Kredit foto: Akar Bengkulu – WordPress.com
WAJAHNYA teduh bijak, tutur kata dan bahasa Indonesianya lembut dengan logat Sunda yang kental. Tubuhnya mulai bungkuk dibaluti oleh kulit tubuhnya yang keriput. Usianya kini sudah 84 tahun. Kumis dan rambutnya memutih. Malam itu ia duduk bersila bersandar pada dinding semen rumah Ibu Kades, berpeci hitam, celana kain hitam dan berbaju koko putih. Dia menunggu peserta pertemuan antar kampung yang akan dilaksanakan di rumah kepala desa Bandung Jaya, kecamatan Kabawetan, kabupaten Kepahiang, provinsi Bengkulu. Seperti biasanya, dia adalah peserta yang tertua dan selalu pertama kali datang.
“Saya lahir di tahun 1933”, katanya kepada saya yang duduk disampingnya sambil menunggu perserta lain. Namanya Pak Oyib. Saya pertama kali kenal enam bulan yang lalu, diperkenalkan oleh Kepala Desa Bandung Jaya.
Pak Oyib adalah salah satu peserta Transmigrasi tahun 1954, yang dikirim oleh Pemerintahan Soekarno yang masih tersisa. Sebagian dari temannya sudah meninggal dan sebagian pulang ke kampung asal.
“Ketika itu kami berjumlah 600 orang yang dibagi ke dalam 12 kelompok atau rombongan yang masing-masing berjumlah 50 orang”, ceritanya dengan suara yang pelan. Sayapun mencatat ceritanya di buku saku yang saya beli tiga bulan lalu di Pasar Desa yang halamannya sudah hampir habis.
Pak Oyib berasal dari Jawa Barat, dia datang ke Bengkulu untuk mengubah jalan hidup bersama peserta transmigrasi lainnya. Mereka berasal dari berbagai daerah, dari Jawa Barat, Yogyakarta, Banyumas, Jawa Tengah, dan Semarang. Lokasi tempatan transmigrasi berada di kawasan hutan lereng gunung Bukit Kaba, sebuah “Kawasan hutan yang belum dijamah oleh manusia”, cerita Pini Sepuh ini. Hamparan hutan yang memiliki tanah vulkanik ini masuk ke dalam wilayah Marga Bermani Ilir, yang pusat pemerintahan Marganya ketika itu berada di Kaban Agung. Marga adalah sebutan untuk kesatuan kelembagaan Masyarakat Hukum Adat Rejang. Dan, Bermani Ilir adalah nama Marga yang diambil dari nama Marga Induk atau Marga asal, namanya Bermani berkedudukan di Kabupaten Lebong.
“Sesampainya kami di sini, kami di biarkan satu tahun di dalam hutan” kenangnya. Ia lalu terdiam dan nampak perubahan diwajahnya. Kedua alisnya seperti bersatu dan dua bola matanya membesar bulat. Dia membayangkan masa ketika pertama kali tiba. Saya pun hanyut terbawa perasaan Pak Oyib.
“Setelah itu barulah kami diasramakan selama dua bulan dan mendapatkan jaminan hidup selama tiga tahun. Tahun pertama pada bulan lima sampai enam kami dipindahkan ke lokasi-lokasi tertentu dan diberikan surat izin berladang oleh jawatan transmigrasi wilayah kepahiang” sambungnya, dengan intonasi yang dipaksakan seperti menyembuyikan penderitaan yang amat panjang. Saya tahu psikologis Pak Oyib ketika saya minta menceritakan kembali perjalanan hidupnya menjadi peserta transmigrasi. Dia mengalami pola hidup eccendentesiast, menyembunyikan perasaan sakit di balik senyumnya. Dia seperti mengajarkan saya menjadi orang yang tabah dan kuat dalam menghadapi masalah atau kehilangan, melepaskan semua kesedihan dan memutuskan untuk bahagia, bukan berpura-pura untuk bahagia.
