Kredit ilustrasi: CB Insights
SEBELUM kiprah Elon Musk di Thailand yang berakhir Mas Elon heboh sendiri itu, Mas Elon, boleh jadi, tulus ingin membantu. Melihat permintaan bantuan yang menyahut akun Twitternya, ia buru-buru merancang kapal selam mini bersama perusahaannya, dan dalam sekejap sudah ada di gua Tham Luang, menyerahkan kapal selam itu sendiri kepada regu penyelamat.
Kapal selamnya tak terpakai? Yang penting kan niat baiknya.
Mas Elon kini merisak orang-orang yang terlibat misi penyelamatan Wild Boar? Ah, siapa suruh mereka meragukan niat baik seorang milyarder dengan 22 juta pengikut di Twitter?
Dan Mas Elon, boleh jadi, juga tulus ingin menyelamatkan masa depan ketika ia mendirikan perusahaan-perusahaannya. Dengan perusahaannya, Tesla, produsen mobil listrik yang selalu pontang-panting menghadapi satu dan lain skandal, Mas Elon nampaknya ingin berkontribusi mengikis jejak karbon manusia dan, ujung-ujungnya, berkontribusi menghindarkan umat manusia dari bencana ekologi dahsyat.
Dan dengan SpaceX, yang hidup dengan memamah proyek-proyek pemerintahan,
Mas Elon ingin penjelajahan ruang angkasa dan penciptaan koloni-koloni baru di planet-planet tak lagi menjadi mimpi di siang bolong. Bila ambisinya tergapai, manusia di masa mendatang tak harus lagi berebut sumber daya di planet bumi yang sempit. Mereka dapat menyambung hidup di Mars kelak kala bumi tak bisa lagi menampung manusia dan segenap gaya hidup eksploitatifnya.
Namun, kiprah-kiprah menyelamatkan dunia yang berawal dari white billionaire’s burden, beban milyarder kulit putih, tak selalu berakhir baik. Lebih-lebih, tentu saja, kiprah-kiprah yang diyakini secara buta akan mengubah dunia sekaligus meraup banyak pemuja.
Sebut saja setiap kiprah Mas Elon.
Sejauh ini, apa dampak paling nyata dari kiprah Mas Elon selain melesatkan nilai perusahaan dan dirinya—hal yang bisa terjadi secara gaib di era kapitalisme finansial ini sepanjang Anda menggenggam reputasi fenomenal? Apakah diproduksi serta diadopsi massalnya teknologi yang benar-benar akan menggerus jejak karbon manusia? Tidak, rasanya. Tidak dengan harga spektakular mobil Tesla yang cicilannya saja bisa membeli Avanza. Yang ada, Tesla akan menjadi bahan snob kaya memamerkan kepedulian lingkungannya alih-alih alternatif berkendara yang masuk akal.
Apakah kolonisasi planet-planet kini menjadi skenario masa depan yang masuk akal berkat Mas Elon? Ataukah idenya tentang transportasi kota nan cepat—Tesla hyperloop—akan segera diadopsi menjadi transportasi massal? Lagi-lagi, tidak. Mimpi yang dijajakan Elon, paling masuk akal, hanya akan tersedia untuk orang-orang yang cukup kaya untuk membeli gaya hidup futuristis.
Dampak paling nyata dan tak tertampik kiprah Mas Elon adalah membesarkan reputasinya sendiri serta, tak lupa tentu, egonya. Ia adalah salah satu manusia yang kini paling dicintai di dunia maya. Kawula dunia maya memujanya sebagai penemu sejati. Nikolas Tesla hari ini. Sosok visioner yang hanya berpikir bagaimana memudahkan dan memperbaiki kehidupan umat manusia di masa mendatang. Dan ia bukan hanya sadar dengan reputasinya tersebut. Ia mencandunya. Bila tidak, untuk apa ia membangunkan seantero staf humasnya pukul tiga pagi demi menumpas seorang blogger nun jauh di Belgia yang mengkritik dirinya? Dan untuk apa ia mempertaruhkan kepercayaan investornya hanya untuk mencacimaki pengkritik operasinya di Tham Luang pedofil?
