Kredit foto: Bruce On Politics
‘KOMODITAS dan Uang’, ‘Transformasi Uang Menjadi Kapital’, dan ‘Produksi Nilai-Lebih Absolut’ adalah tiga bagian pertama dari Kapital Marx. Di bagian ketiga, ‘Produksi Nilai-Lebih Absolut’, Marx membukanya dengan bab berjudul ‘Proses Kerja dan Proses Valorisasi’. Bagian pertama sebelum masuk ke bab ‘Kapital Konstan dan Kapital Peubah’, ‘Tingkat Nilai-Lebih’, ‘Hari Kerja’, dan ‘Tingkat dan Massa Nilai-Lebih’.
Arti penting diskusi Marx mengenai teori proses kerja bisa dilihat dari beberapa buku yang bertumpu dari teori ini. Di tahun 1974, Harry Braverman, seorang eks-pekerja industri logam menerbitkan Labor and Monopoly Capital: The Degradation of Work in the Twentieth Century. Isinya adalah paparan sosiologi industri kritis atas teori manajemen produksi yang kemudian dikenal sebagai Taylorisme. Taylorisme dikenal luas sebagai model saintifik yang bertujuan meningkatkan efisiensi dan produktivitas di pabrik-pabrik. Dalam analisis kritisnya, Braverman menempatkan Taylorisme sebagai bentuk pengelolaan produksi kapitalisme lanjut yang secara sistematik terus mengikis dan menyingkirkan kerja-kerja berkeahlian. Braverman lebih lanjut melihat Taylorisme sebagai satu kemajuan metode eksploitasi kapitalistik. Konon sejak pertama terbit hingga tahun 1999, buku ini laku keras, terjual sekitar 120.000 eksemplar.
Di bidang lain, dua dekade ke belakang, ada orang-orang seperti Paul Burkett dan John Bellamy Foster yang menerbitkan buku-buku berjudul Marxism and Ecological Economics: Toward a Red and Green Political Economy dan Marx’s Ecology. Bedanya dengan Braverman, Burkett dan Foster dengan masing-masing cara mencoba mengangkat kembali aspek ekologis dari ekonomi-politik Marx. Bersama dengan rintisan terbitan catatan-catatan studi ilmu alam Marx, kedua buku ini mewakili arus hijau, semangat ‘kembali ke alam’, yang ramai menarik perhatian pengkaji Marx kontemporer demi menjawab isu-isu lingkungan yang semakin menghangat. Apa sebenarnya yang Marx tulis mengenai teori ‘proses kerja’ ini?
Cara pertama untuk memahami apa itu ‘proses kerja’ dapat kita lakukan dengan menempatkannya ke fase historis yang spesifik. Sejarah, bisa dipotong-potong ke berbagai kategori. Umpamanya kita membagi sejarah berdasar kalender masehi. Kita ambil jangka lumayan jauh dari tahun 1619-1917. Adakah proses kerja di dalam masyarakat sepanjang kurun itu? Dengan asumsi abad ke enambelas adalah fase pertama kalinya pasar dunia melebar ke sejumlah bangsa, dan keberadaan pasar dunia mengandaikan sejumlah besar kerja sosial, tampaknya sepanjang tahun 1619-1917, proses kerja telah hadir secara sosial. Marx sendiri lebih memilih membagi sejarah seturut corak produksinya. Di dalam bentuk pembagian ini, proses kerja dapat dikatakan juga hadir di semua ragam corak produksi. Lantas bagaimana jika kita bagi sejarah berdasar pembedaan yang Marx buat di bagian awal dari Kapital? Jika demikian, proses kerja ada di tahap sejarah produksi komoditas, ada pula di tahap sejarah produksi kapitalis. Namun soal yang terakhir ini Marx bikin sedikit pembedaan. Menurutnya, dalam tahap sejarah produksi komoditas, proses produksi adalah kesatuan dari “proses kerja dan proses penciptaan nilai”, sementara dalam produksi kapitalis, “kesatuan proses kerja dan proses valorisasi”. Kita tengok saja langsung dari si empunya teori:
“Sebagaimana komoditas itu sendiri adalah kesatuan yang dibentuk oleh nilai-guna dan nilai, demikian juga proses produksi adalah kesatuan, yang disusun dari proses kerja dan proses penciptaan nilai [Wertbildungsprozess]”
[…]“Proses produksi, dipandang sebagai kesatuan dari proses kerja dan proses penciptaan nilai, adalah proses produksi komoditas; [proses produksi] dipandang sebagai kesatuan proses kerja dan proses valorisasi, itulah proses produksi kapitalis, atau bentuk kapitalis dari produksi komoditas”[1]
Dengan demikian jika ditilik dari kerangka sejarah, proses kerja ada di produksi komoditas pra-kapitalis, dan ada di produksi komoditas kapitalis. Dari kutipan di atas bahkan bisa ditarik pernyataan: tanpa proses kerja tidak ada produksi komoditas, akan tetapi tanpa produksi komoditas yang ada hanya proses kerja. Begitu pula di masyarakat kapitalis, tanpa proses kerja tidak produksi komoditas kapitalis, akan tetapi tanpa produksi komoditas kapitalis yang ada hanya proses kerja. Penalaran sederhana ini bisa juga membawa kita ke mengajukan pertanyaan bagi fase-fase historis lain: proses kerja tetap ada di corak produksi non- dan pasca-kapitalis. Bayangkan sebuah negeri masa depan yang makmur-sentosa yang hidup tanpa penghisapan kelas. Dari mana mereka akan memperoleh kekayaan sosial?
