MARI kita mulai dari apa yang oleh kaum Marxis sebut ‘hukum nilai’. Hukum ini menyatakan bahwa semua komoditas dipertukarkan satu sama lainnya sesuai nilainya, yakni sejumlah tertentu kerja yang secara sosial diperlukan untuk memproduksinya. Di pasar, yang jadi satu-satunya simpul pengikat kerja-kerja individual ke dalam semesta kerja sosial sekaligus hakim terakhir bagi semua pencari kebenaran nilai dari curahan kerja-kerja mereka, semua komoditas dan semua penjual sepenuhnya setara jika saja tidak ada sejenis komoditas dengan watak yang amat khusus bagi kapitalisme: tenaga kerja.
Kalau nilai komoditas ditentukan jumlah kerja yang diperlukan secara sosial untuk produksinya, bagaimana dengan komoditas tenaga kerja? Barang macam apa sih sebenarnya tenaga kerja itu? Tenaga kerja ialah kapasitas mental dan fisik individu manusia untuk mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Tenaga kerjanya tukang kayu, misalnya, ialah segenap pengetahuan yang ada di benak beserta keterampilan mental-manualnya si tukang kayu untuk mengubah sebatang kayu menjadi kusen atau risbang. Begitu pula dengan tenaga kerjanya akuntan atau wartawan atau dosen. Tenaga kerja ini, beda dengan komoditas lainnya, pada dasarnya tidak hadir sebagai objek material tanpa sosok material yang mengandungnya. Tukang kayu yang mati tidak punya tenaga kerja. Begitu pula dosen yang koma. Tenaga kerja hanya mungkin tercurah melalui tubuh hidup manusia. Karena tenaga kerja adanya di dalam diri seseorang maka hanya Alloh dan diri si pekerja saja yang tahu kualitasnya. Apa yang bisa diketahui orang lain dari tenaga kerja itu hanyalah produk akhir yang dihasilkan dari pencurahannya dan seberapa lamakah curahan tenaga kerja itu berlangsung. Kelindan organik tenaga kerja dan pekerja hidup yang memilikinya inilah yang menjadi watak ganjil komoditas tenaga kerja.
Kalau tenaga kerja itu kapasitas mental dan fisik yang tak terpisahkan dari pekerja hidup, bagaimana nilainya sebagai komoditas diukur? Sama seperti komoditas lainnya, nilai tenaga kerja diukur oleh sejumlah tertentu kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Tapi, karena tenaga kerja hanya ada di dalam tubuh yang hidup, dan tubuh hidup itu butuh syarat-syarat material supaya bisa berlanjut hidup, maka nilai tenaga kerja bisa diukur oleh seberapa banyakkah kerja yang diperlukan untuk memproduksi syarat material hidupnya pekerja atau dengan kata lain nilai tenaga kerja diwakili oleh sejumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan sarana hidupnya pekerja.
Di dalam ekonomi komoditasnya kapitalisme yang serba moneter, yang di situ semua harus dikomunikasikan lewat perantaraan uang, nilai tenaga kerja diwakili sejumlah tertentu uang yang para pekerja perlukan untuk belanja sarana-sarana hidupnya. Ekspresi moneter atau harga dari tenaga kerja sebagai komoditas inilah yang disebut ‘upah’. Pertanyaannya, bagaimana sistem upah bisa jadi biang keladi lahirnya ketimpangan kekayaan dari dalam tatanan perekonomian kapitalis yang bermoralkan kebebasan, kesetaraan, dan keadilan sempurna itu?
Sebelum jawab pertanyaan di atas, kita mesti kembali ke pengertian tenaga kerja. Tenaga kerja itu kualitatif tapi di bawah rejim ekonomi komoditas ia mesti ditakar secara kuantitatif. Tenaga kerja hanya terejawantah selama proses pencurahannya, yakni selama proses produksi yang di dalamnya pekerja, dengan serba pengetahuan dan keterampilan potensialnya mencurahkannya terhadap objek kerja. Baik sebelum maupun setelah pencurahannya, ketika pekerja berada di luar proses produksi, tenaga kerja kembali seperti semula, yakni sebagai kapasitas atau potensi individual. Karena tenaga kerja hanya mengada selama pencurahannya di dalam suatu proses produksi, dan proses produksi—sebagai sebuah proses—terkerangkai waktu, maka dengan waktu pulalah tenaga kerja dikuantifikasi dan diseragamkan. Waktu yang selama itu tenaga kerja dicurahkan bolehlah disebut waktu-kerja.
