Komersialisasi Pendidikan dan Rendahnya Keberpihakan untuk Petani

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

BADAN Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017 mencatat bahwa impor beras Indonesia sepanjang periode Januari-Februari 2017, yakni sebesar 14.473 ton dengan nilai US$ 11,94 juta. Kemudian pada tahun 2016 mereka mencatat, jika impor beras Indonesia pada tahun itu sebanyak 1,2 juta ton. Lebih spesifik, jika dihitung berdasarkan triwulan 2015-2016. Beras yang tercatat masuk tahun 2016 dalam rentang antara Januari sampai Maret, yaitu Januari sebesar 382.550 ton, Februari 296.370 ton, dan Maret 303.080 ton. Selanjutnya pada tahun 2015, dalam rentang bulan November dan Desember, impor beras tercatat sebesar 318.920 ton pada bulan November dan sebesar 291,980 ton pada bulan Desember.

Pada tahun 2015 saja nilai dari impor beras dalam rentang bulan Juni mencapai US$ 22,313 juta. Angka ini tentunya sangat besar dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Jika melihat volume impor beras pada bulan Mei 2015 sebesar 20.903.235 Kg atau 20.903 ton, yang nilainya US$ 9,623 juta. Dalam rentang dua tahun telah terjadi penurunan eskalasi impor beras, dari tahun 2015 sekitar 49 ton menjadi 14 ton di tahun 2017.[1]

Data di atas memang menunjukkan angka yang sangat menggembirakan, dimana telah terjadi penurunan impor beras, sehingga secara tidak langsung rezim Jokowi telah membuktikan program kedaulatan pangannya. Namun hal tersebut menyisakan paradoks, dimana impor beras masih tergolong tinggi angkanya. Menjadi sebuah pertanyaan yang mengambang, apa sebenarnya penyebab dari ketidakberdayaan Indonesia untuk berswasembada besar yang notabene negeri agraris ini.

Impor beras tentu bukan hal yang baru. Pada era pemerintahan Soekarno, Indonesia juga pernah memberlakuan impor beras, namun hal itu dilakukan karena keterpaksaan. Sebagaimana kutipan pidato Soekarno di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 27 April 1952 : “Tetapi kenapa kita harus membuang devisen 120 juta sampai 150 juta dolar tiap tahun untuk membeli beras dari luar negeri? Kalau 150 juta dolar kita pergunakan untuk pembangunan, alangkah baiknya hal itu.” Jadi jika melihat konteks sejarah pertanian kita, maka dari zaman pasca kemerdekaan, orde lama, orde baru, hingga orde reformasi, impor beras adalah hal biasa-biasa saja.

Gugatan Soekarno itu kemudian dijawab dengan kebijakan landreform (reformasi agraria) pada 1960, yang dikenal dengan nama U Pokok Agraria (UUPA), untuk melepaskan diri dari jeratan impor beras dari negara lain. Reformasi agraria itu sendiri bermakna penambahan luas areal tanah pertanian dan intensifikasi sektor pertanian. Hal tersebut kemudian dipertegas dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 56/Prp/1961 tentang Pembatasan Tanah, dimana setiap orang tidak diperkenankan memiliki lahan tanah lebih dari lima hektar (untuk daerah padat). Usaha Soekarno tidak sebatas hal tersebut, namun juga melakukan upaya lain dengan mendirikan pabrik pupuk Sriwijaya pada 1959, mengajak peran serta insinyur-insinyur pertanian, hingga mendirikan Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menciptakan intelektual pertanian agar membantu Indonesia keluar dari permasalahan tersebut.

 

Persoalan Pertanian dari Masa ke Masa

Pada tahun 1960, Indonesia mengalami krisis pangan hingga menyebabkan gejolak di dalam negeri. Kelaparan melanda di daerah-daerah, terutama di daerah-daerah pertanian. Berdasarkan catatan dari Dinas Pertanian Rakyat Jawa Timur, pada tahun 1963-1967 sekitar 60 persen dari jumlah penduduk Jawa Timur saat itu makan gaplek (pohong/ketela), 80 persen makan jagung, 30 persen memakan gaplek dicampur beras, 15 persen memakan jagung dicampur beras, dan 5 persen dari jumlah penduduk yang makan nasi sepenuhnya.[2] Padahal pada waktu itu sedang digalakan program swasembada pangan, yang semuanya terangkum dalam Dekon (Deklarasi Ekonomi) 1963. Kondisi tersebut memaksa memaksa Soekarno merumuskan kebijakan untuk memperbaiki sektor pertanian dan pangan, yang terkenal dengan Deklarasi Ekonomi (Dekon), pada 1963. Dekon ini berisi pokok-pokok kebijakan yaitu: a) Mengekstensifkan pertanian dengan menambah areal dan transmigrasi; b) Mengintensifkan pertanian dengan mekanisasi dan memperbaiki cara-cara bercocok tanam; c) Mempergunakan Civic-missions Angkat Bersenjata; d) Menyempurnakan pelaksanaan Landreform  agar dapat diselesaikan pada waktunya sebagaimana ditetapkan oleh MPRS; e) Menjamin supaya proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan usaha mempertinggi produksi pangan (seperti proyek Jatiluhur dan proyek-proyek pabrik pupuk) selesai pada waktu yang direncanakan; f) Mengurangi sejauh mungkin impor bahan-bahan lux.[3]

