Aksi petani desa Lunjuk menolak PT SIL. Kredit foto: Walhi Bengkulu
Kondisi Hidup Petani Perempuan Desa Lunjuk
IBU LENA dan teman-temannya, perempuan di Desa Lunjuk, Kecamatan Seluma Barat, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu, mempunyai cita-cita hidup sejahtera. Apa yang mereka imaginasikan tentang sejahtera? Pertama, semua biaya kebutuhan rumah tangga tercukupi; kedua, anak-anak mendapat pendidikan dan pekerjaan; ketiga, hidup bermartabat dan tak ada yang menginjak-injak harga dirinya; dan keempat, dapat hidup rukun dan bermafaat bagi orang lain.
Tetapi cita-cita hidup sejahtera itu mereka rasakan makin jauh dari kenyataan, sejak terlibat konflik tanah dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Sandabi Indah Lestari (PT SIL) enam tahun lalu (2011). Mereka mengalami kondisi yang disebut orang Rejang dengan istilah pesat, yaitu kondisi kekacauan secara psikologis dan sosial akibat kecemasan terhadap masa depan yang tidak pasti. Sebab para perempuan petani ini –sebagaimana petani pada umumnya—menyandarkan penghidupannya pada tanah dan aneka tumbuhan yang tumbuh “liar” di atasnya. Lalu ketika tanah mereka diklaim sebagai konsesi PT Sandabi Indah Lestari, mereka merasa seperti residu –masyarakat agraris yang tersisa, dan yang tersisa dalam hidup mereka saat ini adalah pesat.
Kesengsaraan itu dapat kita cium dari dapur rumah tangga Ibu Lena dan teman-temannya. Meski dapur itu tetap mengepul berkat kerja yang lebih keras di samping bercocok tanam bersama suami mereka. Lalu daya upaya apa yang dilakukan para perempuan petani di Lunjuk untuk dapat menyintas dalam sehari-harinya?
Mengais Uang Tunai Demi Menyintas (Survive)
Dalam konflik tanah dengan PT Sandabi Indah Lestari, petani Desa Lunjuk terbelah menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menentang perusahaan perkebunan PT Sandabi Indah Lestari, dan kelompok yang mendukung keberadaan perusahaan tersebut. Kelompok yang pertama berkebun di dalam area konsesi PT Sandabi Indah Lestari (di sekitar perkebunan yang telah ditanami kelapa sawit). Kelompok ini mengklaim bahwa lahan yang dicaplok sebagai konsesi PT Sandabi Indah Lestari adalah tanah milik leluhur mereka dan sebagian tanah yang lain adalah lahan terlantar Eks HGU Way Sebayur. Petani yang berkebun di dalam area konsesi sering mendapatkan gangguan dari aparatus keamanan Pt Sandabi Indah Lestari. Contohnya, hasil kebun petani itu pernah di panen secara sembunyi-sembunyi oleh buruh-buruh perusahaan dan perusahaan tersebut menarik pungutan bagi kendaraan yang mengangkut hasil panenan petani. Akibat gangguan-gangguan ini, petani Lunjuk pernah bentrok dengan orang-orang yang dibayar perusahaan untuk mengganggu aktivitas produktif petani. Adapun kelompok kedua adalah mereka yang telah menjual lahannya kepada perusahaan serta menjadi buruh di situ. Kelompok ini menjual tanahnya kepada perusahaan karena tergiur oleh tawaran harga tanah dan pekerjaan. Namun kondisi penghidupan mereka tidak lebih baik ketimbang sebelumnya. Setelah mereka diberi pekerjaan sebagai buruh, kemudian diPHK atau dipindah ke perkebunan yang makin jauh dari pemukinan mereka. Alasannya, mereka bekerja tidak mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan. Oleh karenanya, petani kelompok kedua itu sekarang kehilangan pekerjaan dan memburuh serabutan di sana sini, sedangkan sebagian lainnya merantau atau menjadi buruh di perusahan-perusahan tambang, mekanik atau alat-alat berat yang lokasi kerjanya di luar kota bahkan provinsi.
