KARL Marx menutup ‘Tiga Belas Tesis tentang Feuerbach’ dengan satu kalimat yang terkenal: para filsuf itu cuma bisa menafsirkan dunia; (padahal) yang paling penting adalah mengubahnya. Kalimat itu muncul, sebetulnya, dari kekesalannya atas pemikiran Ludwig Feuerbach; ia menghabiskan waktu untuk bicara tentang sentimen agama; yang bagi Feuerbach (seorang ateis) adalah asal-usul keterasingan manusia.
Marx agak kesal dengan yang begini-begini. Menurutnya, Feuerbach terlalu berlebihan dalam menyikapi fanatisme agama. Padahal hal-hal semacam sentimen keagamaan itu tidak lahir cuma karena pemikiran agama seseorang, tetapi karena proses sosial yang ada di dunia nyata yang melibatkan perjalanan hidup manusia.
Kekesalan Marx itu kemudian dituangkan dalam tesis ketigabelasnya yang simpel tapi menohok itu.
Pada awal abad ke-20, banyak yang membaca Marx dan kemudian terprovokasi oleh sebagian omongannya. Masa itu adalah masa anak-anak muda kelas menengah di Hindia Belanda baru diperkenalkan dengan ‘dunia luar’, akibat politik etis Pemerintah Kolonial. Mereka disekolahkan ke negeri Belanda dan menginjakkan kaki di Eropa.
Tentu saja banyak di antara mereka yang pertama kali melihat majunya Eropa masa itu. Dengan dana beasiswa yang mereka dapatkan, baik dari pemerintah kolonial maupun yayasan-yayasan yang bertaburan masa itu, mereka kuliah dan mendapatkan pelajaran.
Tujuan mereka dididik memang bukan untuk menjadi ‘pemimpin masa depan’ atau ‘agen perubahan’. Belanda menyekolahkan mereka dengan tujuan sederhana: supaya ketika mereka kembali, bisa bekerja di perusahaan atau instansi pemerintah kolonial.
Tapi ada saja anak-anak nakal. Bukannya belajar, dapat nilai bagus, atau bisa presentasi di konferensi dan menulis artikel jurnal (sepertinya yang begini ini spesies langka), ada sekelompok anak muda yang malah berpikir tentang kemerdekaan. Ada yang sekadar ikut-ikut, tapi ada juga yang (mungkin karena buku-buku kiri yang mereka baca) malah jadi radikal di tanah orang.
Difasilitasi oleh para aktivis dan senior yang prihatin dengan kondisi di koloni, mereka mulai membuat perkumpulan. Awalnya cuma kumpul-kumpul, mereka akhirnya mendirikan Indonesische Vereegining. Belakangan, mereka malah makin menjadi-jadi dengan mengubah nama perkumpulan itu menjadi Perhimpunan Indonesia.
Di antara para penerima beasiswa itu (sekarang dikenal juga dengan sebutan ‘Awardee’) ada pemuda bernama Mohammad Hatta. Ia berangkat ke Belanda atas dukungan beasiswa dari sebuah yayasan dan belajar Hukum di Den Haag. Di kemudian hari, Hatta lebih tertarik belajar Ekonomi—bidang yang telah dipelajarinya sejak di Indonesia.
Sebelum berangkat ke Belanda, Hatta sudah berkenalan dengan pergerakan pada 1921: ia menjadi Bendahara Jong Sumatranen Bond dan kenal dengan dedengkot-dedengkot pergerakan di Jakarta. Aktivis-aktivis Indonesia di Belanda banyak yang sudah ia kenal dan bikin darah mudanya meluap-luap. Seperti dituturkan autobiografinya, ia membaca banyak pemikiran Eropa dan kemudian terlibat di kancah pergerakan nasional.
Walaupun Hatta bukan Marxis dan tidak pernah sejalan dengan orang-orang Komunis di masanya, hingga akhir hayat si pemuda Minang setia dengan sosialisme demokrat sebagai pandangan politiknya.
Beasiswa Hatta sendiri bukanlah beasiswa lump sum atau at cost yang banyak diperdebatkan pengamat beasiswa hari ini; tetapi ‘loan’ alias pinjaman. Ia harus membayar biaya yang diberikan kepadanya kepada yayasan setelah lulus dan bekerja. Di kemudian hari, utang itu barulah lunas setelah Indonesia merdeka dan ia duduk di kursi wakil presiden.
Nah, sebagai ‘awardee’, Hatta dihadapkan pada pilihan: mau belajar dan kemudian lulus lalu mengabdi kepada pemerintah kolonial atau malah jadi aktivis? Ia memilih yang kedua. Ia mengedit harian Hindia Poetra yang disirkulasikan ke kalangan aktivis antikolonial, berkumpul dan berdiskusi dengan aktivis komunis semacam Semaoen, Dharsono, atau Tan Malaka (yang ia dipuji karena keteguhan prinsip, walau ia tak sejalan dengan mereka). Ia malah terpilih menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia pada 1926 hingga menjelang kelulusannya empat tahun kemudian.
