SEGERA setelah jilid pertama Das Kapital terbit pada 1867, Marx memulai kerja keras nan heroik menyusun jilid-jilid berikutnya yang kemungkinan setebal yang pertama. Dia kembali ke perpustakaan. Membolak-balik halaman ribuan buku, laporan pemerintah, dan catatan para pemilik pabrik. Tapi, seperti banyak orang tahu, sampai wafatnya pada awal 1883, tak satupun jilid-jilid lanjutan tersebut pernah dirampungkannya. Bahkan apa yang kita kenal sebagai jilid kedua dan ketiga, yang diterbitkan oleh Engels, masih berwujud draft dengan bolong-bolong di sana sini yang amat tak layang diterbitkan tanpa penyuntingan siang malam.
Dari terbitnya jilid pertama Das Kapital hingga Marx wafat, ada rentang waktu 15 tahun lebih. Ada apa sih dengan 15 tahun lebih itu sampai dia tak membereskan mahakaryanya? Apakah kurang waktu sepanjang itu? Apakah karena Marx, seperti kabar burung yang banyak ditulis para penulis biografi dan sekian kali diulang-ulang penulis sampai hari ini, makin sibuk, sering sakit-sakitan, termasuk sakit hati karena berulang kali revolusi di Eropa gagal menyingkirkan borjuasi dari tampuk kekuasaan? Atau, jangan-jangan, bukan karena alasan kurang waktu atau sakitan-sakitan, tapi karena Marx tahu ada yang tidak beres dengan Das Kapital jilid pertama dan coba membereskannya namun agak enggan mengakuinya secara publik?
Ambil saja misal soal gaya paparannya yang Hegelian banget di buku itu. Identitas antara Das Kapital dan Hegelianisme sudah seperti kacang dan kulitnya. Bahkan Lenin sesumbar kita selamanya anak bawang kalau membaca Das Kapital tanpa memahami dahulu Wissenschaft der Logik. Sampai sekarang kita masih dipetuahi oleh buku-buku tentang betapa niscayanya Hegel untuk membaca Marx. Memang, kalau kita cuma baca teks Das Kapital yang sudah terbit, kesulitan buat anak bawang seperti saya ialah memahami cara pikir di tiga bab pertama. Di situ kita langsung disuguhi paparan yang dimulai dengan kategori-kategori abstrak semacam komoditas dan tritunggal kudus: nilai, nilai-tukar, nilai-pakai. Dijamin anak bawang seperti saya yang tak sempat membaca der Logik atau minimal mengenyam pendidikan filsafat, akan mengulang-ulang terus tiga bab pertama itu dengan ujung belum tentu sebuah pengertian yang benar. Orang-orang yang sekolahnya untuk mempelajari interaksi antarorang dan menarik semacam pola dari interaksi-interaksi itu untuk menyusun sebuah struktur imajiner relasi-relasi ke dalam bagan, jelas sekali alur paparan Das Kapital yang abstraknya tingkat dewa itu tak terjangkau. Apalagi kalau orang itu memiliki jiwa rapuh yang sekadar dicubit oleh abstraksi langsung pingsan.
Persoalannya, apa betul Marx tidak berupaya mengubah alur paparan abstrak tingkat dewanya itu sehingga kita bisa katakan dengan yakin bahwa itulah yang Marx ajarkan sampai mati? Kalau kita tengok riwayat Das Kapital setelah jilid pertamanya terbit, ada beberapa saat yang di situ Marx mulai meragukan keniscayaan Hegelian di tulang belakang pemikirannya. Pertama, 1868, Marx membaca dengan penuh semangat karya sejarawan klasik Georg von Maurer. Tanpa sepengatahuan para pembaca Das Kapital jilid pertama kala itu, Marx diam-diam merombak (bahkan mendelet) beberapa gagasannya di buku itu. Maurer meruntuhkan kepercayaan diri Marx dalam hal pengetahuannya tentang cara-cara produksi prakapitalis. Salah satu yang dideletnya ialah konsep ‘cara produksi Jermanik’ yang didasarkan pada pengetahuannya tentang komunitas mark di antara suku-suku Jermanik kuno dan tak pernah lagi disebut-sebut di dalam tulisan Marx setelah 1868. Ternyata Marx keliru. Karena merasa dipukul keras-keras oleh Maurer si sejarawan kuno, Marx menunda studi ekonominya dan mulai mempelajari sejarah kuno dan etnologi. Kalau bukan untuk menambahkan pengertian ekonomi-politiknya, minimal supaya dia punya bekal pengetahuan yang bagus dan tidak salah paham. Meski penerbit dan Engels sesekali menagih naskah Das Kapital lanjutannya, Marx tak peduli. Mungkin dia pikir, daripada salah tulis, mending ditunda saja penulisannya.
