Kredit foto: geeq.id
Kawan-kawan,
KETIKA menulis surat ini, kebetulan saya sedang berada di Hong Kong. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk menuliskan pandangan tentang keberadaan pekerja rumah tangga Indonesia di sana.
Ada hal menarik soal ini. Tidak seperti Filipina, pemerintah Indonesia tidak menganggap remitansi (sejumlah uang yang dikirim TKI ke dalam negeri) sebagai strategi utama untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Dalam kunjungannya ke Hong Kong pada April 2017, presiden Joko Widodo menegaskan bahwa keberadaan TKI ini hanya bersifat sementara. Namun demikian, pemerintah tidak memiliki jadwal yang pasti kapan mengakhiri migrasi tenaga kerja asing ini. Jokowi hanya mengatakan bahwa pemerintahnya akan mendahulukan program pelatihan untuk mengembangkan keterampilan pekerja domestik sehingga orang Indonesia tidak perlu melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak:
Kami berharap untuk terus meningkatkan kualitas dan keterampilan para pekerja dan pelatihan profesional mereka, dan kami akan menuju ke arah itu. Begitu investasi di Indonesia meningkat dan ekonomi kita bertumbuh lebih jauh, maka kita tidak ingin pekerja kita pergi ke luar negeri. … Saya mengamati bahwa mereka menerima gaji yang cukup bagus, dibandingkan dengan negara lain. Saya pikir ini sangat penting. Saya yakin banyak orang senang bekerja di Hong Kong.[1]
Sementara di Filipina, pemerintahnya memberikan perhatian besar pada buruh migran mereka. Misalnya, mereka dilatih keterampilan yang dibutuhkan di luar negeri. Perlakuan berbeda ini menarik karena ketergantungan pada migrasi tenaga kerja antara Indonesia dan Filipina sangat mencolok. Pada 2011, hampir 10,5 juta orang Filipina bekerja di luar negeri dalam berbagai pekerjaan, dan hampir setengahnya diharapkan untuk kembali ketika kontrak mereka berakhir. Pada tahun 2013, pengiriman uang ke Filipina mencapai $24 miliar, 12,65 persen dari PDB negara itu. Pada 2018, sekitar satu dari tiga pekerja migran Filipina memiliki keterampilan yang lebih maju, mulai dari komunikasi, pendidikan, layanan bisnis, hingga obat-obatan.[2] Sementara TKI di luar negeri pada 2015 mencapai jumlah sekitar 4,9 juta orang dan terhitung $7,35 miliar uang mengalir masuk ke dalam negeri. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), 75 persen dari TKI itu adalah pekerja rumah tangga perempuan.[3]
Berbicara tentang migrasi perempuan muda ke luar negeri sebagai pekerja rumah tangga, Jokowi tidak mempertimbangkan keterputusan antara keterampilan dan upah, antara pusat imperial (imperial centre) dan daerah pinggiran (periphery), khususnya perbedaan upah di Indonesia dan negara-negara tujuan para pekerja migran itu.
Bank Dunia memperkirakan, TKI memperoleh pendapatan enam kali lipat lebih banyak di negara-negara Teluk atau Singapura, Hong Kong, Taipei, dan pusat-pusat keuangan besar lainnya di Asia Timur. Terlepas dari retorika presiden Jokowi untuk mengurangi kemiskinan dan ketidaksetaraan, Indonesia menempati posisi subordinat dalam ekonomi kapitalis global. Hal ini menyebabkan pengembangan keterampilan dan pelatihan keterampilan kerja menjadi kurang penting karena permintaan global untuk produk dan layanan manufaktur berbiaya rendah menentukan posisi spesifik Indonesia di Asia Tenggara dan ekonomi dunia. Keunggulan kompetitif Indonesia, dengan demikian, ditentukan oleh sejauhmana bisa mempertahankan surplus buruh berupah rendah, dari mana kapital keuangan internasional bisa memeras nilai lebih.
