Wahyu dan Realitas Material

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi:  ArtWay.eu

 

“….dan aku selalu mengingat kamu dalam doaku, dan meminta kepada Allah Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Bapa yang mulia itu, supaya Ia memberikan kepadamu Roh hikmat dan wahyu untuk mengenal Dia dengan benar. – Efesus 1:17”

 

TULISAN ini bermaksud untuk melanjutkan tema seputar wahyu (revelation) atau penglihatan dalam tradisi Kekristenan. Wacana ini telah disinggung dalam artikel Kristen Progresif sebelumnya[1]. Dalam tulisan itu, kita melihat bagaimana Allah bekerja dalam realitas sosial dan historis. Dikatakan selanjutnya, wahyu berperan sebagai alat intervensi Allah.

Tulisan kali ini bertujuan mengajak kita merefleksikan lebih lanjut soal wahyu itu sendiri. Khususnya, perenungan mengenai relevansinya bagi mereka yang memakai kacamata materialis-ilmiah sebagai metode berpikir. Mereka, yang bisa dikatakan,  ”alergi” dengan hal-hal yang bernuansa ilahi. Misalnya, kita sebut saja wahyu, agama, roh, atau bahkan tuhan.

Upaya untuk mendamaikan yang materi dengan yang rohani (idealisme) memang susah-susah-gampang. Apalagi, bagi seorang marxis sejati yang memeluk erat materialisme dialektika. Namun, menjadi seorang materialis bukan berarti kita menyangkali atau membuang berbagai wacana idealisme. Pasalnya, ide-ide tersebut hadir dan turut membentuk kenyataan material yang ada di sekitar kita. Jadi, menutup mata dan mengabaikan begitu saja, tidak akan membantu kita dalam memahaminya realitas seutuhnya.

Ada sebuah artikel lawas  dan menarik dari rubrik Logika karangan Dede Mulyanto[2], kiranya bisa menolong kita masuk dalam percakapan ini. Dengan jenaka, dia mencoba menawarkan sebuah cara pandang dalam memahami hal-hal ”gaib” secara material. Entah itu han-tu maupun tu-han. Tulisan ini akan mencoba menggunakan pendekatan serupa. Tulisan ini ingin mendedahkan dimensi material dari beberapa kisah-kisah populer dalam Alkitab. Secara spesifik, cerita seputar wahyu dan penglihatan

Poin pertama adalah Allah sangat realis dalam berkomunikasi dan menyampaikan pesan kepada umat-Nya. Dia hampir selalu menggunakan gambaran atau metode yang relevan sekaligus dipahami oleh para subjek-Nya. Cara Dia mewahyukan diri selalu dekat dengan konteks material zamannya masing-masing.

Misalnya, dalam salah satu kisah pewahyuan paling pertama dalam Alkitab. Kisah itu bercerita tentang Allah memanggil Abraham (Kejadian 12:1—8). Di situ diceritakan, Allah menjanjikan Abraham sebuah tanah perjanjian. Sebuah daerah yang kelak akan diduduki dan dikuasai keturunannya. Bahkan, di tanah itu, keturunannya kelak akan menjadi sebuah bangsa.

Dalam kisah ini Allah tidak sekedar menunjukkan lokasi yang abstrak. Sebaliknya, Dia menuntun umat-Nya dengan batasan spesifik, jelas, dan terukur. Kejadian 15:18—21 merinci semuanya dengan tegas.

Selanjutnya, dalam janji-Nya mengenai jumlah keturunan Abraham yang sangat banyak. Dalam hal ini, Allah menggunakan gambaran yang materialis sesuai konteks pengetahuan zaman Abraham. Allah menganalogikan keturunan itu akan sebanyak bintang di langit (Kejadian 15:5). Artinya, wahyu itu dapat diamati secara kasar dengan mata telanjang. Abraham bisa mengimajinasikan maksud Allah dengan jelas. Allah tidak menggunakan bahasa yang asing di telinga Abraham. Sederhananya, Tuhan tidak memakai istilah teknis yang rumit,  seperti bakteri di atmosfir atau notasi matematis 1E9 dan ∞.  Jika Allah menggunakan bahasa ini, Abraham pasti tidak akan memahaminya. Pasalnya, istilah ini belum dikenal oleh Abraham di zaman itu.

Ada kisah populer pewahyuan lain, seperti Yusuf dan mimpi Firaun Mesir (Kejadian 41). Lewat mimpi, Allah memberi peringatan tentang bencana kelaparan di Mesir. Allah mengomunikasikannya lewat benda-benda yang akrab dengan masyarakat di sana. Allah menghantarnya dengan gambaran bulir gandum dan lembu. Uniknya, Tuhan tidak menggunakan tiwul dan sapi holstein sebagai perantara.

Pada era Perjanjian Baru, Petrus mendapatkan penglihatan makanan-makanan yang haram (Kisah Para Rasul 10). Penglihatan yang didapatkan Petrus tentu relevan dengan konteksnya sebagai orang Yahudi. Kita semua tahu; mereka memiliki aturan halal-haram yang jelas.

Contoh-contoh ini menggambarkan bahwa Allah kerap berkomunikasi lewat realitas material. Sesuatu yang sangat relevan dengan para pendengar-Nya, meskipun pada zaman yang berbeda-beda.