Baik kelompok pertama maupun kedua, kini harus berjuang keras untuk dapat menyintas sehari-hari. Para perempuan petani itu mengakui bahwa kehidupan mereka lebih miskin ketimbang generasi orang tua mereka, meskipun saat ini mereka memiliki barang-barang yang lebih modern. Kemiskinan, menurut pandangan petani perempuan di Desa Lunjuk, merupakan kondisi dimana mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, seperti biaya pendidikan anak-anak, belanja dapur untuk makan keluarga, biaya jajanan anak-anak (bahkan orang dewasa), membayar listrik, membayar cicilan kredit barang dan pakaian serta membayar cicilan kredit sepeda motor. Sebagai catatan, sepeda motor saat ini merupakan kebutuhan primer bagi keluarga petani di Desa Lunjuk, karena tak ada transportasi publik, dan terlebih menuju ke lahan pertanian mereka yang letaknya antara 3-5 kilometer dari rumah mereka. Tetapi untuk bisa memiliki sepeda motor, umumnya petani itu harus membayar uang cicilan antara Rp 450.00,- – Rp 800.000,-/bulan (besar kecil uang cicilan tergantung pada besar kecilnya down payment). Uang cicilan untuk membayar sepeda motor ini harus diakui memperbesar biaya pengeluaran rumah tangga. Di antara pengakuan petani perempuan itu pun mengatakan bahwa biaya cicilan sepeda motor yang musti dikeluarkan tiap bulan lebih besar ketimbang biaya untuk makan sehari-hari.
Demi memenuhi pengeluaran-pengeluaran berupa uang untuk harian, mingguan maupun bulanan, para petani perempuan di Lunjuk menjual jasa tenaganya sebagai penderas karet milik tetangganya atau memburuh di perkebunan sawit milik PT Sandabi Indah Lestari. Meskipun sebagian dari mereka memiliki kebun dalam area yang menjadi konsesi perusahaan tersebut yang ditanami tanaman pangan, namun hasil pertanian itu tidak menjamin kebutuhan reguler yang harus dibayar dengan uang (bukan dengan bahan baku). Lagipula harga hasil panenan mereka ditentukan oleh mekanisme pasar yang direpresentasikan dalam diri tengkulak-tengkulak. Adapun bagi petani yang telah menjual tanahnya kepada perusahaan perkebunan sawit, serta-merta menjadi buruh bagi perusahaan tersebut.
Disamping itu, para perempuan berupaya untuk menggali sumber-sumber nafkah dengan cara membuat kerajinan dari limbah plastik, membuka warung, melayani catering untuk buruh perusahaan PT Sandabi Indah Lestari, memelihara ayam dan bebek, dan lainnya. Ibu Lena dan anak perempuannya memasak untuk melayani catering bagi buruh perusahaan PT Sandabi Indah Lestari. Menantu Ibu Lena menjadi buruh di perusahaan tambang, di sekitar Desa Lunjuk. Pendeknya para perempuan ini akan melakukan apapun pekerjaan demi memperoleh uang tunai. Lalu tanpa mereka sadari waktu kerja mereka semakin panjang dalam 24 jam, dan alhasil membuat mereka tidak mempunyai waktu untuk terlibat dalam Forum Petani Bersatu (FPB), yaitu alat perjuangan petani dalam konflik tanah dengan PT Sandabi Indah Lestari.
Sementara petani laki-laki dalam mengais uang tunai termobilisasi ke dalam proyek-proyek industri padat karya yang hanya membutuhkan tenaga kerja laki-laki. Contohnya, proyek pembangunan infrastruktur desa berupa jalan atau jembatan. Dalam pekerjaan padat karya seperti itu, memang tidak ada jenis kerja yang tepat guna bagi perempuan, hingga jenis-jeris kerja upahan bagi perempuan lebih terbatas ketimbang laki-laki.
