Kredit ilustrasi: kareba ukmmenulis – WordPress.com
PENERAPAN UU PT No 12 Tahun 2012, yang diikuti perangkat aturan dan kebijakan turunan, dianggap menjadi titik terang pembenahan organisasi dan manajemen perguruan tinggi di Indonesia yang lantas diharapkan memberi outcome peningkatan kualitas pendidikan tinggi kita. Adopsi model, nilai dan praktik baru semacam good governance, manajemen publik, akuntabilitas, transparansi, quality assurance, audit (akreditasi) dan lainnya disambut gempita lantaran menjanjikan sesuatu yang menyegarkan bagi perbaikan lembaga universitas setelah sekian dekade terkungkung kebijakan rejim Orde Baru (orba) yang lebih terobsesi menjadikan universitas sebagai “alat politik pembangunan”.
Pasca orba, universitas diinstruksikan pemerintah agar menyesuaikan diri dengan kondisi kontemporer yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia: bahwa perguruan tinggi harus berkontribusi membantu negara dalam persaingan antar negara yang semakin kompetitif seiring semakin terbukanya seluruh lini kehidupan yang dirangsek tanpa ampun oleh gelombang pasar bebas dunia. Ketika tiap negara kian brutal terlibat persaingan satu sama lain dalam balut ‘free marketised world’, ilmu dan pengetahuan (knowledge) menjelma senjata andalan bagi negara untuk bertahan dan memenangkan pasar. Maka knowledge society dan knowledge economy adalah dua istilah populer mutakhir yang selalu dikutip pemerintah dan elite pendidikan pro-pasar untuk menyetir dan menilai gerak langkah institusi pendidikan tinggi. Universitas terus didorong untuk bertransformasi layaknya bussiness organisation atau private enterprise, terutama dalam hal managerial governance dan adopsi nilai-nilai persaingan (competitiveness), efektivitas dan efisiensi.
Tulisan ini bertujuan mendedahkan fenomena patron universitas kontemporer dunia pertama yang di ‘jiplak’ lewat model reformasi pendidikan tinggi kita tengah berada dalam situasi yang membusuk secara akut, dan sekaligus mengidentifikasi bagaimana model keakutan itu juga mulai menyebar di dunia pendidikan tinggi kita.
Berkaca pada Dunia Pertama: Universitas Menuju Jurang Kehancuran
Bill Readings (1996) dalam bukunya “The University in Ruins” menyebut bahwa universitas kontemporer telah bergeser secara substansial dari konsep Immanuel Kant university for reason pada masa pencerahan Eropa, juga telah melenceng dari konsep van Humboldt ‘university for culture’. Universitas sekarang, pada era gegap kapitalisme global, lebih dekat pada konsep “university for bureaucratic excellence”. Antropolog kesohor asal Cambridge Marilyn Strathern (2008), menegaskan bahwa era Universitas Humbolt (sebuah masa dimana universitas mengabdi tanpa pamrih untuk pengetahuan dan kemajuan peradaban bangsa) telah lenyap dan mati begitu universitas mengadopsi prinsip New Public Management (NPM) yang dipenuhi praktik pendisplinan dan pengawasan (surveillance), kuantifikasi atas kualifikasi dan kriteria, reward and punishment model, penerapan budaya audit dalam berbagai bentuk dan berorientasi pada akumulasi modal ekonomi belaka.
Pertama kali diakselerasikan di Amerika Serikat dan Inggris pada awal 1990an, dampak transformasi institusi pendidikan tinggi model “university for bureaucratic excellence” mulai terlihat. Selain cerita manis tentang kualitas dan prestasi yang biasanya terrumuskan dalam ranking universitas (yang sejatinya sangat bisa diperdebatkan), ekses negatif yang dialami institusi dan para individu di dalamnya satu demi satu muncul ke permukaan.
Universitas di seluruh dunia bergerak menuju ke arah penyeragaman. Di bawah payung berlabel ‘manajemen baru’ universitas, universitas bermetamorfosis layaknya korporasi dimana pengetahuan dijadikan tak lebih dari bahan jualan, fakultas menjelma mesin pencetak gelar, sementara mahasiswa tak ubahnya konsumen peminat produk-produk universitas. Obsesi terhadap “internasionalisasi” dan “excellence” tercermin secara seragam pada visi, misi, tujuan seluruh universitas baik Dunia Pertama dan Dunia Ketiga, baik elit dan non-elit. Sementara di aspek pendanaan, dibarengi dengan pengurangan anggaran negara untuk pendidikan tinggi (sebagaimana terjadi di Amerika, Inggris, Australia), universitas secara serentak dipaksa mencari sumber pendapatan keuangan secara mandiri untuk menjalankan gerak roda organisasi yang kian ketat dan kompetitif.
Persaingan antar universitas tak bisa dikatakan membuat situasi dunia pendidikan tinggi bertambah baik. Patron pusat dan pinggiran bagaimanapun tak bisa disingkirkan, dan universitas kelas teri selalu dibuat terobsesi untuk meniru apa yang dilakukan kolega mereka, universitas kelas kakap. Tak heran, mekanisme ranking lewat berbagai kriteria dan indikator diciptakan sedemikian rupa, sebagai alat ukur keberhasilan dan kualitas sebuah institusi sekaligus sebagai iming-iming ilusif bahwa universitas teri suatu waktu bisa berubah menjadi universitas kakap. Yang lebih mengenaskan, di Amerika, dimana platform pendidikan tinggi kita mengacu ke sana, jumlah hutang uang mahasiswa (student loan) telah menggelembung sedemikian rupa untuk tinggal menunggu meletus dan menimbulkan efek domino yang bisa berujung pada bangkrutnya institusi universitas.
