JIKA Anda adalah seorang Kristen, maka menjadi progresif adalah sebuah kemustahilan. Sudah berabad-abad lamanya, kepatuhan menjadi figur utama lukisan seorang Kristen. Menjadi Kristen, katanya, harus selalu bersyukur atas segala hal. Misalnya, saat berhadapan dengan struktur curang yang menghisap, menindas, dan memeras. Katanya lagi, Alkitab mengajarkan Anda untuk tunduk, sekalipun kepada rezim represif. Mereka bilang, “Negara adalah penyandang pedang Allah.” Bahkan, ada lagi yang bilang, “Jangan peduli dengan apa pun yang terjadi di dunia ini.” Mengapa? Jawaban mereka, “Dunia ini hanya tempat sementara. Kita hanyalah orang asing. Rumah kita bukan di sini.”
Tentu saja, Anda boleh menolak setuju dengan fakta-fakta di atas. Namun sebenarnya, fenomena di atas sedang membicarakan kenyataan. Ia sedang melantunkan sebuah tembang sumbang. Ia menyanyikan sebuah syair putus cinta antara dua sejoli, yaitu kekristenan dan semangat pembebasan. Realitas itu menampilkan bahwa kekristenan sudah bercerai dengan semangat memperjuangkan kesetaraan. Jari manisnya sudah melepaskan cincin keadilan. Bahkan, ia sudah melacurkan dirinya kepada siapa saja yang mau membayarnya.
Putusnya hubungan antara kekristenan dan semangat emansipasi tentu bukan cerita baru. Menurut saya, hal tersebut dipicu juga dari ketergesa-gesaan para komentator Marx[1] terhadap adagium agama adalah candu. Situasi ini pun semakin parah karena kita pun terlalu lekas menafsirkan pernyataan itu secara serampangan. Akibatnya, kita mudah mengelompokkan bahwa semua pembaca Das Kapital adalah ateis.
Ternyata, bukan hanya Marx yang berkomentar begitu tentang agama. Ternyata, Lenin pun pernah melontarkan ujaran yang hampir sama. Dia menuliskan itu dalam sebuah risalah pendek, “Sosialisme dan Agama” (1905). “Agama,” kata Lenin, “adalah sebuah bentuk penindasan spiritual.” Bagi dia, agama merupakan sebuah bentuk impotensi masyarakat kelas tertindas melawan penghisapnya. Agama, masih menurut Lenin, punya kebiasaan untuk mengabdi kepada orang lain. Dia bilang, “…seluruh hidup mereka diajari oleh agama untuk menjadi patuh dan sopan ketika di sini di atas bumi dan menikmati harapan akan ganjaran-ganjaran surgawi.”
Saya bisa memastikan bahwa ada banyak analisis yang bisa menjelaskan fenomena ironis ini. Beberapa orang berkomentar, “Yah, dari sananya, agama memang sudah begitu.” Ada juga yang mengikuti logika Althusserian, “Agama memang alat aparatus ideologi rezim.” Sementara yang lain bilang, “Agama adalah cerminan masyarakat kelasnya.” Bahkan ada juga yang menuturkan pikiran unik, “Agama itu perlu dalam serikat. Setidaknya, ia bisa mencegah para buruh untuk bunuh diri.”
Sesungguhnya, apa persoalannya? Apakah seorang Kristen serta-merta tidak mungkin menjadi progresif? Apakah segala permasalahan ini akan selesai dengan slogan, “Ubahlah keadaan, maka kesadaran pun akan mengikutinya”? Apakah kita memiliki suatu pijakan epistemologi yang menjadikan corak kekristenan itu progresif?
Bagaimana Teologi Kristen Progresif Menalar Tuhan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus berangkat dari presaposisi dari teologi Kristen itu sendiri. Daripada presaposisi, kita mungkin lebih akrab dengan istilah aksioma atau asumsi. Secara sederhana, kita mengartikan asumsi sebagai dugaan yang diterima sebagai dasar. Ia adalah landasan berpikir karena kita menganggapnya benar. Ia menjadi batu loncatan pertama sebelum kita memulai aktivitas berpikir. Jadi, tanpa asumsi, tidak ada produk pemikiran. Semua paham, seperti ateisme, skeptisisme, naturalisme, dan sebagainya, pasti punya asumsi.
Asumsi merupakan sesuatu yang memegang peran penting dalam seluruh sistem berpikir kita. Ronald H. Nash, seorang Profesor Filsafat di Western Kentucky University, suatu kali pernah berkomentar dalam bukunya Iman dan Akal Budi (2001) bahwa “Struktur noetika (berpikir) kita berisikan sejumlah keyakinan yang kita terima tanpa dukungan dari keyakinan, argumen, atau bukti lain.” (hlm. 38). Dia mengutip pendapat teolog gereja perdana, Augustinus (354 – 430), mengenai mekanisme kerja dari asumsi. Agustinus mengatakan, “Kita harus meyakini sesuatu sebelum mengetahui segala sesuatu.”