Hongkong: Pusat Hubung Reproduksi Sosial
Sebagai bekas koloni Inggris, Hong Kong sangat penting bagi imperialisme Eropa, dan menawarkan upah yang jauh lebih tinggi. Konsekuensinya, perempuan Indonesia meninggalkan desa-desa dan merantau ke Hong Kong untuk mencari pekerjaan berupah tinggi, yang penghasilannya hampir tiga kali lipat lebih tinggi dari penghasilan pekerja kantoran terlatih di Jakarta. Teresa Liu Tsui-lan dari Pusat Layanan Ketenagakerjaan Teknis di Hong Kong, sebuah konsultan perawatan di rumah, yang menyediakan layanan untuk 70.000 keluarga, memperkirakan bahwa lebih dari 1500 agen tenaga kerja di kota ini merupakan agen pekerja rumah tangga untuk mengisi permintaan tinggi bagi pembantu dan pelayan rumah tangga. Tsui-Lan juga mengatakan bahwa upah yang sangat tinggi adalah daya tarik utama bagi pekerja Indonesia berketerampilan rendah.[4] “Permintaan untuk bekerja di luar negeri tidak akan berhenti. Banyak orang masih menganggur di Indonesia dan tidak mudah menemukan pekerjaan di sana. Gaji di sana juga masih rendah. Untuk pekerja kantor dengan keterampilan komputer yang terlatih, orang Indonesia hanya memperoleh gaji US$192 sebulan. Angka yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji sebulan seorang TKI di Hong Kong yang sebesar US$555.”[5]
Dengan demikian, sebagaimana diklaim oleh Serikat Buruh Migran Indonesia dan organisasi-organissi advokasi pekerja asing lainnya, migrasi tenaga kerja ke luar negeri pada dasarnya adalah hasil dari kurangnya pekerjaan dengan upah yang layak, dan migrasi ini akan terus bertumbuh karena permintaan yang terus berkembang untuk pekerja di Hong Kong dan Singapura. Namun, meskipun upah mungkin jauh lebih tinggi di Hong Kong, kelompok-kelompok advokasi pekerja asing Indonesia mengatakan bahwa pekerja migran ini sesungguhnya dibayar rendah, dengan kata lain terjadi”pemerasan sistemik.”[6]
Tenaga Kerja Domestik Indonesia di Hong Kong
Pada suatu Minggu musim panas yang khas di Hong Kong, ruang-ruang publik dipenuhi dengan ribuan wanita muda berusia 18 hingga duapuluhan tahun yang mengenakan jilbab dengan kotak makan siang mereka dalam kelompok sepuluh atau lebih orang. Di Victoria Park, Causeway Bay, atau distrik Mong Kok, kehadiran para wanita muda itu tampak di mana-mana. Mong Kok, di pusat kota Hong Kong, adalah tujuan utama yang menarik bagi pembeli semua kelas ekonomi. Di tempat ini berdiri tegak gerai merek fashion kelas atas hingga ribuan kios sempit yang disewa di gedung komersial hingga penjaga toko kecil dan penjual yang menjajakan pakaian murah, serba-serbi, dan gadget elektronik umum untuk wanita muda dari Filipina dan Indonesia dengan harga lebih murah dibandingkan di showroom-showroom merek internasional.
Di luar, para wanita berkumpul di trotoar, di tangga-tangga di luar ruangan penerbangan, jalan setapak umum, dan ruang publik yang biasanya digunakan oleh pekerja kantor yang ke luar untuk merokok selama hari kerja. Siapakah para wanita muda ini? Apakah mereka sedang mengikuti tur wisata inklusif, termasuk mengemas makan siang dan makan malam di luar rumah selama musim hujan?
Siapa majikan dari pekerja rumah tangga itu? Mengingat besarnya jumlah pekerja rumah tangga Hong Kong, cukup beralasan bahwa jumlah majikan ini jauh lebih besar dibanding bagian kecil dari populasi kota. Gagasan populer tentang eksploitasi kelas dari 1% terhadap semua pekerja lain bukanlah gambaran akurat dari struktur kelas di Hong Kong dan pusat-pusat keuangan besar lainnya. Sementara ketidaksetaraan meningkat di Hong Kong antara kelas atas dan kelas pekerja berpendapatan rendah, bagian signifikan dari penduduk kota berpenghasilan menengah adalah para majikan yang mengeksploitasi pekerja rumah tangga asal Filipina dan Indonesia.