Perempuan Dalam Gempuran Modus Konsumsi
Ibu Lena dan para petani perempuan di Desa Lunjuk telah bekerja keras untuk dapat menyintas sehari-hari. Namun demikian, upaya untuk menyintas itu menghadapi tantangan dari para tukang kredit barang yang setiap hari berkeliling dari satu rumah ke rumah lainnya di desanya. Cara tukang kredit dalam menawarkan barang telah berhasil membujuk Ibu Lena dan petani perempuan secara umum untuk membeli barang-barang yang seringkali tidak mereka butuhkan. Ibu Lena tergolong sebagai konsumen yang aktif. Ia mempunyai dua kulkas, oven besar, karpet tebal, koleksi tuperware, audio speaker, televisi, magic jar, hingga sepeda motor. Tetapi satu kulkas dan oven besar Ibu Lena dipergunakan untuk almari barang-barang. Sebab barang-barang yang dimilikinya itu berdampak pada tingginya pembayaran listrik, maka sebagian barang itu tak diaktifkannya. Tentu saja barang-barang itu dibeli dengan cara kredit, yang dicicil setiap dua minggu sekali, yaitu ketika mendapat upah dari menderas karet.
Kredit barang konsumsi itu semakin membuat kebutuhan terhadap uang semakin tinggi, tetapi tanpa mengambil kredit, sebagian petani perempuan mengaku tak akan mempunyai barang-barang. Kredit itu juga termasuk pembelian pampers untuk anak-anak mereka yang masih bayi. Para perempuan itu pula yang mengatur pembayaran cicilan kredit dan memikirkan darimana uang dapat diperoleh untuk membayar cicilan tersebut.
Kondisi seperti itu menjadi gambaran umum bagi petani perempuan di Lunjuk dan memberi penanda bahwa para perempuan dijadikan sarana perubahan dari masyarakat produsen menjadi konsumen. Dari masyarakat yang perkakas rumah tangganya tergatung pada alam, kemudian menjadi tergantung pada pasar.
Dulu sebelum bentang alam Lunjuk berubah menjadi teritorial bagi industri perkebunan, relasi petani perempuan Desa Lunjuk dengan alam memiliki intensitas yang tinggi. Banyaknya pohon-pohon kelapa di halaman depan setiap rumah, dimanfaatkan oleh para petani perempuan untuk membuat minyak kelapa, melancarkan kelahiran bayi, melancarkan air susu ibu, dan obat untuk berbagai macam penyakit. Itu artinya perempuan petani tidak perlu belanja dan mengeluarkan uang untuk memenuhi berbagai kebutuhan yang dapat diatasi oleh buah kelapa. Termasuk halnya, daun-daun tua pohon kelapa digunakan untuk sapu ijuk, kayu bakar untuk memasak, dan lain sebagainya. Tetapi dewasa ini, terutama setelah perusahaan perkebunan masuk ke Lunjuk, banyak pohon kelapa dibabat dan petani perempuan yang tak lagi bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dari kelapa, lantas harus belanja ke warung untuk membeli minyak goreng dari kelapa sawit.
Sebelum industri perkebunan masuk ke Lunjuk (1970an-1980an), petani dapat menanam padi pada saat musim hujan (sawah tadah hujan), dan mengandalkan karet, kelapa dan tanaman pangan lain. Tanah produktif petani pendeknya dapat ditanami aneka tanaman. Meskipun industri perkebunan masuk ke Seluma sudah sejak masa perusahaan perkebunan kolonial masuk merambah Bengkulu. Sistem perkebunan di masa kolonial telah meratakan tanah petani menjadi perkebunan besar untuk ditanami cengkeh, karet, kopi dan lada. Pemerintah kolonial melarang petani menamam di luar komoditi dan lahan yang diklaim oleh perusahaan perkebunan. Pola industri perkebunan kolonial dengan sistem monokultur itu diadopsi kembali sejak masa Orde Baru hingga saat ini.