Kedua, dan ini boleh dibilang paling menyakitkan buat Lenin dan Hegel fan club-nya dan agak melegakan buat mereka yang tak pernah membaca bahkan sampul Wissenschaft der Logik kalau seumpama mereka tahu, ialah kesetujuan Marx pada kritik yang ditulis dosen ekonomi di sebuah universitas di Ukraina dalam disertasinya. Penulisnya ialah Nikolai Sieber. Disertasi itu ditulis sebelum terjemahan Rusia dari Das Kapital diterbitkan. Lenin juga masih orok kala itu. Judul disertasinya ialah Teori David Ricardo ihwal Nilai dan Kapital dalam Kaitan dengan Sumbangsih dan Penafsiran Paling Mutakhir. Di antara penafsiran paling mutakhir tersebut ialah pemikirannya Marx yang utama dipaparkan. Di bagian Marx, Sieber mengkritik kepelikan argumentasinya. Supaya pemikiran Marx, terutama di tiga bab pertamanya, bisa dipahami lebih mudah, katanya, mestilah lampiran untuk bab satu dimasukkan ke dalam teks karena di situlah tampilan paling pokok doktrin nilainya Marx terjelaskan dengan paling sederhana. Tanpa diketahui oleh Lenin, Marx menyetujui saran Sieber dan di cetakan kedua Das Kapital tahun 1872 memasukkan lampiran untuk bab satu ke dalam teks sambil mengubah pilihan katanya. Di pengantar untuk cetakan kedua itu, Marx menyebut Sieber dengan kekaguman.
Tak cuma buku yang berasal dari disertasi, Sieber menulis artikel-artikel tentang teori ekonomi Marx dibanyak jurnal. Di wilayah kekaisaran Rusia, boleh dibilang dialah satu-satunya yang menjadi pembela doktrin ekonomi Das Kapital dari serangan-serangan ekonom borjuis, bahkan sebelum Lenin masuk TK dan sebelum Georgi Plekhanov ceramah kepada aktivis muda di pengasingan soal dialektika sebagai ruh Marxisme. Tapi apa lacur, di dalam sejarah Marxisme Rusia yang dibikin pengikut-pengikut Lenin, Sieber tak pernah disebut-sebut. Meski kemudian berbeda jalan, Lenin lebih suka menyematkan gelar ‘bapak Marxisme Rusia’ kepada Plekhanov daripada Sieber. Alasannya mungkin karena Sieber mengkritik dialektika dan alur pikir dialektis sebagai Monyet Hegelian di pundak ekonomi-politiknya Marx. Karena cuma monyet, didepak pun tak apa. Malah lebih bagus kalau monyet akrobat itu disingkirkan karena dengan begitu pemikiran Marx bisa lebih bisa keluar dari lembah nista metafisika.
Tentu banyak faktor yang memengaruhi Marx mendepak sebanyak mungkin perbendaharaan kata Hegelian di dalam Das Kapital dalam edisi terjemahan Perancis yang terbit pada 1872. Tapi jelas salah satunya ialah tulisan-tulisan Sieber. Alih-alih menyerahkan penyuntingan edisi terjemahan kepada orang lain, Marx melakukannya sendiri. Dan seperti para ahli bilang, edisi Perancis adalah edisi paling tidak Hegelian dari terjemahan Das Kapital jilid pertama. Meski tidak bisa mengubah keseluruhan alur paparan dan argumentasinya di dalam Das Kapital, Marx jelas berupaya untuk tidak lagi menjadi Hegelian yang kaffah. Setidaknya tidak ingin menampilkan diri seolah-olah dia itu kembaran atau alter-egonya Hegel, meski kembaran materialisnya.
