Kredit ilustrasi: Dakwatuna
BELAKANGAN ini di media sosial –Facebook maupun Instagram— dihebohkan oleh poster yang mengajak publik untuk mengikuti Kelas Poligami dan menjamin “cara kilat dapat 4 isteri”. Kelas ini diselenggarakan oleh Forum Poligami Indonesia (FPI) dan mereka tidak tanggung-tanggung mematok harga Rp 3,5 juta pada peserta seminar. Menurut panitianya, Kelas Poligami dibuka di Jakarta, Bandung, Surabaya, Pekanbaru, Lampung, Makassar, dimana para pendaftar dikelola melalui grup Whatshap dan lokasi kelas dirahasiakan atas dasar bahwa isu ini sensitif.[1] Pengajar di kelas itu adalah praktisi poligami, dan peserta dijamin kerahasiaannya. Dalam poster Kelas Poligami tertulis hastag freekaos*2019tambahisteri.[2]
Menjadi pertanyaan mengapa berdiri sebuah institusi untuk mensosialisasikan poligami seperti FPI itu? Mengapa poligami itu menjadi praktik sosial sampai zaman modern, dan bahkan pos-modern?
Poligami, Keluarga dan Akumulasi Kekayaan
Pengertian poligami (Greek: poly=banyak, gamous=kawin) sesungguhnya mempunyai definisi operasional yang berbeda-beda menurut sejarah perkembangan masyarakat. Dalam studi tentang Polygamy: A Cross Cultural Analysis (2008), Miriam Zeitzen menjumpai tiga bentuk poligami secara lintas budaya, yaitu polygyni (Greek: poly=banyak, gyn= perempuan, yaitu seorang laki-laki yang mempunyai isteri lebih dari seorang), polyandry (Greek: poly=banyak, andros=laki-laki, yaitu seorang perempuan yang mempunyai suami lebih dari seorang), dan polygynandri (Greek: poly=banyak, gyn=perempuan dan andros=laki-laki, yaitu perkawinan kelompok yang berbentuk poligini dan poliandri). Dengan demikian jika kita menggunakan istilah poligami berarti mengandaikan ketiga bentuk perkawinan tersebut dipraktikkan.
Lebih lanjut Zeitzen berpendapat bahwa sesungguhnya poligami tidak memiliki dasar yang homogen dan kaku sepanjang masa. Sebab, dalam perkembangan masyarakat yang semakin plural dan urban, arti poligami tidak sepenuhnya merupakan praktik sosial, tetapi telah mengkristal sebagai ideologi yang tersembunyi. Seturut perkembangan masyarakat itu pula, praktik poligami didominasi oleh ideologi patriarki hingga yang dibenarkan secara ekonomi-politik dan sosial-budaya (termasuk agama) hanya model poligini. Zeitzen memberi contoh praktik poligini di kalangan pemeluk Kristen Mormon di AS sebagai bagian dari menjalankan norma kepercayaannya. Dalam pengamatan penulis, di kalangan pemeluk Islam di Arab maupun Indonesia juga mempraktikkan poligini sebagai bagian dari menjalankan norma kepercayaannya. Di Desa Kedung Banteng, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ada kawasan disebut Jalan Wayoh (Jawa: wayoh artinya praktik permaduan atau poligini) yang kebanyakan warganya mempraktikkan poligini. Sayang sekali belum diketahui sejarah poligini di Jalan Wayoh ini.[3]
Dalam pelbagai penelitian antropologi yang dirujuk Zeitzen, ditemukan asal usul poligami ketika perkawinan (hubungan seksual) diformalkan sebelum agama monotheis datang. Dasar formalisasi perkawinan itu dapat kita pelajari pada temuan Lewis H. Morgan (Engels, 1884), seorang antropolog yang selama puluhan tahun meneliti tentang keluarga, kepemilikan pribadi dan negara. Morgan menemukan adanya korelasi poligami dengan akumulasi kekayaan (property) dari tingkat yang masih sederhana (cair) hingga menjadi terinstitusi. Pada zaman Savagery (“Kebuasan”) perkawinan poliandri dan poliginandri menjadi praktik sosial yang mendahului poligini dan monogami. Pada masa perkawinan poliandri maupun poliginandri, model ‘keluarga’ yang berkembang adalah “keluarga ibu”, di mana “ibu” menjadi pusat kelompok (komune). Poliginandri itu sendiri berlangsung dalam relasi kelompok yang terbuka (belum menjadi konsep keluarga), dimana setiap perempuan menjadi milik bersama laki-laki dan setiap laki-laki menjadi milik bersama perempuan (disebut juga unregulated sexual relation).
