Domestikasi Vs Revolusionerisasi Politik Perempuan Sebelum G30S

Print Friendly, PDF & Email

Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)

 

DALAM sejarah dunia maupun di Indonesia terlihat adanya pola: bangkitnya radikalisasi politik perempuan dan revolusi merupakan satu paket politik yang koheran. Sebaliknya domestikasi politik perempuan menandakan bangkitnya otoritarianisme atau fasisme. Pola dalam sejarah ini terlihat menjelang G30S dan menimbulkan pertanyaan: mengapa organisasi perempuan menjadi alat pertarungan kepentingan politik antara yang berkehendak mendomestikasi dan yang berkehendak merevolusionerkan?

Pada kesempatan ini saya menggunakan kembali data penelitian saya mengenai peneguhan ideologi koncowingking (ideologi yang menempatkan perempuan sebagai pendamping suami di garis belakang) di bawah militerisme Orde Baru. Khususnya saya mengajak pembaca untuk menangkap adanya kontradiksi instruksi pimpinan negara terhadap organisasi perempuan, yakni antara instruksi domestikasi politik perempuan versus instruksi membangun revolusi perempuan sosialis sebelum pecah huru-hara G30S.

 

Pengertian Domestikasi Politik Perempuan

Telah cukup banyak tulisan yang mengulas tentang domestikasi politik perempuan pada masa Orde Baru, salah satunya ditulis oleh Julia S. Surjakusuma yang mengajukan tesis tentang Ibuisme-negara (state-ibuism). Ibuisme-negara adalah paham domestikasi perempuan bagi organisasi perempuan ciptaan militer Orde Baru, yang terdiri dari Dharma Wanita untuk isteri pegawai negeri sipil, Dharma Pertiwi untuk isteri ABRI, dan PKK untuk isteri nonPNS dan nonABRI.

Adapun rujukan ideologi Ibuisme-negara adalah Panca Dharma Wanita yang diberlakukan awal dekade 1970an seturut pelembagaan organisasi-organsiasi ibuisme-negara. Panca Dharma Wanita berisi: (1) wanita adalah pendamping suami, (2) wanita adalah penerus keturunan, (3) wanita adalah pengurus rumah tangga, (4) wanita adalah pencari nafkah tambahan, (5) wanita adalah anggota masyarakat. Dalam hemat saya, Panca Dharma Wanita mempunyai akar genealogi pada paham aristokrasi Jawa dalam mengatur kewajiban moral bagi perempuan ningrat. Perempuan ningrat adalah representasi peradaban tinggi, dimana peradaban tinggi mengatur tindakan moral orang-orang melalui aturan-aturan (tatakrama) yang ditulis dalam serat-serat (kitab-kitab). Sampai saat ini, saya belum tahu tentang siapa yang merumuskan Panca Dharma Wanita, dan tentunya adalah orang yang sangat menguasai serat-serat Jawa, dan penafsir teks yang mumpuni.

Panca Dharma Wanita rupanya merujuk pada kewajiban moral seorang isteri yang disebutkan dalam Serat Centhini atau Suluk Tambangraras. Seorang isteri yang mampu menjalankan kewajiban sepenuhnya disimbolkan dengan jari jempol, artinya ia seorang isteri yang bernilai tinggi dan menjadi teladan bagi isteri lainnya. Isteri yang jempol mampu menjalankan kewajiban (1) tidak memerintah atau menyuruh-nyuruh suami, atau dengan kata lain patuh terhadap perintah suami, yang disimbolkan oleh jari telunjuk, (2) harus mampu mengunggulkan atau menjunjung tinggi status dan derajat suami, dan karena itu perilaku, tutur bahasa dan penampilan isteri harus mencerminkan derajat suami. Hal ini disimbolkan dengan jari tengah. (3) harus selalu bersikap manis kepada suami dalam melayani keinginan dan keperluannya, agar suami senang dan bahagia, yang disimbolkan dengan jari manis, (5) harus mampu mengatur nafkah yang diberikan suami dengan baik, tidak boleh boros dan pelit, namun harus bisa membuat suami dan anak-anak kenyang yang sehat. Simbol kewajiban kelima ini dengan jari kelingking.

Kiranya militerisme Orde Baru memungut kewajiban moral perempuan ningrat untuk mendoktrin isteri PNS, ABRI dan aktivis PKK agar menjadi isteri yang jempol, yaitu menunaikan kewajiban sebagaimana simbol empat jari. Dalam konteks politik perempuan, itu berarti mengabdi sepenuhnya kepada Soeharto sebagai pimpinan tertinggi Orde Baru.