Tak bisa disangkal Hegel punya pengaruh dalam membentuk pemikiran Karl Marx. Kebanyakan riwayat tentang Marxisme sampai saat ini pun disusun di atas pandangan bahwa sampai mati Marx itu seorang Hegelian dan karenanya untuk memahami pemikirannya dipersyaratkan memahami dahulu pemikiran Hegel. Pandangan macam ini datangnya tak cuma dari perawi-perawi ‘Timur’ seperti Plekhanov, Lenin, Stalin, dan Mao, tapi juga mereka dari ‘tradisi Marxisme Barat’ seperti Georg Lukacs, Karl Korsch, dan kawan-kawan.
Memang betul dan tak perlu disangkal bahwa Hegel memengaruhi pemikiran Marx di kala muda. Tapi anggapan bahwa Hegel memengaruhinya hingga akhir hayat, bahkan menjadi tulang punggung apa yang kemudian disistematisasi sebagai Marxisme, tampaknya patut diragukan kesahihannya. Setidaknya sekarang makin banyak orang yang meragukan anggapan tersebut. Sejak tiga dasawarsa lalu, setelah Uni Soviet, minat orang mempertanyakan kesahihan tafsir atas pemikiran Marx yang diproduksi selama keberadaan Uni Soviet, entah tafsir dari ‘Timur’ maupun dari ‘Barat’, makin menguat manakala ratusan ribu lembar naskah-naskah tulisan dan surat-surat Marx yang tak pernah diterbitkan sebelumnya ditemukan. Termasuk ke dalam kategori ini antara lain naskah-naskah asli tulisan tangan yang disiapkan Marx untuk menjadi jilid-jilid lanjutan Das Kapital setelah jilid pertamanya terbit pada 1867. Naskah-naskah ini ternyata berbeda dengan kandungan dan susunan jilid kedua dan ketiga Das Kapital yang disunting dan dipersiapkan penerbitannya oleh Engels pasca wafatnya Marx. Ada juga tulisan-tulisan lain yang Marx buat terkait dengan riwayat penerbitan ulang jilid pertama serta penerbitan terjemahan Perancisnya pada dasawarsa 1870an, entah itu surat-surat maupun coretan-coretan hasil kajiannya terhadap karya-karya mutakhir untuk menambah, mengurangi, atau mengubah susunan paparan jilid pertama. Ditambah dengan catatan-catatan belajarnya Marx dari tiga tahun terakhir kehidupannya yang mencakup nyaris semua bidang ilmu yang sedang berkembang kala itu, semua tulisan Marx ini tak pernah dibaca oleh para perawi ‘otoritatif’, entah dari Timur maupun dari Barat, yang selama ini menjadi rujukan. Kalau perawi itu tak membaca keseluruhan evolusi pemikiran Marx karena mereka tak pernah tahu keberadaan naskah-naskah tulisan tangan Marx, mengapa kita harus tetap percaya rupa pemikiran Marx sebagaimana dilukiskan oleh mereka yang hanya membaca sebagian saja dari tulisan yang terhadapnya Marx sendiri bisa jadi tidak begitu sepakat dan berupaya mengubahnya?
Persoalannya, rupa Marx yang biasanya dilukiskan tidak menyatakan hal itu. Salah satu alasannya ialah karena, seperti ekonomi-politik Klasik, Marxisme bukan cuma ilmu, tapi juga ideologi. Dan ideologi, entah itu di antara orang Nyinba, di antara anggota partai yang petinggi laki-lakinya punya banyak istri, maupun di antara kaum sosialis-Marxis, mensyaratkan apa yang disebut Althusser sebagai ‘subjeksi’. Di dalam proses subjeksi ini rupa Marx dibikin menjadi totem yang mereprentasi Subjek (dengan S kapital) yang menjadi tiang pancang beredarnya ‘subjek-subjek’ di dunia Marxisme. Marx dibuat seperti berhala. Sebagai berhala gambarannya haruslah linier dan kokoh alurnya seperti kisah para nabi supaya subjek-subjek ideologi tidak ragu bertindak dan mencar kesana kemari dalam kegamangan akan masa depan yang ditopang masa silam.***
Bagian pertama artikel ini bisa dibaca di sini.