Kondisi psikologis yang dialami Pak Oyib mengingatkan saya pada Pak Diran sang guru Agama yang menjabat sebagai Kepala Desa Bukit Sari. Pak Diran adalah generasi ketiga jika dihitung dari generasi Pak Oyib. Dia menangis ketika kami pertemukan dengan salah seorang Pejabat dari Jawatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Masjid Bandung Jaya. “Saya dan keluarga pernah diusir dan distigmatisasi penganut ajaran politik yang dilarang oleh Orde Baru”, katanya sambil menumpahkan air matanya. “Saya masih trauma mas,” tambahnya dengan nada yang melankolik sambil menyembunyikan kepedihannya kuat-kuat.
“Wilayah pertama yang kami tempati untuk pemukiman berada di daerah yang sekarang berbatasan dengan wilayah Bengko” terang Pak Oyib. Sekarang, kawasan transmigrasi ini dikenal dengan nama Transmigrasi Bengko. Istilah Bengko mengadopsi tanah Bengko di Jawa, atau tanah yang dikuasi oleh sebuah jawatan resmi.
“Di sinilah kami mendirikan bedengan-bedengan untuk tempat tinggal peserta transmigrasi yang berjumlah 600 KK” cerita Pak Oyib. “Bedengan yang dibangun berbahan dari kayu hutan, berdinding bambu dan beratap daun pandan hutan atau daun kuang dalam bahasa lokal. Rumah-rumah dibuat saling berdempetan untuk mengantisipasi gangguan binatang buas yang masih banyak berkeliran”, kenangnya
Tahun 1950-an adalah masa dimana kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda. Hal ini juga memengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Sehingga memunculkan konflik yang dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958, dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat.
Kondisi politik ini akhirnya berdampak kepada Peserta Tranmigrasi Bengko, tahun 1959. Pemberontakan ini sampai di wilayah Bengkulu dan wilayah tempatan Pak Oyib dan rumah-rumah bedengan di jadikan sebagai Markas Milisi PRRI. Karena takut terjadinya kontak senjata, peserta transmigrasi mengungsi turun ke wilayah yang tidak jauh dari Perkebunan Teh Kabawetan. Di tempat baru inilah mereka awalnya membangun rumah-rumah sementara di sepanjang wilayah Bukit Melintang dan Air Sempiang sambil berharap bisa kembali lokasi pertama mereka setelah kondisi diangap aman dan kondusif. “Salah satu perkampungan berada di Air Sulak” ujar Pak Oyib.
Wilayah Bukit Melintang sampai Air Sempiang ini sekarang secara adminstratif tersebar memanjang dari wilayah Desa Tugu Rejo sampai Talang Blitar. “Dinamakan Sengkuang, karena di sepanjang sungai Sempiang ditumbuhi tanaman pandan yang sering digunakan untuk bahan topi caping” kata Pak Oyib sambil tersenyum pelan. Karena lebih dekat dan sering berinteraksi dengan penduduk lokal Rejang dan penduduk wilayah Eks perkampungan Perkebunan Teh yang dibawa pemerintahan kolonial Belanda sebagai pekerja perkebunan, perkampungan sementara inipun berkembang. Dalam perjalanannya menjadi perkampungan definitif secara adminsitratif. Perkampungan ini menjadi Desa Adminstratif diberi nama khas pendatang dari Pulau Jawa, seperti Bandung Baru, Suka Sari, Tugu Rejo dan lain-lain. Perkampungan pertama yang berada di dalam hutan pun mereka tinggalkan dan dijadikan sebagai lahan garapan. Akulturasi pola tanam dan komoditi pertanian pada lahan-lahan pun perlahan berubah. Perubahan dari corak tanam dan komoditi palawilaya sebagaimana yang menjadi tradisi penduduk di pulau Jawa menjadi perkebunan tanaman keras, seperti pola perkebunan masyarakat lokal. Dan kopi menjadi komoditi utama. Selain itu mereka menanam tanaman keras atau jenis tanaman kayu sebagai pelindung tanaman kopi. Keberhasilan sistem perkebunan ini memicu datangnya masyarakat luar, baik yang datang dari luar Kabupaten maupun yang datang dari luar Provinsi. Hutan yang tersisa semakin terdegradasi akibat perambahan besar-besaran. Tetapi merekalah yang diangap sebagai perambah dan selalu jadi target operasi pengamanan hutan oleh aparat.