Komune atau “keluarga ibu” mengandalkan hidup dari pengumpulan bahan makanan (meramu) dan berburu. Dalam waktu cukup lama corak produksi meramu dan berburu bertransformasi ke pertanian dan peternakan. Ibu menjadi pusat dalam corak produksi pertanian, sedangkan laki-laki menggembala binatang. Engels (1884) merekonstruksi temuan Morgan dan Johann J. Bachofen bahwa “keluarga ibu” kemudian diruntuhkan oleh terbentuknya “keluarga ayah”. Itu artinya laki-laki menjadi pusat keluarga yang mengendalikan produksi pertanian dan peternakan (penggembalaan ternak). Dalam hipotesis saya ketika keluarga ayah telah meruntuhkan keluarga ibu maka kendali ibu yang riil atas pertanian ditransendensikan menjadi simbol yang dinarasikan dalam bentuk mitos. Contoh, komunitas agraris di Jawa (pun Sunda) memuja Dewi Sri sebagai simbol yang menaungi proses produksi pertanian. Komunitas agraris di Maluku Tengah mengenal Ina Nunusuke (sebuah pegunungan di Pulau Seram) sebagai simbol ibu yang menaungi pertanian mereka. Pun Orang Yunani memuja Dewa Gaia (bumi) sebagai simbol yang melahirkan mereka Ada.
Menurut Bachofen (Engels 1884) keluarga ayah dibentuk berdasarkan perkawinan pasangan. Bentuk perkawinan pasangan berbeda dengan poliginandri dalam pola hubungan promiskuitas (unregulated sexual relation). Bachofen menemukan pasangan perkawinan yang terdiri dari seorang laki-laki mempunyai pasangan banyak perempuan yang tinggal bersama sebagai pasangan seksual tetap untuk jangka panjang maupun pendek. Pasangan ini kemudian membangun rumah tinggal dan beranak-pinak sehingga terbentuk semacam keluarga patriarkhal poligini. Keluarga patriarkhal poligni itu mengatur pewarisan kekayaan dari ayah kepada anak laki-laki yang selanjutnya membentuk “garis ayah” (patrilineal). Maka perkembangan poligini berkorelasi dengan akumulasi kekayaan, karena banyak isteri mengandaikan banyak anak dan seluruhnya ini merupakan kekuatan produktif untuk memperluas lahan pertanian. Ester Boserup ketika meneliti tentang peranan perempuan dalam sistem pertanian di Afrika, masih menemukan praktik poligini untuk membangun ekonomi poligini (Boserup, 1970). Pun di Jawa popular adanya pemeo “banyak anak banyak rejeki” yang mengandaikan banyak isteri sebagai norma untuk menciptakan kekuatan produksi. Sementara pada masa “keluarga Ibu”, gagasan akumulasi kekayaan belum tumbuh sebagai kepemilikan keluarga yang berbasis perkawinan pasangan, hingga belum mengenal tentang pewarisan.
Pendisiplinan Seksualitas Perempuan
Ayah dalam perkawinan pasangan poligini menuntut kedisiplinan isteri agar tidak melakukan perselingkuhan dengan laki-laki yang bukan pasangannya. Maka “kebudayaan ayah” atau patriakh itu kemudian menciptakan aturan-aturan untuk mendiplinkan seksualitas dan tubuh perempuan. Imaginasi keluarga patriakh poliginis cukup beragam dalam menciptakan mitos, regulasi, dan istilah “dosa” untuk mendisiplinkan seksualitas perempuan agar hanya bersetia pada laki-laki pasangan tetapnya.