 

Instruksi Angkatan Darat: Domestikasikan Organisasi Perempuan Angkatan!

Ternyata upaya domestikasi politik perempuan telah dilakukan sebelum kampanye Tari Harum Bunga atas diri Gerwani pada pertengahan Oktober 1966. Upaya domestikasi ini dilakukan seturut dengan keinginan Angkatan Darat –pascakemerdekaan– untuk masuk ke ranah politik. Seperti kita ketahui menjelang Pemilu 1955[1], Angkatan Darat membentuk Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) sebagai partai politik peserta Pemilu. Namun perolehan suaranya hanya delapan kursi. Kenyataan ini mengecewakan Angkatan Darat yang ingin menguasai gelanggang politik –yang pada masa itu telah dikuasai oleh partai-partai politik berbasis massa.

Soekarno lantas berupaya untuk merangkul kekuatan-kekuatan partai politik massa dan militer dalam Nasakom-Mil guna menghadapi gempuran imperialisme dan goncangan politik dalam negeri. Maka pada 21 Pebruari l957, ia mengeluarkan political will, pertama, yaitu membentuk kabinet “kaki empat” yang merupakan komposisi partai pemenang Pemilu 1955 (Masyumi, PNI, NU dan PKI). Kedua, membentuk Dewan Nasional (Denas) yang dipimpinannya sendiri, dan beranggotakan empat kepala staf Angkatan, wakil-wakil golongan fungsional dan daerah. Melalui Denas inilah kelompok Angkatan Darat yang gagal dalam Pemilu 1955 mempunyai peluang untuk mengembangkan posisinya dalam ranah politik dengan mewujudkan dwifungsi militer.

Dwifungsi militer semakin memperoleh panggungnya untuk berkembang ketika Sukarno mengusung Nasakom-Mil ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Setelah Sukarno mengumumkan Dekrit 5 Juli 1957, Konstituante yang sedianya bertugas menyusun UUD baru dibubarkan dan kembali ke UUD 45. Atas saran pimpinan Nasakom-Mil (Ali Sastroamidjojo, Idham Chlaid, DN Aidit dan Mayjen Wiluyo Puspoyudo) dalam pertemuan di Tampaksiring Bali, Sukarno lantas menyusun DPR Gotong Royong dan MPR-S yang komposisinya meliputi golongan politik (partai politik) dan separuh golongan karya (golongan fungsional, termasuk militer). Dalam susunan DPR-GR dan MPR-S serta kabinet, militer telah menguasai sepertiganya dan mereka menyebut dirinya sebagai golongan karya Angkatan Bersenjata.[2]

Sejalan upaya Angkatan Darat untuk menguasai panggung politik, dalam kepemimpinan Ahmad Yani, ketiga satuan angkatan perang dan kepolisian dilebur menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Masing-masing Kepala Staf Angkatan tersebut diberi kedudukan oleh Sukarno sebagai menteri negara. Peleburan satuan angkatan tersebut berpengaruh pada “nasib” organisasi isteri angkatan perang dan kepolisian. Semula Persit (organisasi isteri AD), Pia Ardhya Garini (organisasi isteri AU), Yalasenastri (organisasi isteri AL), Bhayangkari (organisasi isteri Polisi) berdiri otonom dan tidak menjadi bagian dari struktur angkatan perang dan kepolisian. Sebagai contoh adalah Persit[3], meskipun anggotanya adalah isteri AD, organisasi ini terpisah dari struktur kedinasan AD. Para aktivisnya mencari dana di luar kedinasan suaminya, dan para pengurus itu dipilih berdasarkan kecakapan dan bukan karena jabatan suaminya. Persit mempunyai agenda untuk memperjuangkan kepentingan perempuan, khususnya isteri Angkatan Darat dan Angkatan Darat perempuan. Mereka memperjuangkan kenaikan gaji janda militer, baik yang suaminya gugur di medan perang maupun karena mati alamiah. Selain itu mereka memperjuangkan antipoligini dan perkawinan dini dalam penyusunan UU Perkawinan[4]