Menurut Pak Oyib, selain pola dan corak perkebunan dalam sistem dan interaksi sosial, mereka sudah merasa sebagai masyarakat asli, yakni masyarakat Adat Rejang. Interaksi sosial, budaya atau yang mereka sebut dengan adat, dia menunjukan kepada saya struktur adat Desa Bandung Jaya yang menempel di dinding rumah Kapela Desa dimana pertemuan ini dilakukan. Ketua Badan Musyawarah Adat Desa Bandung Jaya adalah Generasi kedua peserta transmigrasi. “Adat Rejanglah yang kami dahulukan dan adat dari tempat asal acap kali kami dkemudiankan” katanya.
“Tahun 1965 terjadi Gestapu, kami dikumpulkan di jalan”. Kali ini intonasi suaranya sarat energi kemarahan tetapi tetap ditahannya sambil tersenyum bijak. Pembunuhan Dewan Jenderal serta pergantian rezim membuat kondisi mereka sebagai peserta transmigrasi kiriman Pemerintahan Soekarno semakin sulit. Mereka masuk pada pusaran politik stigma. Dan, paska kejadian Gestapu itu beberapa mereka di cap sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan sampai saat ini label itu masih menempel pada peserta transmigrasi, baik generasi pertama maupun generasi berikutnya, seperti Pak Diran dan Ibu Supriyati yang merupakan generasi ketiga meski mereka bedua menjabat sebagai Kepala Desa. “Pertemuan arisan ibu-ibu pernah dibubarkan oleh aparat karena mereka curiga kami adalah Komunis”. Saya jadi ingat cerita-cerita tentang Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sebuah organisasi perempuan yang berafiliasi kepada PKI, ketika Ibu Kades ini bercerita.
“Kapan konflik dengan kehutanan terjadi?” tanya saya kepada Pak Oyib untuk tidak mengingatkan kejadian-kejadian sejarah kelam yang menimpanya.
“Konflik dengan kawasan hutan ini baru muncul sejak tahun 1980-an” jawabnya.
Ia lalu menceritakan bahwa konflik dengan kawasan hutan ini terjadi seiring dengan pembekuan Marga sebagai dampak berlakunya UU No 5 Tahun 1979 tentang Desa. Wilayah kelola dan pemukiman transmigrasi Bengko ini merupakan wilayah Masyarakat Adat Bermani Ilir. “Pak Depati Doiblah yang memberikan tanah adat mereka untuk digunakan sebagai wilayah kelola dan pemukiman kami”. Dia kemudian memperlihatkan kepada saya salinan (fotokopi) surat izin garap yang diberikan oleh Depati atas nama Kepala Marga Bermani Ilir melalui Djawatan Transmigrasi. Dalam perjalanannya, wilayah yang dulunya adalah wilayah adat ini dijadikan sebagi kawasan hutan Negara dan konsesi perkebunan Teh. Penetapan seluas 14.650,51 Ha sebagai Kawasan Taman Wisata Alam Bukit Kaba melalui Keputusan Menteri Kehutanan No: SK.398/Menhut-VII/KUH/2014, berdampak pada pengusiran warga dan keturunan transmigrasi Sengkuang terhadap wilayah kelola yang merupakan sandaran hidup mereka. Penetapan kawasan ini berpatokan pada kawasan hutan batas atau BW yang ditetapkan Pemerintahan Belanda. Menurutnya itu kekeliruan yang fatal, sebab tidak mungkin Depati Doib yang sangat paham wilayahnya memberikan kawasan hutan BW untuk wilayah pemukiman dan lahan garap untuk transmigrasi.