Namun, saya kira, kesehatan mental seorang milyarder bukanlah ekses yang terlalu perlu kita pusingkan.
Setidaknya, ia tak perlu kita pusingkan dibandingkan ampas lain dari kiprah Mas Elon yang jauh lebih gawat. Kesigapan-kesigapan Mas Elon memenuhi amanah kemanusiaan dari sana-sini saat ini telah menjerumuskan banyak orang ke dalam iman buta terhadap skenario masa depan yang absurd. Bahwa masa depan kemanusiaan terletak di tangan seorang milyarder jenius. Bahwa orang-orang perlu menaruh kepercayaan penuh kepadanya agar ia dapat merealisasikan visi cemerlangnya dan memungkinkan umat manusia menapak ke masa depan yang lebih baik.
Tesla tak pernah untung dan tak pernah menjanjikan keuntungan yang jelas. Perusahaan Mas Elon bahkan acap mangkir dari tenggat-tenggatnya serta berkali-kali tertangkap basah mengelabui khalayak. Namun, valuasinya nyaris menyetarai General Motors, perusahaan pembuat kendaraan terbesar di Amerika Serikat. Di awal 2018, Tesla bernilai 50 milyar USD sementara General Motors bernilai 55 milyar USD. Berkat apa? Berkat kepercayaan para investor yang, menyitir istilah Liam Denning, kolumnis Bloomberg, bak pengikut sekte.
Absurd? Betul, absurd: skenario masa depan yang diimani para pengikut Mas Elon adalah skenario masyarakat yang jelas-jelas timpang. Kekayaan, kuasa untuk menciptakan masa depan tercurah ke atas tangan satu insan belaka. Biasanya, orang-orang akan mengabaikan atau memaklumkan kesenjangan ini karena sang insan dipercaya sebagai insan yang tepat. Mas Elon, seorang penemu brilian, tentu membutuhkan semua yang bisa diraihnya untuk menyelamatkan masa depan. Hanya dengan sumber daya tak terkira di bawah kendalinya, ia dapat menghadirkan teknologi-teknologi mustahil yang dibutuhkan peradaban untuk melesat jauh ke depan, melompati ancaman-ancamannya.
Skenario ini sebenarnya persis dengan skenario berbagai komik dan film jagoan super Barat. Sebut saja Iron Man, Batman, atau yang lebih mutakhir, Black Panther. Dari mana para pahlawan ini mempunyai sumber daya untuk menyelamatkan orang-orang, kota, negara, atau bahkan alam semesta mereka dari ancaman-ancaman tak terperi? Dari kekayaan pribadi keluarga mereka yang tak terkira. Dari imperium bisnis mereka yang praktiknya tak mungkin seutuhnya bersih. Bahkan, ada yang dari kerajaannya yang diperintah dengan sistem monarki absolut.
Perkaranya, baik Mas Elon maupun para jagoan super tersebut sama-sama berlaga dalam pertarungan yang tidak riil. Musuh-musuh di semesta Marvel adalah sosok-sosok yang terlalu fantastis untuk menjadi nyata. Jangankan Thanos, sosok antagonis yang paling sepele dalam film Iron Man saja rasanya tak akan Anda jumpai di dunia nyata. Dan pertarungan apa yang tepatnya dihadapi Mas Elon yang acap dijuluki Iron Man itu? Pertarungan memproduksi teknologi yang hanya akan dibeli dan dikonsumsi kelas atas, mengecer mimpi penjelajahan ruang angkasa yang tak akan pernah cukup realistis untuk terlaksana, melanggengkan citra pahlawan jenius yang akan menjaga valuasinya.
Bukan pertarungan yang akan menyelamatkan masa depan? Bukan.
Bahkan, bukan pertarungan yang akan menyelamatkan para pekerjanya dari kondisi kerja yang mengerikan.
