Kredit ilustrasi: http://anaylsurydlaver.blogspot.com
SESUNGGUHNYA, bukanlah hal yang baru membahas hubungan erat antara pendidikan dengan kapitalisme maupun neoliberalisme. Terutama bagaimana tujuan pendidikan berusaha untuk membentuk individu yang sesuai dengan kebutuhan ekonomi kapitalis abad 21.
Kita dapat mengambil beberapa contoh kritik terhadap pendidikan kapitalis seperti dalam ‘Neoliberalism’s War on Higher Education’ (2011) oleh sosiolog pendidikan Henry Giroux, yang memperlihatkan bagaimana kebijakan-kebijakan neoliberal dalam pendidikan tinggi di negara-negara maju telah mengubah misi dan visi pendidikan tinggi secara keseluruhan. Dikarenakan institusi pendidikan tinggi menjadi sebuah ‘pasar’ ketimbang sebuah public good maka fokus mahasiswa maupun para pendidik pun adalah return of investment (ROI) dari ‘investasi’ para mahasiswa ini. Atau dengan kata lain, institusi pendidikan berusaha mengerucutkan pendidikan menjadi sebuah mesin untuk memenuhi ekspekstasi ekonomi mahasiswa maupun masyarakat. Giroux berargumen, dengan fokus yang dipersempit ke output ekonomi menyebabkan perlahan matinya aktivisme dan pola pikir kritis mahasiswa.
Ekonom Samuel Bowles & Herbert Gintis dari Amerika Serikat, melalui bukunya yang ditulis lebih dari 40 tahun yang lalu, ‘Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life’ (1976), juga telah mengkritisi bagaimana sistem pendidikan (pedagogi, kurikulum, beserta beragam aturan institusi pendidikan) disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme. Dalam upaya menghasilkan ‘logika kapitalisme’. Salah satu ciri khas menanamkan apa yang oleh ahli pendidikan kritis dan filsuf Paulo Freire (1973) disebut sebagai “budaya diam”, sebuah pola pikir yang patuh terhadap struktur dan hirarki layaknya sebuah mesin korporat.
Bowles & Gintis, Giroux dan Freire beserta beberapa pemikir lainnya seperti sosiolog Pierre Bordieu dan sosiolog pendidikan Michael Apple, telah berusaha secara kritis membahas mengenai pendidikan sebagai alat reproduksi sosial dan kontrol sosial. Mereka tidak hanya berbicara mengenai sistem pendidikan yang berusaha menghasilkan individu kapitalis, tetapi lebih dari itu, bagaimana pendidikan melalui kekuasaan yang dominan juga mereproduksi dan memperdalam ketimpangan sosial. Pendidikan yang dilihat dan diharapkan banyak orang sebagai jalur emansipasi mereka, terutama bagi mereka yang berasal dari kelas bawah, pada akhirnya tidak mampu membawa mereka keluar dari keadaan terpuruk dan tertindas mereka. Bahkan, dalam banyak hal, pendidikan hanya mengembalikan mereka ke posisi sosio-ekonomi semula.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Dalam pidato Hari Pendidikan Nasional 2017 di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Menteri Riset, Teknologi & Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, menekankan tema pendidikan tahun ini sebagai “meningkatkan relevansi pendidikan dalam mendukung pertumbuhan ekonomi”. Nasir melanjutkan dengan mengusulkan bahwa esensi dari pendidikan tinggi adalah untuk menghasilkan lulusan dan penelitian yang bermanfaat bagi industri Indonesia. Pemahaman akan pendidikan seperti ini juga telah tertanam dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang kerap kali sudah biasa dijustifikasi melalui retorika pembangunan nasional.
Seperti yang telah secara singkat dijelaskan sebelumnya, sebuah sistem pendidikan yang berusaha menyerupai dan memenuhi sistem kapitalisme tidaklah unik di Indonesia. Namun satu hal yang cukup istimewa (dan mengkhawatirkan) bagi Indonesia saat ini adalah nihilnya kontra narasi dari pendidikan kapitalisme. Singkat kata, hal ini terjadi karena dalam membicarakan kontra narasi dari pendidikan kapitalis, kita harus mampu mengkritisi kapitalisme itu sendiri dan melihat melampaui konsep pembangunan yang ada saat ini.