Warga transmigrasi Sengkuang, Kabawetan dengan Taman Wisata Alam Bukit Kaba Kepahiang.
Kredit foto: Akar Bengkulu – WordPress.com
“Izin garap itu berada di kawasan tanah adat yang letaknya jauh di bawah patok batas BW” kata Pak Oyib. “Kami sampai saat ini masih terus berjuang untuk mendapatkan hak kami, baik sebagai peserta transmigrasi resmi maupun bagi keturunan kami sebagai penduduk sah negara ini” tambahnya dengan penuh semangat, meletup-letup sebenarnya, tetapi logat Sundanya yang kentallah membuat nadanya masih enak didengar tetapi menyayat di hati. Sejak reformasi ia bercerita bahwa telah terjadi beberapa kali dilakukan penangkapan oleh polisi kehutanan. “Kami masih akan tetap berjuang.” ujarnya.
Pak Oyib merasa ada ketidakadilan Negara terhadap mereka. Ketidakadilan itu semakin terasa ketika sebagian kawasan yang saat ini diklaim oleh Negara sebagai kawasan hutan, oleh Negara pula dikeluarkan izin konsesi Perkebunan Teh, sementara wilayah kelola mereka ditertibkan, diusir-usir dan distempel sebagai perusak dan perambah hutan. “Dulu, pernah memakan korban, karena ketakutan dan trauma sering diintimidasi seorang bapak meninggal ketika menjemput anaknya ke kebun karena takut anaknya ditangkap oleh aparat kehutanan”. Intonasi suaranya bergetar seperti menahan amarah, ketakutan sekaligus sedih.
“Beberapa tahun lalu kami didatangai oleh ormas Tani Nasional yang katanya mau membantu kasus kami” cerita Pak Oyib. “Karena tawaran itu, kami berbondong-bondong menjadi anggota ormas tersebut dan berswadaya membantu biaya dan kebutuhan pengurus dan ormas itu. Bahkan ada di antara kami diminta untuk membayar jaminan untuk diterbitkan sertifikat tanah. Mereka bilang, untuk pengurusan sertifikat hak milik, tetapi setelah sekian tahun tidak ada berita lagi,” dia terdiam sesaat. “Dan bahkan ketika kami bergabung sebagai anggota dan terjadi penangkapan, ormas ini tidak pernah mengurus dan merasa bertanggungjawab” lanjut Pak Oyib. “Padahal secara organisasi mereka yang ditangkap adalah resmi anggota ormas dan memiliki kartu anggota. Kami seperti sapi perah”, ujarnya terbata-bata.
Saya kemudian menimpali dan menghibur Pak Oyib dengan bercerita kerapnya muncul orang-orang atau institusi yang berperan sebagai pendompleng bebas (free raider), mereka sebenarnya bertindak bukan sebagai perantara, namun sebagai pihak yang mengambil keuntungan-keuntungan langsung maupun tidak dari kerumitan hubungan antara masyarakat dengan birokrasi. Bilamana kondisi formalistik, yakni diskrepansi antara aturan birokrasi dengan praktiknya di lapangan melebar dan semakin tegas maka pendompleng akan semakin marak, ujar saya. Pak Oyib tersenyum menampakkan sisa giginya yang rontok.
Lalu, sayapun menjelaskan kronoligis kedatangan saya dengan teman-teman yang berasal dari Akar Foundation. “Akar itu lembaga kecil pak,” terang saya. “Tidak sebesar ormas Tani yang diceritakan Pak Oyib,” dia tersenyum. “Akar dapat informasi tentang kasus ini dari Kantor Perwakilan Ombudsman Bengkulu” Jelas saya. Laporan ke Ombudsman Bengkulu, didapati dari laporan resmi DPRD Propinsi yang disampaikan oleh Ibu Kepala Desa Bandung Jaya ketika melakukan reses di Kabupaten Kepahiang. Kasus ini dibawa ke Ombudsman oleh anggota DPRD Propinsi Daerah Pemilihan Kabupaten Kepahiang. Dan, Ombudsman Bengkulu melihat Akar punya pengalaman panjang di Bengkulu dan telah menyelesaikan banyak kasus bidang kehutanan, sehingga mereka memandatkan ke Akar untuk membantu proses penyelesaian kasus yang membelit masyarakat Sengkuang. Pak Oyib yang pini sepuh pun tersenyum.
