Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
Semua manusia menurut saya lebih sepakat mengenai apa yang baik dan apa yang buruk daripada mengenai mengapa hal-hal tersebut baik dan mengapa buruk (Sidney Hook)
Dia yang punya alasan MENGAPA harus hidup akan mampu menanggung segala bentuk BAGAIMANA caranya hidup (Nietzche)
Pembangkangan, bagi mereka yang pernah membaca sejarah, adalah kualitas terbaik manusia. Melalui pembangkanganlah kemajuan dicapai, melalui ketidak-patuhan dan pemberontakan (Oscar Wilde)
SEBULAN yang lalu SMI (Social Movement Institute) didatangi laskar. Mereka menuduh SMI bikin acara berbau Syiah. Mereka bawa rombongan besar. Malah ada mobil ambulance segala. Polisi berusaha mengamankan[1] dan ikut memfasilitasi dialog. SMI bertahan dengan keyakinan acara ini bukan seperti yang dituduhkan. Dengan terang-terangan kita katakan berteman dengan banyak aktivis Islam. Tuduhan itu salah alamat dan malah bawa masalah. Gertakan ini mujarab. Kegiatan menonton jalan. Persekusi dapat digagalkan. Tapi terus terang ini cara konyol. Menolak persekusi dengan cara berkelit. Meng-klaim kekuatan yang kita punya. Menyatakan bahwa kita juga punya ‘kawan’ yang serupa. Tapi inilah upaya pertahanan minimal. Saat mana konstitusi dan aparat tak bisa menjamin kebebasan berkumpul serta menyatakan pandangan. Kita seolah kembali pada lorong Orba, saat dimana intimidasi dan represi berlangsung dengan buas.
Padahal Orba runtuh karena kesewenang-wenangannya. Rezim kapitalis-militeristik itu bertahan dengan keji dengan membunuh, menculik hingga memenjarakan rakyatnya. Tak terhitung banyak kasus pelanggaran HAM selama Soeharto bercokol. Ingatan atas semua itu diabadikan salah satunya melalui Aksi Kamisan. Di sana para korban hingga simpatisan berdiri. Mereka menolak lupa. Ingatan telah menautkan bangsa ini pada soal yang tak bisa dipenuhi: keadilan. Nilai yang terus dikhianati terutama setelah Soeharto roboh. Bukan saja karena rezim berusaha menangkis tuntutan tapi massa mengambang diorganisir oleh sayap kekuatan konservatif. Elemen yang pada masa Orba memang diorganisir untuk kepentingan rezim sekaligus rumah para bandit. Sehingga ketika Orba runtuh para pendukungnya berusaha untuk menjelma dan mengubah diri sebagai reformis. Muncullah partai politik serta Ormas yang memusatkan perubahan pada bersatunya kaum orbais dengan para reformis[2].
Mulusnya adaptasi ini diperantarai oleh bertahannya lingkaran elite Orba dan kaum oligarkh. Mereka secara canggih mampu mereformasi posisi sehingga tetap punya pengaruh utama. Hampir semua menteri Orba duduk sebagai lapisan elite di kabinet siapapun. Malah secara piawai sekutu Orba melahirkan partai politik kemudian duduk sebagai ketuanya. Struktur kekuasaan yang dipadati oleh elite Orba ini mampu memproduksi kader-kader daerah yang sama liciknya. Kawanan perompak ini duduk sebagai pejabat daerah dari bupati hingga gurbenur. Kebijakannya bejat: menjual kekayaan alam daerah hingga jual beli SK. Banyak diantaranya ditangkap dan dipenjara oleh KPK. Tapi tak menutup kenyataan kusam kalau praktek Orbais ini meluas ke mana-mana. Dikendalikan oleh para oligarkh yang punya rentang pengaruh pada institusi resmi maupun basis-basis ekonomi vital. Bertahanya elite orbais ini punya resiko ganda: pengukuhan status quo dan bertahanya para serdadu.
Bertahannya elite orba ini karena aturan main. Didesain untuk menampung semua aktor tampak sirkulasi elite mengalami kekacauan. Para pemain baru dan amatir musti bersepakat dengan politisi lama yang canggih dalam memahami mesin politik yang ada. Melalui aturan main terciptalah kompetisi politik yang semu dimana partai politik tetap berkuasa sekaligus jadi penentu. Partai serupa dengan perusahaan yang menjalankan politik dengan cara jual-beli: tiap dukungan ada uang maharnya dan keputusan ditentukan oleh para ketua. Serupa dengan komplotan, partai telah jadi pintu bagi siapapun yang mau duduk di posisi utama. Bahkan partai menjelma jadi kekuatan inti penentu masa depan perubahan. Maka seperti ember raksasa, partai menampung siapapun dan siapa saja yang ingin ‘menjabat, berpengaruh dan punya peran’. Faktor yang membuat partai politik gampang sekali ricuh, pecah dan diancam oleh masalah.