Ia adalah pertarungan yang ujung-ujungnya bisnis belaka dengan ekses berbahaya menjejalkan imajinasi Mas Elon sebagai pengemban tugas mulia umat manusia dan kapitalisme berwajah teknologis sebagai satu-satunya tatanan yang mampu menyediakan masa depan yang lebih cerlang. Kapitalisme berwajah teknologis? Betul. Tatanan kapitalis di mana pengepulan kekayaan dapat leluasa dilakukan dengan menjajakan inovasi-inovasi rumit, bernuansa futuristis dan ia dimungkinkan karena adanya kepercayaan picik bahwa dunia akan menjadi lebih baik di bawah tuntunan bijak para konglomerat jenius.
Dan kepercayaan picik ini kini berada di titik yang menggusarkan.
Suatu hari, Mas Elon menyampaikan bahwa pihaknya tengah mendorong pengembangan teknologi yang akan membantu kecerdasan manusia melebur dengan kecerdasan digital. Mas Elon acap menyebutnya neural lace—renda neural. Ia akan ditanamkan di dalam kepala manusia dan mempercepat interkoneksi di antara otak dan perkakas komputasinya.
Saya tahu, Mas Elon gemar mengumbar klaim-klaim spektakular, bombastis, tidak realistis. Tak terkecuali dengan klaim renda neural yang tidak mempertimbangkan kita masih memiliki pemahaman yang sangat terbatas terkait bagaimana neuron-neuron manusia saling bertaut. Para penggemarnya, seperti biasa tentu saja, menyambut hangat gagasan mengawang Mas Elon. Apalah ide Mas Elon kalau bukan genderang kemajuan? Namun, antusiasme massal ini adalah sinyal yang menakutkan. Para pengikut Mas Elon, yang jumlahnya sekali lagi sangat banyak, tidak mengkhawatirkan potensi subjugasi utuh manusia lewat teknologi semacam itu. Apa yang akan menjamin bila sinyal-sinyal otak Anda dapat diakses, bahwa ia tidak akan dihimpun bersama jutaan sinyal pikiran lainnya dalam sebuah pusat data besar dan, selanjutnya, dieskploitasi untuk mengatur Anda tanpa Anda sadari?
Dan kalau ada yang dibuktikan oleh sejarah, pihak yang paling antusias mengadopsi inovasi teknologi acap kali adalah yang dapat memanfaatkannya untuk mentotalisasi pengaturannya atas kehidupan. Sejarah yang masih sangat dekat dengan kita ambil saja. Google mengembangkan teknologi pencarian informasi yang luar biasa canggih. Facebook menciptakan jejaring sosial yang memungkinkan pergaulan yang bermakna dilakukan tanpa harus beranjak ke mana-mana. Tetapi, apa yang harus kita bayarkan untuk memakai teknologi mereka? Data kita, bahkan termasuk preferensi kita paling tersembunyi, dipanen dan dijual kepada dunia bisnis, politisi, atau dipergunakan mereka sendiri untuk memastikan kita berkutat di platform mereka selama mungkin.
Dan kalau ada yang percaya Mas Elon tak akan melakukan totalisasi semacam ini karena ia adalah insan dengan visi nan mulia, pikir lagi. Ia sudah berkali-kali menunjukkan gelagat totaliter menghadapi hal-hal sepele yang bersangkutan dengan citranya. Siapa yang akan menjamin Mas Elon tidak akan menjadi monster yang jauh lebih mengancam bila ia benar-benar dapat menjangkau dan mengontrol semuanya?
Barangkali, ini saatnya kita menggusur fantasi ganjil bahwa dunia akan diselamatkan oleh seorang Tony Stark dan inovasinya. Revolusi teknologi, saya percaya, adalah hal yang penting. Tetapi, siapa yang merevolusinya adalah pertanyaan yang sama pentingnya—bila bukan lebih penting.***
Geger Riyanto, mahasiswa PhD Institut Antropologi, Universitas Heidelberg