ARTIKEL singkat ini berangkat dari kegelisahan saya atas euforia berbagai kalangan dalam menyambut hajatan demokrasi (pilkada), yang secara terang-terangan maupun abu-abu menaruh harapan besar pada setiap calon kepala daerah untuk melahirkan perubahan. Apakah salah? Menurut saya tergantung identifikasi persoalan yang ditemukan serta gagasan perubahan apa yang dicanangkan. Jika perubahan kita maknai secara sederhana, semisal adanya rotasi kepemimpinan politik, maka pilkada merupakan arena yang tepat untuk itu. Namun, jika perubahan kita letakkan pada jantung ekonomi-politik, yang menghendaki perubahan mendasar dari tatanan ekonomi yang selama ini eksis beroperasi, maka kita perlu mendiskusikannya lebih serius.
Kita mahfum bahwa sistem ekonomi-politik yang beroperasi saat ini adalah sistem kapitalisme. Hampir tidak ada negara yang tidak terintegrasi ke dalamnya. Termasuk Indonesia. Integrasi ekonomi Indonesia ke dalam sistem ekonomi dunia telah dimulai pada masa Orde Baru dan makin dalam terintegrasi pada pasca reformasi. Akibat dari pengitegrasian ini, maka berbagai macam problem sosial yang bersifat struktural mengemuka, seperti kemiskinan, keterbelakangan, jurang kaya miskin yang sangat tinggi, dan kesadaran politik rakyat yang sangat parsial. Sedemikian parah penyakit itu sehingga upaya untuk menyembuhkannya membutuhkan operasi besar dan mendasar. Terkait pilkada, para kandidat yang maju dalam perebutan kekuasan, yang berkampanye mengutuk kemiskinan, penderitaan, dan kesengsaraan yang notabene dilahirkan dari rahim kapitalisme, tapi hendak menyelesaikan setumpuk persoalan itu melalui jalur institusional, menurut saya, hanya memperparah penyakit yang sudah ada alih-alih menyembuhkannya. Mengapa demikian? Sebab kapitalisme negara yang melahirkan oligarki serta menguasai setiap sudut kotak suara sudah menjadi satu kekuatan yang tidak bisa dilawan dengan memilih kandidat yang ada. Bagi saya, perayaan pilkada di bawah cengkeraman demokrasi oligarki hanyalah alat pengawetan kuasa oligarki dan kelompok kapitalis, atau pergantian aktor penindas baru.
Bukan berarti pendidikan politik rakyat tidak penting, tapi yang lebih penting jika itu diorentasikan pada perombakan struktur ekonomi-politik yang ada. Pun jika mereka terpilih, mereka bisa lakukan apa selain tunduk di bawah kekuatan oligarki? Tidak cukupkah menjadi pelajaran pahit bagi kita dari parade kegagalan beberapa tokoh reformasi yang dulunya berteriak lantang dan sekarang bisu di tengah penderitaan rakyat? Lagi-lagi perlawanan melalui jalur institusi elektoral tidak akan pernah tercapai jika sistemnya masih kapitalistik.
Kondisi aktual negara yang terbelut dalam cengkraman kapitalisme global, dan kritik terhadapnya, bisa kita mulai dari pandangan Rosa Luxemburg melalui perdebatannya dengan juru bicara kaum reformis, Eduard Bernstein. Keinginan untuk melawan rezim kapitalistik melalui reformasi sosial adalah utopia. Negara menjadi negaranya kapitalis karena adanya kemenangan politik borjuasi. Negara saat ini adalah sebuah organisasi dari kelas yang berkuasa, dan negara mengambil posisi di pihak kelas dominan. Juga menegaskan bahwa perkembangan reformasi sosial dan jalannya demokrasi justru memperkuat pondasi ekonomi kapitalis, sehingga revolusi menjadi solusi terakhir.
Atas dasar itu, harapan pembaruan praktik demokrasi oligarki melalui prosesi pilkada bukan solusi yang tepat. Sebab, memutus mata rantai oligarki, jika merujuk pada Jeffrey Winters dan Vedi R. Hadiz, hanya bisa dicapai dengan perombakan total struktur yang ada. Dalam watak negara yang kapitalistik seperti saat ini, lembaga-lembaga perwakilan yang demokratis bentuknya, pada dasarnya adalah instrumen dari kepentingan kelas yang berkuasa, dan secara otomatis bentuk-bentuk demokratis itupun dikorbankan oleh borjuasi nasional yang berjejaring dengan para pialang-pialang politik di aras lokal. Itulah mengapa harapan akan pilkada untuk menentang eksploitasi kapitalisme adalah ilusi.
