Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
Jaga dirimu: dan jangan lupa bahwa gagasan itu juga merupakan senjata (Subcomandante Marcos)
Perlawanan dan pembangkangan masih tetap merupakan satu-satunya kekuatan yang sanggup mengatasi barbarisme (Alex Comfort)
Saya tidak mau menjadi manusia yang takut bertindak demi melindungi prinsip-prinsip yang saya pegang…..bagi saya integritas seseorang sejatinya dinilai bukan dari pengakuannya mengenai apa yang dia yakini, melainkan dari tindakan yang dia lakukan demi melindungi keyakinan itu…sebab Kalau kita tidak mewujudkan keyakinan kita dengan tindakan nyata, barangkali itu cuma keyakinan abal-abal…karena kita sendirilah yang memberi hidup kita makna, lewat tindakan-tindakan kita dan narasi-narasi yang kita ciptakan (Edward Snowden)
POLITIK kini tak membutuhkan komitmen dan ide besar. Politik berjalan dalam suasana hingar bingar dan dangkal. Tiap kali politisi bicara kita tahu tak ada gagasan di dalamnya. Menyeru hal yang sama dan menyatakan sesuatu yang beda dari yang diharapkan. Tak hanya rentan oleh manipulasi tapi juga politik mulai kehilangan nalar. Di sana tak ada ide baru, tak punya terobosan dan kurang militan. Bahkan meracuni ide perubahan. Dalam bahasa sehari-hari, politik mulai kehilangan dunia ‘publik’nya dan cenderung memuaskan kepentingan privat. Pada saat itulah politisi yang tampil bukan berusaha memenangkan kepentingan publik, tapi mendirikan keyakinan dirinya-sendiri untuk publik. Keyakinan itu diterapkan melalui cara yang brutal dan sadis: menciptakan pandangan ekstrim dengan meramu ide-ide yang berbahaya. Bukan hajat publik yang kemudian mau diteguhkan melainkan suara massa yang butuh dikelola. Pada saat itulah kepiawaian politisi kita bukan pada pikiran dan imajinasi, tapi sikap masa bodoh dan menentang apa saja yang merugikan kepentingan dirinya sendiri.
Situasi inilah yang mengantarkan kelahiran Hitler. Ia pribadi yang lahir dalam dunia perang. Keberanianya bukan pada isi pikiran yang menentang kejumudan, tapi retorika kosong yang menghipnotis massa. Ia tahu massa adalah kumpulan orang yang merindukan ‘ketertiban, keadilan dan kemakmuran’. Harapan itu mencuat karena mereka terus dikepung oleh soal yang sama: kriminalitas, kemunduran ekonomi dan kesenjangan yang menganga. Hitler tak memiliki resep yang manjur, tapi ia tahu cara memanipulasi kesadaran. Melalui perantaraan pawai, aksi hingga arak-arakan massa ia menyuntikkan banyak ide-ide gila, diantaranya keunggulan suku Arya. Diisinya kepala massa dengan pidato yang memukau dengan kemampuan menyedot banyak penonton. Tiap kali ia manggung, sorotan media terpusat pada dirinya: Hitler tahu bagaimana memuaskan dahaga media untuk sebuah berita yang kontroversial. Sesungguhnya ia menggunakan teknik anjing: mengonggong yang keras maka orang lewat akan menengokmu. Kau bisa takut atau kau bisa lari. Setidaknya kau mencuri perhatian.