Politik perempuan Persit ini tidak disukai Achmad Yani hanya karena dianggap tidak layak. Achmad Yani minta agar Persit tidak berdiri otonom dan terpisah dari kesatuan AD. Permintaan Achmad Yani ini ditolak oleh Dewan Pengurus Pusat Persit yang dipimpin Ny. Sunarti (isteri Nasution)[5]. Achmad Yani lalu menarik paksa perwakilan Persit di KOWANI. Tetapi tindakannya itu tetap tidak dihiraukan Persit, hingga Achmad Yani membekukan Dewan Pengurus Pusat Persit. Setelah itu Ahmad Yani membentuk caretaker untuk mengadakan Kongres Luar Biasa. Dalam Kongres tersebut, Ahmad Yani menginstruksikan agar Persit memiliki satu sikap politik berdasarkan doktrin militer. Lalu struktur organisasi Persit dirombak dan disatukan ke dalam satuan Angkatan Darat. Nama Persit diubah menjadi Kartika Candra Kirana. Tindakan Achmad Yani ini juga berlaku untuk Pia Ardhya Garini, Yalasenastri dan Bhayangkari.[6] Lalu keempat organisasi isteri angkatan itu dilebur ke dalam Badan Kerja Sama (BKS) Dharma Pertiwi pada 1964. Pada saat Orde Baru berkuasa pada 1966, BKS Dharma Pertiwi bernaung di bawah pembinaan HANKAM ABRI,[7] dan kemudian pada 1972 BKS Dharma Pertiwi diubah menjadi Dharma Pertiwi sebagai organisasi isteri ABRI.

Setelah otonomi politiknya dihancurkan, BKS Dharma Pertiwi menjadi organisasi koncowingking ABRI. Mereka mendapat doktrin militer yang menekankan pada ketundukan dan kepatuhan komando. Dharma Pertiwi merupakan salah satu anggota Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang di bawah pimpinan ABRI diarahkan untuk melemahkan kegiatan PKI, ormas-ormas kiri, termasuk Gerwani.[8] Di dalam Sekber Golkar terdapat organisasi-orginsasi perempuan yang berasas agama, organisasi perempuan yang punya kaitan dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan organisasi perempuan pegawai Departemen-departeman dan Lembaga nonDepartemen (IKWANDEP, Ikatan Wanita antar Departemen yang didirikan pada 1964).[9]

 

Instruksi Soekarno: Bangun Gerakan Perempuan Sosialis untuk Revolusi!

Berbeda dengan instruksi Ahmad Yani untuk mendomestikasikan organisasi perempuan isteri angkatan, Sukarno seperti teringat kembali terhadap pemikirannya di dalam Sarinah (1947). Meski diungkapkan dengan bahasa yang propagandis, Sukarno telah menyusun gagasan membangun gerakan perempuan untuk revolusi sosialis dalam karyanya itu. Di dalam Sarinah itu, Sukarno menjelaskan tugas pokok gerakan perempuan sosialis adalah memperjuangkan emansipasi rakyat marhaen, dan bukan hanya emansipasi bagi problem keperempuanannya. Entah mengapa gagasan ini baru dikemukakan Sukarno pada 1964 bersamaan dengan Kongres Kowani di Jakarta. Kebetulan Ketua KOWANI (payung organisasi perempuan nasional) saat itu adalah Hurustiati Soebandrio (isteri Waperdam Soebandrio) dari Gerwani yang merasa gagasan Sukarno itu sejalan dengan visi Gerwani. Lalu dibentuklah tim perumus revolusi perempuan sosialis yang diketuai oleh Hurustiati Soebandrio, dan anggotanya terdiri dari, antara lain, Ny. Moedikdo (Gerwani), lalu ada perwakilan dari Wanita Marhaen (ormas perempuan PNI). Di depan tim perumus ini Sukarno memberikan arahan agar dirumuskan tahapan menuju revolusi perempuan sosialis.[10]

Tampaknya sebelum pekerjaan tim perumus revolusi perempuan sosialis itu selesai meletus huru hara peristiwa G30S 1965. Posisi Sukarno dalam ancaman coup, dan kemudian di koran-koran ABRI, seperti Berita Yudha, Angkatan Bersenjata pada 10 Oktober 1965, mengampanyekan Gerwani sebagai pelaku pembunuhan para jenderal dalam peristiwa G30S. Akibatnya, di bawah pimpinan RPKAD, terjadi penangkapan dan pemenjaraan terhadap anggota Gerwani secara massif. Hurustiati dan tim perumus revolusi sosialis pun ditangkap dan dipenjara. Sampai sekarang masih menjadi pertanyaan apakah hasil kerja tim perumus itu terselamatkan dokumentasinya atau hilang.[11] Namun yang pasti, gagasan membangun gerakan perempuan sosialis untuk mempersiapkan revolusi sosialis kandas dihantam popor senapan angkatan bersenjata.

