Kredit ilustrasi: Dadang Christanto
DALAM proyeksi idealnya, sekolah merupakan institusi yang memegang peran penting dalam membangun sumber daya manusia demi terealisasinya kemajuan masyarakat. Rincinya, penyelenggaraan pendidikan di sekolah, harus senantiasa mengarahkan manusia pada kesadaran kritis, juga mengoptimalisasikan segenap potensi yang dimilikinya. Sebagai outputnya, Sumber Daya Manusia (SDM) yang telah melalui serangkaian tahap pendidikan di sekolah, dapat kembali terjun ke masyarakat demi membangun peradaban secara kolektif ke arah perubahan yang lebih baik.
Namun, sudah barang tentu kita dipaksa menyaksikan sebuah anomali terpampang demikian terang pada realitas masyarakat kita. Dewasa ini, kita justru dihadapkan pada masyarakat yang berpola pikir pragmatis dan krisis nalar kritis. Jelasnya, realitas masyarakat yang tercipta justru bercirikan indvidu-individu bermental pegawai, minim idealisme, berorientasi memikirkan diri sendiri, dan pasrah terhadap beragam masalah yang terjadi di sekitar mereka.
Keadaan ini telah membuat saya berpikir ulang tentang fungsi dari mekanisme pendidikan yang hadir hari ini. Beberapa pertanyaan kritis yang dapat diajukan menyikapi fenomena ini, apakah sekolah hari ini masih berperan berdasarkan proyeksi idealnya? Bagaimanakah peran sekolah dalam membentuk pola pikir masyarakat hari ini? Setidaknya, dua kerangka masalah inilah yang dapat kita gunakan sebagai batasan masalah analisis tulisan ini.
Mengungkap Relasi Kuasa Ilmu Pengetahuan di Sekolah
Dalam magnum opus-nya, Manusia Satu Dimensi, Herbert Marcuse menggambarkan peradaban kapitalisme industri maju sebagai entitas masyarakat yang telah tergerus nalar kritisnya. Hal ini dapat dilihat dari manusia nya yang terperangkap dalam kesadaran palsu (false consciousness), dengan memandang status quo dan masalah-masalah yang hadir di sekitar mereka sebagai sesuatu yang natural dan sebagaimana mestinya. Sedang, mereka tak menyadari kondisi yang tercipta adalah hasil dari mekanisme kuasa kapitalisme.
Terenggutnya nalar kritis dari setiap individu dalam masyarakat erat kaitanya dengan cara represi yang dilakukan oleh elemen sistem ekonomi kapitalisme. Tidak seperti di kapitalisme negara yang melanggengkan status quo melalui represi fisik dan pendisiplinan subjek secara paksa, kapitalisme industrial telah menghadirkan beragam ekspresi represif yang tidak dapat dirasakan secara jasmaniah. Elemen-elemen seperti pendidikan, media, gaya hidup, dan seni menjadi medium sublim yang menciptakan kesadaran palsu.
Apabila kita berusaha untuk mengelaborasi secara lebih spesifik peran pendidikan dalam pembentukan kesadaran pasif indvidu masyarakat, kerangka filosofis Louis Althusser tentang RSA dan ISA saya pikir sangat relevan untuk digunakan sebagai acuan awal. Althusser membagi institusi negara ke dalam dua kategori, yakni RSA (Repressive State Apparatus/Aparatus Kekerasan Negara) dan ISA (Ideological State Apparatus/Aparatus Ideologi Negara). RSA adalah institusi negara yang bertugas melakukan pendisiplinan masyarakat melalui cara represi fisik, seperti polisi dan tentara. Sedangkan ISA adalah institusi negara yang bertugas menanamkan kesadaran palsu pada individu masyarakat guna mereproduksi status quo, seperti pendidikan, media, dan seni.
Melalui skema di atas maka dapat kita tarik analisis lebih lanjut. Sebagai institusi yang bertugas menanamkan kesadaran palsu pada individu masyarakat, maka praktik pendidikan yang dilakukan pun akan mengupayakan pengerdilan nalar kritis. Salah satu upaya yang dilakukan ialah dengan menanamkan rasionalitas instrumental pada diri peserta didik. Jurgen Habermas membagi kategori ilmu pengetahuan menjadi tiga, yakni, ilmu pengetahuan, teknis, praktis, dan emansipatoris. Melalui ilmu pengetahuan teknis dan praktis yang terpisah dari realitas inilah kemudian upaya untuk merenggut subjektivitas kritis dilakukan, sedang upaya untuk menumbuhkan kesadaran dengan menghadirkan ilmu pengetahuan emansipatoris yang berbasis realitas tidak diberi ruang cukup.