Bachofen menemukan bahwa dalam keluarga patriarkhal yang poliginis, diciptakan nilai kesucian perempuan yaitu penyerahan dirinya kepada “yang transenden” sebelum menjadi pasangan seorang suami. Bachofen menemukan hal itu di masyarakat Babylonia atau Timur Tengah lainnya (juga India), bahwa seorang gadis harus diserahkan kepada kuil suci di mana mereka harus mempraktikkan hubungan seksual bebas sebelum diizinkan untuk berkawin dengan seorang pasangan laki-laki. Laki-laki yang memiliki kekayaan karena posisi kelasnya boleh “membeli” sekian banyak gadis dan menjadikannya sebagai kepemilikan pribadi di dalam rumah tangganya untuk pelayanan seksual dan memproduksi anak-anak. Jika kedapatan perempuan itu berhubungan seksual dengan laki-laki nonsuami maka ia dianggap bernoda dan patut diberi sanksi.
Nilai kesucian perempuan itu akan dihubungkan dengan nilai kesuburan perempuan dan terutama kemampuannya melahirkan anak laki-laki sebagai pewaris kekayaan keluarga. Nilai kesucian perempuan didisiplinkan dalam bentuk “sunat perempuan” (sunat clitoris perempuan) yang hal ini telah menjadi praktik kuno di pelbagai kebudayaan di dunia dan mendapat legitimasi oleh agama Yahudi, Kristen dan Islam. Sunat perempuan dimaksudkan untuk mengontrol hasrat seksual perempuan dan menjaga “kesuciannya”. Praktik kuno ini rupanya tak kunjung hilang sampai abad milenial ini meski gerakan perempuan dan hak asasi manusia telah berupaya untuk melawannya. Sampai pada 2016, Indonesia merupakan negara peringkat ketiga di dunia –setelah Mesir dan Etiopia—yang mempraktikkan sunat perempuan[4].
Pendisiplinan seksualitas perempuan dalam perkembangannya diformalkan dalam bentuk regulasi kerajaan maupun negara. Agama Kristen pada Abad Pertengahan termasuk yang banyak menciptakan aturan formal untuk mengontrol seksualitas perempuan atas dasar anggapan bahwa perempuan (dalam Kisah Adam dan Hawa) adalah pembawa dosa asal (Lloyd 1983). Adapun dalam tradisi imperium Jawa, kontrol terhadap seksualitas dan kesucian perempuan ditulis dalam Suluk Tambangraras (Serat Centhini) yang digubah oleh Yasadipura II, Ranggasutrasna, dan R. Ng. Sastradipura atas perintah K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V pada abad 19. Di situ digambarkan tentang perempuan yang buruk yaitu yang tidak mampu mengontrol hasrat seksualnya, dan tentang perempuan yang baik yaitu yang menjaga kesuciannya sampai malam pertama disenggamai oleh suaminya. Pun agama-agama monotheis juga menciptakan aturan agar perempuan menjaga kesucian (keperawanan) sampai suami yang sah memerawaninya. Bagi perempuan yang tidak dapat menjaga kesuciannya sebelum pernikahan yang disahkan oleh agama dianggap ber”dosa”. Kerajaan Inggris pada masa Ratu Victoria (1837-1901) juga mengeluarkan regulasi yang mengontrol moralitas seksual warganya, termasuk kesucian perempuan.
Pada masa reformasi di Indonesia, gagasan untuk mengontrol seksualitas perempuan pernah diusulkan oleh anggota DPRD Provinsi Jambi. Mereka mengusulkan dibuatkan peraturan daerah untuk uji keperawan bagi siswi yang akan masuk SLTP dan SLTA. Gagasan itu telah diprotes oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan, Linda Gumelar, pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.[5]
Poligini Dalam Masyarakat Kapitalis
Di atas telah diuraikan bahwa dasar perkawinan poligini berkorelasi dengan akumulasi kekayaan dan munculnya keluarga patriarki. Keluarga patriarki itu sendiri dapat diartikan sebagai organisasi reproduksi untuk menciptakan tenaga produktif dan akumulasi kekayaan. Sementara itu muncul model perkawinan monogami, yang menurut Engels (1884) mengandung tujuan untuk memperkuat supremasi suami di dalam keluarga perkawinan pasangan.