Pada level organisasi, universitas telah berrubah menjadi institusi, seperti yang dibilang antropolog pendidikan Cris Shore (2010) sebagai “Schizophrenic university‘, dimana institusi dibebani bermacam tujuan delusif dan ambisi yang ilusif serta tidak realistik. Sementara pada level individu (akademia dan staf administratif) institusi menjelma ruang penyiksaan, eksploitasi, disiplinisasi, pengkerdilan kebebasan: semacam model penjara panoptic yang suatu waktu lalu pernah didedahkan pemikir Inggris abad pertengahan Jeremy Bentham yang lantas diadopsi oleh Michel Foucault dalam teorinya yang masyhur dalam bukunya Discipline and Punish (1975) itu.
Para akademia mengalami kekacauan psikologis disebabkan karena beban administratif akademik yang berlebihan, tuntutan akan kualitas yang ironisnya diukur melalui kriteria audit yang kuantitatif, hingga perasaan takut dan tidak nyaman akibat ancaman punishment yang bisa berakhir dengan pemotongan gaji, penurunan pangkat atau bahkan pemecatan. Bukan isapan jempol dan sekadar rumor tak berdasar, melainkan kenyataan betapa profesor di Kanada mengamuk lantaran dipicu tingkat stress yang tinggi terkait beban mengajar dan meneliti yang di luar batas kewajaran. Atau seorang guru besar di Inggris memilih menghabisi nyawanya sendiri karena selalu dituntut untuk memenangkan hibah penelitian dan menghasilkan publikasi yang harus termuat di jurnal internasional dengan impact factor yang ditetapkan demi terus mendongrak ranking institusi. Sementara fakta paling kekinian di universitas tempat penulis menimba ilmu (Australia), terjadi kegelisahan yang hebat di kalangan individu universitas mengingat rencana pemecatan beratus staf akademik dan non-akademik demi alasan efisiensi dan gerak kompetitif institusi.
Memotong Proses Pembusukan
Saat ini, universitas di Indonesia berada pada fase awal yang dialami universitas di Inggris, Amerika dan Australia pada awal mula diterapkannya model university for bureacratic excellence. Perangkat dan kebijakan pendukung model tersebut lagi gencar diterapkan dan universitas lagi sibuk berbenah menyesuaikan diri. Habitus baru dikondisikan sedemikian rupa, didukung pelembagaan model good university governance dan internalisasi nilai dan praktik manajemen publik baru. Apakah dampak dari pelaksanaan model ‘jiplakan” universitas Dunia Pertama itu mulai terlihat? Ada beberapa hal positif, tetapi banyak pula benih negatif yang bakal menyeruak beberapa waktu ke depan.
Sebagai contoh, restrukturisasi dan reorganisasi universitas sekilas memberikan manfaat dalam mengefisienkan dan mengefektifkan institusi perguruan tinggi, tetapi terkait pembagian klasifikasi PTN menjadi tiga kelas sosial (1) PTN, (2) PTN Badan Layanan Umum, dan (3) PTN Badan Hukum, sungguh memberikan pembenaran fenomena pembusukan universitas yang terjadi di Dunia Pertama. Pertama, pemerintah kemungkinan tak lama lagi bakal menerapkan kebijakan budget cuts pendidikan tinggi sesuai proyek pemandirian universitas tercapai. Perguruan tinggi bakal dipaksa untuk mencari sumber pendanaannya sendiri dan yang bakal jadi korban pertama adalah mahasiswa. Kedua, pembedaan kelas sosial PTN seperti memaksa sesama universitas yang dibiayai negara untuk bersaing terus menerus dan sebagaimana kita lihat yang kecil akan selalu tumbang dan hilang, sedang yang besar akan selalu menang dan kian membesar. Belum lagi persaingan antar 3500-an perguruan tinggi di seluruh Indonesia baik negeri ataupun swasta yang dilegalisasi lewat beragam model kebijakan panoptic yang diterapkan pemerintah, entah itu lewat akreditasi institusi atau sertifikasi individu itu.
Di sebuah grup media sosial yang anggotanya mencakup ribuan dosen Indonesia, keluh kesah mengenai isu-isu yang sama persis dengan yang dialami kolega dosen di universitas Dunia Pertama: beban mengajar yang kian berat, tuntutan publikasi yang tidak masuk akal, pekerjaan administrasi semacam form-filling yang berlebihan, hibah penelitian yang selalu dimonopoli oleh mereka yang kuat dan kakap, akreditasi serta sertifikasi yang semakin membebani institusi dan individu. Keprihatinan itu niscaya semakin panjang dan akut jika kebijakan meniru universitas barat tetap diteruskan oleh Kemenristek-Dikti: pembuatan ranking dan stratifikasi universitas, pengetatan hibah penelitian yang dibarengi tuntutan publikasi internasional (grant in, publication out), penerapan reward and punishment terhadap performa dosen dan institusi, dan yang paling menakutkan budget cuts terhadap perguruan tinggi.
Berkaca pada fenomena global universitas dan kondisi kekinian perguruan tinggi kita, tantangan bagi kita semua adalah jika model yang ditiru lagi berada dalam kondisi krisis akut, haruskah platform yang tengah dibangun oleh pendidikan tinggi kita mesti dilanjutkan atau perlu disetting ulang? ***
Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, yang saat ini tengah menempuh pendidikan doktor antropologi di The University of Western Australia (UWA), Perth, Australia. Topik disertasi yang tengah dikerjakan terkait dengan Neoliberalisme dunia Pendidikan Tinggi