Kredit foto: Berdikari Online
GERAKAN perempuan di Indonesia tumbuh pada awal abad 20 ketika sekolah modern didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda, dan organisasi modern didirikan oleh “kaoem bumiputera”. Hingga saat ini, hampir satu abad lamanya, perjuangan itu mengalami pasang surut. Bahkan apa yang disebut capaian tentang “Hak Perempuan” saat ini, pada prinsipnya belum dapat menjawab problem penindasan yang dialami kaum perempuan itu sendiri.
Tulisan singkat ini hanya akan menguraikan secara umum kecenderungan gerakan perempuan di Indonesia dalam memperjuangkan hak perempuan dan hubungannya dengan pembentukan negara Indonesia.
- Periode Melek Pengetahuan – Melawan Adat
Titik awal mengambil tahun 1900-an, sebagai tahun yang ditandai dengan babak baru yang umum disebut kebijakan “etis” kolonial Belanda serta kehadiran gerakan nasionalis terorganisir di Indonesia, yang tidak dapat dipisahkan dari gerakan perempuan. Abad baru tersebut menandai awal nasionalisme Asia (de-Stuers: 1960).
Kebijakan “etis” Belanda yang terkemuka ialah pembukaan sekolah modern bagi perempuan. Jika kita telisik, pembukaan sekolah perempuan ini berada di kota yang merupakan pusat industrialisasi perkebunan kolonial. Pendiri sekolah perempuan adalah aktivis perempuan dari kalangan priyayi maupun pegawai birokrasi kolonial, namun kemudian mendapat izin dari pemerintahan Belanda untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut. Contoh di Minahasa, sekolah perempuan itu dibangun di kota Tomohon –pusat pendidikan dan agama masa kolonial yang dikelilingi oleh perkebunan cengkeh yang sangat subur. Di Sumatra, sekolah perempuan itu dibangun di Bukittinggi, yang dikelilingi pula oleh perkebunan kolonial. Di Medan, sebuah gereja protestan juga diketahui membangun sekolah bagi perempuan, di mana kita mengenal perkebunan Deli yang sangat terkenal. Di Jawa, sekolah perempuan di Bandung, Yogyakarta, Salatiga, Surabaya, Malang, adalah kota yang dijadikan pengepul hasil perkebunan kolonial.
Mengapa sekolah perempuan dan industrialisasi perkebunan berseiring? Ini ada hubungannya dengan kebutuhan pemerintah kolonial terhadap pekerja kerani (juru catat) di perkebunan atau perkantoran usaha perkebunan. Di samping itu berhubugan pula dengan kebutuhan menyetak “nyonya-nyonya” Boemipoetera seperti “mevrouw-mevrouw” Belanda, yang pandai merajut, menyelenggarakan upacara makan, berdandan modern, bisa baca tulis dan sedikit bahasa Belanda untuk membangun keluarga “boemipoetra kolonial” (holy family). Tetapi, pada perkembangannya, setelah melek huruf dan bahasa, para perempuan ini jauh melebihi harapan pemerintah kolonial. Mereka menjadi kritis dan melakukan perlawanan pertama terhadap adat kawin-cerai yang merendahkan kedudukan perempuan dalam keluarga. Para perempuan ini pun mempunyai pergaulan yang melampaui rumah atau desanya, sehingga berkenalan dengan aktivis laki-laki yang terpelajar, yang juga sedang bergairah melawan penjajah. Diskusi yang mengarah pada kesadaran identitas sosial “perempuan” telah berkembang mencapai kesadaran untuk menjadi “perempuan” bangsa yang merdeka (identitas nasional)
- Periode Melek Nasionalisme – Melawan Kolonialisme/Imperialisme
Meski tidak bermaksud membangun pembatasan secara berangka tahun, periodisasi yang saya sebut “Melek Nasionalisme” ini mengkristal di kalangan aktivis organisasi perempuan setelah Soempah Pemoeda, 28 Oktober 1928. Pada saat itu, seorang aktivis perempuan, yakni Siti Soendari (seorang wartawan dan pendiri buletin perempuan Swara Pacitan), mendapat kesempatan untuk berpidato di Kongres Soempah Pemoeda tersebut. Dua bulan sesudah peristiwa penting ini, organisasi-organisasi perempuan di Hindia Belanda (“Indonesia”) menyelenggarakan Kongres Perempuan I, pada 22 Desember 1928 di Yogyakarta. Tema sentral pembahasan pada saat itu ialah mengonsolidasi perjuangan khusus perempuan pada perjuangan yang lebih besar, yaitu memerdekakan Indonesia. Meski tidak meninggalkan agenda khusus memperjuangkan “hak perempuan” dalam perkawinan (melawan perkawinan dini, hak bercerai dan poligami) untuk menjadi kebijakan pemerintah kolonial.