Praktiknya dapat kita saksikan dengan amat gamblang bagaimana pola pembelajaran di kelas diberlakukan. Dengan berjibun nya mata pelajaran resmi yang diberlakukan di Indonesia hari ini, para peserta didik telah dipaksa untuk menyantap ilmu pengetahuan di buku resmi pendidikan seakan sebagai barang jadi yang siap dikonsumsi. Mereka diarahkan untuk terpaku pada teks buku secara penuh seksama hanya untuk mencerna beragam materi, formula, dan pernyataan para ahli yang tersaji. Di sisi lain, peserta didik tidak diberi ruang untuk mengekspresikan gagasan yang dipikirkannya, ataupun untuk membenturkannya dengan kondisi realitas yang terjadi. Imbasnya, sudah barang tentu paradigma peserta didik akan terbangun konformistis dan tekstual.
Dalam hal ini, maka pemilihan metode pembelajaran pun akan amat menentukan. Dalam pandangan Paulo Freirre, pendidikan Gaya Bank adalah ciri pola pembelajaran yang akan mengerdilkan fakultas kritis peserta didik. Ciri metode pembelajaran ini ialah relasi yang terbangun antara murid dan guru ialah objek dan subjek. Guru ataupun pengajar diandaikan sebagai subjek serba tahu yang dapat dapat menggunakan otoritas ilmu pengetahuan nya untuk mengonstruski peserta didik. Sedangkan, peserta didik diibaratkan sebagai gelas kosong yang dapat diisi dengan sewenang-wenang oleh pendidik.
Peristiwa ini dapat kita saksikan di semua jenjang pendidikan hari ini. Masih terdapat banyak guru ataupun pengajar yang bersikeras melakukan metode ceramah maupun dikte di kelasnya. Di sisi lain, murid tidak diberi ruang yang cukup untuk mengajukan ketidaksetujuannya pada argumentasi guru. Ataupun, dalam kasus lain, masih terdapat guru yang tidak dapat menerima kritik maupun sanggahan dari peserta didiknya. Dengan embel-embel menuduh tidak beretika, dan melawan guru di kelas. Pola pembelajaran yang masih ramai dipergunakan ini tentu tidak lagi efektif. Selain mengerdilkan fakultas kritis, juga akan menimbulkan citra diri yang buruk pada diri peserta didik.
Selain permasalahan pola dan metode pembelajaran yang tidak memfasilitasi perkembangan nalar kritis, serangkaian hasutan guru atau pendidik pada peserta didik pun marak dilakukan di institusi pendidikan. Hari ini, khususnya di perguruan tinggi, tentu tidak jarang guru turut berkontribusi membangun pola pikir pragmatis dengan hasutan menyuruh fokus kuliah, lulus dengan IP (Indeks Prestasi) besar, lalu dapat kerja jadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), yang sebenarnya meski gaji terjamin, bermental ketergantungan pada negara. Kita dicekoki citra bahwa menyikapi isu kampus melalui demonstrasi adalah hal yang buruk dan tidak berpendidikan, atau melalui ancaman nilai dan Drop Out (DO). Padahal, pada hakikatnya demo adalah salah satu sarana untuk menyuarakan aspirasi apabila serangkaian dialog masih saja menemui jalan buntu. Dengan propaganda paranoid seperti di atas, bagaimana mungkin nalar kritis kita akan terbangun untuk menyuarakan aspirasi kita?
***
Serangkaian pemaparan sebelumnya setidaknya dapat memberikan kita kesimpulan sekaligus refleksi kritis. Sebagai institusi yang memiliki peran dan fungsi mendidik, sekolah menjadi berwatak ambievalen. Sekolah dapat menjadi sarana pembebasan masyarakat, apabila diberdayakan untuk membangun manusia yang benalar kritis dan berbudi luhur. Sebaliknya, sekolah pun dapat menjadi tempat indoktrinasi dan reproduksi status quo penindasan rezim kapitalisme.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, sempatkanlah diri untuk bertanya. Apakah kita akan diam saja setelah mengetahui hal ini dan pasrah pada keadaan? Atau bergerak sejak waktu ini untuk sedikit demi sedikit memulai peruabahan?***
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Daerah 2015, bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan selaku Ketua Biro Penelitian dan Pengembangan, Universitas Pendidikan Indonesia.
Kepustakaan:
Freire, Paulo. 2000. Pendidikan Kaum Tertindas. : Pustaka LPE3ES.
Marcuse, Herbert. 2016. Manusia Satu-Dimensi. Yogyakarta: Pustaka Promethea
Nuryatno, Agus. M. 2011. Mazhab Pendidikan Kritis. Yogyakarta: Resist Book.
https://www.marxists.org/reference/archive/althusser/1970/ideology.htm