Di tangan Hatta, Perhimpunan Indonesia malah menjadi juru bicara perlawanan anti-kolonial yang efektif. Ia menjalin kontak dengan aktivis-aktivis anti-kolonial di seantero dunia, menghadiri pertemuan internasional di Paris, dan mengkritik kebijakan-kebijakan kolonial Belanda di Eropa. Hatta memang harus membayar mahal aktivitasnya ini. Ia ditangkap bersama para aktivis lain di tahun 1927, dan di penjara selama empat bulan. Pleidoinya dalam persidangan menjadi salah satu dokumen kunci dalam pemikiran politik Hatta.
Apakah Hatta juga plesiran di Eropa? Iya, beliau plesiran! Dan bukan hanya dengan uang beasiswa. Ia bahkan plesiran dengan uang kas Perhimpunan Indonesia. Ia pergi ke Skandinavia, travelling ke Norwegia dan Finlandia, dan mempelajari kooperasi yang dipraktikkan oleh orang-orang sana. Apa yang ia pelajari kemudian mewujud menjadi Pasal 33 UUD 1945, menjadi soko guru dari perekonomian Indonesia. Itulah yang kini dikenal dengan ‘koperasi’.
Tahun 1931, Hatta pulang ke tanah air dan makin tidak tertolong radikalismenya. Bukannya menikah, mencari pekerjaan agar setara dengan ‘diaspora’ yang bekerja di perusahaan asing, atau memilih ‘berkontribusi’ membangun birokrasi (kolonial), Hatta malah terlibat pergerakan. Ia lagi-lagi ditangkap pemerintah dan dibuang ke Digul (lalu Banda Neira) selama bertahun-tahun. Ia baru kembali menjelang kekalahan Belanda di awal 1940an.
Jika kita membayangkan seorang ‘agen perubahan’ adalah orang yang bisa mengubah dunia dalam waktu sekejap mata, maka mungkin kita akan menilai orang-orang seperti Hatta adalah orang-orang yang gagal. Tapi jangan lupa, revolusi juga membutuhkan kesabaran yang juga revolusioner. Hatta memperoleh cita-citanya, yang ia perjuangkan sejak ia mendapatkan beasiswa di negeri Belanda, pada 1945. Jepang yang baru saja kalah perang bersiap meninggalkan Indonesia. Bersama Soekarno, didorong oleh para pemuda, dan didukung oleh seorang perwira Jepang bernama Maeda, ia mempersiapkan kemerdekaan.
Hasilnya pay-off: Indonesia merdeka tahun 1945.
Indonesia tahun 2017 memang bukan Indonesia tahun 1945. Penerima beasiswa pemerintah memang bukan aktivis Perhimpunan Indonesia, dan Hatta memang bukan seorang Marxis. Tapi apa yang mereka lakukan beresonansi dengan kegelisahan Marx lebih satu abad silam; para filsuf (atau mungkin juga Dosen, Penulis, atau mereka yang menyebut diri ‘Intelektual’) cuma bisa menafsirkan dunia. Tapi yang paling penting ya mengubahnya.
Kemerdekaan Indonesia bukan sekadar hasil tembak-menembak melawan tentara kolonial. Ia dibangun berdekade-dekade sebelumnya, oleh banyak orang: aktivis penerima beasiswa di negeri Belanda, Haji Merah yang baru pulang dari Mekkah, Buruh Kereta di Semarang, Pedagang Batik di Solo, Petani di Banten, atau mungkin aktivis pergerakan Islam di Jombang dan Yogyakarta. Semuanya menyumbang saham dalam perjalanan menuju kemerdekaan kita.
Jadi, jika Anda penerima beasiswa, dan banyak yang mencibir Anda karena menganggur, low-achiever, tidak punya pasangan, dianggap sebelah mata, ditolak mengajar di almamater, galau karena ditinggal kawin, dituduh suka plesiran waktu studi, gagal move on dari mantan, dicaci-maki PNS senior, di-nyinyir-in dosen, dibilang gondrong ndeso, atau malah cuma bisa jadi peneliti yang gajinya mepet UMR sementara di luar negeri peneliti dibayar pakai dollar, jangan berkecil hati, kabur ke luar negeri lantas tewas tertimbun masa lalu.
Mungkin kita bisa membaca kembali sejarah. Atau mulai sadar bahwa perubahan tidak dibikin sendiri dan tidak dimulai satu malam seperti Bandung Bondowoso (kabarnya) membangun Candi Prambanan. Dan pada akhirnya, kita semua akhirnya tak bisa mengelak, bahwa jika memang ingin membuat perubahan, perlawanan –bahkan dalam bentuknya yang paling samar sekalipun—menjadi tidak terhindarkan.***