Isu tentang Hak Dipilih (women’s suffrage) perempuan pribumi sebagai anggota Dewan Kota, menjadi agenda pembahasan dalam Kongres Perempuan ketiga di Bandung pada Juli 1938. Keputusan Kongres menghasilkan amanat untuk memperjuangkan Hak Dipilih bagi perempuan pribumi sebagai langkah perjuangan pergerakan perempuan pada masa itu. Tetapi kebijakan Hak Dipilih bagi perempuan pribumi baru diberikan pemerintah kolonial pada suatu malam ketika Perang Pasifik terjadi, yakni pada 1942.
Kecenderungan perjuangan pada periodisasi ini ialah gerakan perempuan memasukkan agenda “hak perempuan” untuk menjadi kebijakan negara kolonial. Urusan perempuan yang dipandang domestik (contoh perkawinan dan perceraian) ditransformasikan oleh gerakan perempuan menjadi agenda publik –negara, yang hal ini tetap berlangsung hingga Indonesia Merdeka.
Ketika Indonesia telah merdeka, perjuangan “hak perempuan” berlangsung di arena “negara”, untuk meneguhkan identitas kewarganegaraannya secara otonom. Meski, serta merta perempuan adalah warganegara Indonesia, namun demikian masih harus berjuang keras untuk memperjuangkan hak perempuannya sebagai warganegara yang sejajar dengan warganegara yang laki-laki. Dukungan partai politik turut serta mendekatkan isu perempuan ini dengan kebijakan negara, meski tetap ada soal perempuan yang secara umum tidak pernah didukung oleh partai politik beraliran Islam, yakni tentang poligami (poligini).
Sebagai catatan: tidak semua organisasi perempuan pasca-kemerdekaan melawan imperialisme (sebagai saudara kembar kolonialisme) sebagai akar penindasan perempuan. Secara umum, ideologi politik yang dipeluk organisasi-organisasi perempuan sepanjang dekade 1950-1960an adalah Nasakom (nasionalisme-agamaisme-komunisme), meskipun ada yang tidak mengikuti pendirian ideologi-politik tersebut.
- Periode Koncowingking – Mengikuti Suami
Periode ini harus saya kemukakan sebagai periode penghancuran gerakan perempuan Indonesia, yang titik awalnya dilakukan melalui penghancuran terhadap Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) melalui kampanye media massa antara 10 Oktober 1965 – 12 Oktober 1965. Melalui surat kabar militer Angkatan Bersenjata, Berita Yudha, dikampanyekan bahwa pembunuh tujuh orang jenderal di Lubang Buaya adalah Gerwani. Aktivis organisasi perempuan ini dituduh membunuh para jenderal itu secara keji, dengan cara mencungkil mata dan menyilet-nyilet alat kelaminnya. Kampanye itu telah dibongkar oleh seorang peneliti Belanda, Saskia Wieringa (1995) sebagai kebohongan belaka. Ia menemukan visum et repertum kondisi tujuh jenderal tersebut mati dalam keadaan ditembak tanpa luka siletan ataupun pencungkilan mata. Tetapi, Gerwani sebagai organisasi massa perempuan telah diberangus oleh rezim Orde Baru dan aktivisnya kemudian ditangkap, dibuang ataupun dibunuh sejak itu hingga 1968.
Sejak militer Orde Baru berkuasa melalui penghancuran citra gerakan perempuan kerakyatan yang melawan adat dan imperialisme, maka tak dibenarkan kaum perempuan memperjuangkan hak perempuan dan ideologi-politiknya. Yang diperbolehkan adalah menjalankan program nasional, yakni Keluarga Berencana dan menjadi anggota organisasi isteri yang disebut Dharma Wanita (untuk isteri PNS) dan Dharma Pertiwi untuk isteri ABRI). Sedangkan untuk perempuan kampung yang bukan isteri PNS maupun ABRI diarahkan untuk aktif di PKK, Posyandu atau pun menjadi penyuluh KB. Agar kaum perempuan tidak melanggar aturan ini, maka dikemaslah sebuah ideologi peran yang disebut Panca Dharma Wanita, dan kaum perempuan dikontrol oleh suami atau penjabat negara dari lokal hingga pusat.
