TULISAN ini akan sedikit mendiskusikan paparan Maurice Godelier, seorang ilmuwan sosial asal Prancis dalam bukunya, Rationality and Irrationality in Economics (1972). Hal ini berkenaan dengan salah satu aspek dari apa yang dikenal sebagai “metode Marx” dalam Kapital I. Dengan kata lain, mengenai penerapan materialisme dialektis ke kajian ekonomi-politik. Diskusi ini penting untuk sekali lagi memahami sifat-sifat pemikiran Marx; misalnya untuk mengerti bahwa sifat ilmiah itu bukan klaim para Marxis saja sehingga dapat dipelajari serta dimanfaatkan pula oleh kawan-kawan yang bukan Marxis.
Soal pertama yang mesti dihadapi ketika baru saja mengenal ekonomi-politik adalah sifat dari ilmu itu sendiri. Sebagai sebuah ilmu yang lahir sebelum mengenal corak pembagian keilmuan kontemporer—mengenal pembelahan ilmu-ilmu ke dalam sub-sub bidang yang makin sempit—ekonomi-politik terlihat megah. Di satu sisi ia kental dengan nuansa historis; “Ekonomi-politik adalah ilmu sosial dengan dimensi historis yang krusial”, kata sejarawan ekonomi Alessandro Roncaglia. Sedang di sisi lain, ekonomi-politik adalah ilmu kesejarahan masyarakat yang tampak begitu “filosofis”. Di dalamnya tidak ada deretan data-data sejarah lengkap dengan urutan kronologisnya. Tidak juga ada “ilmu sejarah” seperti yang dikenal sekarang ini. Yang akan terlihat adalah diskusi-diskusi mengenai konsep-konsep tertentu dalam suatu kerangka sistem teoretis lengkap dengan ilustrasi historisnya. Ibaratnya, filsafat+sejarah = ekonomi-politik.
Tegangan ini dijawab Marx lewat pemilahan prosedur formal antara method of inquiry (metode penyelidikan) dan method of presentation (metode penyajian). Sementara dalam proses penyelidikan Marx memeriksa bahan-bahan historis yang jadi dasar bagi konsep-konsep teoretisnya, maka dalam penyajiannya Marx berupaya memaparkan hasil penyelidikan itu dalam bentuk sistem teoretis. Alat bantu yang digunakan oleh Marx adalah abstraksi. Ia bekerja selayaknya seorang biolog dengan mikroskopnya yang hendak menemukan sel-sel penyusun mikroba. Proses abstraksi karena itu adalah mikroskopnya ilmu-ilmu sosial. Abstraksi, kata Lenin, membantu mengenal realitas secara lebih dalam, lebih penuh, dan lebih tepat. Yang hadir dalam buku Kapital I karena itu bukan lagi sejarah lengkap detail-detail historisnya, melainkan jalinan konsep-konsep atau kategori-kategori teoretis. Karenanya bisa dipahami mengapa Karl Kautsky (1887) dalam buku yang ia bikin untuk mempopulerkan Kapital mengatakan Kapital, “…Pada esensinya merupakan karya historis”. Kealpaan akan dimensi historis konsep-konsep Marx ini mestinya merugikan.
Langkah “deduktif-hipotetis” dijalankan untuk menjawab pertanyaan utama dalam kajian ekonomi-politik. Pertanyaan Marx bukan soal tinggi-rendahnya tingkat perkembangan produksi kapitalis; apakah ia berada dalam tahap pra-monopoli, tahap kapital-dagang, tahap imperialisme, dst,. Pertanyaannya juga bukan soal lokasi geografis produksi kapitalis; apakah produksi berada di negara Inggris atau di benua Asia. Pertanyaan yang ia ajukan dalam Kapital adalah mengenai hukum-hukum cara produksi kapitalis—untuk menyibakkan “hukum-hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern”. Pertanyaan Marx bukan soal tingkat tinggi-rendah perkembangan produksi kapitalis, bukan juga soal lokasi geografis produksi kapitalis, melainkan soal “hukum-hukum” yang memungkinkan naik-turun serta berpindah-pindahnya perkembangan produksi tersebut. Ia sendiri telah mengingatkan meski terlihat banyak menggunakan data-data historis negara Inggris abad ke 18/19, data-data ini ia perlakukan semata-mata sebagai “ilustrasi historis” bagi sistem teoretis yang hendak ia bangun.