Secara singkat, Marx mendefinisikan proses kerja sebagai proses penciptaan nilai-guna—“kandungan material dari kekayaan apapun bentuk sosialnya”. Penciptaan nilai-guna boleh dikatakan sebagai materialitas dari proses produksi yang mandiri dari bentuk-bentuk sosial. Menurut Marx, proses kerja, sumber kekayaan material, terdiri dari tiga unsur utama berikut:
1. Aktivitas yang bertujuan, yaitu kerja (labour/arbeit)
2. Objeknya, yaitu alam
3. Perantaranya, yaitu alat-alat/perkakas kerja
Proses kerja, bukan sekadar ‘kerja’. Marx bahkan amat spesifik mengenai istilah yang ia gunakan. Ia membedakan kerja yang berwatak sosial (labour/arbeit) dengan kerja individual (work/arbeiten). Lebih jauh, Marx juga membedakan antara kerja dengan tenaga-kerja (labour-power/arbeitskraft). Sementara tenaga-kerja adalah ‘kapasitas’ yang sifatnya potensial, kerja adalah aktualisasi dari kapasitas itu. Dalam teori proses kerja, Marx mengikutsertakan pula pembedaan antara objek (alam), subjek (kerja), dan penghubung antar keduanya (perkakas kerja).
Objek kerja [Arbeitsgegenstand] adalah segala yang dihasilkan oleh alam, dapat diolah kerja manusia, dan sekadar dipisahkan dari keberadaan langsung lingkungannya. Air, tanah dan segala yang tumbuh di atasnya adalah objek kerja manusia. Ikan yang dipisahkan dari habitatnya adalah objek kerja. Sedang sumber daya alam yang terletak jauh di bawah permukaan tanah, dan karenanya belum bisa dicapai oleh perkembangan perkakas dan teknologi manusia hingga saat ini, bukan objek kerja. Marx membedakan juga antara objek kerja dengan bahan mentah. Bahan mentah adalah objek kerja yang telah dikenai kerja lampau, dan dengannya siap dipakai (diproduksi). Menurut Marx, terkecuali di industri-industri ekstraktif seperti pertambangan, perhutanan, perikanan, dan pertanian (sejauh dimulai dengan membuka lahan baru), semua cabang industri terkait dengan bahan mentah. Bibit pertanian transgenik dari Monsanto, mengambil contoh, sudah merupakan produk kerja. Begitu juga dengan industri sapi yang, meski memakai produk alam, sesungguhnya adalah produk alam yang sudah didomestifikasi, sudah dikenakan kerja manusia lintas generasi.