Pilkada Untuk Siapa?
Melihat relasi bisnis-politik yang terjadi dewasa ini, tidak terlepas dari proses kesejarahan. Pada masa Orde Baru, para konglemerat membangun pola patronase yang tersentral pada Soeharto. Relasi antara bisnis dan politik ini bisa dilihat dari dua hal. Pertama, keterlibatan pemerintah (negara) dalam pasar (bisnis). Kedua, keterlibatan bisnis dalam dalam kehidupan politik. Rezim Orde Baru adalah ukiran sejarah kelam yang pernah tercatat dalam kamus ketatanegaraan Indonesia. Bagaimana tidak, berbagai macam tragedi lahir dari rezim ini, semisal, pembungkaman kebebasan rakyat melalui kristalisasi ideologi, pembantaian masal anak bangsa yang tak berdosa, dan rentetan persoalan lainnya.
Kekuasaan rezim diktatori itu menemukan titik nadirnya pada bulan Mei 1998. Tumbangnya rezim diktator Soeharto, yang dilambari dengan angin reformasi yang berhembus kuat ke seluruh pelosok negeri, telah melahirkan berbagai macam perubahan seperti desentralisasi kekuasaan politik sebagai antitesa dari sentralisasi kekuasaan Soeharto beserta kroni-kroninya. Desentralisasi secara penuh memberikan kewenangan kepada daerah dalam menggerakkan roda pemerintahan, namun desentralisasi terbukti tidak menghadirkan perubahan yang kita harapkan. Sebab menurut Hadiz, dengan desentralisasi pula pola patronase Orde Baru menemukan varian-varian baru yang dulunya tersentral dan sekarang kembali menguatkan diri dan tersebar di berbagai daerah. Desentralisasi yang semula dimaksudkan untuk mendekatkan negara kepada rakyat, justru berubah menjadi lahan garapan baru bagi pialang politik baik di tingkat nasional maupun di aras lokal.
Relasi simbiosis mutualisme antara elite politik dan pebisnis jamak kita lihat ketika musim pilkada. Mulai dari pendanaan yang di berikan oleh pengusaha kepada calon kepala daerah yang berkompetisi, pembelian partai pengusung hingga dana pelaksanaan kampanye yang begitu besar. Sebaliknya sebagai balas jasa calon kepala daerah berjanji akan memberikan konsesi proyek-proyek dan kemudahan bagi para pebisnis. Inilah yang kemudian disebut sebagai politik kartel.
Pilkada, Merawat Kapitalisme!
Mahalnya biaya politik, secara otomatis menjadikan uang sebagai instrumen penting dalam ajang kontestasi. Alhasil, kandidat tidak takut untuk menggelontorkan uang yang jumlahnya tidak sedikit, karena mereka bisa mengubah suara rakyat menjadi komoditi. Tentunya komoditi ini adalah keuntungan ekonomi. Rakyat diasumsikan sebagai pasar dan asetnya untuk menggantikan modal. Persis dengan tesis Karl Marx sebagaimana dikutip George Ritzer (2011) bahwa para aktor bukannya memproduksi untuk dirinya atau asosiasi langsung mereka, melainkan untuk orang lain (kapitalis), artinya rakyat yang memilih dalam corak negara kapitalis bukanlah untuk kepentingan rakyat itu sendiri melainkan untuk kepentingan para oligarkis itu.
Dalam pilkada produk itu adalah suara rakyat dalam kotak pemilu yang nantinya dapat dipertukarkan di pasar demi uang dan objek lainnya. Pada titik ini rakyat hanyalah tumbal dari bentuk keserakahan kaum kapitalis dan oligarki melalui demokrasi saat ini. Pilkada menjadi lahan subur untuk merawat dan memfasilitasi produksi dan reproduksi kapital. Tidak heran jika masalah kesejahteraan dan keadilan rakyat tidak pernah terwujud, yang ada justru rakyat semakin termarjinalkan secara ekonomi dan politik.
Kondisi inilah yang kini sedang kita nikmati secara seksama dan gembira. Demokrasi hanya menjadi ajang untuk pergantian dan pembagian kekuasaan di tingkatan elite, sementara rakyat hanya menjadi peserta penggembira lima tahunan. Sampai kapan kita ingin terus menikmati pestanya para oligarkh ini? Hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya.***
Penulis bekerja di Universitas Tribhuana Tunggadewi Malang
Kepustakaan:
Vedi R. Hadiz, Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, (LP3ES, 2005), hal. 289
Jeffrey A Winters. 2011. Oligarki, Terj. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
George Ritzer & Douglas J, Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian, Kreasi Wacana (2011), hal. 53