Masalah utama dan mendasar adalah membuat partai politik ini besar dan berpengaruh. Mustinya ada pendidikan politik yang terstruktur dengan didasarkan pola pengorganisasian yang berbasis pada ideologi partai. Tapi semua tahu kelahiran partai politik di sini tidak normal sama sekali: muncul karena ada kesempatan politik dan diorganisir oleh kekuatan campuran. Hasilnya tampak pada pengurusan partai yang campau baur dengan keanggotaan yang mengejutkan. Ada aktivis, selebritis dan orbais. Bisa anggota partai satu pindah begitu cepat ke partai lain. Serupa mobil, pilihan aktif ke partai ditimbang dari sejauh mana ‘kecepatan’ partai mengantar pada kursi kekuasaan. Malah lebih mirip sebagai jaring persilangan antar keluarga yang beranak-pinak. Cerminan ini tampak pada pilihan kepala daerah dan susunan koalisi gado-gado di setiap daerah[3]. Target untuk menduduki kekuasaan membuat langkah-langkah pragmatis bahkan brutal ditempuh. Disanalah kaum demagog dan ormas fasis muncul sebagai sebuah keniscayaan.
Mengapa musti ormas fasis? Pilihan yang paling masuk akal karena pertimbangan pragmatis. Secara umum ormas ini adalah hasil dari kebijakan politik massa mengambang semasa Orba. Mereka yang dilumpuhkan kesadaran politiknya untuk diorganisir bagi banyak kepentingan sempit. Dihuni oleh kelas sosial yang dihantam oleh kapitalisme pasar bebas sehingga punya masalah dalam soal identitas hingga pekerjaan. Dipayungi oleh sentimen agama atau nasionalisme bar-bar dihimpunlah energi massa ini dalam rumah ormas. Pengalaman di masa lalu ormas macam begini terlatih menjadi jagal pada tiap konflik. Kebutuhan utama ormas ini hanya pengakuan dan perlindungan. Diakui dengan memberi mereka proyek keamanan serta dilindungi jika terlibat konflik. Di masa Orba kebutuhan-salah satunya- adalah untuk pemenangan pemilu dan ketika membesar ditumpas melalui kebijakan Petrus (Penembakan Misterius)[4]
Persekutuan ormas dengan serdadu jadi cerita lama. Dulu jadi algojo kini milisi. Terutama ketika gugatan atas pelanggaran mengarah pada institusi militer. Keintiman hubungan itu membuat aktor milisi maupun serdadu punya banyak kesamaan agenda: anti kiri dan mempertahankan patriotisme NKRI secara buta. Malah banyak ormas memanfaatkan kemampuan serdadu terutama dalam latihan kedisplinan dan aksi. Berulang-ulang kehamornisan hubungan itu dirawat baik oleh sejarah maupun aliansi taktis pada agenda-agenda tertentu. Pada masa kejatuhan Orba hingga merebaknya konflik di sejumlah daerah. Sulit untuk mengerti bagaimana perolehan senjata hingga kekejian yang ada di banyak ormas kalau tak diajari oleh para serdadu. Ruang konsolidasi di antara mereka juga muncul pada banyak peristiwa sosial maupun politik. Relasi ini bukan hal baru tapi cerminan dari evolusi demokrasi sekaligus logika dari struktur kekuasaan Orbais.
Ormas ini juga mahir mendorong agenda-agenda populis. Terutama topik semacam: keadilan, kesejahteraan hingga keyakinan keagamaan. Topik itu mengena di tengah kondisi ketimpangan sosial d imana-mana. Kampanye yang terus digelorakan adalah pemurnian keyakinan hingga ancaman atas kehidupan ekonomi. Isu-isu ini dimasak begitu rupa hingga memunculkan beragam hoax yang volume produksinya sudah berlebihan[5]. Konten-konten SARA itu jadi ladang bisnis yang memakan untung luar biasa. Digerakkan oleh berbagai isu liar itulah ormas-ormas tersebut melakukan persekusi. Terdapat banyak contoh korban persekusi yang bermula dari omongan di media sosial. Secara sederhana hoax dan ormas seperti bertaut karena para penggerak hoax menjadi inspirator bagi bergeraknya ormas. Tekhnologi media sosial ini telah jadi arena persekutuan sekaligus pengorganisasian isu yang bisa menggerakkan siapa saja. Setidaknya ormas ini menjadi penumpang gelap dari disorganisasi dan kekacauan pada praktik demokrasi di sini.