Kebijakan serupa tapi tak sama juga pernah dilakukan oleh rezim orde baru Soeharto. Pada era Soeharto, Indonesia mampu mencapai swasembada beras, namun itu hanya sebentar, selebihnya mengalami nasib serupa lagi. Karena program revolusi hijau pada era Soeharto memiliki tendensi ke arah industrialisasi sektor pertanian. Hasilnya sekarang kita bisa merasakan bagaimana petani sangat tergantung dengan korporasi pupuk dan obat-obatan pertanian, serta defertilisasi tanah yang kian mengancam sektor pertanian. Pada sisi lainnya juga bermunculan perusahaan-perusahaan besar yang tumbuh bak rumput liar, yang memaksa lahan pertanian yang ada beralih fungsinya.

 

Mengkritisi Keberpihakan Institusi Pendidikan

Beberapa sumber sejarah juga mengungkapkan, jika upaya untuk mencapai kedaulatan pangan dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satunya dilakukan oleh lembaga-lembaga riset dan pendidikan. Pada rentang waktu 1955-1960, jenis-jenis padi varietas unggul berhasil ditemukan oleh lembaga kajian pertanian, seperti Sigadis, Remadja dan Djelita. Pada sekitar tahun 1960-1964, muncul varietas baru lagi, yaitu Dara Syntha dan Dewi Tara. Varietas padi tersebut dihasilkan melalui riset di Lembaga Penelitian Padi dan Djenis Tanaman Gandum, Departemen Pertanian di Bogor. Salah satu lembaga yang turut andil dalam mendukung swasembada pangan ialah Jajasan Lembaga Penjelidikan Keilmiahan Pertanian dan Pembibitan (JLPKPP) di Klaten, Jawa Tengah, yang dipimpin oleh Jagus. Pada tahun 1965, lembaga tersebut berhasil menemukan beberapa varietas padi baru, yang paling terkenal hingga menjadi beras favorit yaitu Radja Lele.

Selain melakukan upaya-upaya tersebut, pada era Soekarno juga dilakukan langkah-langkah pembaruan. Institut Pertanian Bogor yang berdiri pada 1963, merupakan sebuah upaya untuk pemutakhiran pertanian, dengan harapan institusi pendidikan ini dapat bersumbangsih banyak bagi kedaulatan pangan. Lulusan-lulusan IPB nantinya diharapkan mengeluarkan inovasi terbaru, untuk mendukung program swasembada pangan.

Berbeda dengan era sekarang, misi dasar lembaga pendidikan telah kehilangan ruhnya. Mereka mengalami tranformasi yang begitu cepat. Pendidikan pada era sekarang hanya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, benar-benar telah menjadi kaki tangan korporasi karena keberpihakannya pada salah satu BUMN dan beberapa industri ekstraktif. Perubahan orientasi ini wajar dilakukan, karena pasca Undang-Undang Pendidikan Tinggi No. 12 Tahun 2012, arah tujuan pendidikan telah melenceng dari yang seharusnya. Institusi pendidikan kini tidak lagi berbicara soal mencerdaskan kehidupan sesama, ataupun membantu rakyat dalam mengatasi problem pertanian, malahan mereka dengan kajiannya semakin menghancurkan ruang-ruang hidup petani.[4]

