PELIKNYA peta politik Indonesia kini mulai makin terasa hingga permukaan. Semenjak terpilihnya Joko Widodo pada 2014, manuver elit yang saling menyerempet satu sama lain menjadi bagian dari drama keseharian orang banyak.
Ini situasi yang wajar semata dalam demokrasi. Kita tidak lagi tinggal di zaman Orde Baru—masa ketika elit-elit politik bisa duduk manis menunggu jatah. Ini adalah masa ketika elit lama terpaksa membentuk kongsi-kongsi baru, untuk memperoleh kekuasaan yang relatif singkat. Sebagian hinggap di sisi Joko Widodo; sebagian lagi sedang mengambil ancang-ancang untuk menjatuhkannya pada Pilpres 2019—atau kalau perlu sesegera mungkin.
Dalam kondisi yang demikian, sejumlah peristiwa pelik di dunia politik tak luput dari perhatian masyarakat. Kian ramai, ketika media sosial bisa mengedarkan berita-berita tersebut ke hadapan orang-orang yang (awalnya) tidak ingin tahu. Apalah hendak dikata, media sosial hari ini memang bisa melakukan apapun, termasuk menggiring vonis dua tahun penjara ke hadapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—bukankah gelombang aksi yang akhirnya menjungkalkan Ahok dari kursi gubernur bermula dari cacahan video dan caption bombastis karya Buni Yani di media sosial?
Lantaran kasus penodaan agama, Ahok masuk kerangkeng. Namun itu bukan suatu keajaiban dalam hal dunia hukum, sebab telah ada nama-nama lain yang masuk bui karena pasal karet ini. Walaupun, tentu kita semua tahu bahwa Ahok bukanlah Lia Eden.
Ahok bukan orang yang mengaku mendapatkan mandat dari Jibril. Melanjutkan tugas dari Joko Widodo, Ahok memegang mandat dari rakyat. Belum lama ini pun lebih dari 40% warga DKI Jakarta mencoblosnya supaya dia bertahan di kursi gubernur. Maka, tidak terlalu aneh bila kemudian banyak kalangan yang bersolidaritas untuk membela sosok yang satu ini.
Bela Ahok atau tidak, itu berpulang pada Anda. Akan tetapi, berbagai elemen yang mengisi keramaian ini sukar diabaikan. Setidaknya ada tiga hal yang cukup layak untuk direnungkan: ketokohan pada diri Ahok, perlawanan terhadap kelompok rasis-sektarian, dan kehadiran para elit politik oportunis di belakang layar.
Ketiga hal yang saling tumpang tindih itu perlu diurai demi menentukan sikap di hari-hari ke depan. Sebab, dukungan tanpa kejelasan pijakan bisa membawa kekecewaan, sementara pijakan kuat tanpa aksi yang terarah bisa membawa kesia-siaan.
Kita perlu membedakan antara apa yang kita lawan (fight against) dengan apa yang kita perjuangkan (fight for).
Bila seseorang melawan vonis terhadap Ahok, tapi pada saat yang bersamaan menuntut Habib Rizieq terkena pasal156a KUHP, maka bisa dikatakan ia hanya berjuang untuk Ahok semata—dasarnya adalah kecintaan terhadap sosok Ahok. Sementara bila seseorang melawan kehadiran pasal 156a KUHP, sambil menerima kenyataan bahwa orang-orang dari kelompok berlawanan pun bisa bebas dari jeratan pasal tersebut, maka bisa dibilang ia berjuang untuk kehidupan yang demokratik dan beradab. Urgensi untuk yang terakhir ini makin kuat: terbukti, pasal penodaan agama yang luar biasa tak masuk akal bisa menjadi duet maut ketika bertemu dengan arogansi penganut agama mayoritas yang sedang ditunggangi para elit—dan ini menghasilkan politik yang jauh dari beradab.
Di permukaan mungkin kita bisa melihat ada banyak permusuhan, baik itu dalam bentuk perang status, sindiran no-mention, gesekan di jalanan, sampai pembubaran demonstrasi. Sementara di pemerintahan, kebijakan yang ada justru kerap memperparah keadaan. Mendagri Tjahjo Kumolo menyebarkan data warga negara yang mengkritik pemerintahan Joko Widodo dalam orasinya; Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, menyebutkan bahwa penghapusan pasal penodaan agama dapat memicu bangkitnya Partai Komunis Indonesia; dan Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, tetap berkeyakinan membubarkan HTI, lantaran telah “mempelajari” ideologinya.
Tagar #RipJustice semata tentu tak cukup. Di tengah maraknya sentimen agama dan jargon “NKRI harga mati”, mestinya terpercik kesadaran bahwa peluang untuk memperkokoh basis massa untuk melawan pasal penodaan agama dan kesesatan pikir para pembuat kebijakan, kini sudah di depan mata.
Tidak perlu melontarkan sinisme kepada sebagian pendukung Ahok yang kerap mengejek aksi massa dan selalu absen dalam memperjuangkan nasib orang kecil—ini sama sekali kontraproduktif. Toh, ketika mulai turun ke jalan, bukankah mereka akhirnya justru belajar tentang pentingnya aksi massa dan empati untuk orang-orang yang rentan dikriminalisasi, dari tani hingga korban gusuran?
Bukankah kalangan Islamis saja bersedia mati-matian—dan tepat belaka!—mendukung Anies, sekalipun tahun-tahun sebelumnya kerap menuduhnya syiah dan liberal? Dan bukankah dengan ancaman pembubaran organisasi, mereka juga sedang diberi pelajaran pahit untuk tidak terus memainkan sentimen sektarian?***