Teologi, sama seperti disiplin ilmu yang lain, pun punya asumsi. Kita bisa melacaknya dari definisi umum tentang teologi itu sendiri. Biasanya, kita berangkat dari etimologisnya, yaitu theos (Tuhan) dan logia (berbicara, bercakap-cakap). Jadi, teologi adalah suatu percakapan tentang Allah. Namun, pengertian teologi, tentu saja, tidaklah sesederhana itu. Agar bisa menerimanya, mari kita mengambil konsepsi teologi menurut kelompok Injili Fundamentalis. Misalnya, kita menukil dari Jan A. Boersema, dkk, dalam buku mereka Berteologi Abad XXI (2015) bahwa teologi, menurut mereka, adalah ilmu yang meneliti Allah seperti (juga sejauh) Dia dapat dikenal dari firman dan perbuatan-Nya (hlm. 9). Rumusan ini memang agak unik. Alasannya, mereka “berani” menempatkan Allah sebagai sebuah objek penelitian. Itu cukup nekat bagi ukuran Kristen Injili. Akan tetapi, kita terima saja definisi itu begitu.
Dari definisi ini, asumsi dari teologi, secara halus, sudah menunjukkan dirinya. Teologi Kristen sudah mengasumsikan bahwa “pada mulanya adalah Allah”. Manusia bisa menjangkau-Nya hanya sejauh firman dan perbuatan-Nya. Artinya, kekristenan meyakini bahwa ada satu Agensi berkesadaran yang menggerakkan dunia material ini. Kita bisa melacaknya melalui perbuatan-Nya. Jadi, manusia terhubung dengan Agensi itu melalui rentetan peristiwa. Pendeknya, manusia mengenal Tuhan lewat dinamika kenyataan material dan sejarah.
Tuhan memperkenalkan diri kepada umat-Nya memang lewat dunia material dan sejarah. Ini adalah sebuah fakta Alkitab yang tidak seorang pun bisa membantahnya. Orang Israel, misalnya, sering menyebut-Nya sebagai Allah Abraham, Allah Ishak, dan Allah Yakub (Kel. 2:24). Mereka hanya mengenal Allah lewat peristiwa sejarah. Sumber informasinya terletak dari pengalaman nenek moyang Israel, yaitu Abraham, Ishak, dan Yakub, bersama Allah. Puncak dari semua ini adalah Sang Logos itu mematerial menjadi daging manusia dalam rupa Yesus Kristus (Yoh. 1:1,14).
Pendeknya, Allah memperkenalkan diri melalui firman-Nya lewat peristiwa sejarah yang material. Dia menunjukkan diri dalam dunia konkret, peristiwa, dan terlibat dalam dinamika dialektis di dalamnya. Allah dalam Alkitab bukanlah sekumpulan abstraksi spekulatif. Inilah titik mula yang menjadi alasan bahwa kekristenan pada dasarnya adalah progresif.
Istilah progresif adalah sesuatu yang cair. Pada umumnya, kamus mengartikan progresif sebagai ke arah kemajuan; berhaluan ke arah perbaikan keadaan sekarang (tentang politik). Namun, kita wajib mempertanyakan rumus ini. Ke mana arah kemajuan itu sebenarnya? Ke arah mana perbaikan itu? Demi kepentingan siapa? Siapa yang diuntungkan dengan kemajuan dan arah perbaikan itu?
Progresif yang saya maksudkan harus mengacu pada keberpihakan kelas. Jika seseorang menjadi progresif, artinya dia harus berdiri bersama dengan kelas masyarakat tertindas. Dengan demikian, seorang progresif akan menggagas arah perubahan dan kemajuan demi kepentingan kelas tertindas. Dia akan menarik garis tegas antara penindas dan tertindas.
Jika melihat semua ulasan ini, maka corak dari teologi Kristen pada dasarnya adalah progresif. Pertama, kekristenan mengenal Allah secara materialisme dialektika historis. Dia adalah Allah yang mewujud dalam materi dan berdialektika dalam sejarah. Iman Kristen meyakini bahwa pada mulanya adalah Allah. Oleh karena itu, kekristenan melihat esensi benda bukan inheren pada dirinya. Akan tetapi, ada agensi atau suatu entitas yang melakukan kerja terhadap benda itu. Dalam hal ini, kekristenan menyebutnya penciptaan. Penciptaan adalah suatu kerja yang menghasilkan suatu benda.