Dari sini maka harus diakui bahwa salah satu hal sentral yang mematikan pemikiran progresif, pemikiran-pemikiran yang menjadi anti-tesis terhadap kapitalisme, adalah TAP MPRS No. 25 1966. Pelarangan Marxisme bukan hanya dalam manifestasi organisasi politik namun juga pelarangan Marxisme sebagai kerangka berpikir analisis kelas dan kesenjangan dalam diskursus ilmu pengetahuan Indonesia.
Dengan melarang Marxisme dan membatasi wacana akan Marxisme di sekolah maupun universitas, selain menggambarkannya sebagai sumber imoralitas dan anti-Pancasila, Indonesia menjadi lahan subur untuk Soeharto dalam menerapkan pandangan pembangunannya dan sekaligus mematikan segala upaya perlawanan terhadap penindasan struktural. Pembangunan yang, menurut sosiolog Ariel Heryanto (2005), dilandasi pasar modal, teknokratisme sempit, yang kemudian dicampur dengan keinginan sang smiling general tersebut melestarikan struktur sosio-politik yang menindas melalui feodalisme dan militerismenya. Campuran mematikan inilah yang kemudian dikenal sebagai developmentalisme, yang dengan sendirinya dilandasi oleh ‘teori modernisasi’ usulan ‘mafia Berkeley’ yang ternama itu.
Sejarawan Hilmar Farid (2005) menguraikan teori modernisasi sebagai “impian akan Indonesia yang modern, rasional dan maju yang dicapai melalui pasar ekonomi, dan dikombinasikan dengan kenangan buruk masa lalu bangsa”. Teori modernisasi tidak hanya menjadi ‘teori’ untuk pembangunan tapi melalui propaganda Orde Baru, Farid mencatat bahwa pandangan “masa lalu yang kacau penuh dengan bahaya radikalisme politik (DI/TII, G30S, dll), telah perlahan mengasah kepercayaan masyarakat terhadap ‘teori’ ini”. Di mana kemudian berevolusi menjadi “satu-satunya teori” untuk kerangka pembangunan Indonesia. Persis seperti yang diinginkan neoliberalisme, tidak ada alternatif; TINA (There Is No Alternative).
Tentunya hal ini termasuk kebijakan pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia Indonesia ‘modern’ yang sesuai dengan definisi pembangunan yang sempit tersebut. Dengan indoktrinasi melalui pendidikan yang terus berusaha mengabadikan ketaatan masyarakat terhadap struktur, meredam pengetahuan alternatif akan pembangunan, dan minimnya pendidikan yang memupuk kesadaran kritis dan kesadaran kelas, oposisi kritis akan keadaan saat ini akan tetap minim. Di mana sebagian besar masyarakat kita dengan butanya percaya bahwa mobilitas kelas ke atas dapat dengan mudah diraih apabila kita kerja keras, mandiri dan disiplin; kesuksesan bergantung kepada sistem meritokrasi. Tak paham akan hambatan-hambatan struktural yang mematikan. Hal ini juga serupa dengan penemuman sosiolog Lyn Parker dan Pam Nilan (2013) dalam buku ‘Adolescents in Contemporary Indonesia’.
Di sinilah, menurut saya, salah satu peninggalan Soeharto yang paling mematikan. Masih tertanamnya dan mengakarnya konsep ‘modernitas’ dan ‘pembangunan’ a la Soeharto dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, termasuk para pemimpinnya. Hal ini disertai redamnya kritik terhadap fondasi dan kerangka dari ‘pembangunan’ dan ‘modernitas’ yang seringkali menindas tersebut. Sebuah peninggalan pola pikir yang terus berlanjut bahkan hingga hampir 20 tahun setelah reformasi terjadi.
Pembangunan yang memiskinkan, pendidikan yang mematikan, neo-feodalisme yang mengakar, permasalahan rasisme yang tak pernah diselesaikan secara tuntas, dan amarah akan keadaan yang tak mampu dipahami. Maka bukanlah sesuatu yang mengherankan jika agama menjadi saluran kegelisahan maupun amarah masyarakat, karena diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif akan sebuah sistem yang menindas. Agama pada akhirnya tak hanya menjadi pedoman nilai-nilai kehidupan, pegangan spiritualitas dan identitas, namun tak jarang juga menjadi kerangka utama dalam memandang dan memahami dunia termasuk konflik-konflik sosio-politik. Tantangan dari hal ini adalah, ketidakmampuan kita untuk melihat bahwa sesungguhnya agamapun, dalam banyak hal, dapat dan telah dikooptasi oleh kapitalisme, xenophobia dan kepentingan oligarki.