“Kami menawari dua skema penyelesaian konflik ketika diminta presentasi di Kantor Ombudsman” kata saya, kali ini semakin yakin karena tertular semangatnya Pak Oyib. Sayapun menduga-duga adanya disharmonisasi hukum dan kerumitan semantik dalam kasus yang menimpa Pak Oyib. Beberapa kali Pak Oyib menyebutkan kata-kata hukum, keadilan, agraria, tanah, hutan, transmigrasi dan saya tahu maksudnya bahwa penyusunan hukum terhadap kata-kata yang disebutkan Pak Oyib haruslah sebagai alat untuk memastikan kemakmuran, keadilan dan kebahagian dia sebagai warga Negara.
“Bagi kami bukan soal pilihan penyelesaian, yang terpenting kami aman dan tidak diganggu, di intimidasi dan ditangkap” katanya datar.
Dari nada suaranya saya menduga, sebagai orang yang dilahirkan sebelum Indonesia menjadi Negara merdeka dan melewati beberapa orde pemerintahan, dia membayangkan bahwa Negara yang dia juga terlibat memperjuangkan, dulunya adalah sebagai organisasi sosial-politik yang otonom, seragam, dan solid seperti Demokrasi Terpimpin yang diagung-agungkan Soekarno. Lalu, karena pergantian dan kepentingan rezim kontruksinya berubah menjadi organisasi yang terbentuk atas bagian-bagian yang terpisah-pisah, dengan batas-batas yang kabur dan dijalankan dengan serangkaian norma yang saling bertabrakan. Pak Oyib mulai mencari pola penyelesaian damai. Dan dia bersemangat ketika kami pertemukan dengan para pihak yang berkepentingan dengan kawasan yang berkonflik.
Saya tahu, saat ini pilihan terbaik dan cepat dalam menyelesaikan persoalan Pak Oyib haruslah melalui kebijakan yang berlaku. Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial tentu bukanlah obat mujarab yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan deforestasi, kemiskinan dan konflik. “Paling tidak dengan penyelesaian melalui kebijakan yang berlaku ada kepastian keamanan tenurial dalam perspektif yang luas” terang saya agak ragu, karena kalah bijak dengan Pak Oyib. Paling tidak perspektif sosio-legal, dimana kepastian aspek hukum, sosial, ekonomi dan ekologi bertemali mengontruksikan perspektif masyarakat dan para pihak mengenai kepastian tersebut. Harapan pragmatisnya, paling tidak, saat ini tidak ada lagi intimidasi, penertiban, penangkapan terhadap masyarakat Sengkuang sampai menemukan jalan dan pola untuk kepastian hak dan penyelesaian konflik secara permanen.
Satu-satu masyarakat datang untuk diskusi teknis menyiapkan prasyarat penyelesaian konflik. Obrolan kami terputus dan saya tidak bergeser duduk karena menikmati aura positif yang dipancarkan oleh Pak Oyib. Dalam proses diskusi dia tidak mau berbicara kecuali diminta pendapatnya sebagai pini sepuh kampung. Dan, Malam ini dia pulang lebih dulu, katanya dia tidak sangup lagi tidur terlalu malam meskipun ketika di rumah dia juga tidak bisa tidur. Bersandal jepit dia berjalan pulang menuju kediamannya yang sederhana, saya menatap punggungnya yang tidak lagi tegap, tegak dan kokoh, gerak langkah kakinya tertatih-tatih seperti memikul beban berat. Pak Oyib, nama inilah yang selalu saya tanyakan setiap kali berkunjung ke Sengkuang.***
Penulis adalah Komkot PRP Bengkulu dan Pegiat di Akar Foundation