Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
KONJUNGTUR “sitsoskopol” (situasi sosial-ekonomi-politik) Indonesia hari ini, bila dirumuskan secara padat, dapat digambarkan demikian.
1/ Situasi global NKRI adalah kapitalisme pada stadium tinggi (neoliberalisme). Orientasinya kapitalisme. Kebijakannya berorientasi kepada kapitalisme melalui investasi tinggi di sektor finansial dan sektor riil. Kebijakan diorientasikan oleh pertumbuhan, bukan pemerataan radikal dan penghapusan ketimpangan kelas. Negara menciptakan pusat-pusat ekonomi baru di tingkat lokal (desa, misalnya) untuk pertumbuhan, peningkatan kas Negara yang diputar lagi untuk investasi dan akumulasi.
2/ Segala bentuk retorika Sos-dem (sosial demokrasi) sedang menutup-nutupi perkembangan kapitalisme yang terjadi, misalnya dengan menyebut kebijakan-kebijakan pemerintah sekarang sebagai bentuk “ekonomi rakyat”. Retorika ini tak berguna, dan merupakan bentuk wacana borjuasi kecil yang oportunistik. Retorika ini mencerminkan mentalitas yang ingin “cari untung sendiri”. Wacana Sos-dem ini kurang lebih demikian: memuji Negara ketika hasil-hasil pembangunan kapitalis Negara menguntungkan dirinya, namun bersuara ketika mulai dirasakan pembangunan ini mempersulit dirinya. Retorika ini sebagian dianut oleh kaum kelas menengah Indonesia, yang melihat Indonesia sudah “pada rel semestinya”. Secara politis, mereka mendukung pemerintahan yang ada sekarang, walaupun memberi catatan tambal-sulam atas beberapa praktik pemerintahan yang kurang tepat, seperti korupsi, dan lain-lain. Bagi mereka, demokrasi liberal adalah kemutlakan, hanya praktiknya perlu dibenahi dan diperbaiki. Tidak ada sistem alternatif di luar demokrasi liberal.
3/ Mesin-mesin birokrasi negara, baik sipil maupun militer, bekerja untuk penguatan kapitalisme ini. Hal ini otomatis berorientasi kepada hubungan antara negara dan pemodal. Negara ada untuk melayani pemodal dan kepentingan borjuasi. Di kalangan birokrasi, belum muncul potensi perlawanan untuk mengubah arus kelembagaan yang telah diplot “dari atas” dan “dari pusat” semacam ini secara sistematis dan terstruktur, kecuali secara sporadis – misalnya, dalam kemunculan sejumlah kecil aparatur negara yang memiliki keberpihakan moral kepada rakyat.
4/ Gerakan sosial tumbuh dengan beragam orientasinya di Indonesia, dari yang menginduk kepada Negara (menjadi kaki-tangan kapitalisme-nya negara), menginduk kepada elite borjuasi setempat (menjadi tenaga lobi), hingga yang mandiri dan dikelola oleh tenaga swadaya rakyat. Keragaman gerakan sosial ini tidak memungkinkan gerakan yang ada mengambil posisi yang tegas terhadap negara maupun kekuatan pemodal dan borjuasi.
Di antara gerakan sosial yang secara jelas dan tegas memosisikan dirinya sebagai front melawan borjuasi berkembang di sektor perburuhan (gerakan buruh). Selain perburuhan, belum ada suatu gerakan sosial yang terbukti “tahan banting” dalam kampanye terus-menerus melawan kapitalisme. Gerakan tani mulai muncul di dalam front, tetapi belum memiliki agenda final untuk menumbangkan borjuasi di sektor kapitalisme agraria atau membentuk angkatan kelasnya sendiri. Gerakan tani masih muncul sporadis, dalam kasus-kasus khusus yang mempertemukan petani dengan korporasi (pelembagaan kekuatan borjuasi yang paling manifes). Gerakan tani belum memiliki agenda bersama untuk membentuk kekuatannya sendiri. Persepsi tentang kapitalisme dan borjuasi belum terbangun di kalangan petani.
Gerakan perempuan dan gender, gerakan kepemudaan, gerakan mahasiswa, dan lain-lain belum terbukti memiliki agenda yang jelas untuk melawan borjuasi dan kapitalisme dan membentuk sistem alternatif di luar demokrasi liberal. Gerakan-gerakan ini terkadang muncul sebagai aktor penjahit dalam beberapa aksi protes di lapangan melawan korporasi, namun digali dari visi ideologisnya, belum memiliki frame yang sama tentang keharusan melampaui kapitalisme dan demokrasi liberal.