Hitler seperti sebuah tauladan gila. Individu yang muncul karena keinginan untuk mengobarkan peperangan. Hal yang sama terjadi hari ini. Banyak tokoh mulai sulut perbedaan SARA karena itu jauh lebih mudah untuk mengaduk-aduk emosi. Rupa-rupanya ia tahu kalau massa bukan kumpulan orang pintar dan cerdik: ia hanya deretan angka yang mudah dimainkan. Tekadnya bukan untuk menampilkan sebuah kenyataan alternatif, tapi situasi dimana ia yang pimpin semua. Seorang pengamat dengan cerdik mengatakan: Hitler itu bukan hanya punya tekad, tapi ia orang yang betul-betul kesurupan jika menyangkut segala hal yang ia percayai. Ia punya pembawaan percaya diri yang lebih serupa dengan orang gila. Dari omong kosongnya wacana publik diracuni oleh perbincangan yang tak bernalar dan tak beretika. Maka kita mulai melihat fenomena perbincangan politik yang ngawur: bertaburan tuduhan, bau persekongkolan hingga tulisan yang penuh hasutan. Seluruh soal politik tak lagi soal mana ide yang progresif melainkan siapa yang layak untuk dibinasakan. Itulah yang membuat Hitler jadi sosok pemimpin yang haus darah: ia secara mati-matian mau membinasakan kaum Yahudi yang dianggap sumber semua persoalan. Tak hanya gila, Hitler telah membaptis dirinya sendiri untuk jadi algojo.
Kalau politik berjalan seperti ini maka Hitler yang muncul sebagai pemenang. Figur-figur yang mahir memainkan kebencian pada golongan lain dengan menyandarkan pada apapun: fatwa, keputusan hukum hingga retorika menyelamatkan ummat dan kedaulatan kaum pribumi. Ideologi yang dibangun berdasar keunggulan pada kelompok tertentu: bisa agama, bisa pula etnis. Pesona ideologi itu bukan karena kebenaran yang dikandungnya tapi pemenuhan rasa kecewa. Bercermin dari kesenjangan sosial yang menganga dan rontoknya peran negara maka ada kebutuhan ‘pengharapan’. Fasisme memberi harapan palsu: membentuk etnis atau agama yang unggul dengan ambisi kemakmuran untuk semua. Demi mencapai cita-cita palsu itulah kekejian dihalalkan. Blaise Pascal menyatakan: manusia tidak pernah berbuat jahat sesempurna yang mereka perbuat karena keyakinan agama. Tak mampu pemerintah menanganinya karena pusat kekuasaan itu dikelilingi manusia yang serupa. Barisan Hitler yang merupakan murid terbaik dari Orba: gabungan oligark dengan didampingi para Broker. Jejaring kekuatan ini saling terfragmentasi dengan ambisi sendiri-sendiri dan kali ini menemukan apa yang dulu dicapai oleh Hitler: politik fasis.
Genderang fasisme itu kini meluap ke permukaan. Pada aksi massa yang ternyata mudah disulut oleh kebencian pada etnis maupun agama. Jika dulu ini semua diredam dan dijinakkan melalui represi atau kooptasi: kini bisa digunakan untuk senjata. Para politisi pandir ini menyadari betapa unggulnya ‘elemen massa’ yang dikoordinir oleh para preman: dipuaskan dengan jargon, semboyan dan lautan kebencian. Bahaya yang mencuat jika elemen massa itu menyatu dengan kepentingan angkatan bersenjata. Sebuah persekutuan yang dulu pernah dipanggungkan pada Peristiwa 65. Panggung itu bisa muncul saat ini karena unsur subjektif dan objektifnya mencukupi: keinginan untuk mengendalikan sumber-sumber ekonomi yang kini berpusat di banyak perusahaan swasta, konsensi yang jadi ladang perebutan antar aktor-aktor politik di banyak tempat dan kehendak untuk merestorasi politik Orba yang tahan guncangan. Ruang berebut itu secara legal disediakan dalam pemilu, tapi sesungguhnya perebutannya dimulai pada keinginan untuk ‘mengontrol dan mengendalikan’. Kontrol itu ditempuh dengan mendorong regulasi yang pro modal dengan kendali pada penciptaan ormas-ormas yang bisa jadi penyalur narasi kebencian. Jika tak dihalangi proses ini kian sempurna dan membentuk wajah politik mirip dengan kebijakan Nazi pada tempo dulu.