Ormas ini makin mahir dalam mengelola diri. Secara patron merawat hubungan dengan kekuatan politik mana saja. Bahkan secara fungsi mampu melayani kebutuhan siapapun, terutama yang berurusan dengan hukum. Maka untuk memelihara keyakinan sekaligus militansi anggota ada kebutuhan untuk munculnya para demagog. Mereka yang bisa meyakinkan tentang siapa musuh dan mampu menanam keberanian buta. Kaum demagog ini bukan didasarkan atas pengetahuan tapi keyakinan yang serupa. Maka saat kompetisi politik berjalan peran dan fungsi demagog jadi penting. Tak harus berorasi di kumpulan massa tapi cukup dengan menabur berita hoax yang diproduksi begitu rupa. Nyala ranting kebencian itu berkobar dengan melahap siapa saja yang membaca dan ormas jadi ujung eksekutornya. Jejak rekam dalam kasus intoleransi hingga konflik di banyak tempat membuat ormas jadi kekuatan raksasa yang bisa sulit dikendalikan.
Kenapa sulit dikelola?
Karena memang rezim masih memerlukan kekuatan ini untuk mengatasi tuntutan radikal dari kekuatan sipil. Terutama tuntutan keadilan atas korban pelanggaran HAM masa lalu maupun perlindungan atas minoritas. Dimana pada konteks soal penanganan kasus HAM masa lalu memang tinggal pada soal enforcement-nya[6]. Pada soal minoritas terdapat banyak masalah menggantung. Soal yang menganggu bahkan menempatkan sejumlah kota pada predikat yang buruk. Di samping untuk menangkis tuntutan, ormas bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan-kebutuhan ‘kotor’. Melindungi bandit, menganiaya hingga membunuh. Setidaknya ormas digunakan untuk membatasi keriuhan demokrasi dan mengintimidasi kelompok sipil yang keras dalam menyatakan posisi.
Kemampuan memobilisasi massa jadi alat tekan pada semua masalah. Melalui proses mobilisasi yang terstruktur sekaligus intimidatif ormas telah menjelma serupa dengan pasukan keamanan. Melakukan praktik persekusi hingga menekan organisasi atau lembaga mana saja. Tak jarang dengan piawai melakukan arak-arakan untuk kegiatan apa saja yang bisa menunjukkan kekuatan ormas di hadapan rezim serta publik. Pilkada DKI salah satunya jadi bukti bagaimana kekuatan ormas menghimpun dan mengonsolidasi massa dalam jumlah raksasa[7]. Massa seperti barisan boneka yang digerakkan oleh para demagog dengan ucapan, pernyataan hingga provokasi liar. Aneka rupa kegiatan penghimpunan massa dilakukan sebagai praktik mobilisasi dana sekaligus memastikan dukungan para oligarkh.
Konflik dan fragmentasi mudah muncul karena berebut proyek. Banyak konflik antar ormas pada skala yang kecil maupun besar[8]. Ramuan konflik ini bisa mengambil bentuk rebutan lahan hingga rebutan kader. Bisa pula dipicu oleh pertarungan antar kandidat atau pengurus. Bahkan dapat pula karena konflik antar pengurusnya sendiri. Singkatnya kerentanan konflik membuat ormas itu bisa tenggelam atau muncul dalam bentuk baru. Namun fragmentasi itu yang membuat kekuatan ormas menjadi lebih tersebar, kurang terkoordinasi dan sporadis dalam bentuk aksi. Kelemahan ini yang sebaiknya jadi catatan penting bagi gerakan sipil untuk tidak melihat soal eksistensi Ormas hanya pada kegiatan brutalnya tapi juga ketidak-mampuanya untuk membesar jadi kekuatan sosial yang signifikan.
Kemudian apa yang bisa dilakukan?
Gerakan sipil memerlukan amunisi anak-anak muda yang potensial direkrut oleh ormas. Pada sisi populasi mereka jumlahnya paling besar dan mayoritas tinggal di kota[9]. Kantong-kantong anak muda mulai disisir untuk dijadikan kader militan. Heroisme anak muda maupun pragmatismenya musti dimanfaatkan untuk melawan sentimen konyol yang diungkapkan oleh para demagog. Mereka yang dinamai gerakan z punya kemampuan dalam teknologi yang secara aktif dapat memproduksi artikel atau pesan perlawanan. Melalui aneka bentuk manifestasi anak-anak muda dapat melakukan perlawanan yang militan, terus-terusan dan menggerakkan. Terutama dalam upaya mempertahankan demokrasi dan meneguhkan sekulerisme dalam hidup bermasyarakat. Kantong anak-anak muda ini makin banyak terpusat di lembaga pendidikan maupun perguruan tinggi.