Fenomena yang cukup kontemporer adalah gerakan lingkungan hidup yang juga mulai muncul di dalam arena. Namun orientasi gerakan ekologi ini juga beragam, dari yang apolitis (bersifat hobi) hingga sejak awal politis dan ideologis. Gerakan ini memiliki prospek menjadi semakin politis ke depan, karena dampak merusak kapitalisme atas lingkungan hidup dan kualitas ekosistem rakyat. Kedekatan gerakan bercorak ini dengan gerakan tani secara umum juga mempolitisasi kesadaran anti-kapitalisme. Namun gerakan ini belum berhimpun dalam konsepsi yang tunggal tentang kapitalisme dan perlunya pelampauan atas kapitalisme dengan tatanan alternatif. Sebagai contoh, organisasi gerakan lingkungan hidup sekaliber WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), misalnya, yang merupakan salah satu organisasi utama dalam peta gerakan lingkungan hidup di Indonesia, belum secara eksplisit menyatakan diri sebagai organisasi dengan visi ideologis anti-kapitalisme, walaupun dalam praksisnya mampu menunjukkan diri mendukung dan sejalan dengan gerakan-gerakan anti-kapitalisme (dalam berbagai aksi protes melawan korporasi dan advokasi atas warga terdampak korporasi).
Beberapa varian dari gerakan lingkungan hidup, ada juga yang menjadi kepanjangan tangan korporasi dalam menyalurkan CSR (Corporate Social Responsibility) atau murni berorientasi konservasi tanpa agenda politik.
5/ Cita-cita membangun suatu partai rakyat yang memiliki misi merebut kepemimpinan nasional dari borjuasi dan oligarki belum terbangun, apalagi sampai populer. Sebabnya sederhana, cita-cita ini belum memiliki basis pengorganisasian yang kuat di tingkat gerakan-gerakan sosial. Basis yang paling mungkin diharapkan bagi partai semacam ini adalah gerakan buruh dan gerakan tani. Namun hal ini sangat bergantung kepada pengorganisasian basis massa di dua sektor gerakan ini dan penitiksamaan frame pemikiran tentang kapitalisme dan pelampauan demokrasi liberal oleh tatanan alternatif lain.
Gerakan-gerakan lain di luar gerakan buruh dan gerakan tani, yang paling mungkin diharapkan sebagai lapisan yang memperkuat dua sektor gerakan itu adalah gerakan mahasiswa, gerakan lingkungan hidup, dan gerakan perempuan dan gender. Ketiga gerakan ini potensial menjadi penyokong basis pengorganisasian suatu partai rakyat.
6/ Gerakan Islam juga beragam, sama beragamnya dengan gerakan sosial. Gerakan Islam terbelah menjadi sedikitnya lima unsur, dilihat dari orientasi “soskopol”-nya.
*Unsur moderat-Sosdem (kanan). Unsur ini mencirikan para elite ormas Islam moderat. Secara umum mereka setuju dengan kapitalisme, demokrasi liberal, namun mengoreksi aspek-aspek penyimpangan tertentu dari demokrasi ini – Jika diungkapkan secara plastis, kira-kira: “Kapitalisme boleh, asal jangan korupsi”, “Demokrasi liberal boleh, asal jangan menyebar berita bohong”, “Oligarki boleh, asal dermawan dan membantu mendanai ormas”, dan lain-lain. Paradigma ini terlihat pada para elite dua ormas Islam moderat, NU dan Muhammadiyah.
*Unsur moderat-reformistik. Unsur ini diisi oleh para penggerak dan aktivis ormas Islam moderat dari kalangan menengah ke bawah (non-pejabat teras). Secara umum mereka tidak setuju dengan kapitalisme dan demokrasi liberal yang menguntungkan segelintir oligarki, namun mereka juga tidak setuju dengan sosialisme atau tatanan alternatif di luar kapitalisme dan demokrasi liberal ini. Mereka memiliki keprihatinan dan turut bersolidaritas atas kasus-kasus rakyat, namun belum tertarik untuk melihat kasus-kasus ini secara menyeluruh sebagai krisis sistemik kapitalisme di Indonesia. Akibatnya, mereka tidak berhasil mendorong solusi alternatif yang tuntas untuk menjawab kapitalisme dan kekuatan borjuasi secara nyata. Kegamangan ini terkadang membuat mereka ikut mengafirmasi bahwa “Oh ya, ada juga kok oligarki yang baik, yang jujur, tidak korup”, dan sekian penilaian bernuansa moral lain; dengan kata lain, mengikuti arus Sos-dem yang telah dominan.
*Unsur moderat-progresif. Unsur ini terdiri dari minoritas pengikut Islam moderat yang memiliki keprihatinan atas kondisi umat atau rakyat di tengah narasi besar kapitalisme dan mencari pelampauan atas kondisi ini. Keterlibatan dengan sejumlah kasus rakyat di lapangan mengasah keprihatinan ini menjadi perjuangan yang lebih sistematik bersama gerakan sosial progresif yang memiliki agenda jelas anti-kapitalisme. Kekuatan ini minoritas di ormasnya masing-masing, namun memiliki potensi untuk berkembang seiring waktu.