Objek kerja berbeda dengan perkakas kerja: “Perkakas kerja adalah benda-benda, atau kompleks dari benda-benda, yang pekerja tempatkan antara dirinya dan objek dari kerjanya dan berperan sebagai sebuah konduktor yang mengarahkan aktivitasnya terhadap objek tersebut.” Biar begitu perkakas kerja, juga berasal dari alam. Dalam kerja, manusia “menggunakan sifat-sifat mekanis, fisik dan kimia dari sebagian unsur-unsur [alam] dalam rangka menggunakannya ke unsur-unsur lain sebagai perkakas dari kekuatannya, dan sesuai dengan tujuannya.” Tidak salah lagi, perkakas kerja adalah akal-akalan manusia menyiasati keberadaan organ fisik yang serba terbatas. Lari yang tidak secepat kijang, taring yang tidak setajam macan, penciuman dan pendengaran yang buruk. Manusia memang mahkluk tidak sempurna dan oleh karenanya mereka membuat perkakas kerja: batu perimbas, cangkul, pisau, kanal-kanal, jalan-jalan, bengkel-bengkel, dan mesin-mesin. Yang menarik dalam mendefinisikan perkakas kerja Marx tidak hanya mengacu ke wahana dan fungsi-fungsi fisikalnya saja. Ia menulis bahwa perkakas kerja adalah ukuran derajat perkembangan yang dicapai umat manusia. Di sini Marx mengingatkan kita pada para arkeolog dan pembabakan pra-sejarahnya. Marx juga menulis jika perkakas kerja “menandakan relasi-relasi sosial kerja manusia”[2]. Hal ini jadi cukup menarik jika melihat istilah yang Marx gunakan untuk konsep relasi-relasi atau hubungan-hubungan produksi yang terkenal itu adalah Produktionsverhältnisse. Konon, istilah “verhältnisse” selain dapat diartikan sebagai “relasi-relasi” atau “hubungan-hubungan”, juga bisa sebagai “rasio-rasio”. Menurut saya istilah rasio mengandung unsur kuantitatif yang lebih kentara dibanding istilah relasi atau hubungan, yang terlalu umum cakupannya. Bayangkan: rasio-rasio produksi.
Selain pengertian masing-masing unsur ini, yang penting ditekankan juga adalah relasi konseptual antar ketiganya. Soal bagaimana Marx mendefinisikan relasi-relasi ini yang, hemat saya, membedakan Marx dari pemikir lain. Satu situs yang bisa kita tengok untuk memerika pengertian Marx soal relasi antara objek-subjek, relasi antara alam-kerja, ini bisa dilihat dari catatan-catatan Naskah-naskah Paris ini,
“Kehidupan-spesies, bagi manusia maupun binatang, secara fisik terletak pada fakta bahwa secara fisik manusia (maupun binatang) menggantungkan hidupnya pada alam inorganik; yang menjadi fondasi dari hidupnya…Secara fisik manusia hanya bisa hidup dari hasil-hasil alam ini, entah mereka hadir sebagai makanan, penghangat, pakaian, tempat tinggal, dst…alam merupakan tubuh inorganik manusia, yakni alam sejauh itu bukan tubuh manusa. Manusia hidup dari alam (alam adalah tubuh-nya) dan ia mesti menjalin dialog terus-menerus dengan alam apabila ia tak ingin mati. Mengatakan bahwa kehidupan fisik dan mental manusia itu terhubung dengan alam sama saja dengan mengatakan bahwa alam terhubung dengan dirinya sendiri—sebab manusia adalah suatu bagian dari alam.”[3]
Bersama dengan tumbuhan dan binatang-binatang, manusia adalah spesies-spesies yang mengisi alam. Akan tetapi sebagai bagian, manusia bukan keseluruhan alam itu sendiri. Hilangnya bagian-bagian tidak mengimplikasikan hilangnya keseluruhan itu sendiri, melainkan hanya hilangnya konsep akan keseluruhan yang sebelumnya, untuk bertransformasi menjadi konsep keseluruhan yang baru. Sementara hilangnya apa-apa yang keseluruhan, misalnya fisik alam yang ada sekarang, mengimplikasikan hilangnya juga bagian-bagian. Itulah yang terjadi atas konsep alam sebagai keseluruhan ketika punahnya Dinosaurus jutaan tahun yang lalu—pengertian dari keseluruhan alam berubah. Namun dengan atau tanpa Dinosaurus, alam tetap berjalan sebagaimana adanya. Begitu juga dalam kasus spesies manusia.