Seperti semua komoditas, tenaga kerja dibeli kapitalis untuk dikonsumsi nilai-gunanya. Seperti semua komoditas yang sudah dibeli di bawah hukum pertukaran berbasis uang, tenaga kerja yang sudah dibeli jadi milik mutlak pembelinya. Si pembeli boleh melakukan apapun kepada miliknya tersebut. Setelah kontrak jual-beli tenaga kerja antara pekerja dan kapitalis diteken, pekerja harus mencurahkan tenaga kerjanya untuk kepentingan kapitalis selama rentang waktu tertentu yang ditentukan kapitalis. Karena tujuan utama pembelian tenaga kerja bukan sekadar mengonsumsi nilai-guna tapi terutama menciptakan nilai baru lewat produksi komoditas, maka waktu-kerja yang selama rentang itu nilai-guna tenaga kerja dikonsumsi, dapat dipilih dua untuk menakar sumbangsihnya terhadap penciptaan nilai.
Seperti sudah dikatakan di atas, nilai komoditas tenaga kerja setara dengan nilai komoditas sarana hidup yang dibutuhkan untuk memulihkan tubuh pekerja tempat tenaga kerja itu berdiam. Tujuan kapitalis membeli tenaga kerja juga bukan hanya untuk mengonsumsi nilai-gunanya saja, tetapi mendapatkan nilai baru dari proses konsumsi tersebut. Kalau kapitalis menghentikan pencurahan tenaga kerja tepat ketika proses tersebut menghasilkan nilai yang setara dengan nilai tenaga kerja yang dibayarkannya, kapitalis berhenti menjadi kapitalis dan malih rupa menjadi filantropis dan bisnisnya berubah menjadi yayasan bakti pertiwi. Karena kapitalis bukan Yesus, dan dengan kuasa moral dan legal mutlaknya sebagai pemilik dari komoditas yang sudah dibelinya, kapitalis bisa memaksa pekerja terus mencurahkan tenaga kerjanya melewati rentang waktu-kerja yang telah menghasilkan nilai yang setara dengan nilai tenaga kerja pekerjanya. Sebentang waktu-kerja yang di situ curahan tenaga kerja menghasilkan nilai yang setara dengan nilai sarana hidup yang diperlukan pekerja memulihkan diri bolehlah disebut waktu-kerja-perlu. Rentang waktu-kerja setelahnya hingga mencapai titik selesai yang diperlukan secara sosial untuk bekerja bolehlah disebut waktu-kerja-lebih. Di sepanjang waktu-kerja-perlu dihasilkanlah nilai-perlu, sedangkan selama waktu-kerja-lebih dihasilkanlah apa yang disebut nilai-lebih. Nilai-lebih ini yang jadi tujuan kapitalis membeli dan memaksa pencurahan tenaga kerja selama waktu-kerja tertentu.
Cara primitif yang biasa kapitalis lakukan untuk mendapatkan nilai-lebih sebanyak mungkin ialah memperpanjang rentang waktu-kerja sehingga waktu-kerja-lebih juga memanjang karenanya. Eksperimen kelas kapitalis pertama untuk memperpanjang waktu-kerja berlangsung sepanjang abad ke-14 hingga abad ke-17, ketika borjuasi mulai menapakkan kakinya keluar dari benteng-benteng feodalisme. Di semua negeri Eropa Barat kala itu berbagai macam undang-undang diterbitkan terkait penetapan waktu kerja minimum yang pada pokoknya melarang para pekerja bebas bekerja kurang dari rentang waktu tertentu. Kala itu waktu kerja minimum ialah dua belas jam kerja sehari dan enam hari sepekan. Waktu kerja minimal ini lebih panjang dibandingkan waktu kerja rata-rata yang berlaku di masa dominasi gilda-gilda pengrajin feodal yang hanya 10 jam kerja sehari, enam hari seminggu. Selain kehancuran gilda-gilda pengrajin yang menyediakan limpahan pekerja bebas dan persoalan paling menonjol kala itu ialah terlalu banyaknya pengangguran di kalangan massa pekerja bebas, borjuasi juga mengembangkan inovasi manajerial yang memungkinkan operasi produksi berjalan hingga malam hari. Inovasi ini dimungkinkan oleh sains pada satu sisi dan pergeseran pandangan dunia di sisi lain. Kalau di dalam pandangan dunia masyarakat feodal malam hari dan Hari Minggu dianggap masa rehat alamiahnya manusia seperti yang Tuhan ajarkan demi kebaikan manusia sehingga secara moral kerja hanya boleh dilakukan sebelum senja tiba, di masa kebangkitan sains dan dominasi produksi komoditas, malam hari dipandang tak lebih sebagai serentang masa yang baik secara kualitatif dan kuantitatif tak beda dengan siang hari. Inovasi borjuasi lainnya ialah paket-paket makan siang yang bisa dimakan pekerja sambil bekerja, alat bersih-bersih yang bisa dioperasikan dengan cepat ketika pekerja mengaso, dan sebagainya.