Kebijakan yang didasari karena naluri dan bukan nalar. Insting untuk selalu ingin mendapat untung bersanding dengan kemauan untuk memangsa. Kombinasi yang mustinya ada hanya pada binatang kini mengendap dalam diri banyak politisi. Ciri klasik perilaku hewan yang mau mendapat keturunan dan berusaha mencari pasangan terpampang mirip dalam prilaku politik belakangan ini. Bersaing untuk meraih kekuasaan tertinggi dengan cara yang garang: menyerang, memanipulasi dan menetapkan identitas yang unggul. Inilah yang dicontohkan pada perilaku kawin pada jenis ikan tawar tiga –tulang belakang yang hidup di belahan bumi utara:
Yang jantan jadi sangat garang menjaga wilayahnya kala musim kawin tiba. Ia mengawal sebagian aliran sungai dan menyerang sembarang ikan jantan yang berani datang. Nafsu menyerang itu dipicu tampaknya oleh perut warna merah ikan jantan lain. Sebaliknya ketika muncul ikan betina merangsang terjadinya tarian cari pasangan pada ikan jantan berupa gerakan zigzag yang khas dan rumit[1].
Maka kita butuh melawan dan menghadang tampilnya para monster. Segala upaya perlu dilakukan untuk mengorganisir kesadaran kritis yang kini menghuni di kalangan muda. Praktik pengorganisasian hingga upaya mencetuskan perlawanan perlu dengan mengingatkan kembali masa-masa gelap Orba. Masa busuk itu kini mau dipoles sebagai masa terbaik dalam kehidupan berbangsa. Upaya melupakan itu harus dilawan dengan proyek ‘ingatan’. Pilihan aksi kamisan merupakan tugu ingatan yang bisa memupuk kembali perseteruan dengan kaum fasis. Begitu pula diskusi-diskusi kritis yang berani dilakukan pada berbagai tempat juga sarana untuk memastikan kembali ‘nalar’ kita yang terancam kegelapan. Singkatnya, wacana untuk membangun kembali kekuatan progresif perlu didorong keras karena kebangkitan kaum fasis jadi ancaman nyata.
Mungkin itu sebabnya kita jangan terlampau pesimis dengan kondisi. Mungkin memang berat kondisinya, tapi berkaca pada perlawanan atas Orba, tak ada yang mustahil bagi dienyahkannya para monster. Bukan lagi butuh konsolidasi tapi tiap kekuatan perlu menyuarakan permusuhan yang serupa: tuntutan atas diadilinya kejahatan HAM, dihapuskanya praktik-praktik militerisme serta yang paling utama kompetisi politik tak berjalan seperti sekarang. Politik yang didasarkan atas eksistensi partai yang masih didominasi oleh watak-watak Orba. Bukan hanya kita memerlukan blok politik alternatif tapi selayaknya parpol yang tak mampu mendorong mandat perubahan untuk diberi sanksi. Minimal tak diperkenankan ikut dalam babak pemilu. Itu sebabnya kebutuhan hari ini bukan lahirnya politisi progresif tapi menghentikan jalan karir para politisi bandit yang punya bakat serupa dengan Hitler. Upaya itu tak lain adalah melakukan propaganda terus-menerus tentang bahaya apa yang terjadi jika keadaan politik berjalan seperti sekarang.
Maka saatnya untuk ditanam ide-ide perlawanan yang manjur. Ide yang berangkat dari keinginan menolak segala praktik politik yang fasis serta membangkang pada tiap kepemimpinan politik yang berunsur fasis. Secara efektif upaya ini dapat dilakukan dengan cara-cara kreatif: menyuruh untuk membangkang tiap ada kegiatan dimana orang-orang fasis berada, melucuti segala hal yang tak logis yang dikatakan oleh orang fasis dan menelusuri jejak kebodohan serta kekejaman yang dilakukan oleh mereka yang berpandangan fasis. Hingga publik bisa mengerti kalau yang kita lawan ini bukan lagi monster tapi malapetaka yang mengancam negeri ini di masa depan. Dimana ancaman itu sudah bisa kita intip hari ini: pandangan kritis dianggap bahaya serta perangai politik brutal dianggap hal biasa. Kalau keadaan ini tak mampu kita selamatkan maka kita bukan hanya mengenyahkan nilai demokrasi tapi kita menuju tradisi politik yang totaliter. Sebuah kondisi yang harusnya bisa kita hindari dan ancaman yang bisa kita lawan.***
————
[1] Lih Donald B Calne, Batas Nalar: Rasionalitas & Perilaku Manusia, Gramedia, 2004