Kredit foto: Tirto
SEJAK lama saya hanya ingin diam melihat konflik Bandara Internasional di Kulon Progo. Bukannya saya menutup mata terhadap penindasan negara terhadap petani Kulon Progo, namun karena saya bingung mau membantu apa. Jujur di dalam hati saya mendukung perlawanan petani Kulon Progo melawan Kebijakan negara! Namun, mulai hari ini saya bersikap, saya melawan kebijakan penjajahan Pemerintah atas petani Kulon Progo.
Pembangunan infrastruktur NYIA bukan dari kebijakan Gubernur DIY, Atau Bupati Kulon Progo. NYIA adalah kebijakan pembangunan proyek infrastruktur Pemerintahan Jokowi-JK. Dalam APBN 2016, pemerintah merencanakan pembangunan 15 bandara baru, dengan dalih membuat solusi atas kesenjangan ekonomi dan sosial[1]
Sebagai warga negara, sulit bagi saya untuk menerima logika bahwa pembangunan ini untuk memberantas kesenjangan ekonomi dan sosial. Data yang dilansir CNN Indonesia[2] tampak benar bahwa Provinsi DI Yogyakarta merupakan Provinsi dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di Indonesia setelah setelah DKI Jakarta. Namun, kalau kita lihat data yang dilansir oleh Majalah Tempo 2017[3], maka kita temukan gambaran sangat mengejutkan:
“Sebanyak 23, 7 juta petani Indonesia hanya memiliki lahan 21,5 Juta hektar. Sementara 2000 Perusahaan perkebunan menguasai 16 juta hektare. Sebanyak 304 perusahaan menguasai 26 juta hektare konsesi hutan. Sedangkan 13, 57 juta petani tidak memiliki lahan alias nol hektare.”
Apa artinya ini? Ternyata salah satu akar dari persoalan ketimpangan tersebut adalah akses pada kepemilikan tanah. Dengan kata lain, tanah merupakan kunci bagi kehidupan dan investasi. Ini terjadi karena Indonesia merupakan negara paling buruk dalam menjalankan industri manufaktur. Selama bertahun-tahun kekuasaan Suharto sampai Pemerintahan Jokowi-JK, tak ada perubahan apapun dalam menjalankan industri berkelanjutan. Indonesia selalu bertumpu pada sektor sumber daya alam mentah dan jasa dalam menjalankan roda perekonomiannya. Mengapa banyak investor menanamkan investasi propertinya di Yogyakarta? Karena mereka adalah bandar yang tak ingin bersaing dengan kapital internasional. Mereka ingin menjadi The Godfather di setiap kapling tanah di Yogyakarta. Sektor properti sekarang ini merupakan sektor yang diproteksi negara secara habis-habisan. Mengapa itu dilindungi? Mudah saja ditebak, karena mereka dekat dengan kekuasaan.
Karya Jeffrey Winters “Oligarki” dan Richard Robison “Suharto dan Pembangunan Kapitalisme di Indonesia” menjelaskan tanpa teding aling-aling bahwa pengusaha kaya raya di Indonesia selalu membutuhkan proteksi negara agar mereka bisa aman dari persaingan internasional dan memburu keuntungan semaksimal mungkin melalui jabatan politik, partai, dan birokrasi[4].
Pertanian di Indonesia merupakan sektor paling penting baik saat ini maupun masa depan. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Artinya, profesi petani merupakan kekuatan utama dalam perekonomian. Dengan proyek infrastruktur yang menjajah dan mengusir petani dari kegiatan pertanian artinya negara sudah keblinger dalam membuat kebijakan. Ketimpangan pemanfaatan lahan membuat petani kesulitan untuk sejahtera[5]. Hal yang seharusnya dilakukan pemerintah bukan membangun bandara untuk kelas menengah-atas, namun mengembangkan ekonomi kreatif dan UMKM yang sering jadi jargon Nawacita.
Mungkin kita terlahir menjadi bangsa yang suka sekali dengan jargon. Seperti jargon Nawacita, Trisakti, Ekonomi Pancasila, entah apapun itu hanya menjadi nyanyian kesenangan semu! Rakyat membutuhkan hal yang konkrit, dan yang konkrit itu apa? Bukan bandara internasional, bukan juga sawit. Rakyat hanya butuh bisa hidup nyaman, tenteram, bisa makan, mampu mencukupi kebutuhan, pendidikan, dan masa depan keluarga. Semua itu tidak akan terealisasikan bila kebijakan ekonomi malah menyingkirkan rakyat.
Petani punya kemerdekaan untuk mengelola lahan dan bebas menjual produknya. Harusnya negara menciptakan kondisi ekonomi yang sehat untuk mendukung sektor pertanian rakyat. Bukan malah membuat kebijakan cetak sawah dan menurunkan militer dalam membantu petani menanam, apalagi sampai melakukan penggusuran. Jangan-jangan rezim saat ini menyukai metode Suharto untuk merampas hak rakyat. Saya berdoa untuk rezim ini agar segera sadar dari ketidakwarasannya.