Periode ini membuat gerakan perempuan Indonesia hanya menjadi alat mobilisasi politik rezim militer yang pro-kapitalisme. Adat dan paham tua dikembangkan kembali untuk proses penundukan daya kritis organisasi perempuan. Sejalan dengan itu, industri majalah perempuan bertumbuhan dan mengusung “citra perempuan ideal modern” yang menerima beban ganda dengan tetap fashionable. Perempuan yang ideal ialah yang berkarier tetapi tidak melupakan peran domestiknya.
Maka, tak ada yang menyadari bahwa tubuh perempuan sejak periode ini telah dijadikan pasar bagi industri kosmetik dan busana; dan juga seksualitas perempuan dijadikan pasar bagi industri alat kontrasepsi. Di antara tubuh dan seksualitasnya, tenaga kerja perempuan dieksploitasi sebagai buruh di industri manufaktur, garmen, dan sebagainya. Di sini “negara” hilang sebagai arena pertarungan merebut “hak perempuan”, tetapi sebaliknya “negara” berhasil memanipulasi “hak perempuan” seakan-akan telah meretas batas domestik-publik, namun realitasnya tetaplah koncowingking.
.
- Periode Melek Demokrasi Melawan Otoritarianisme Militer
Periodisasi ini kira-kira pada awal dekade 1980-an. Dipengaruhi oleh Dekade Perempuan Internasional 1975-1985 dan situasi nasional yang represif, tumbuhlah organisasi perempuan “baru’ yang berjuang untuk merebut kembali hak perempuannya yang dihancurkan. Organisasi perempuan ini populer disebut LSM Perempuan yang beragam kegiatannya, mulai dari pengembangan ekonomi, advokasi kekerasan terhadap perempuan, hingga mengangkat kembali hak dipilih bagi perempuan untuk keterwakilan di parlemen. Di kalangan kelompok-kelompok studi mahasiswa, juga bertumbuhan gairah untuk mengkaji realitas persoalan perempuan, namun masih gagap di dalam praktik perjuangannya.
LSM Perempuan yang tumbuh sekitar dekade 1980-an, contohnya Yayasan Annisa Swasti di Yogya dan Kalyanamitra di Jakarta, mulanya memusatkan perhatian pada masalah eksploitasi tenaga kerja perempuan (buruh perempuan). Buruh perempuan adalah realitas kelas tertindas yang digempur oleh patriarki di dalam rumah tangga, militerisme dan kapitalisme. Setelah dekade 1990-an, perjuangan merebut hak perempuan bergerak ke isu kekerasan terhadap perempuan yang memusatkan aspek seksualitas dan gender sebagai basis penindasan militerisme negara. Di sini feminisme dan hak asasi manusia komplementer membangun gerakan yang membongkar kekerasan negara terhadap perempuan, yang contohnya terjadi sejak Tragedi 1965 di seluruh Indonesia, DOM di Aceh, Kerusuhan 13-14 Mei di Jakarta, DOM di Papua, invansi militer di Timor Leste, dan sebagainya. Adapun LSM Perempuan yang memusatkan perhatian pada masalah kemiskinan dengan kegiatan peningkatan ekonomi sebagai ibu rumah tangga juga cukup berkembang –terutama di pedesaan.
Selama periodisasi ini, perjuangan untuk merebut hak perempuan termanifestasi ke dalam isu-isu perempuan guna memobilisasi perlawanan terhadap otoritarianisme Orde Baru. Maka negara menjadi arena pertarungan –antara perempuan dan penguasa militer Orde Baru.
- Periode 30 Persen Keterwakilan Perempuan
Setelah penguasa Orde Baru mundur sebagai presiden pada 21 Mei 1998, Kongres Perempuan Indonesia digelar oleh LSM perempuan sejak 14 Desember hingga 22 Desember 1998 di Yogyakarta. Salah satu mandat Kongres yang utama ialah memperjuangkan isu Hak Dipilih perempuan dalam parlemen. Sebab realitasnya sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, keterwakilan perempuan di parlemen tidak pernah beranjak dari 10 persen.
