akan dihitung membolos (yang lagi-lagi akan mengurangi upah).
Berdasarkan survey terhadap ibu hamil yang dilakukan oleh IndustriALL Global Union pada tahun 2014, sebanyak 44,3% responden menyatakan bahwa buruh perempuan yang sedang hamil tidak dipindahkan dari posisi kerja semula. Hal tersebut jelas meningkatkan resiko gugur kandung terutama bagi mereka yang sebelumnya bekerja dengan tingkat kesehatan dan keselamatan kerja yang rendah (IndustriALL Indonesia Council 2014). Sementara, sebuah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di sebuah perusahaan garmen di Jakarta Utara mengeluarkan peraturan yang sangat problematis, mengatakan bahwa karyawan wanita tidak diperkenankan hamil, dan bilamana karyawan wanita tersebut hamil, ia akan diminta mengundurkan diri dan pihak pertama tidak berkewajiban membayar ganti rugi apapun. Peraturan yang tentu saja menjadi bentuk pelanggaran terhadap hak reproduksi yang sekaligus melanggar hak asasi manusia.
Bentuk- Bentuk Kekerasan Seksual yang Terjadi dalam Relasi Industri
Berdasarkan temuan Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan 2016, menyebutkan bahwa sedikitnya terdapat 5002 kasus kekerasan seksual sepanjang tahun 2015 yang terjadi di ranah komunitas— di mana pelaku dan korban tidak memiliki hubungan kekerabatan darah atau perkawinan. Kekerasan seksual menempati angkat tertinggi sebanyak 61% meliputi perkosaan (1.657 kasus), pencabulan (1.064 kasus), pelecehan seksual (268 kasus), dan kasus lainnya. (Komnas Perempuan 2016).
Kasus yang paling sering terjadi dalam relasi industri adalah pelecehan seksual yang dilakukan baik yang sifatnya vertikal (relasi pekerja dengan atasan) maupun horizontal (relasi pekerja dengan pekerja/sesama buruh). Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang terjadi di pabrik sangat bervariasi, mulai dari bentuk pelecehan seperti disiul, digoda, dicolek, diremas, hingga dijadikan istri simpanan oleh atasan perusahaan. Berdasarkan dari data yang dihimpun dari berbagai pembicaraan dan forum grup diskusi yang dilakukan selama penelitian, terdapat berbagai bentuk, pola, dan arah yang bervariasi dari kekerasan seksual yang terjadi. Sebagian besar mereka alami sendiri, sebagian lainnya mereka dapatkan melalui pembicaraan informal dengan sesama buruh. Bentuk-bentuk kekerasan non-fisik meliputi menggoda, menyiul, membentak, candaan bernada seksual secara langsung maupun melalui pesan elektronik, dan bahkan mengirimkan foto tidak senonoh melalui pesan elektronik. Kekerasan fisik meliputi menjepret, mengelus punggung, percobaan perkosaan, meraba payudara dan pantat, mencolek, meremas payudara dari belakang, dan mengintip pakaian dalam merupakan hal-hal yang sudah biasa terjadi di lingkungan pabrik. Temuan dari People’s Tribunal tahun 2014 melaporkan bahwa dari berbagai negara menunjukkan terjadinya banyak keluhan mengenai pelecehan seksual di tempat kerja, baik dilakukan pengawas maupun petugas keamanan. Namun sayangnya, para pelaku tidak tersentuh hukum sama sekali. (Asia Floor Wage Alliance 2014).
Normalisasi Kekerasan Seksual Sebagai Mekanisme Pertahanan Buruh
Ketika memahami berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan di lingkungan kerja industrial, pada dasarnya kita pun perlu untuk melihat perlawanan yang dilakukan oleh buruh setiap hari sebagai bentuk reaksi— atau jika meminjam istilah yang dikemukakan oleh Erni Agustini (2008)— merupakan ‘mekanisme bertahan’ buruh perempuan terhadap perlakuan yang tidak diinginkan, bahkan merendahkan martabatnya sebagai manusia. Perlawanan tersebut dapat meliputi penghindaran, penolakan secara halus (implisit, misal dengan kata-kata sopan), penolakan secara ofensif (misal marah, menepis, menghindar secara langsung), menegur secara langsung, atau melapor ke bagian controlling di pabrik. Hal tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya para buruh sebenarnya merasa terganggu dan tidak nyaman dengan berbagai perlakuan kasar dan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender atau kekerasan seksual yang mereka alami. Namun perlawanan tersebut dilakukan secara individual, sebagai mekanisme personal. Mekanisme dalam tataran demikian sebenarnya menjadi problematis ketika dilihat dalam cakupan yang lebih luas, misalnya dalam bentuk advokasi dan kampanye sistematis dan meluas.
Oleh karena itu, pendidikan dan pemahaman terhadap perspektif gender nampaknya menjadi hal penting yang harus dilakukan demi menciptakan kesadaran kritis buruh perempuan terhadap hak, posisi tawar, perspektif gender, pun pemahaman terhadap hak seksualitas mereka. Advokasi terhadap hak-hak buruh perempuan menjadi penting untuk digalakkan, pun dengan pendidikan perspektif gender dalam rangka meningkatkan posisi tawar dan peranan buruh perempuan baik di level organisasi, serikat, maupun di level relasi industrial yang lebih luas, atau bahkan di luar itu, misal dalam keluarga. Edukasi mengenai perspektif gender kepada buruh perempuan dilakukan agar perempuan memiliki pernyataan diri (self-statement) mengenai hak mereka sebagai buruh perempuan serta memahami tubuhnya dalam wacana gender dan seksualitas. Terbangunnya kesadaran buruh perempuan secara langsung dan tidak langsung akan meningkatkan posisi tawar mereka dalam lingkungan kerja dan relasi industri secara menyeluruh.