Hong Kong dan kota-kota global utama memiliki kelas manajerial yang besar yang bekerja di sektor keuangan, perbankan, asuransi, perumahan, dan pendidikan yang terlibat dalam layanan profesional yang penting untuk memperluas keuntungan kapitalis. Pakar ekonomi politik Gerard Duménil dan Domenic Lévy memeriksa peran penting manajer sebagai akuntan dan aktuaris, bankir, ahli keuangan, pengacara, agen periklanan, dan posisi profesional lainnya.[7] Sementara manfaat ekonomi dan sosial dari pekerjaan ini dipertanyakan, mereka memperoleh tingkat kompensasi yang tinggi dengan jaminan pendapatan sangat tinggi untuk layanan pribadi, seperti pekerjaan rumah tangga. Kelas manajerial ini tidak dapat berfungsi tanpa transportasi, layanan makanan, perawatan pribadi dan pekerja rumah tangga. Merekalah yang menyediakan layanan yang kita butuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Pakar ekonom politik menyebut bahwa layanan yang kita butuhkan untuk kehidupan sehari-hari ini sebagai reproduksi sosial, karena mereka diperlukan manusia untuk hidup. Dalam banyak contoh, layanan ini disediakan di dalam keluarga, dan dalam kapitalisme kontemporer, kebanyakan disediakan oleh perempuan: perawatan anak, memasak, bersih-bersih, dan perawatan pribadi. Sosiolog Saskia Sassen mengamati bahwa dalam kapitalisme neoliberal, khususnya di pusat-pusat keuangan seperti London, New York, Tokyo, dan Hong Kong, buruh migran berupah rendah semakin terlibat dalam pekerjaan penting ini untuk reproduksi sosial.[8]
Harus dipahami bahwa penindasan gender berlangsung baik di level negara-negara bangsa dan antar negara. Sementara subordinasi perempuan begitu meluas dalam masyarakat kapitalis yang manifes dengan cara yang berbeda-beda melintasi batas-batas nasional. Orang Indonesia kini menjadi mayoritas pekerja domestik di Hong Kong untuk sektor layanan penitipan anak, pembersihan, dan memasak. Pekerjaan mereka adalah melayani bagian besar tenaga kerja di pusat keuangan yang terus bertambah. Saat ini ada lebih dari 500 ribu buruh perempuan dipekerjakan di industri ini, dan diperkirakan jumlah pekerja rumah tangga akan bertambah menjadi 600 ribu pada tahun 2030. Jumlah TKI itu kini lebih besar dibanding pekerja asal Filipina.
Sebagai tambahan, selain pekerja dari Filipina dan Indonesia, pekerja rumah tangga itu juga berasal dari Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Bangladesh, Madagaskar, dan Kamboja. Terdapat sekitar 370 ribu pembantu rumah tangga di Hong Kong yang terdaftar di agen-agen yang disahkan oleh pemerintah kota. Jadi, secara resmi, pekerja rumah tangga jumlahnya mencapai sekitar 5 persen dari populasi kota. Namun, menurut para ahli pasar tenaga kerja, jika para pekerja rumah tangga yang tidak terdaftar di agen-agen resmi disertakan, maka jumlahnya melebihi 500 ribu orang atau sekitar 8 persen dari populasi Hong Kong yang hanya sekitar 7,5 juta. Secara resmi, sekitar satu dari setiap 2,5 keluarga dengan anak-anak di Hong Kong mempekerjakan pembantu rumah tangga.
Data source: Association of Hong Kong Agencies for Migrant Workers Limited.