Freire dan Kesadaran Kritis
Isu seputar Pilkada DKI Jakarta 2017 membuka mata kelas menengah akan pentingnya sikap kritis, terutama dalam hal menanggapi informasi yang diterima. Kata ‘hoax’ mungkin menjadi salah satu kata yang paling sering diucapkan atau didengar satu tahun belakangan terakhir.
Walaupun telah ada usaha untuk membantu masyarakat memisahkan antara berita yang benar dan tidak, permasalahan ketidakmampuan bernalar kritis kita harus diatasi ke akar permasalahannya. Dibutuhkan sebuah revolusi pendidikan yang terbuka terhadap kritik, mendorong masyarakat untuk berfikir secara kritis akan dirinya maupun dunia sekitarnya dan, sesuai dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara, membentuk pendidikan yang memanusiakan manusia. Di sini mungkin kita dapat mengacu pada sosiolog C. Wright Mills (1959) dengan konsep sociological imagination –nya dan juga pemikiran-pemikiran Paulo Freire (1970, 1973) tentang pedagogi kritis.
Melalui sociological imagination atau imajinasi sosiologis, Mills menerangkan bahwa imajinasi ini dapat membantu seseorang memahami hubungan antara pengalaman kehidupan kesehariannya dengan struktur sosial dalam masyarakatnya. Sebagai contoh, kita dapat melihat bagaimana pola konsumsi pribadi keseharian kita tak lepas dari konstruksi sosial yang turut dibentuk oleh industri kapitalis lokal maupun global. Begitu juga dengan bagaimana kita mengalami kelas sosio-ekonomi kita (dengan beragam privilege yang dirasakan kelas atas maupun penindasan yang dirasakan harian oleh kelas bawah) yang telah dibentuk oleh struktur saat ini dan juga secara historis.
Freire berpendapat serupa namun melihatnya dari perspektif pendidikan. “Apa yang dibutuhkan”, menurut Freire (1973), “adalah pendidikan untuk kembali ke masyarakat dan membantu mereka untuk memasuki proses pembentukan sejarahnya secara kritis”. Ia kemudian selebihnya menjelaskan bahwa prasyarat yang dibutuhkan adalah bentuk pendidikan yang memungkinkan individu merefleksikan dirinya, tanggung jawab mereka dan peran mereka dalam konteks sosio-politiknya. Bukan sebuah pendidikan yang mengindoktrinasi, namun pendidikan yang emansipatoris.
Melihat kembali bagaimana Indonesia mengaktualisasi pendidikannya, maka kita harus meredefinisi makna dari ‘kualitas’ pendidikan. Kita dapat mengacu kualitas pendidikan dari sudut pandang yang teknis, seperti kemampuan membaca dan berhitung (yang masih sangat tertinggal jauh). Namun kita juga harus terbuka akan beragam permasalahan yang tak tampak di dalam kelas, atau seringkali disebut hidden curriculum.
Hirarki ilmu pengetahuan IPA vs IPS, Bahasa & Seni (pendidikan teknokratis), pembelajaran sejarah, struktur sosial, pembangunan masyarakat Indonesia yang masih sangat terpaku dari penafsiran OrBa (pendidikan indoktrinasi), fokusnya sekolah maupun guru terhadap hasil akhir nilai ketimbang proses pembelajaran (pendidikan massification – produksi massal layaknya pabrik), dan tentunya dikarenakan permasalahan di atas, hampir tidak diberikannya ruang untuk guru maupun murid dalam mengeksplorasi dan refleksi diri maupun keadaan masyarakatnya secara kritis dan objektif.
Yang diharapkan oleh Freire akan sebuah pendidikan yang reflektif, sekali lagi reflektif terhadap diri maupun struktur sosio-politik di sekitar kita, adalah agar terbentuknya dan meningkatnya sebuah kapasitas kritis untuk memilih. Membentuk sebuah masyarakat yang sejatinya demokratis, yang mampu mengerti ketika kebutuhan mereka telah ditunggangi oleh kepentingan para elit, yang mampu melihat melampaui retorika politis, maupun populisme yang dilandasi politik identitas. Pendidikan yang kita memiliki saat ini hanya mematikan pikiran kita, tak menyentuh secara kritis keadaan masyarakat kita dan hanya menanamkan retorika toleransi yang dilandasi oleh solidaritas semu.
