Kredit foto: putrinyanormal.com
ADA perdebatan yang aduhai saya temukan di detikcom, beberapa waktu yang lewat. Mulanya T. Wahyuni, seorang peneliti kebijakan publik menulis sebuah esai singkat berjudul Glorifikasi Pariwisata[1] di detikcom 20 Desember 2017. Tulisan itu berisi kritik tentang pariwisata Indonesia. Berisi paparan lokus-lokus pariwisata di Indonesia yang tak berfaedah ke masyarakat setempat.
Besoknya tulisan tersebut ditangggapi oleh Fatma Puspitasari, seorang head communication Kementerian Bidang Kemaritiman RI, dengan tulisan berjudul Menjawab Glorifikasi Pariwisata: Mengapa Pariwisata Jadi Primadona.[2] Puspitasari tak membantah paparan fakta-fakta lapangan yang dikemukakan T. Wahyuni atas pembangunan kepariwisataan di Indonesia yang, nyatanya, mengecewakan bagi masyarakat. Melainkan melemparnya kepada beberapa contoh projek pariwisata yang dapat dinilai bagus.
Saya sebagai travel writer amatir merasa tertarik saja untuk ikut dalam perbincangan tersebut. Terlebih dahulu perlu dipahami bahwa kritik terhadap pariwisata merupakan sebuah analisa terhadap kebijakan. Tentu ini tidak dapat disamakan dengan abusive terhadap potensi wisata itu sendiri.
Asal muasal analisa kebijakan disebabkan oleh banyaknya kebijakan yang tidak memuaskan. Saya meminjam Edward Schaumberg Quade, seorang matematikawan Amerika yang gemar mengerjakan serial trigonometri dan analisis sistem. Sebab, kerap terjadi, kebijakan yang dibuat oleh pemangku kebijakan malah tidak memecahkan masalah, melainkan justru bahkan memunculkan masalah baru.
Puspitasari mencontohkan Kota Batu sebagai proyek pariwisata yang menurutnya bagus, terukur multiplier effect-nya ke masyarakat setempat dengan penambahan nilai dari produk lokal di Malang.
Namun saya lihat paparan Puspitasari tentang wisata Kota Batu sebenarnya tidak cukup clear. Puspitasari tidak menimbang bagaimana pola turisme di Kota Batu telah menghilangkan separuh sumber mata air dan setengah luas hutan di daerah setempat.
Pada tahun 2005, ada 111 sumber mata air yang biasa digunakan warga di Kota Batu. Pada tahun 2012 hingga 2014, kehadiran resort dan hotel mulai marak di Kota Batu, satu-per-satu sumber mata air warga lenyap dan tinggal 58 sumber mata air. Tahun 2014, Pengadilan Negeri Malang memutuskan bahwa kehadiran hotel yang mengekspolitasi sumber air warga Kota Batu telah menyalahi hukum.
Soal bandara, Puspitasari menyinggung, pembangunan bandara Kulonprogo tidak ‘hanya’ untuk pariwisata. Melainkan konektivitas memfasilitasi semua sektor, perdagangan, pendidikan, dan lain-lain; pariwisata termasuk di dalamnya. Pembangun konektivitas di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah dalam rangka mendukung destinasi wisata kawasan Borobudur yang merupakan salah satu dari 10 Kawasan Nasional Pariwisata Nasional. Ini disampaikan langsung oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi saat memberikan seminar Bandara Kulon Progo di Yogyakarta, Jumat (25/8).
Saya kira perlu dipertanyakan kembali, konektivitas semacam apa yang dimaksud dalam pembangunan ini, ketika dalam skema tata ruang, lokasi bandara itu tidak layak?
Pembangunan bandara di Kulonprogo menyalahi rencana tata ruang wilayah. Sebagaimana dapat dibaca dalam Perpres No. 28 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali dan Perda Provinsi DIY No. 2 Tahun 2010 tentang RTRW, tidak ada amanat untuk pembangunan bandara di pesisir Kulonprogo. Yang ada hanyalah pengembangan bandara Adi Sucipto yang terhubung dengan bandara Adi Sumarmo di Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Malahan kawasan pesisir Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi, sebab ini merupakan kawasan rawan tsunami (silahkan lihat Pasal 51 Perda DIY No. 2 Tahun 2010).