Kedua, Allah dalam pendekatan ini adalah rasional, tidak spekulatif. Artinya, sejarah bukanlah sebuah keterlemparan tanpa arah. Sejarah adalah perpaduan dari segala kontradiksi dimana dialektika merantainya. Dalam sejarah yang demikianlah Allah menyatakan dirinya.
Ketiga, kekristenan bisa melihat sisi progresif dari Allah dengan mudah. Kekristenan bisa melacak arah keberpihakan-Nya. Alasannya, Dia sudah mematerial[2] dalam sejarah. Puncaknya, Dia berinkarnasi dalam wujud Kristus Yesus. Sejak Yesus mengambil rupa sebagai manusia (Fil.2:7), maka pembicaraan tentang Allah yang transendental selesai. Tidak seperti -isme yang lain, kekristenan punya referensi yang jelas dalam menentukan keberpihakannya. Misalkan, Yesus berpihak pada mereka yang miskin, tertindas, dan tertawan (Luk. 4:18-19).
Di atas ini semualah iman kekristenan berdiri. Giorgio Agamben dalam bukunya The Time That Remains (2005) bercerita tentang arti iman. Bahasa Yunani menerjemahkan iman dengan kata pistis. Secara filologi, istilah ini kental bernuansa politis. Kita sebutkan saja dua kerajaan sedang berperang. Salah satu kerajaan kemudian kalah. Kerajaan yang kalah mungkin saja masih menyisakan warga negara yang masih hidup. Bagi mereka, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, mereka, sebagai pihak yang kalah, harus rela menjadi budak atau mati dibunuh. Kedua, mereka bisa saja tetap hidup dan bekerja seperti biasa namun mereka tidak punya hak sebagai warga negara. Hidup mereka total hanya mengabdi pada kerajaan yang menaruh belas kasihan. Mereka inilah yang kelak disebut dengan pistis (iman). Mereka terikat secara mutlak kepada suatu entitas yang secara total menguasainya.
Dalam hal ini, peran nalar akhirnya hanya melayani iman, begitu juga sebaliknya. Nalar dan iman bersatu sempurna. Dengan demikian, akal sehat akan selalu berteman dengan iman. Mengapa demikian? Pasalnya, kita beriman bukan lagi berarti memberi persetujuan pada sebuah rumusan. Kita beriman bukan lagi berserah pada seperangkat dogma. Sebaliknya, beriman adalah sebuah sikap keberpihakan. Dalam hal ini, iman mengambil peran sebagai orientasi. Nalar sebagai alat eksekusi. Dengan demikian, keduanya akan bergulat dalam proses dialektika yang panjang. Dalam proses inilah iman akan menajamkan nalar.
Teologi Kristen bisa memeluk semua unsur yang kita bicarakan ini menjadi satu kesatuan. Kita bisa beriman dengan nalar yang sehat tanpa meninggalkan sisi progresifnya. Kekristenan punya sumber epistemologi yang jelas tentang Allah yang mematerial dalam dialektika sejarah.
Kekristenan punya landasan untuk menalar Allah yang menyejarah dalam memateri dalam Kalam yang berinkarnasi. Bagi umat Kristiani Kalam itu dikenal di dalam Yesus Kristus. Lewat itu semua, kita bisa melihat bukti rasional bahwa sejatinya kekristenan menyediakan sebuah landasan epistemik untuk menjadikan Anda seorang progresif.***
Penulis adalah Penatua Jemaat Gereja Komunitas Anugerah Reformed Baptist Salemba
———-
[1] Hal ini tercermin misalnya dari komentar Thrower, James (1983) dalam Marxist-Leninist “scientific Atheism” and the Study of Religion and Atheism in the USSR . Di sana James mengatakan bahwa “as an integral part of the Marxist-Leninist world-view, “scientific atheism’ is grounded in the view of the world and of man enshrined in dialectical and historical materialism: The study of scientific atheism brings to light an integral part of the Marxist-Leninist world-view. “
[2] Seorang teolog abad ke 11 bernama Anselmus mengatakan bahwa satu-satunya cara agar keilahian bisa terhubung dengan segala mahluk memprasyaratkan ada bagian dari esensi Ilahi (yaitu Firman) yang berhenti menjadi kekal (cease from eternity). Pemahaman ini diungkapkan dalam istilah cur Deus-Homo (mengapa Allah-Manusia). Menurut Anselmus, momen Deus-Homo terjadi ketika firman Allah berinkarnasi dalam daging . Ketika Firman Allah sebagai agensi sang Khalik berbagian didalam kefanaan , secara simultan segenap kenyataan material pun mengalami partisipasi dalam kehidupan ilahi yang memungkinkannya melampaui keterbatasan kodrat-kodrat alamiahnya. Bandingkan Cur Deus Homo Preface hal. 177 Deane translation of Proslogium,1903 .