Perlunya untuk memanfaatkan taktik ormas dalam membuat kerisauan atas situasi sosial yang dihadapi. Pengalaman LBH dalam menangani banyak kasus-kasus struktural dapat dijadikan media kampanye mujarab untuk didengungkan pada area publik. Area yang kini banyak ditinggalkan dan terus dihujani oleh berita bohong maupun agenda ormas yang punya aktivitas bahaya. Merecoki ruang publik dengan ancaman atas soal demokrasi penting terutama untuk melawan keyakinan semu atas totaliterisme. Bentuknya bisa populer: melalui aneka aktivitas yang dapat menjaring minat publik. Kasus pabrik semen Rembang hingga teluk Banoa bisa jadi contoh kontemporer. Publik patut untuk diberitahu resiko apa yang terjadi jika kegiatan persekusi itu terus berlangsung. Kampanye bukan hanya sebagai ajakan tapi juga pendidikan publik.
Tentu persoalan hukum dan keadilan patut untuk dijadikan dasar pengorganisasian. Menampung relawan untuk menangani, terlibat dan mendokumentasikan pengalaman merupakan taktik pembelajaran yang jitu. Upaya Kalabahu-instrumen pendidikan LBH- salah satunya perlu ditunjang oleh pendidikan-pendidikan alternatif untuk memahami kalau soal hukum bukan hanya pada pengamalan pasal tapi juga bagaimana memaknai hukum yang terkait dengan soal politik, sosial dan budaya. Bukan hanya untuk membangun opini positif tapi juga meraih dukungan nyata jika LBH suatu saat mengalami tekanan massa seperti pada waktu sebelumnya. Di samping memang itu juga punya tujuan mengembangkan aliansi dengan aktor-aktor strategis perubahan. Belajar pada kasus-kasus sebelumnya, diperlukan ‘respons strategis terhadap logika baru persaingan politik’: dimana kasus-kasus hukum di tingkat lokal dapat jadi dasar untuk melakukan kampanye aktif soal keadilan serta perlindungan.
Jika bisa diusulkan memang mengembangkan jejaring dengan ormas agama yang punya pandangan serupa. Bukan melalui deklarasi atau pelatihan tapi bagaimana mengembangkan pertukaran pengalaman berorganisasi. Sehingga aktivis sipil maupun keagamaan mendapatkan pengalaman baru dalam memahami gagasan perubahan. Di samping juga untuk bisa memberi perspektif pada tiap agenda perubahan untuk tidak menanggalkan unsur keadilan dan sentimen etis. Seperti yang dirintis oleh Kristen Hijau maupun FKSDA salah satunya. Ramuan itu dalam sejarahnya menghasilkan pelipatgandaan kekuatan yang berarti sebagaimana ada pada Syarekat Islam. Organisasi di abad 19 yang mencetak para aktivis militan dengan pemikir raksasa.
Akhirnya:
Perjuangan mempertahankan demokrasi memang tak mudah. Arus balik yang kini menghantam begitu keras dan mengkhawatirkan. Tiap saat kita semua seakan berada di tepi jurang yang mengancam sekaligus bisa memusnahkan apa saja yang sudah kita rintis. Tapi mungkin karena itu perjuangan ini jadi tampak lebih menantang dan memerlukan taktik yang beragam. Tiap rintisan alternatif tidak hanya diukur dari dukungan tapi sejauh mana bisa mengatasi soal soal dasar yang kita hadapi. Hanya pengalaman telah membentuk kita bahwa kepercayaan diri atau pendidikan tinggi hingga jaringan yang rapi tetap tidak cukup untuk menembus tembok ototerisme. Kita ternyata butuh militansi ganda yang bisa meyakinkan diri kita dan sekitar kita, pengetahuan yang membakar yang membuat kita punya keyakinan untuk bertahan dan tentu resiko yang berbahaya hingga kita bisa meraih makna perjuangan yang sebenarnya. Kalau itu diringkas dengan kata mutiara mungkin kalimat Iqbal bisa mewakilinya: Jadilah debu, maka mereka akan melemparkanmu ke udara. Jadilah batu maka mereka akan melemparkanmu ke kaca.***
Artikel ini sebelumnya merupakan makalah yang disampaikan untuk Raker LBH Jakarta 8 Februari 2017
———-
[1] Secara kronologis polisi merespon ancaman yang dikeluarkan lewat medsos. Datang mereka sejak siang ke kantor. Kemudian malam hari pasukan polisi berada di tiap sudut jalan. Rombongan laskar ingin masuk tapi diminta perwakilan. Tiga orang wakil muncul untuk berkomunikasi. Dialog berjalan cepat dan berakhir begitu saja. Sejak saya ungkapkan SMI itu siapa saja yang bertandang dan reputasinya di kalangan gerakan Islam.