Selanjutnya, dari pemilu ke pemilu, perjuangan untuk merebut hak dipilih perempuan ini mengemuka. Gerakan perempuan mendeklarasikan affirmative action (tindakan khusus sementara) kuota 30 persen untuk memastikan kemajuan perjuangan hak dipilih bagi perempuan. Affirmatif action untuk kuota 30 persen keterwakilan perempuan ini pada akhirnya diterima dan dicantumkan ke dalam UU Pemilu –sekalipun masih penuh dengan catatan kelemahan. Begitu pun, di bidang isu hak asasi perempuan juga mengalami pengakuan negara, yakni ketika Komisi Nasional Anti-kekerasan terhadap Perempuan dibentuk atas keputusan Presiden Habibie dan perjuangan perempuan untuk membongkar kekerasan negara mendapatkan aksesnya.
Pada periodisasi ini, hampir seluruh organisasi perempuan memuarakan persoalan isu hak perempuan ke ranah kebijakan yang berujung pada produksi legislasi dan anggaran untuk kepentingan perempuan. Agenda perempuan itu tidak ditolak oleh penyelenggara negara, bahkan diberi akses, namun demikian tetap terjadi pertarungan perspektif antara organisasi perempuan dengan penyelenggara negara, terutama partai-partai politik.
- Periode Melawan Neoliberalisme
Krisis ekonomi dunia yang berlangsung terus menerus mengakibatkan posisi Indonesia –sebagai negara mantan jajahan—dijadikan objek untuk pemulihan krisis tersebut. Apa yang dijadikan objek yaitu sumberdaya alam dan tenaga kerja manusianya yang murah. Pada awal 1970an, Indonesia menjadi objek industri manufaktur dan pertanian pangan (beras), dan kemudian sejak 2000an Indonesia menjadi objek bagi industri ekstraktif (pertambangan dan perkebunan sawit).
Masalah yang dihadapi petani dan nelayan perempuan saat ini berhubungan dengan terjadinya pemisahan ruang produksi dan reproduksi dalam ruang hidup mereka. Pemisahan itu terjadi setelah perusahaan-perusahaan TNC/MNC memperoleh konsesi dari pemerintah untuk mengeksploitasi sumberdaya alam stempat. Akibat pemisahan itu maka perempuan petani kehilangan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari bagi anggota keluarga. Sementara bagi perempuan yang menjadi buruh (pabrik, perkebunan, rumah tangga, migran) mengalami eksploitasi waktu dan tenaganya.
Akibat masalah-masalah itu, mulai muncul perlawanan perempuan buruh, petani, nelayan, miskin kota (yang kerjanya serabutan) terhadap perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi dirinya, atau yang merampas alat-alat produksinya. Di seluruh Indonesia saat ini telah muncul perempuan-perempuan rakyat pekerja yang melawan korporasi-korporasi ekstraksi, melakukan protes dan pemogokan di perusahaannya, sekali pun masih dalam cakupan lokal dan sektoral.
Gerakan perempuan rakyat pekerja ini sebenarnya telah muncul sejak masa perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1920an, tetapi gerakan ini kemudian ditumpas pada saat melawan pemerintah kolonial pada 1926 (dalam sejarah Indonesia disebut “pemberontakan PKI 1926”, suatu istilah yang tidak tepat). Gerakan perempuan rakyat pekerja tumbuh kembali melawan imperialisme setelah Indonesia merdeka, tetapi lagi-lagi ditumpas pada 1965 oleh kekuatan militer yang melahirkan Orde Baru. Sayang sekali gerakan perempuan rakyat pekerja ini tidak menjadi unit analisa dalam narasi sejarah gerakan perempuan di Indonesia. Unit analisa dalam narasi sejarah gerakan perempuan di Indonesia sejak Kongres Perempuan I, 22 Desember 1928 sampai dengan dewasa ini adalah organisasi perempuan borjuasi.
***
Penyususunan periodisasi di atas lebih sebagai penanda waktu dan kecenderungan, guna menunjukkan dimana standpoint gerakan perempuan dalam relasinya dengan peristiwa-peristiwa politik dan ekonomi. Tentu saja analisa ini membutuhkan pendalaman riset guna menemukan, menguji dan menjelaskan fakta-fakta baru mengenai pasang surut gerakan perempuan di Indonesia.***