Dan pendidikan emansipatoris a la Freire bukanlah sebuah angan-angan utopis.
Perlu kembali kita mengingat bahwa pendidikan di Indonesia berakar pada gagasan-gagasan progresif. Pada awal abad ke-20, tahun-tahun revolusi kita melawan kolonialisme Belanda, Ki Hajar Dewantara (1962), yang diamini oleh banyak orang sebagai bapak pendidikan Indonesia, melalui sekolahnya Taman Siswa, tak hanya merangkul namun juga menanamkan nilai-nilai progresif yang sungguh melampaui zamannya.
Menyediakan pendidikan untuk masyarakat yang tak mampu, di mana selama periode ini pendidikan ditujukan untuk mereka yang mampu, darah biru atau keturunan Eropa. Begitu pula memberikan pendidikan kepada perempuan dengan harapan membebaskan mereka dari penjara patriarkal. Bahkan Ki Hajar Dewantara, dalam upayanya mendukung kesetaraan sosial, menghilangkan gelar ‘Raden Mas’ dari namanya yang bersumber dari pendidikan feodalistiknya.
Pendidikan yang anti-feodalisme, anti-imperialisme, anti-kapitalisme dan feminis. Sesuatu yang sangat radikal untuk masanya bahkan untuk saat ini. Progres bukanlah sebuah hal yang otomatis terjadi, dibutuhkan sebuah intervensi kritis dan di sinilah seharusnya peran utama pendidikan diperlukan.
Walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini masih menghormati Ki Hajar Dewantara sebagai bapak pendidikan, melihat keadaan pendidikan kita saat ini, minim akan nilai-nilai progresif, maupun kesadaran kritis dan bagaimana pendidikan masih sangat dikendalikan oleh narasi sosio-politik mereka yang berkuasa. Indonesia telah menyimpang jauh dari gagasan revolusionernya akan pendidikan yang emansipatoris.
Apa yang dimiliki masyarakat Indonesia saat ini adalah pendidikan untuk pasifikasi. Untuk diam. Untuk bungkam. Pendidikan yang hanya melahirkan pion-pion irrasionalitas. Pendidikan yang jauh dari membebaskan; perlahan memenjarakan.***
Penulis adalah asisten peneliti dan asisten dosen di Fakultas Pendidikan, Victoria University of Wellington, Selandia Baru
Kepustakaan
Dewantara, K. H. (1962). Bagian Pertama: Pendidikan. Yogyakarta: Madjelis Luhur Taman Siswa.
Farid, H. (2005). The Class Question in Indonesian Social Sciences. In V. R. Hadiz, & D. Dhakidae, Social Science and Power in Indonesia (pp. 167-195). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. New York: The Continuum International Publishing Group.
Freire, P. (1973). Education for Critical Consciousness. London: Whitstable Litho Straker Brother Ltd.
Gintis, S. B. (1976). Schooling In Capitalist America: Educational Reform And The Contradictions Of Economic Life. Chicago: Haymarket Books.
Giroux, H. (2013). Neoliberalism’s War on Higher Education. Chicago: Haymarket Books.
Heryanto, A. (2005). Ideological Baggage and Orientations of the Social Sciences in Indonesia. In V. R. Hadiz, & V. R. Dhakidae, Social Science and Power in Indonesia (pp. 57-89). Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Mills, C. W. (1959). Sociological Imagination. New York: Oxford University Press.
Nasir, M. (2017, April 27). Sambutan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2017. Retrieved from Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia: http://www.dikti.go.id/sambutan-hari-pendidikan-nasional-hardiknas-2017/
OECD-PISA. (2017). Indonesia Student Performance (PISA 2015). Retrieved from OECD Education GPS: http://gpseducation.oecd.org/CountryProfile?primaryCountry=IDN&treshold=10&topic=PI
Parker, L., & Nilan, P. (2013). Adolescents in Contemporary Indonesia. New York: Routledge.
Warburton, E. (2016). Jokowi and the New Developmentalism. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 52(3), 297-320.
Wilson, I. (2017, April 21). Pengalihan Isu Ketimpangan & Kemiskinan di Pilgub Jakarta. Retrieved from Tirto: https://tirto.id/pengalihan-isu-ketimpangan-amp-kemiskinan-di-pilgub-jakarta-cncC