Dalam konteks arsitektur Kapital di atas, Godelier bicara soal tiga pengandaian yang Marx gunakan lewat metode deduktif-hipotetis. Seperti yang sudah ditunjukkan, pengandaian deduktif-hipotetis ini berasal dari proses penyelidikan historis yang dilakukan sebelumnya.
Hipotetis pertama adalah hipotetis yang diperlukan untuk menemukan fundamen cara produksi kapitalis. Saya terjemahkan sedikit kutipan dari Godelier;
“Kapital sepenuhnya bersandar pada asumsi yang disederhanakan untuk membatasi secara a priori bidang analisis, agar bidang analisis tersebut disaat yang sama dapat ‘mengorganisasi dirinya sendiri’” (Godelier, 1972: 136).
Penyederhanaan ini terlihat paling kentara dalam pembagian cara produksi kapitalis ke dua kelas sosial proletariat-kapitalis, serta relasi ekonomisnya, yakni antara kerja-kapital. Kelas-kelas lain yang secara aktual juga hadir dalam masyarakat kapitalis (mis. tuan tanah, “petani”, lumpen borjuasi, dst) hanya dihitung sejauh pendapatan mereka, keberadaan mereka, merupakan turunan dari relasi produksi proletariat-kapitalis, atau, ketika mereka “tereduksi” menjadi salah satu bagian dari kelas-kelas produksi kapitalis. Misalnya “petani” yang sebagian besar penghidupannya bergantung pada kerja-upahan maka dalam Kapital ia akan disebut sebagai proletariat atau pekerja-upahan.
Menarik mencermati bahwa Marx sepertinya memandang proses penyederhaan, atau pemurnian ini tidak terjadi hanya dalam teori melainkan juga dalam realitas itu sendiri. Kita bisa mengingatnya sejak Manifesto Partai Komunis di mana Marx menyatakan bahwa kelas-kelas lain seiring waktu akan terlempar ke dalam salah satu kelas utama dalam produksi kapitalis. Saya kembali menyadari hal ini ketika membaca cuplikan dari buku III yang dikutip Godelier berikut;
“Dalam teori, kita mengasumsikan bahwa hukum-hukum cara produksi kapitalis berkembang dalam bentuk murninya. Dalam kenyataan, hal ini hanya suatu penaksiran; namun penaksiran ini semakin akurat, seiring perkembangan cara produksi kapitalis dan semakin sedikit ia tercemar oleh kondisi-kondisi ekonomi terdahulu yang membikinnya bercampur-baur. (Ibid.)”
Hipotetis kedua, komoditas dipertukarkan sesuai nilainya.
Hipotetis kedua ini bisa kawan-kawan pahami dari halaman 257-260 diktat ekonomi-politik Asal-usul Kekayaan (Resistbook, 2016) karangan Martin Suryajaya. Saya hanya akan menambahkan sedikit hal dan mengajukan pertanyaan. Menurut Godelier hipotetis ini adalah langkah operasional yang dibutuhkan Marx dalam analisisnya demi koherensi teoretik dan bikin deduksi atas kategori-kategori ekonomi lanjutan. Jika Marx berangkat dari hipotetis ini, maka pertanyaannya, “apakah komoditas paling utama dalam cara produksi kapitalis?” Jawabannya, adalah labour-power (tenaga-kerja)—kerja sebagai komoditas. Nah, konsekuensi logisnya, jika Marx mengandaikan komoditas dipertukarkan sesuai nilainya, jika ia mengandaikan bahwa kelas kapitalis sebagai pembeli tenaga-kerja, membayar buruh sesuai nilainya, maka dari mana kah asal-usul nilai-lebih?
Hipotetis ketiga, kategori-kategori ekonomi berelasi secara fungsional.
Hipotetis ketiga, kategori-kategori ekonomi terjalin secara fungsional—saling mensyaratkan, menjelaskan, dan melengkapi satu sama lain. Tidak ada kategori-kategori ekonomi yang hadir tanpa dijelaskan terlebih dahulu syarat-syarat kehadirannya. Tidak ada kategori ekonomi yang berdiri sendiri, mendadak hadir secara ad hoc terlepas dari totalitas objek kajian. Kategori-kategori ekonomi yang lebih kompleks, misalnya teori krisis atau kapital finansial, selalu dijelaskan sebagai sebuah perkembangan logis (dialektis) dari kategori-kategori ekonomi sebelumnya yang lebih sederhana (sekaligus abstrak) yang jadi prasyarat kehadiran kategori-kategori lain yang lebih kompleks (sekaligus konkret). Sulit bicara soal “krisis kapital” misalnya, sebelum terang dahulu apa yang dimaksud dengan “kapital”, apa komponen yang menyusunnya, dan apa syarat-syarat keberadaannya.