 

Konsensus Nasional Pelucutan Politik Perempuan

Setelah terjadi penangkapan dan pemenjaraan terhadap anggota Gerwani, Soeharto membuat konsensus politik dengan KOWANI. Diselenggarakanlah Kongres Luar Biasa bagi anggota KOWANI yang dianggap “bersih” dari G30S di Gedung Wanita, Jalan Diponegoro 26, Jakarta, pada 30 Mei – 1 Juni 1966. Kongres ini dihadiri wakil-wakil sekitar 35 organisasi anggota KOWANI.[12] Dibuka oleh pidato ketua panitia Kongres, yaitu Ny. Soewondopranoto (isteri polisi) dari BKS Dharma Pertiwi, kemudian Ny. B. Simorangkir selaku Dewan Pimpinan KOWANI dan puncaknya adalah pidato Soeharto[13] mengenai “Fungsi dan Kedudukan KOWANI”. Materi yang dipidatokan Soeharto membahasa tentang “kedudukan wanita dalam sejarah kemasyarakatan”, “kedudukan wanita dalam sejarah Indonesia” dan ‘peranan wanita dalam tujuan dan upaya revolusi Indonesia”. Soeharto mendesak KOWANI untuk segera melaksanakan Tritura, yakni (1) membubarkan PKI dan ormas-ormasnya, termasuk Gerwani, (2) penurunan harga dan (3) retooling kabinet Sukarno.[14] Kongres tersebut menghasilkan resolusi mendukung terhadap pemerintahan yang sah, yaitu Orde Baru, dan kembali ke Pancasila serta UUD 45 secara murni dan konsekuen. Selain itu, Resolusi Kongres mendesak pemerintah segera mengadakan Pemilu dan pembersihan lembaga-lembaga negara dari simpatisan G30S.

Anehnya KOWANI bertekad mengemban amanat persatuan dan kesatuan organisasi perempuan yang mengacu pada semangat perempuan “progresif revolusioner”. Tugas revolusioner itu, pertama, sebagai isteri, sebagai ibu rumah tangga, dan sebagai ibu bangsa. Kedua, memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Ketiga, membentuk masyarakat sosialis yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Pengabdian yang terakhir ini masih diliputi semangat melaksanakan Manipol/USDEK, meski kemudian dihapus setelah SI MPR-S 1966. Namun sesudahnya KOWANI terlucuti semangat progresif revolusionernya hingga menjadi organisasi koncowingking.

Setelah retooling pejabat lembaga tinggi negara, antara lain pembubaran DPR Gotong Royong, KOWANI mendapat jatah keterwakilan di parlemen. Ny. SR Lasmindar dari BKS Dharma Pertiwi (isteri angkatan darat) ditunjuk sebagai anggota DPR atas nama KOWANI sejak Juni 1966 sampai dengan 1971. Dengan demikian, KOWANI turut serta menetapkan Soeharto dalam SI MPRS sebagai presiden Orde Baru.

Setelah itu, persisnya sejak 1967, KOWANI tidak lagi memperingati 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional dan 1 Juni sebagai Hari Anak Internasional. Alasannya Hari Perempuan dan Hari Anak itu diprakarsai oleh negara-negara komunis.

Langkah KOWANI selanjutnya adalah mengundang Aisyiah, yang menyatakan diri keluar pada Kongres KOWANI ke VII di Solo, untuk menjadi anggota KOWANI kembali.[15] Anehnya, Gerakan Wanita Sosialis (GWS) –organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), sejak saat itu tidak pernah mendapat undangan rapat dari KOWANI. Pimpinan GWS, Poppy Syahrir[16], melayangkan surat ke DPP KOWANI, menjelaskan bahwa GWS tidak terlibat Gerakan 1 Oktober 1965. Setelah mengirim pernyataan itu, barulah GWS mendapat undangan rapat seperti sediakala, tetapi GWS harus menghilangkan kata “sosialis” dan menggantikannya dengan “sejahtera”. Organisasi perempuan yang berafiliasi dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI), yaitu Wanita Marhaen, diterima kembali setelah mengubah namanya menjadi Persatuan Wanita Nasional (PERWANAS)[17]. Perlu diketahui bahwa sebagian anggota Wanita Marhaen garis Ali Surachman (kiri) telah ditangkap dan dipenjara senasib dengan anggota Gerwani. Sebenarnya KOWANI telah memecat Gerwani sebagai anggota sejak 29 Oktober 1965, namun Hurustiati Subandrio baru bisa dipecat pada 1966 –setelah Dr. Subandrio ditangkap dan dipenjarakan[18]

 

Mengapa Organisasi Perempuan Menjadi Alat Pertarungan?