[2] Ormas-ormas Islam mulai muncul pada penghujung kekuasaan transisi Habibie. Dimotori oleh DDII dan KISDI yang tak pernah menunjukkan karakter demokrasi, aksi-aksi mereka berhasil meletakkan proses transisi ke dalam kerangka legalitas Orde Baru: dengan mempertahankan sebagian besar struktur dan elite rezim lama, Reformasi menafikan Revolusi. Padahal Islamisme Militan pada akhirnya tak mendapat keuntungan apapun dalam dukungannya pada Habibie. Pemilihan umum pada masa kepemimpinannya telah menggagalkan politik Islam. Lih Remy Madiner, dari Revolusi hingga Reformasi: Perjalanan Mutasi Politik yang tak Selesai, Gramedia 2017
[3] Nyaris tanpa perkecualian, seluruh pimpinan politik di jajaran teratas selama satu dasawarsa ini berasak dari nenek moyang atau kelompok anak pinak yang sama, entar tersebar atau terkumpul di satu partai, sehingga di sana sini menjadi titik tolak strategi aliansi antargaris keturunan bak di zaman kuno. Ibid, 184
[4] Lih Artidjo Alkostar, Negara Tanpa Hukum, Pustaka Pelajar dan Pusham UII, 2001
[5] Data dari Kemenkominfo ada peningkatan 900 persen jumlah pengaduan masyarakat terkait konten di situs, akun media sosial, aplikasi telepon genggam dan perangkat lunak. Selain itu ada 528.396 konten negatif yang ditindak lanjuti platform media social pada 2017. Penanganan konten negative pada 2017 meningkat 9.000 persen dibandingkan 2016. Lih Kompas 1 Februari 2018
[6] Hal yang bisa dikatakan berhasil pada persoalan HAM baru pada pengembangan tata cara baku HAM dalam perangkat perundang-undangan (mulai dari amandemen UUD hingga ratifikasi instrument HAM international) pembentukan timpencari fakta dan kehadiran institusi-institusi yang diharapkan dapat menyelesaikan berbagai pengaduan tentang pelanggaran HAM (mulai dari pembentukan pengadilan HAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi hingga Mahkamah Konstitusi). Hanya pengadilan ad hoc HAM untuk Timor Timur dan Tanjungpriok serta pengadilan HAM untuk Abepura praktis pembentukan pengadilan ad hoc HAM untuk kasus-kasus yang diselidiki Komnas HAM terhenti. Lih Ifdhal Kasim, Berakhirnya “Surga” Penegakan Hukum, Prisma Vol 30, No 1, 2011
[7] 212 telah jadi nama yang bisa dimanfaatkan untuk praktik mobilisasi di mana-mana, terutama para pemuka Islam yang selama ini tak berhasil menghimpun kekuatan dalam payung parpol dan dimanfaatkan untuk menggalang sentimen anti apa saja yang dianggap merugikan ‘Islam’.
[8] Salah satu yang cukup seru adalah kericuhan antar ormas yang berakibat 20 anggota luka-luka. Saat Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) berunjuk rasa di kantor pemerintahan Bekasi dan kemudian muncul ormas Pemuda Pancasila (PP) dengan Gerakan Inisiatif Siliwangi (Gibas) yang membuat konflik yang kata Polisi dipicu oleh provokasi. GMBI orasi ada penyeleweangan Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) yang kemudian memicu kericuhan. Paling tidak ada 250 kepolian dan 500 Satpol PP mengamankan. Lih Kompas 26 Januari 2018.
[9] Berdasar data Badan Pusat Statistik, ada 176,8 juta penduduk usia produktif pada tahun 2017 atau sekitar 67% dari 261,8 juta penduduk. Menurut Bank Dunia sekitar 52% tinggal di perkotaan, dan 68% diperkirakan tahun 2015 tinggal di kota. Kompas 29 Januari 2018.