Available at: http://ahka.org/statistic-of-foreign-domestic-helpers.html
Upah dan Kondisi Pekerja Rumah Tangga Hong Kong
Upah minimum untuk pekerja rumah tangga Filipina dan Indonesia adalah sebesar HK$4,410 per bulan (atau sekitar $562 per bulan). Meskipun jumlah ini tergolong rendah untuk bertahan hidup di Hong Kong, mengingat tingginya biaya hidup, namun jumlahnya sekitar tiga kali lebih tinggi daripada upah untuk pekerja rumah tangga di kota-kota di Indonesia.[9] Otoritas Hong Kong mengharuskan semua pekerja rumah tangga asing untuk memperoleh akomodasi di rumah majikannya. Namun demikian, karena biaya hidup yang tinggi para pekerja rumah tangga ini tidak mampu hidup mandiri dan mungkin tidak memiliki tempat hidup yang memadai. Akibatnya, mereka kerap menjadi korban berbagai jenis penganiayaan oleh sebagian majikan, dan beberapa di antaranya terpaksa bekerja jauh lebih lama daripada yang ditetapkan oleh pedoman pekerjaan pemerintah. Meskipun ada upaya terus menerus untuk memperbaiki kondisi, pelanggaran terus berlanjut. Sebagaimana laporan yang disponsori oleh ILO pada 2007 tentang pekerja rumah tangga Indonesia di Hong Kong menyatakan:
Upah rendah bukan satu-satunya jenis pelanggaran hak-hak pekerja. Pelecehan banyak terjadi dan termasuk pelanggaran dalam jenis pekerja migran yang diizinkan secara hukum untuk dilakukan, pelanggaran dalam waktu istirahat mingguan yang diperlukan, dan pelanggaran atas hari libur dan hari raya yang dimandatkan secara hukum. Ada juga kekerasan verbal dan fisik yang berlangsung secara sistematis yang ditujukan kepada pekerja rumah tangga migran.[10]
Pekerjaan dan kondisi hidup yang mengerikan bagi beberapa pekerja rumah tangga ini mendapat perhatian publik pada bulan ini, setelah para organiser mengungkapkan bahwa sejumlah pengusaha menyediakan dapur, ruang penyimpanan, dan toilet sebagai tempat tinggal para pekerja rumah tangga ini. Selain itu, banyak pekerja dipaksa bekerja dari 12 hingga 15 jam sehari. Pada bulan Juni, Badan Koordinasi Imigran Asia (AICB) meluncurkan kampanye yang menuntut agar pemerintah Hong Kong membuat undang-undang peningkatan perlakuan bagi pekerja rumah tangga, termasuk tuntutan untuk hari kerja yang lebih pendek, upah yang lebih tinggi, akomodasi yang layak, dan tempat tinggal selama hari libur mereka. Di taman kota Hong Kong pada hari Minggu itu, para organiser sedang melakukan investigasi untuk mendaftar 10 persen dari pekerja rumah tangga asing di kota itu.[11]
Adalah ilegal bagi kontraktor tenaga kerja Hong Kong untuk mengenakan biaya tinggi kepada pekerja rumah tangga yang mencari pekerjaan. Namun, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Federasi Serikat Pekerja Rumah Tangga Asia (FADWU) dari Juli 2017 hingga Maret 2018, menemukan bahwa lebih dari 10 persen agensi yang ada mengenakan biaya dari delapan hingga 20 kali batas legal untuk penempatan kerja, yakni dari HK$3500 menjadi HK$10.000 (setara dengan dari UD$450 hingga $1150).
Dengan meneliti bidang reproduksi sosial, adalah sangat sulit untuk menghindar dari pembagian kerja global, dan secara khusus arti penting perempuan dan pekerjaan yang berkaitan dengan gender tertentu. Kita harus mengakui bahwa kondisi perempuan di Global South jauh lebih tertindas ketimbang di Global Utara. Dipekerjakan di bidang reproduksi sosial, pekerja migran tidak mengisi pekerjaan manufaktur. Sementara pekerjaan-pekerjaan pelayanan sosial dan publik dilakukan oleh buruh di negara-negara pusat imperial tetapi mereka secara aktif direkrut oleh kapitalis dan manajer untuk bekerja di bidang reproduksi sosial. Di masa lalu, di AS dan Barat, hanya mereka yang sangat kaya yang mampu menggaji pembantu rumah tangga. Namun, semenjak era neoliberal di dekade 1990-an, penggunaan buruh di bidang reproduksi sosial di dalam dan di luar rumah tangga oleh pekerja profesional level menengah dan atas yang berpenghasilan sangat tinggi telah sangat berkembang.
Catatan tentang Komposisi Organik Kapital Modal dan Reproduksi Sosial di bawah Neoliberalisme
Di bidang manufaktur, kapitalis tanpa henti menggenjot tingkat keuntungan dengan mengurangi komposisi kapital, atau bagian produksi pekerja dengan mengganti pekerja hidup (living labour) dengan pekerja mati (dead labour) dengan memperkenalkan teknologi baru, otomasi, dan robotika. Namun, nilai lebih hanya berasal dari kerja manusia.[12] Pertumbuhan otomasi dan teknologi baru yang tak terbatas, tanpa henti mengurangi tingkat laba, yang diorganisasikan dari ekstraksi kerja lebih dari para buruh, dan dengan demikian mengharuskan kapital monopoli untuk secara konsisten mencari cara agar terjadi transfer nilai lebih dari buruh berupah rendah di luar negara-negara pusat imperial. Teknologi baru memiliki keterbatasannya, demikian juga dengan eksploitasi buruh di negara kapitalis pusat, dan jika kondisi-kondisi lainnya sama (ceteris paribus), maka nilai lebih juga menurun. Proses ini mendorong kapital monopoli untuk mencari keuntungan di luar negeri.