Universitas-universitas ternama kini berlomba-lomba menjadi tim ahli suatu korporasi, dengan harapan mendapatkan imbalan atas risetnya. Bahkan tak jarang riset tersebut berperan aktif dalam perampasan lahan, serta dijadikan legitimasi kebenaran dalam menyengsarakan rakyat. Riset-riset mereka tidak lagi berbicara soal bagaimana mengembangkan sektor pertanian dan meningkatkan kualitas hidup petani. Mereka lebih nyaman berbicara soal keberpihakan pada pemodal, tentu dengan dalih netralitas ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan sejatinya tidak netral, karena setiap apa yang dihasilkan pada akhirnya harus menjawab pertanyaan: ini untuk kepentingan apa dan siapa? Di tengah keterbukaan arus informasi sekarang ini, kita bisa dengan mudah mencari tahu bagaimana watak desktruktif ilmu pengetahuan menjadi gerbang bagi perampasan ruang hidup.[5]

Kajian-kajian AMDAL yang dilakukan oleh beberapa korporasi besar, kebanyakan dihasilkan dari otak-otak cemerlang intelektual oportunis dengan didukung oleh watak kapitalistik institusi pendidikan. PT Semen Indonesia, Pertamina dan Exxon contohnya, menggunakan jasa dari beberapa universitas negeri untuk melegitimasi perihal pembenaran dalam merampas ruang hidup. Kerja Praktik dan Kuliah Kerja Nyata (KKN), yang selama ini kita pandang sebagai kebetulan belaka, ternyata memiliki relasi yang cukup rumit, yakni menghubungkan kuasa pendidikan dengan kuasa penguasaan suatu sumber daya. Sebagai contoh, UNAIR yang melakukan kegiatan KKN di Gresik, memiliki relasi dengan beberapa korporasi minyak dan gas (migas). Atau Universitas Gadjah Mada (UGM) yang beberapa kali melakukan KKN dan Kerja Praktik di sekitar area PT. Holcim Tuban, tentu karena relasi yang erat antara institusi pendidikan dengan korporasi tersebut. Beberapa waktu lalu, kita bisa melihat bagaimana sikap UNAIR dalam merespon isu PT Semen Indonesia, Rembang, dimana mereka dengan cekatan mengajak mahasiswa-mahasiswa yang lugu untuk berkunjung ke proyek tersebut. Tentu tidak dengan sisi yang objektif, namun lebih ke unsur keberpihakan institusi kepada mitra kerjanya.

Apa yang ditunjukkan UNAIR ini, mengonfirmasi pendapat Louis Althusser (1971), bahwa peran utama pendidikan dalam masyarakat kapitalis adalah reproduksi dari tenaga kerja yang efisien dan patuh. Althusser juga mengatakan bahwa ideologi dalam masyarakat kapitalis merupakan alat untuk kontrol sosial Hal ini dicapai melalui sekolah, dimana transmisi ideologi kapitalisme hanya dan wajar terjadi di institusi pendidikan. Tidak heran jika institusi pendidikan pada era kekinian mengajarkan murid untuk bersaing dengan sesama murid lainnya jika mereka ingin menjadi lebih baik. Institusi pendidikan juga menjadi tempat untuk melatih pekerja di masa depan agar tunduk pada otoritas, khususnya otoritas kapital. Di sini pendidikan menampakkan wujudnya sebagai aparatur negara ideologis, yang mengekalkan hegemoni kapital atas rakyat pekerja (relasi kuasa ideologi).[6]

Demikianlah, komersialisasi pendidikan hari ini telah membuat lembaga pendidikan kita sangat minim keberpihakannya kepada petani. Di mata para insan akademis itu, para petani sekadar sebagai statistik. Celakanya, secara statistik kualitas kehidupan mereka terus memburuk, sementara statistik impor hasil pertanian, sebagaimanya yang dikemukakan di atas, terus membaik. Ironis bukan?***

 

Penulis adalah Anggota LAMRI Surabaya dan Pegiat FNKSDA Surabaya

 

———

[1] Data Badan Pusat Statistik, Publikasi ekspor-impor beras tahun 2015 dan 2017

[2]Arsip KOTI 1963-1967 No. 101, hal. 4. Koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia https://indoprogress.com/2016/10/jagus-dan-hilangnya-kedaulatan-pangan-kita/#_ftn2

[3] Dekon Dalam Ujian. Yayasan “Pembaruan”, Jakarta, 1963

[4] http://lp4m.unair.ac.id/trial/index.php/kemitraan/mitra-dalam-dan-luar-negeri mitra-mitra luar negeri UNAIR

[5] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/01/17/ojxi0s368-8-pakar-dilibatkan-dalam-tim-penyempurnaan-amdal-pabrik-semen

[6] Louis Althusser. 1971. Ideology and Ideological State Apparatuses. Lenin and Philosophy and Other Essays, Monthly Review Press 1971

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.