Idealnya, permasalahan mengenai hak buruh perempuan di jadikan salah satu agenda utama dalam kampanye dan advokasi perburuhan di Indonesia, untuk diperjuangkan secara setara dengan isu-isu seperti permasalahan upah, tunjangan, hubungan kerja, jam kerja yang panjang, sistem kerja, dan lain sebagainya. Kemudian, meningkatkan solidaritas di antara buruh secara umum dan buruh perempuan secara khusus agar permasalahan tentang buruh perempuan ini dapat menyebar, meluas, dan secara bersama-sama mampu menekan perusahaan dan pemerintah untuk menyusun dan menerapkan peraturan-pertauran yang dapat menghukum pelanggaran terhadap hak buruh perempuan secara tegas. Serikat buruh, organisasi, LSM, dan stakeholders terkait harus mulai menyadari bahwa isu buruh perempuan merupakan isu yang penting untuk diangkat dalam wacana dan agenda perburuhan di Indonesia, serta menangani permasalahan tersebut secara terorganisir, sistematis, komperehensif, dan konsisten.***
Eliesta Handitya adalah mahasiswa tingkat tiga S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada.
Kepustakaan :
Agustini, Erni. 2008. “Sistem Perburuhan dalam Kaitan dengan Kesejahteraan Buruh Perempuan Kasus Buruh Perempuan di Kawasan Jababeka.” In Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan, by Aris Arif Mundayat, Erni Agustini and Margaret Aliyatul Maimunah, 105-138. Jakarta: Women Research Institute.
Amnesty-International. 2004. It’s in Our Hands : Stop Violence Against Women. research, narration, and guidelines, Oxford, United Kingdom: Amnesty International Publications.
Asia Floor Wage Alliance, AFWA. 2014. Temuan dan Putusan Indonesia People’s Tribunal : Upah dan Kondisi Kerja yang Layak Bagi Buruh Garmen Sebagai Hak Fundamental. People Tribunal, Jakarta: Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPSedane).
Budgeon, Shelley. 2014. “The Dynamics of Gender Hegemony: Femininities, Masculinities and Social Change.” Sociology, Vol. 48, No. 2 317-334.
Dahana, Bambang T., Abu Mufakhir, and Syarif Arifin. 2016. Dari Mana Pakaianmu Berasal? Jakarta: Lembaga Tanah Air Beta dan Clean Clothes Campaign.
Dewan Kesenian Jakarta. 2017. Proyek Seni Perempuan Perupa Dewan Kesenian Jakarta : Relasi Industri terhadap Buruh Perempuan. Catalog, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta Jakarta Arts Council.
IndustriALL Indonesia Council, Komite Perempuan. 2014. Manual Perjanjian Kerja Bersama Bagi Pekerja/Buruh Perempuan. Survey Research and Guidelines, Jakarta: IndustriALL Global Union.
Mahardhika, Perempuan. 2017. Infografik Hasil Penelitian Pelanggaran Hak Maternitas di KBN Cakung. Infografik, Jakarta: Perempuan Mahardhika.
Maimunah, Margaret Aliyatul. 2008. Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota : Balada Buruh Perempuan. Jakarta: Women Research Institute.
Maimunah, Margaret Aliyatul. 2008. “Kesadaran Tentang Perlindungan Kesehatan Reproduksi Kasus Buruh Perempuan di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Tanjung Priok.” In Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota : Balada Buruh Perempuan, by Aris Arif Mundayat, Erni Agustini and Margaret Aliyatul Maimunah, 67-104. Jakarta: Women Research Institute.
Mundayat, Aris Arif. 2008. “Moral Ekonomi Perempuan Pabrik: Dinamika Kehidupan di Tempat Kerja.” In Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota : Balada Buruh Perempuan, by Aris Arif Mundayat, Erni Agustini and Margaret Aliyatul Maimunah, 1-34. Jakarta: Women Research Institute.
Mundayat, Aris Arif, Erni Agustini, and Margaret Aliyatul Maimunah. 2008. Bertahan Hidup di Desa atau Tahan Hidup di Kota : Balada Buruh Perempuan. Jakarta: Women Research Institute.
Perempuan, Komnas. 2016. Catatan Tahunan Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan . Catatan Tahunan, Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Russo, Nancy Felipe, and Angela Pirlott. 2006. “Gender-Based Violence: Concepts, Methods, and Findings.” Department of Psychology 178-205.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Organisasi Perburuhan Internasional. 2011. Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Diterbitkan berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. SE.03/MEN/IV/2011
Artikel Daring :
WHO, World Health Organization. 2017. World Health Organization : Programmes. November 24. Accessed May 23, 2018. http://www.who.int/reproductivehealth/topics/violence/vaw-health-systems- manual/en/.
UNHCR, The UN Refugee Agency. 2016. UNHCR : Sexual and Gender Based Violence. 2016. Accessed May, 2018. http://www.unhcr.org/sexual-and-gender-based- violence
———–
[1] Studi Kasus yang dilakukan di Serikat Buruh di Cikupa, Tangerang, Banten, Jawa Barat.