Gagasan perkawinan monogami telah lahir sejak zaman Yunani Kuno tetapi tidak dalam maksud sebagai perkawinan pasangan yang langgeng. Dalam tradisi raja-raja, mereka melakukan perkawinan monogami dengan perempuan yang sederajat kebangsawanannya (permaisuri), tetapi kemudian raja-raja itu dibenarkan untuk mengumpulkan selir-selir sebagai pasangan seksual temporer. Pada masa Kristen Roma, perkawinan monogami diformalkan sebagai perkawinan suci yang langgeng untuk mengontrol habitus poliginis di kalangan laki-laki. Sementara Islam lebih memberikan kelonggaran untuk perkawinan poligini terbatas.
Pada masyarakat kapitalis, perkawinan poligini telah bergeser ke perkawinan monogami dan peran ayah pun menjadi pengontrol istri dan anak agar dapat berfungsi sebagai tenaga produktif kapitalis (bukan lagi tenaga produksi keluarga). Praktik poligini menjadi beban berat bagi keluarga pekerja (baik yang di kantoran, profesional maupun buruh pabrik-perusahaan jasa), karena upah suami tidak cukup untuk menghidupi sekian banyak isteri dan anak. Tetapi bukan berarti praktik poligini hilang, melainkan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki kelas menengah ke atas yang kekayaannya melebihi rata-rata. Laki-laki yang memiliki karier atau jabatan tinggi dan tentu saja penghasilannya pun meningkat pada umumnya berpoligini. Pejabat, politisi dan pengusaha di Indonesia saat ini kedapatan mempraktikkan poligini setelah memperoleh jabatan politik yang tinggi.
Seorang pengusaha di Indonesia yang berbisnis Ayam Goreng “Wong Solo”, Puspo Wardoyo, melakukan poligini untuk mengakumulasi kapital, dimana setiap isteri dipergunakan sebagai manager untuk mengurus bisnis-bisnisnya di beberapa kota. Lalu cukup banyak politisi di partai-partai politik, contohnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang melakukan poligini.
Di kalangan laki-laki kelas pekerja metropolitan seperti Jakarta saat ini, praktik poligini dilakukan rakyat pekerja untuk survival bagi diri pribadinya. Mereka melakukan poligini justru untuk meringankan bebannya sebagai kepala keluarga. Ada banyak contoh di Jakarta, laki-laki kelas pekerja (buruh serabutan, tukang ojek, buruh pabrik, dll) berpoligini agar dapat menumpang makan pada isteri-isterinya tersebut. Isteri-isteri itu bekerja keras mencari nafkah dan mengurus anak, sedangkan suami-suami itu minta diurus secara seksual dan ekonomi oleh isteri-isterinya itu. Mengapa para perempuan itu bersedia dipoligini oleh laki-laki yang mencari survival pada dirinya? Saya pernah bertanya kepada isteri nomor tiga seorang tukang ojeg bahwa ia menikah untuk menutupi status dirinya sebagai janda. Menurutnya mempunyai suami masih lebih baik daripada janda sekalipun ia masuk ke dalam praktik poligini.
Agak berbeda dengan elite kampung di Jakarta yang kehidupan ekonominya mapan (bahkan mampu menunaikan ibadah haji), ketika membutuhkan leissure-plessure seksual, mereka lalu berpoligini. Penulis pernah bertanya kepada pelaku poligini yang kehidupannya mapan di sebuah kampung di Jakarta bahwa ia melakukan poligini untuk mengikuti “sunnah Nabi” dalam mengontrol nafsu birahi. Dengan kekayaan (property) itu, ia tidak keberatan untuk menanggung banyak isteri dan anak, bahkan merasa telah membagikan kekayaannya itu secara adil kepada para isterinya. Di kalangan masyarakat Betawi-Jakarta, ada pandangan bahwa mempunyai banyak isteri itu menyandang prestise sosial, yaitu menandakan bahwa dirinya orang kaya di kampungnya.