Dalam Kapital karya Marx, Hukum Umum Produksi Kapitalis pertama-tama dan terutama diterapkan pada bidang produksi. Namun, di bidang reproduksi sosial pekerja rumah tangga, di mana kapasitas untuk menerapkan teknologi baru sangat terbatas, komposisi organik tidak memiliki kapasitas yang setara untuk menurun, bahkan jika kemajuan baru sampai batas tertentu mengurangi komposisi organik dari tenaga kerja. Akibatnya, permintaan layanan rumah tangga, perawatan anak, layanan makanan, dan pekerja transportasi selalu tinggi di pusat-pusat keuangan utama: New York, London, Tokyo, Hong Kong, Singapura, dan tempat lain. Dan sebagai hasil dari kesulitan dalam merekrut tenaga kerja di pusat imperial, permintaan tenaga kerja berupah rendah dari negara-negara kapitalis pinggiran terus bertumbuh secara eksponensial, terutama dengan perluasan finansialisasi kapital dan kapasitas perusahaan untuk mengekstrak nilai lebih dari layanan ini.***
Immanuel Ness adalah profesor ilmu politik di Brooklyn College, City University of New York (CUNY). Prof. Ness adalah juga editor dari The Journal of Labor & Society, dan menulis puluhan buku dan artikel ilmiah, di antaranya Southern Insurgency: The Coming of the Global Working Class (2015) dan Immigrants Unions & The New US Labor Market (2005).
———-
[1] Phila Siu. “Widodo: Halting Domestic Worker Exodus Will Take At Least Five Years” South China Morning Post,
30 April 2017. Accessed 28 June 2018: http://www.scmp.com/week-asia/geopolitics/article/2091629/widodo-
halting-domestic-worker-exodus-will-take-least-five
[2] Philippine Statistics Authority, 2017 Survey on Overseas Filipinos (May 18 2018). Accessed June 29, 2018 https://psa.gov.ph/statistics/survey/labor-and-employment/survey-overseas-filipinos
[3] Statistics on Labor Migration within the Asia-Pacific Region Accessed June 23, 2018. See also: Indonesia’s Global Workers: Juggling Opportunities & Risks. Jakarta: World Bank Indonesia Report, November 2017. Accessed July 2, 2018: http://www.ifrc.org/Global/Documents/Asia-pacific/201505/Map_Infographic.pdf See also http://pubdocs.worldbank.org/en/357131511778676366/Indonesias-Global-Workers-Juggling-Opportunities-Risks.pdf
[4] See TECHNIC Employment Service Centre Ltd, Hong Kong. Accessed July 4, 2018. http://www.technic.com.hk/web/html/eng/profile/profile.html
[5] Phila Siu, Op. Cit.
[6] Underpayment 2, The Continuing Extortion of Indonesian Migrant Workers in Hong Kong: An In-Depth Study, The Hong Kong Coalition of Indonesian Migrant Workers Organization (KOTKIHO), September 2007. Accessed 20 June 2018: http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/@asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/documents/publication/wcms_116888.pdf
[7] Gerard Duménil, Dominique Lévy, Managerial Capitalism: Ownership, Management, and the Coming New Mode of Production. London: Pluto, 2018.
[8] Saskia Sassen, The Global City: New York, London, Tokyo (2nd Edition) Princeton: Princeton University Press, 2001.
[9] See “Hiring Foreign Domestic Helpers”. The Minimum Allowable Wage (MAW) announced by the Government and prevailing at the date of signing the employment contract for employing the foreign domestic helper. The MAW is currently set at HK$4,410 per month. See://www.gov.hk/en/residents/employment/recruitment/foreigndomestichelper.htm
[10] Underpayment 2
[11] See Phila Siu, “Domestic helpers want 11 hours rest and for you to stop treating them like ‘slaves’ Hongkongers told” South China Morning Post, 10 June 2018. See
http://www.scmp.com/news/hong-kong/community/article/2150114/domestic-helpers-want-11-hours-rest-and-you-stop-treating
[12] Karl Marx, Capital, Volume I, Chapter 25, The General Law of Capitalist Accumulation. Accessed: June 28, 2018. https://www.marxists.org/archive/marx/works/1867-c1/ch25.htm