Kredit ilustrasi: Putu Deoris
HARI-hari ini, kita dikagetkan oleh himbauan Panglima TNI jenderal Gatot Nurmantyo agar diadakan nonton bareng (nobar) film besutan sutradara Arifin. C. Noor, Pengkhianatan G30S/PKI. Umum diketahui bahwa film ini adalah film propaganda yang sarat manipulasi sejarah dan tindak kekerasan yang tidak layak ditonton oleh anak-anak dan remaja. Sebagai film produksi rezim Orde Baru, tujuan pembuatan film ini sangat jelas, yakni untuk melegitimasi pembantaian massal yang dilakukan TNI dan beberapa kelompok masyarakat di bawah komando jenderal Soeharto kala itu. Karena dampak buruk yang ditimbulkannya, sejak reformasi 1998 film ini praktis berhenti diputar di seluruh stasiun televisi nasional. Namun merebaknya pertarungan politik di tingkat elit saat ini, wacana pemutaran film ini kembali digaungkan. Selain Panglima TNI, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Partai Keadilan Sejahtera, dengan dalih edukasi demi mengingatkan wawasan sejarah pada generasi milenial, juga menyuarakan hal senada dengan Panglima TNI.
Akibatnya, pemandangan tak lazim sekaligus memilukan telah mewarnai peringatan tahun baru Hijriyah di tahun 2017 ini. Bagaimana tidak, ajang yang dihelat sekali dalam setahun ini ternyata telah keluar dari semangat men-tafakur-i nilai-nilai Islam dalam rangka membenahi diri menjadi muslim yang lebih baik dihadapan-Nya, dan makhluk-Nya. Sebaliknya, peringatan tahun baru Hijriyah kali ini, yang berdekatan dengan tanggal 30 September, kental menghadirkan kesan politis-propagandis dengan kegiatan nobar film Pengkhianatan G30S/PKI, yang sampai hari ini masih sangat diragukan keabsahannya.
Sebagai misal, pada tanggal 20 September 2017, ratusan santri kelas lima hingga SMA dan SMK Lembaga Pendidikan Islam, Al-Azhar, Tulungagung, Jawa Timur, melaksanakan nobar film ini. Acara yang pada proyeksi awalnya merupakan acara dzikir akhir dan awal tahun, kemudian justru dilanjutkan dengan acara nobar tersebut. Ustadz Niam, salah seorang pengasuh di LPI berpendapat acara nobar ditujukan agar santri memiliki wawasan kebangsaan. Acara yang sama pun dihelat di Depok, Jawa Barat. Memperingati tahun baru Hijriyah, nobar film Pengkhianatan G30S/PKI yang dimulai pada pukul 21.30.WIB tersebut diikuti oleh puluhan siswa SMK. Namun, karena beberapa faktor seperti waktu tidur dan cuaca dingin akibat hujan, banyak siswa justru hanya dapat berkonsentrasi pada pertengahan film.
***
Sebenarnya, sudah menjadi kenyataan yang amat klise bagi kita bahwa praktik pemanfaatan ruang privat maupun publik sebagai arena propaganda dalam suatu momen khusus, sangat kental pada era Orde Baru. Lembaga pendidikan seperti pesantren, sekolah, dan keluarga tak ubahnya sarana kuasa untuk mentransformasikan ideologi ketakutan akan kebangkitan PKI. Hal ini terbukti apabila kita mencermati buku ajar sekolah kala itu yang berisikan wacana sejarah tunggal versi Orde Baru, dan agenda nobar tahunan film Pengkhianatan G30S/PKI tiap 30 September pada seluruh jenjang sekolah, yang selalu mendapat intervensi dari pihak TNI.
Dari sini, setidaknya kita dapat terlebih dahulu mengajukan pertanyaan kritis untuk rasionalisasi penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI di tahun baru Hijriyah ini sebagai sarana penanaman wawasan sejarah kebangsaan. Apabila benar itikad dari penayangan film ini ialah penanaman wawasan kebangsaan, dengan sudah terbukanya arus informasi di era pasca reformasi hari ini, kenapa wacana sejarah yang difokuskan hanya versi resmi Orde Baru saja, sedangkan sudah banyak wacana alternatif yang hadir dari riset terbaru, maupun seperti dalam film Senyap dan Jagal?
Fenomena ini setidaknya dapat memberikan penjelasan pada kita, bahwa pemanfaatan propaganda, baik melalui ruang publik, seperti media, maupun privat, seperti melalui sarana pendidikan, masih terkungkung dalam hegemoni arkeologi ilmu pengetahuan Orde Baru yang telah lama diindoktrinasikan sebagai episteme (cara pandang) kolektif.
Hal ini mengingat kontroversi penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI pada momen tahun baru Hijriyah tidak terlepas dari keakuratan fakta sejarah dalam film tersebut. Banyak kalangan sejarawan seperti Benedict Anderson dan John Roosa, dan Asvi Warman Adam yang telah melakukan penelitian terhadap Peristiwa 65, menilai wacana Orde Baru yang dicangkokkan dalam film tersebut minim netralitas alias sarat propaganda untuk mempertahakan kekuasaan rezim Orba.