Selanjutnya eksekusi pembebasan lahan untuk bandara Kulonprogo menyerobot lahan produktif yang digunakan masyarakat dalam bertani. Perlu diketahui hasil lahan pertanian produktif warga Kulonprogo adalah komoditas unggulan, seperti padi, cabai, semangka, terong, dan tanaman holtilkultura lainya yang dapat dikatakan membantu kebutuhan bahan pangan nasional. Dimana cita-cita besar pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan pangan bagi rakyat Ketika lahan-lahan produktif pertanian warga malah diserobot?
Lebih dari itu bagaimana mungkin akal sehat kita dapat menerima projek pembangunan yang ketika penetapan izin lokasinya tak ada analisis mengenai dampak lingkungan. Bahkan Gubernur DIY pun mendaku tidak tahu bahwa harus ada kajian AMDAL sebelum penetapan izin lokasi (Tempo.co, 31/5/2016)
Maka dari itulah saya sepakat dengan istilah glorifikasi. Pariwisata bukan lagi primadona bila dalam pengembangannya mengecewakan warga. Understanding local residents’attitudes toward tourism development is vital for the success and sustainability of any type of tourism development, begitu kata beberapa orang karib dari Washington State University.
Cobalah tanya bagaimana bentuk primadona pariwisata itu kepada warga kampung Miliran Yogyakarta, yang sumur-sumurnya kering berbulan-bulan semenjak menjamurnya hotel-hotel (telah mengekspolitasi air) di sekitar tempat mereka. Cobalah tanyakan primadona pariwisata itu pada warga kampung Komodo yang tetap tertinggal, dan kini sulit mencari ikan. Cobalah tanah bagaimana bentuk primadona pariwisata itu pada warga-warga miskin kota Bandung yang tergusur demi taman kota (yang tak dapat dinafikan juga taman ini untuk menaikkan nilai properti).
Coba tanyakan bagaimana primadona pariwisata itu pada para mahasiswa yang tubuhnya jadi sasaran sepatu lars aparat, ketika mereka menyuarakan hasil pikirnya soal pembangunan bandara yang menyingkirkan ruang hidup warga di Kulonprogo. Coba tanyakan bagaimana bentuk primadona pariwisata itu pada terumbu karang, vegetasi mangrove, jenis biota perairan seperti udang, ikan dan kerang-kerangan yang terancam meninggal di wilayah Teluk Benoa yang mau direklamasi.
Dalam teori pariwisata yang diungkapkan oleh Dogan Gursoy dan K.W Kendall (2006), warga lokal akan dengan senang berpartisipasi jika mereka mendapat manfaat tanpa mengorbankan terlalu banyak hal. Jika manfaat lebih besar ketimbang dampak negatif, mereka akan mendukung pengembangan pariwisata di daerah mereka. Sebaliknya, jika kerugian yang terjadi akibat pariwisata dianggap lebih besar—mulai dari kerugian budaya, maupun kerusakan alam—ketimbang manfaat, mereka akan mulai melawan (Nuran, 2017).
Saya rasa pekerjaan rumah terbesar pemangku kebijakan dalam pembangunan, terkhusus pembangunan pariwisata, ialah bagaimana menghenyak alam kesadaran tentang hak asasi. Biar sepotong citra keberhasilan pembangunan tak lebih dari perona pipi.***
Penulis adalah travel writer; enthusiastic on classical music, tourism, and local conservation systems serta alumnus Indef School of Political Economy
————
[1]https://news.detik.com/kolom/d-3778042/glorifikasi-pariwisata
[2]https://news.detik.com/kolom/d-3780039/menjawab-glorifikasi-pariwisata-mengapa-pariwisata-jadi-primadona