*Unsur konservatif-ekstremis. Unsur ini terdiri dari sebagian besar pengikut ormas-ormas Wahabi-Salafi yang tidak peduli dengan kondisi Indonesia (anti-nasionalis), mengimpikan jika Indonesia dapat diganti dengan Negara Islam. Bagi mereka, rakyat hanyalah massa untuk direkrut bagi kepentingan sektarian ini. Mereka pada dasarnya anti-massa dan anti-rakyat, walaupun memiliki pengaruh di kalangan massa umat Islam. Unsur ini tidak mempermasalahkan kapitalisme apapun, selama dianggap sejalan dengan cita-cita politik mereka mengenai penerapan Syariat Islam. Di dalam peta gerakan yang ada, gerakan ini merupakan “benalu” (distraksi) yang memperlemah fokus perjuangan gerakan rakyat.
7/ Gerakan Islam mengalami kebuntuan politik di dalam dirinya untuk menghadapi sistem kapitalisme yang ada sekarang. Sebagian besar tendensi gerakan Islam mendukung kapitalisme, atau membantu terfasilitasinya kapitalisme melalui gangguannya atas gerakan anti-kapitalisme.
8/ Di luar gerakan Islam yang jelas-jelas bercorak keagamaan, gerakan-gerakan keagamaan dari agama-agama yang terlembaga di Indonesia (Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, Konghucu, dan lain-lain) memiliki potensi politik untuk bergabung dalam front bersama anti-kapitalisme. Walaupun demikian, gerakan ini masih menghadapi tantangan dalam internal keorganisasian masing-masing. Gerakan-gerakan keagamaan yang bersumber dari kearifan lokal juga memiliki potensi politis yang besar untuk terlibat dalam pergerakan anti-kapitalisme, mengingat posisi mereka yang sering kali menjadi korban diskriminasi dari kebijakan neoliberal negara.
9/ Situasi yang ideal bagi beberapa kecenderungan gerakan yang dapat tercipta ke depan, di hadapan musuh besar kapitalisme, oligarki, dan sistem demokrasi liberal yang masih berdiri gagah mendukungnya, adalah kurang lebih demikian: a). Munculnya satu atau beberapa partai rakyat yang lahir dari rahim gerakan sosial anti-kapitalisme; b). Terbentuknya ormas Islam yang lahir dari rahim gerakan sosial anti-kapitalisme, suatu ormas Islam yang otentik dari misinya sejak awal untuk mencari sistem alternatif di luar kapitalisme, memiliki watak kelas, dan tidak terkontaminasi oleh kepentingan negara dan kekuatan borjuasi; c). Terbentuknya front-front lintas-agama yang bekerja dalam agenda anti-kapitalisme dan mampu memobilisasi kekuatan kalangan beragama di tingkat lokal maupun nasional; d). Menyebarnya ide-ide anti-kapitalisme di kalangan birokrasi sipil maupun militer, yang memungkinkan mereka mengambil inisiatif untuk mengubah kelembagaan “dari dalam”, dengan mengalihkan biduk kapal negara menjauh dari orientasi kapitalisme. Penyebaran ide-ide ini mensyaratkan dilakukannya pendidikan dan pembelajaran di kalangan birokrasi. Selama ini belum ada organ gerakan sosial yang mengambil inisiatif melakukan pendidikan dan pembelajaran anti-kapitalisme di kalangan birokrasi.
Ini ideal. Jika ini terjadi, maka kita baru bisa melihat Indonesia mengalami perubahan fundamental. Parameter dari perubahan ini adalah a). Menyusutnya kekuatan borjuasi sebagai pengambil keputusan politik, digantikan oleh partai atau kolektiva-kolektiva (perhimpunan) rakyat; b). Melemahnya kekuatan oligarki, sehingga mereka harus melakukan pembagian kekayaan secara drastis untuk mendanai pembangunan-pembangunan sosial di Indonesia; c). Menyusutnya konflik antara rakyat dan korporasi. d). Terjadinya transformasi kesadaran pada pengambilan kebijakan-kebijakan administratif dan publik, sehingga birokrasi memiliki keberpihakan yang secara konsisten dari hulu sampai hilir dalam melindungi kepentingan rakyat, dan sejalan dengan tuntutan-tuntutan yang disuarakan oleh partai atau kolektiva-kolektiva (perhimpunan) rakyat.***
Penulis adalah Pegiat Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dan editor “Jurnal Sosialis” (jurnalsosialis.red)