Ini sebabnya pengertian inti Marx soal ‘kerja’ sangat memperhitungkan faktor alam. Kerja tidak lain adalah proses pertukaran metabolis antara manusia dengan alam. Tentu saja spesies-spesies lain selalu pula melakukan pertukaran metabolis dengan alam untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu Marx mengajukan dua ciri khas dari proses kerja manusia. Pertama, proses kerja manusia, sebagai pencurahan tenaga-kerja, adalah kerja yang diniatkan, direncanakan, dan bertujuan; Marx kerap dikutip berkat pernyataannya berikut, “…apa yang membedakan arsitek paling buruk dengan lebah terbaik adalah sang arsitek membangun bilik dalam pikirannya sebelum ia mengerjakannya dalam lilin. Pada akhir setiap proses kerja muncullah hasil yang telah dibayangkan sang pekerja pada permulaannya, dan karenanya sudah ada secara ideal.” Kedua, proses kerja manusia “dicirikan oleh penggunaan dan konstruksi perkakas kerja.” Spesies manusia tentu bukan satu-satunya mahkluk yang menggunakan alat kerja untuk bertahan hidup. Beberapa jenis primata, mamalia, bahkan unggas pernah terekam menggunakan alat untuk mencari makan. Namun penggunaan perkakas oleh hewan-hewan lain ini tidak tidak pernah beranjak dari bentuk perkakas yang digunakan oleh manusia pra-sejarah di era eolitik, paling banter hanya mirip kapak perimbas. Di hewan-hewan penggunaan perkakas juga tidak pernah jadi kebutuhan pokok. Hanya digunakan sesekali, dan ditambah tidak memiliki pola-pola yang diwariskan.[4][5]
Terakhir, sebagai penutup, untuk menghindari kesalahpahaman, benar sekali jika dipandang proses kerja adalah prasyarat wajib keberadaan masyarakat sepanjang sejarah. Akan tetapi, kerja bukanlah sumber segala kekayaan, alam, sebagai objek kerja, juga sumber kekayaan. Yang dilakukan oleh kerja hanya mengubah bentuk-bentuk alam. Hal ini penting sebab ada perbedaan antara pengertian proses kerja sebagai abstraksi dari proses-proses produksi, dengan pengertian proses kerja di dalam kapitalisme. Reduksi sumber kekayaan ke kerja adalah konsepsi kesukaan dari kelas yang hanya dapat hidup dari penghisapan nilai yang diciptakan oleh kelas yang tidak hanya kehilangan akses ke objek dan perkakas kerja. Kelas yang sama yang juga kehilangan tenaga-kerjanya sekali ia menukarnya demi upah. Di Gotha, Jerman tahun 1875 Partai Demokratik Sosial Jerman (SPD) melaksanakan kongres merumuskan platform yang membuat Marx meluangkan waktu Kritik atas Program Gotha. Isinya adalah sebagai berikut:
“Kerja bukanlah sumber segala kekayaan. Alam juga sumber nilai-guna (tentu inilah yang membuatnya jadi kekayaan material!) seperti halnya kerja. Kerja itu sendiri hanyalah pengejawantahan daya alam, tenaga kerja manusia…Kerja manusia hanya menjadi sumber nilai-guna, dan karenanya juga kekayaan, jika hubungannya dengan alam (sumber utama dari segala sarana dan objek kerja) adalah hubungan kepemilikan sejak mula, dan jika ia memperlakukannya sebagai miliknya. Sangat masuk akal bila kaum borjuis menganggap kerja mengandung daya supranatural-kreatif, sebab ketika seseorang tak lagi punya kepemilikan apapun selain tenaga kerjanya, adalah ketergantungan kerja pada alam lah yang memaksanya—dalam setiap kondisi sosial dan kultural—untuk menjadi budak orang lain yang telah mengambil syarat objek kerja ke dalam pangkuannya. Ia membutuhkan izin mereka untuk bekerja—dan karenanya, izin mereka untuk hidup.”[6]***
———-
[1] “Just as the commodity itself is a unity formed of use-value and value, so the process of production must be a unity, composed of the labour process and the process of creating value”
[…]“The production process, considered as the unity of the labour process and the process of creating value, is the process of production of commodities; considered as the unity of the labour process and the process of valorization, it is the capitalist process of production, or the capitalist form of the production of commodities” (Marx, 1990: 293 & 304.
[2] Marx, 1990: 286.
[3] Marx, K., 2016. Teks-teks Kunci Filsafat Marx, diterjemahkan dan disunting oleh Martin Suryajaya, Yogyakarta: Resistbook. Hal. 44-45
[4] V. Gordon Childe, The Story of Tools (1944).
[5] Lihat V. Gordon Childe, The Story of Tools (1944).
[6] Marx, K., 2016: 193-194.