Dengan memperhatikan gejala poligini dalam masyarakat kapitalis itu, rupanya telah terjadi pergeseran bahwa poligini bukan lagi untuk akumulasi kekayaan. Sebaliknya, laki-laki melakukan poligini setelah memiliki kapital untuk leissure-plessure seksual dalam perkawinan pasangan yang tetap. Tujuan poligini juga telah bergeser bukan untuk menciptakan kekuatan produktif sebagaimana dalam masyarakat agraris melainkan untuk menciptakan kekuatan konsumtif dalam masyarakat urban.
Mengapa Poligami Disosialisasikan Kembali?
Pertanyaan ini berusaha untuk memahami tendensi Forum Poligami Indonesia, apakah yang mereka maksud poligami adalah membuka peluang bagi praktik poligini, poliandri dan poliginandri? Jika demikian maksudnya, FPI justru melontarkan terobosan baru tentang perkawinan yang lebih luas dan demokratis dari sekadar monogami patriarkis. Tetapi tendensi mereka tidak begitu, mereka tetap mempraktikkan perkawinan poligini yang patriarkis. Lalu untuk apa? Ingat bahwa perkawinan poligini patriarkis bukan berasal dari Islam dan telah lahir jauh sebelum Islam datang. Masyarakat pagan, Yahudi dan beberapa aliran dalam Kristen seperti Mormon pun mempraktikkan poligini. Lalu mengapa poligini diklaim sebagai “syiar syariat Islam”?
Saya mempunyai beberapa hipotesis. Pertama, sasaran kampanye FPI adalah kota-kota besar yang dihuni laki-laki urban kosmopolit (dari level rendah sampai tinggi). Laki-laki urban ini sangat sibuk dan hidup bagaikan mesin dan tidak sedikit mengalami krisis dalam perkawinan monogaminya. Maka FPI menawarkan perkawinan poligami sebagai solusi krisis. Kedua, tawaran poligini mempunyai maksud untuk mengorganisasi kekuatan konsumen untuk bisnis politik elektoral maupun kekuatan massa untuk mendukung kekuasaan. Ketiga, menjadikan poligini sebagai komoditas bisnis untuk menghidupkan roda ekonomi kelompok. Keempat, saya teringat pada penelitian Ester Boserup tentang ekonomi poligini di masyarakat agraris di Afrika, maka kampanye FPI itu dilakukan dalam usaha untuk membangun ekonomi poligini di masyarakat kapitalis yang diberi identitas “syariat Islam”.
Dengan demikian perkawinan poligini yang digagas FPI tetap merujuk pada asal usul sejarahnya, yaitu untuk akumulasi kekayaan dan politik patriarki.***
Kepustakaan:
Engels, Frederick, (1884), The Origin of The Family, Private Property and The State, merupakan Selected Work Marx & Engels Volume III, yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh Kalyanamaitra pada 2004.
Lloyd, Genevieve, 1984, The Man of Reason: Male & Female in Western Philosophy, Routledge, London.
Philantropist, Christian, (1869), The History and Philosophy of Marriage: Polygamy and Monogamy Compared, James Campbell, Boston.
Zeitzen, Miriam Koktvedgaard, (2008), Polygamy: A Cross Cultural Analysis, Berg, Oxford & New York.
———-
[1] Sumber diunduh dari http://wartakota.tribunnews.com/2018/07/23/kelas-cara-cepat-dapat-istri-empat-akan-digelar-di-seluruh-kota-besar pada 28 Agustus 2018
[2] Sumber diunduh dari https://news.detik.com/berita/4124652/viral-kelas-poligami-nasional-dapat-kaus-2019tambahistri pada 28 Agustus 2018
[3] Sumber dari http://suryamalang.tribunnews.com/2017/10/16/ada-desa-berjuluk-kampung-poligami- diunduh pada 27 Agustus 2018
[4] Sumber https://pkbi.or.id/sunat-perempuan-masih-membelenggu-perempuan-mana-komitmen-pemerintah/ diunduh pada 29 Agustus 2018
[5] Sumber https://megapolitan.kompas.com/read/2010/10/08/03371717/kekerasan.simbolis.dalam.uji.keperawanan diunduh pada 28 Agustus 2018