Hipotetis ketiga ini bersandar pada hipotetis pertama dan kedua yang telah dibahas di atas. Meski memahami objek kajiannya sebagai suatu kesatuan yang tersusun oleh jalinan kategori-kategori yang saling terlengkapi identitasnya, Marx memaparkan relas-relasi ini lewat satu pondasi dasar yang dapat jadi titik pijak penjelas akan fenomena yang lebih kompleks, pondasi itu adalah teori nilai. Segala kategori ekonomi yang hadir di dalam Kapital, komoditas, uang, kapital, tenaga-kerja, akumulasi kapital, dlsb, hanyalah turunan dari teori nilai. Menurut Godelier, konsekuensi dari deduksi-hipotetis ketiga ini adalah kemungkinan pembangunan model kalkulasi matematis dari komponen-komponen kategori ekonomi Marx. Sepanjang Kapital I hal ini, misalnya, terlihat lewat model rumus umum kapital, rumus tingkat nilai-lebih, rumus komposisi organik kapital, atau rumus tingkat-laba yang Marx hadirkan.
Satu aspek yang tidak didiskusikan oleh Godelier dalam paparannya adalah sifat dari relasi kategori-kategori ekonomi ini dalam analisis Marx. Menurut saya, sifat dari relasi-relasi ini bukan (hanya) fungsional, melainkan dialektikal. Relasi-relasi ini bukan hanya saling mensyaratkan, menjelaskan dan melengkapi, tetapi juga saling menegasi satu sama lain. Segala perkembangan dari kategori-kategori ekonomi lahir dari kontradiksi komponen-kompenen penyusunnya. Satu contoh yang memperlihatkan hal ini dengan amat benderang adalah analisis Marx mengenai “Bentuk-nilai”. Di sana, sekadar berbekal komponen-komponen yang menyusun komoditas, Marx mampu memberi penjelasan akan lahirnya kategori uang-komoditas sebagai hasil perkembangan dari pertukaran komoditas. Ia berhasil menunjukkan bahwa uang hanyalah perkembangan logis dari meluasnya pertukaran komoditas.
Jika diringkas maka pengandaian pertama membantu menemukan esensi dari objek penelitian, pengandaian kedua menolong menemukan sebab dari perkembangan fenomena, dan pengandaian ketiga memperlihatkan kesalinghubungan sekaligus sifat sementara dari fenomena yang sama. Lewat pemahaman akan hal ini kita akan terbebas dari beberapa pertanyaan yang kerap menghiasi kepala ketika baru mengenal pemikiran Marx, semisal hubungan antara teori dan realitas yang aktual, soal berlakunya hukum penawaran-permintaan, atau hubungan konsep-konsep dalam ekonomi-politik Marx.
Kalau maksud tulisan ini tersampaikan dengan baik, satu kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa dalam pemikiran Marx, metode terkait erat dengan objek kajian; metode yang tepat adalah cara berpikir yang dapat menyalin dan merefleksikan kembali realitas di dalam kognisi secara tepat. “Metode Marx” dibedakan dari “Dogma Marx” sebab cara berpikir ini tidak berangkat dari formula-formula yang siap-sedia diterapkan secara universal, tidak juga lewat cara mencari-cari “prinsip cara berpikir Marxis” teks-teks Marx, melainkan selalu bertolak dari realitas, sehingga penerapannya juga selalu sensitif pada perbedaan-perbedaan kualitatif realitas yang dikaji. Justru realitas yang mengondisikan bagaimana cara paling tepat untuk berpikir. Dilihat dari sudut yang lain, kesimpulan ini juga menimbulkan beberapa pertanyaan. Pertama, soal batas-batas dari metode Marx; bidang atau objek apa yang tidak mampu dijelaskan oleh metode Marx? Kedua adalah sebaliknya, soal perluasan metode ini; mengapa cara berpikir Marx dapat diperluas hingga menjadi sebuah Weltanschauungsmarxismus (pandangan dunia Marxisme)? Saya sendiri belum mampu menjawabnya.***