Terakhir saya ingin mematahkan argumen kelompok yang pro bandara. Dengan cara berhitung sederhana khas rakyat biasa. Begini saja kita hitung-hitungan duit. Berapa gaji yang kamu dapat untuk membeli tanah di Yogyakarta? jika misalnya kamu adalah warga Jogja yang UMR-nya tak lebih dari Rp. 1,5 juta.
Jika seluruh lahan di Indonesia dikuasai oleh pengusaha properti dan Sawit, kita semua ini mau hidup di mana? Bayangkan saja harga tanah di Jogja per meter bisa dijual sampai Rp. 1- 5 juta[6]. Kita ambil saja angka tengahnya, yaitu Rp. 3 juta per meter persegi. Kalikan saja kalau kita ingin membeli rumah sekitar 300 meter persegi, berarti harus merogoh kocek Rp. 900 juta. Itupun tipe rumah mini! Kalau ada inflasi kenaikan harga tanah bisa mencapai 13 persen per bulan, maka harga akan berlipat ganda. Karena ekonomi manufaktur Indonesia itu lesu, maka semua pengusaha berpindah ke ranah ekonomi jasa dan properti macam perhotelan, perumahan, bandara, dan apartemen. Di sini mereka merasa aman lantaran alat produksi tanah bisa terkunci, dan harganya melambung tinggi karena permintaan tanah tidak akan surut. Oleh sebabnya, bagi seluruh rakyat Indonesia yang memiliki tanah, apalagi petani, jangan sampai menjual tanah kepada pengusaha properti/rezim properti!
Ini logika sederhana yang saya pakai untuk menolak semua argumen terkait jargon pemerintah yang “katanya” ingin mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial. Bagaimana pemerintah bisa mengurangi kesenjangan kalau masalah utamanya adalah tanah itu dikuasai oleh konglomerat? Saya pesimis dengan hal ini.
Saya mengkritik pemerintahan Jokowi-Jk karena saya adalah warga negara Indonesia yang sadar bahwa negara ini semakin lama tidak jelas. Masa depan saya sebagai manusia Indonesia terancam karena kelak tidak bisa membeli tanah, karena tanah harganya selangit! Saya katakan hal ini tanpa jargon nasionalisme atau tetek bengeknya. Di dalam konflik agraria seperti sekarang, saya percaya akan muncul dogma agama atau doktrin nasionalisme yang segera didengungkan oleh para broker dan mafia politik yang ingin mendapatkan kue kekuasaan.
Hidup Petani Kulonprogo!
Lawan penjajahan dan penggusuran lahan!***
Penulis adalah penulis lepas di beberapa media online
————-
[1]Percepatan pembangunan infrastruktur yang efektif dan efisien untuk mendukung kegiatan sektor-sektor strategis ekonomi serta mengurangi kesenjangan ekonomi dan spasial. 26 dan 59 lokasi bandar udara yang dikembangkan di daerah perbatasan dan rawan bencana; 15 lokasi bandar udara baru yang dibangun. Sumber; Kementerian Keuangan, Info APBN 2016.
[2]Badan Pusat Statistik (BPS) melansir Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai provinsi yang memiliki ketimpangan tertinggi di Indonesia. Tercatat, per September 2016, rasio gini Yogyakarta yang mencerminkan ketimpangan pengeluaran masyarakat mencapai 0,425. Baca selengkapnya; https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170201154328-92-190589/yogyakarta-punya-ketimpangan-ekonomi-tertinggi-di-indonesia
[3] Baca selengkapnya majalah Tempo Edisi 20-26 Maret. Liputan Khusus Ketimpangan; Kaya Raya Miskin Papa.
[4] Menurut majalah the Economist, dua pertiga kekayaan dari penduduk terkaya Indonesia di dapat dari sektor kroni yang sarat dengan praktek bisnis pemburuan rente. Berdasarkan indeks kapitalisme kroni versi Economist, Inodnesia berada di urutan ke-7 terburuk dari 22 negara yang di survey pada 2016. Baca selengkapnya Majalah Tempo Edisi 20-26 Maret. Liputan Khusus Ketimpangan; Kaya Raya Miskin Papa. Tulisan Faisal Basri; Kesenjangan di Persimpangan Jalan
[5] Setiap satu menit. Satu rumah tangga dan seperempat hektar lahan pertanian hilang di Indonesia. “Itu bukan masalah serius kalau industri mampu menyerap mereka, tapi kenyataannya tidak.” Dikutip dari Ketua Dewan Konsorisum Pembaharuan Agraria Iwan Nurdin, Majalah Tempo Edisi 20-26 Maret 2017; Bertani di Lahan Sempit.
[6] Baca selengkapnya, http://jogja.tribunnews.com/2017/01/11/harga-tanah-di-yogya-naik-gila-gilaan?page=2