Wijaya Herlambang, memaparkan beberapa keganjilan pada film tersebut dalam karya monumentalnya, Kekerasan Budaya Pasca 65. Ini terlihat dalam penggambaran-penggambaran pada film tersebut. PKI dicitrakan buruk sebagai perkumpulan yang haus kekuasaan, merokok tanpa henti dan selalu melaksanakan rapat hingga larut malam. Tak kalah, pemimpin CC PKI, DN. Aidit dicitrakan sangat ambisius dan kecanduan berat akan rokok. Padahal, kenyataanya Aidit bukanlah seorang perokok. Kontras dengan bagaimana film tersebut melukiskan tokoh TNI sebagai figur yang nasionalis, ayah keluarga yang baik, dan pemberani. Selain itu, Soeharto juga mendapat peran yang terlampau menonjol dalam film ini sebagai protagonis utama. Penggambaran kelewat kontras inilah yang kemudian tidak merekam kenyataan bahwa dalam tubuh TNI sendiri pun sedang mengalami konflik sengit.
Polemik lainnya dari film ini ialah adegan kekerasan yang dipertontonkan. Pada pertengahan film, sekumpulan jenderal yang telah diculik paksa oleh pasukan Cakrabirawa kemudian mendapat penyikasaan dahsyat dari pihak PKI. Sayatan benda tajam, desingan peluru yang menghujam tubuh, sampai pengebirian kelamin para jenderal oleh Gerwani, organisasi perempuan PKI menghiasi scene ini. Namun, rupanya apa yang dihadirkan film sekali lagi, tidaklah sesuai dengan fakta penelitian empiris. Visum et repertum yang dilakukan dr. Arif (Lim Joe Thay), dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), dan dr. Liau Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI) menunjukkan sama sekali tidak ada pencungkilan bola mata maupun pengebirian kelamin oleh Gerwani, seperti yang digambarkan dalam film tersebut,
Melihat banyaknya kerancuan yang hadir dalam film tersebut, alih-alih akan menanamkan wawasan kebangsaan dalam momen tahun baru Hijriyah ini, yang terjadi justru reproduksi kekerasan kultural (meminjam istilah Johan Galtung) yang akan mewariskan rasa takut dan sentimen irasional kebangkitan komunisme yang selama ini telah melanda kaum muslim tanah air akibat serangkaian manipulasi dan propaganda.
***
Pada dasarnya kiat baik untuk mewariskan sejarah kebangsaan adalah hal yang sangat diperlukan hari ini. Namun, tentu saja terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merealisasikan itikad mulia ini. Rekonstruksi cara pandang sejarah ialah hal penting yang harus dilakukan. Pada era Orde Baru, narasi film Pengkhianatan G30S/PKI menjadi satu-satunya rujukan ialah karena keterbatasan akses informasi kala itu lewat serangkaian pembredelan diskusi dan informasi literasi.
Namun tentu hal yang sama tidaklah terjadi hari ini. Dibakukannya undang-undang tentang HAM (Hak Asasi Manusia) dalam UU No. 39/1999, dan semakin terbukanya akses informasi lewat literasi maupun media elektronik, sudah seharusnya membuat kita sadar akan perkembangan ilmu pengetahuan yang hadir. Salah satu kontribusi pembakuan HAM di Indonesia ialah mulai munculnya respons positif untuk memperhatikan mereka yang terdampak dalam kasus tersebut dengan digaungkannya wacana rekonsiliasi dan rehabilitasi korban 65. Terlebih, sorotan dunia internasional yang mengadakan International People’s Tribunal pada 2015 lalu telah menetapkan negara Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat pada tragedi genosida 1965.
Bergerak dari kondisi negeri yang sudah berubah, tentunya transformasi wawasan kesejarahan dalam momen tahun baru Hijriyah ini harus juga mengenalkan wacana-wacana tandingan sejarah versi Orde Baru dalam rangka membuka dialog perbandingan antar wacana. Dengan begitu, masyarakat akan lebih dapat dilibatkan dalam dialog. Maka ada baiknya, jikalaupun diadakan nobar ataupun kajian semacamnya, selain mempertontonkan Pengkhianatan G30S/PKI, pertontonkanlah film alternatifnya seperti Senyap dan Jagal.
Dan hal penting yang tak boleh luput ialah tahun baru Hijriyah yang juga akan bertepatan dengan tanggal 30 September ini tidak boleh kehilangan esensinya untuk turut merenungkan nilai-nilai hablum minannas dalam Islam. Dalam Islam kita diajarkan untuk merangkul kaum-kaum yang tertindas dan terampas hak-haknya. Pada konteks ini, maka umat Muslim pun harus disadarkan untuk bersama-sama memperjuangkan hak saudara-saudaranya mantan eks-Tapol dan Napol Orde Baru yang sampai hari ini masih teralienasi dari lingkungan sosialnya dengan turut menggaungkan tuntutan rekonsiliasi dan rehabilitasi korban.
Setidaknya, dalam hemat saya, dengan melakukan serangkaian agenda di atas, sentimen irasional kebangkitan komunis yang selama ini terus menghantui kita dapt berangsur-angsur dihilangkan. Dan sudah barang tentu momen tahun baru Hijriyah ini seharusnya kita manfaatkan untuk memulai realisasi agenda tersebut.***
Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Daerah, bergiat di Unit Kegaiatan Studi Kemasyarakatan, Universitas Pendidikan Indonesia