Deskripsi fakta sejarah organisasi perempuan sebelum terjadi huru-hara G30S itu menunjukkan adanya kontradiksi antara perintah untuk mendomestikasikan organisasi perempuan isteri angkatan bersenjata versus meradikalkan organisasi perempuan sosialis. Rupanya perintah domestikasi organisasi perempuan isteri angkatan bersenjata adalah untuk mempersiapkan kudeta yang dipimpin oleh angkatan darat terhadap Sukarno yang gejalanya akan mengobarkan revolusi sosialis. Mengapa kedua kepentingan politik itu menggunakan organisasi perempuan sebagai alat mencapai maksud politiknya?

Jawaban saya masih bersifat hipotesis, pertama, berkaitan dengan ambiguitas perempuan sebagai isteri pendamping suami di satu pihak, dan di lain pihak sebagai perempuan yang otonom. Sebagai pendamping suami, perempuan sangat mudah dimobilisir untuk kembali pada posisi subordinasi, berdasarkan konstruksi sosial bahwa status perempuan melekat pada diri laki-laki. Militerisme dan fasisme memerlukan perempuan yang patuh untuk mendukung kepentingan fasisnya. Sebaliknya, perempuan memiliki karakter otonom karena pengalamannya terlatih dalam kerja ganda, yaitu produksi dan reproduksi yang membuatnya trampil melakukan kegiatan yag bersifat publik dan sekaligus domestik. Maka revolusi juga memerlukan kerja ganda perempuan ini, baik untuk menggerakkan massa maupun untuk mempersiapkan logistik keberlangsungan revolusi. Kedua, berkaitan dengan kedekatan perempuan terhadap anak, dimana anak adalah sumberdaya baru bagi keberlangsungan kepentingan kekuasaan. Untuk menciptakan anak-anak yang patuh atau revolusioner ada di tangan perempuan sebagai ibunya.

Dalam pertarungan antara kepentingan angkatan darat dan Sukarno terhadap organisasi perempuan berakhir dengan kemenangan domestikasi politik perempuan. Kemenangan ini memberi penanda bangkitnya fasisme/otoritarisnisme, yang menjadi ciri politik Orde Baru pada masa itu sebagai oposisi dari politik Marxisme/sosialisme yang diusung Sukarno. Sukarno berkehendak untuk mendorong revolusi sosialis guna mengatasi pertarungan antarborjuasi dalam Nasakom-Mil, tetapi ide itu lebih menakutkan ketimbang kebangkitan otoritarianine/fasisme pada masa itu.

Barangkali karena itu dukungan massa terhadap militer untuk melakukan kudeta atas kekuasaan Sukarno, dibangun dengan kampanye pembunuhan simbol ibu revolusioner, yaitu perempuan Gerwani!***

 

———–

[1] Lihat Ulf Sundhaussen, Politk Militer Indonesia 1945-1967 – Menuju Dwi Fungsi ABRI, LP3ES, Jakarta, cetakan pertama 1986. Lihat juga, AH Nasution Memenuhi Panggilan Tugas jilid 3: Masa Pancaroba Pertama, PT Gunung Agung, Jakarta, 1983

[2] Wawancara dengan Hardoyo, mantan anggota DPR-GR dari Fraksi Karya Pemuda tahun 1959-1965

[3] AH Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1989)

[4]Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, ibid

[5] Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, ibid

[6]Nasution, Memenuhi Panggilan Tugas, ibid

[7] Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), hal 172

[8] Sukanti Suryocondro, Potret Pergerakan Wanita Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, 1984) disebutkan bahwa dalam usaha untuk membendung kegiatan Partai Komunis Indonesia (PKI), Angkatan Darat memprakaarsai berdirinya Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dan mengajak organisasi perempuan masuk ke dalamnya. Dharma Pertiwi sebagai bagian dari Angkatan Darat otomatis masuk ke Sekber Golkar

[9] Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, op.cit

[10] Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, ibid

[11] Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, ibid

[12] Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, ibid

[13] Dalam posisinya sebagai KOPKAMTIB yang hakekatnya adalah presiden “de facto”, Menteri Panglima AD dan wakil PM a.i. Bidang Pertahanan dan Keamanan

[14]Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, ibid, hal 180

[15] Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, op.cit

[16] Wawancara dengan Poppy Syahrir, salah seorang dewan pimpinan GWS

[17] Sejarah 50 tahun KOWANI, op.cit Juga informasi dari salah seorang anggota dewan pimpinan PERWANAS

[18] Sejarah 50 tahun KOWANI, ibid, hal 170-174

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.