Poin kedua, Allah tidak memberikan wahyu hanya agar dapat diterjemahkan dalam realitas material. Apalagi, jika wahyu itu dijadikan sekedar pengumuman, pengetahuan, atau ‘wangsit’ pribadi belaka. Lebih dari itu, wahyu Allah selalu diikuti dengan respons dari subjeknya. Dalam hal inilah, subjek berperan sebagai agen dari intervensi Allah—yang berpihak dalam sejarah.

Jadi, bukan hanya wahyu-Nya saja yang material. Akan tetapi, wahyu itu menuntut tindakan dari agen-agen penerimanya. Tindakan itu menjadi sejenis kerja yang memberikan dampak pada dunia material.

Wahyu kepada Abraham (Kejadian 12, 15) berujung pada migrasi suatu bangsa ke daerah baru. Wahyu kepada Yusuf (Kejadian 41) ditindaklanjuti dengan manajemen pangan. Bahkan, itu cikal bakal migrasi keluarga Yakub, yang kelak akan menjadi Israel di Mesir. Wahyu kepada Musa (Keluaran 3) membawa Israel keluar dari Mesir ke daerah Palestina kuno. Kemudian, mereka akan memerangi bangsa-bangsa di sana (Ulangan 1). Wahyu kepada Petrus (Kisah Para Rasul 10) berujung pelayanan para rasul kepada orang non-Yahudi. Wahyu kepada Paulus (Kisah Para Rasul 9) membawanya memimpin pergerakan Kekristenan yang baru. Kemudian, gerakan itu akan bertumbuh terus. Selanjutnya, kita mengetahui bahwa Paulus menjadi salah satu tokoh terpenting Perjanjian Baru. Padahal, dia bukan bagian dari kedua belas rasul pengikut Yesus. Pendeknya, sebuah entitas transenden (sabda Allah) bermetamorfosa dalam wujud material (praksis historis).

Mungkin, gambaran paling sempurna dari hal ini adalah Yesus itu sendiri. Dia adalah Anak Allah yang mewujud dalam materi (berinkarnasi) dalam rupa seorang manusia (Fil. 2:7). Dialah Sang Logos yang sudah menjadi daging dan diam di antara kita (Yoh. 1:1,14).

Poin ketiga, berhubungan dengan relevansi material dari wahyu dan konsekuensi praktisnya. Wahyu Allah tidak hanya diturunkan pada orang-orang beriman saja. Intervensi Allah dalam sejarah tidak hanya melalui orang Yahudi atau Kristen. Akan tetapi, wahyu itu bisa menghampiri siapa saja dalam kondisi zamannya masing-masing. Tujuan utamanya, tentu saja untuk melakukan pekerjaan yang dikehendaki Allah.

Dalam Perjanjian Lama, misalnya, Raja Nebukadnezar, dari Babilonia, menerima ilham Allah. Lewat wahyu itu, Allah memerintah dia untuk menghukum dan menaklukkan kerajaan Yehuda. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, Allah menyuruh untuk menghancurkan bait Allah di Yerusalem (2 Raja-raja 25). Wahyu Allah juga datang kepada Koresh, raja Persia. Wahyu itu untuk memulangkan kembali bangsa Israel dan membangun Bait Allah (2 Tawarikh 36).

Poin terakhir, mungkin, menjadi yang paling relevan buat kita saat ini. Sebuah konteks dimana “tuhan” dianggap sudah mati. Pertanyaan dasarnya, “Masihkah ada intervensi-Nya dalam gerak sejarah lewat agensi-agensi yang terilhami wahyu-Nya?”

Mengenai ini, Roland Boer, seorang teolog progresif, mengemukakan pandangan yang menarik dalam tulisannya[3]. Menurutnya, Karl Marx menjadi agensi penting dari Allah di dunia ini lewat pemahaman revolusionernya. Boer beranggapan bahwa Marx meneruskan semangat pembaharuan dari Martin Luther, Bapak Reformasi Protestan. Pasalnya, wahyu selalu bersifat mengintervensi, bahkan menginterupsi kenyataan. Wahyu akan menata ulang setiap tatanan yang lari dari semestinya. Dengan kata lain, semangat wahyu selalu bersifat revolusioner. Entah kebetulan atau tidak, Marx juga mengusung semangat itu.

Wahyu Allah senantiasa berkenaan dengan realitas material. Ia turun untuk menginspirasi pekerjaan-pekerjaan material. Ia juga dapat mengilhami siapa saja, tanpa terkecuali Karl Marx sekalipun. Dengan demikian, sebuah pertanyaan baru menjadi terbuka. Masih adakah kemungkinan bagi para penganut materialisme, hari ini, untuk memandang wahyu secara kritis? Bisakah wahyu, yang bernuansa religius, menjadi ilham untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan progresif?***

 

Timothy Radhitya adalah pegiat Diskusi Selasaan dan Rabuan Gereja Komunitas Anugerah – Reformed Baptist Salemba

 

————-

[1] Ekuator, Dono. 2018. Wahyu Sebagai Misi Pembebasan Kaum Tertindas. Indoprogress. https://indoprogress.com/2018/07/wahyu-sebagai-misi-pembebasan-kaum-tertindas/. Diakses 9 Agustus 2018.

[2] Mulyanto, Dede. 2015. Marxisme dan Hantu. Indoprogress. https://indoprogress.com/2015/03/marxisme-dan-hantu/. Diakses 9 Agustus 2018.

[3] Boer, Roland. 2011. The New Luther? Marx and the Reformation as Revolution. Monthly Review Online. https://mronline.org/2011/01/18/the-new-luther-marx-and-the-reformation-as-revolution/. Diakses 9 Agustus 2018.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.