Meski di bawah perekonomian komoditas kelas kapitalis punya hak moral dan legal untuk memperpanjang waktu-kerja sekehendak hati mereka dan itu artinya 12 jam sehari 7 hari sepekan seperti yang berlaku sebelum abad ke-18, namun eksperimen mereka itu rupanya tidak sesuai dengan tujuan pokok bisnis kapitalistik, yakni mendapatkan nilai-lebih yang makin hari makin banyak. Pekerja-pekerja yang dipaksa bekerja belasan jam sehari dan tujuh hari seminggu nyaris tanpa jeda istirahat malah jadi lebih mudah sakit-sakitan, loyo kerjanya, dan marah-marah terus sehingga secara umum mengganggu pencapaian tujuan kelas kapitalis mengakumulasi nilai secara berkelanjutan. Kondisi kehidupan populasi pekerja juga makin ngeri dengan tingkat kematian, morbiditas, dan kriminalitas yang tinggi. Bedeng-bedeng dan kampung-kampung kumuh pekerja menjadi sumber penyakit infeksi dan wabah bagi kota-kota yang pada gilirannya membuat kesempatan kelas kapitalis mengeksploitasi kelas pekerja secara berkelanjutan berkurang. Naluri negara borjuis akan eksploitasi yang berkelanjutan dan lestarinya masyarakat kapitalis itu sendiri, mendorong mereka berjuang memaksa kaum kapitalis untuk mengakhiri eksperimen kelas kapitalis mereka sendiri di abad-abad sebelumnya dan akhirnya berhasil menurunkan waktu-kerja rata-rata dengan pembatasan legal hari kerja maksimum. Meski demikian, upaya masyarakat kapitalis memperpendek waktu-kerja sama sekali bukan berasal dari jeritan hati nurani kaum kapitalis yang takut akan Tuhan, tapi lebih dari fakta bahwa kalau dorongan alamiahnya kapital akan nilai-lebih tidak ditahan oleh negara, seluruh negeri cepat atau lambat akan berubah menjadi kuburan massal yang di situ hanya tulang belulang pekerja yang akan kelihatan. Karena tanpa pekerja tidak akan ada eksploitasi atas pekerja, kepentingan kapitalis untuk menjamin eksploitasi di masa depanlah yang membuat negara borjuis berjuang menyetel batas-batas eksploitasinya saat ini. Bagaimana pun juga, kekuatan tenaga dan kehidupan pekerja harus dilindungi sampai taraf tertentu supaya ada jaminan bisa dieksploitasi lagi di masa depan. Sama halnya dengan hewan buruan yang dilindungi sampai waktu tertentu sehingga mereka bisa berbiak sebagai objek buruan dan bisa diburu lagi secara rasional dan rutin, begitu pula tenaga kerjanya proletariat yang dilindungi melalui reformasi sosialnya borjuis supaya berbiak dan bisa ‘dipanen’ secara rasional dan berkelanjutan oleh kapital. Perlindungan legal atas pekerja bukannya tanpa perlawanan dari kapitalis-kapitalis individual. Tak hanya soal lamanya waktu-kerja, tetapi juga, dan terutama, berkaitan dengan eksploitasi tenaga kerja perempuan dan kanak-kanak proletariat. Siapa kapitalis yang sudi puasa mengeksploitasi tenaga kerja paling murah dan berlimpah itu? Berbagai upaya dikerahkan untuk membuat keadaan seperti sedia kala. Tapi, seiring waktu, borjuasi akhirnya memahami akibat dari keteledoran pendahulu mereka yang mengeksploitasi pekerja seedan-edannya tanpa peduli kepada calon-calon kapitalis masa depan, generasi penerus mereka dalam perjuangan kelas, yang akan mewarisi segerombol pekerja yang hanya tinggal tulang bila keadaan tidak diubah.
Jadi, salah satu sumber misteris eksploitasi kapitalis ialah komoditas tenaga kerja, sejenis komoditas yang hanya terkandung di dalam tubuh hidup manusia, amat kualitatif, tapi berkat teknologi dan filsafat dunia tertentu dimungkinkan untuk dikuantifikasi. Di dalam transformasi dari kualitas ke kuantitas tenaga kerja inilah misteri eksploitasi kapitalis bisa dicari. Namun, ini bukan akhir riwayat.***
[Buat para pekerja kami haturkan Selamat Merayakan Hari Buruh Internasional, hari peringatan keberhasilan perjuangan kaum pekerja dalam menegosiasikan kuantifikasi tenaga kerja]
Bagian pertama dari tulisan ini bisa di lihat di sini: Misteri Eksploitasi (Bagian 1)
bersambung…