Begitu pula tentang ritual cocok tanam, kini mulai memudar sejalan dengan lenyapnya buah kemang di Lunjuk. Buah kemang ini adalah buah khas desa Lunjuk yang dahulu dipergunakan sebagai syarat dalam ritual membuka lahan di hutan atau sawah. Namun sekarang, pohon kemang tersebut hampir tidak bisa ditemukan lagi di desa ini. Menurut cerita para perempuan, hal ini merupakan salah satu dampak masuknya industri perkebunan tersebut di desa mereka.
Dalam situasi sistem monokultur modern saat ini, tenaga petani dimobilisir untuk menjadi buruh, dan makin didorong untuk tergantung pada pasar, baik dalam arti pangan dan bumbu untuk pengolahannya, air, energi, perawatan tubuh dan rumah, obat-obatan, kebutuhan bayi, kesehatan alat reproduksi perempuan, maupun dalam arti perkakas rumah tangga. Maka tak heran jika perempuan petani bekerja keras untuk dapat memperoleh uang tunai, namun uang tersebut habis dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan dan barang konsumsi.
Memudarnya Sumberdaya Alam Petani
Perubahan ekonomi petani di Lunjuk akibat sistem industri perkebunan menciptakan petani-petani yang subsisten. Dengan menyempitnya tanah yang dapat mereka garap sebagai lahan pertanian, memudarkan sandaran utama mereka hanya semata kepada tanah dan tanaman-tanamannya. Hal ini tentu saja berdampak pada perapuhan ekonomi petani, yang pada tingkat dapur dan seputar rumah tangga kerapuhan itu dipikul oleh para perempuan.
Petani perempuan yang memikul perapuhan ekonomi petani itu harus berhadapan dengan fluktuasi harga konsumsi yang selalu naik, sementara harga hasil produksi naik turun –dan lebih banyak turun daripada naik. Maka petani perempuan di Lunjuk dewasa ini dipaksa untuk beradaptasi dengan hal-hal yang fluktuatif, hingga membuat mereka mencari jaring pengaman pada jaringan kerja tukang kredit uang dan barang. Dengan kata lain, hutang merupakan jaring pengaman petami perempuan dewasa ini, ketika tanah dan segala yang tumbuh di atasnya kehilangan sumberdaya alamnya dan tak sepenuhunya mereka kuasai lagi. Dahulu, adanya daun kelapa, damar, dll, merupakan sumberdaya alam bagi petani perempuan untuk membuat kerajinan (perkakas) yang dapat dijual ataupun dipakai sendiri, kini sumberdaya alam itu telah memudar di Lunjuk.
Kini jalan terbaik untuk menyintas (survive) bagi perempuan petani di Lunjuk adalah menjual jasa tenaga kerjanya di dalam area perkebunan milik tetangga dan industri perkebunan yang dikelola perusahaan dengan modal besar. Sementara petani laki-laki memiliki lebih banyak pilihan menjadi buruh, yaitu buruh perkebunan, buruh tambang dan buruh bangunan. Hasilnya, petani Lunjuk sedang berubah menjadi buruh di desanya sendiri!***
Kepustakaan:
James Scoot (1983) Moral Ekonomi Petani, LP3ES
Ruth I Rahayu, (2017) Ketika Pengeluaran Lebih Besar Dari Pada Pengeluaran, 20 Juli 2017 dari https://indoprogress.com/2017/07/ketika-pengeluaran-selalu-lebih-besar-ketimbang-penghasilan/
Tania Muray Li (2016) The Will to Improve, Marjin Kiri
Erwin Basrin (2017) Mendedah Hidden Hunger pada Masyarakat Sekitar Hutan, Unpublished
Karl J. Pelzer (1985) Toean Keboen dan Petani; Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria 1863 – 1947, Sinar Harapan