MODUS kapitalisme-imperialis yang beroperasi di Indonesia pasca-reformasi telah menciptakan perubahan dalam hal hubungan ketergantungan terhadap alam dan ketidakstabilan mata-pencaharian, khususnya di Luar Jawa. Kita dapat mempelajari narasi “orang-orang trans” (transmigran yang umumnya berasal dari Jawa dan Bali) yang mencari tanah terjanji di Luar Jawa akibat tanah telah menjadi property di Jawa dan Bali. Lalu mereka mengikuti program transmigrasi di bawah managemen pemerintah, maupun pergi mencari tanah atas biaya sendiri (transmigran mandiri). Pemerintah menyediakan tanah terjanji di sebagian Sumatra (terutama Lampung, Sumatera Selatan dan Sumatera Timur), sebagian Kalimantan (terutama Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah), dan Sulawesi (terutama Sulawesi Tengah). Namun sebagian besar tanah terjanji itu adalah hutan dalam kondisi mengalami degradasi akibat eksploitasi perusahaan penjarah kayu. Hingga orang-orang trans itu seperti dimobilisasi untuk mengolah tanah yang mengalami degradasi dengan mencetaknya menjadi lahan pertanian.
Namun dalam waktu lima tahun terakhir ini, narasi “orang-orang trans” hampir di semua lokasi transmigrasi di Luar Jawa dan Bali mengalami pola cerita yang serupa: terusir dari tanah terjanji oleh modus imperialisme ekstraktif, lantas menjadi buruh serabutan atau pedagang ritel dalam skala kecil. Kondisi kehidupan mereka yang beberapa diantaranya baru dapat menikmati hasil keringat di tanah terjanji kini berada dalam tapal batas transisi. Transisi sebagai petani mandiri menjadi tenaga kerja upahan dan transisi dalam relasinya dengan alam menjadi dengan majikan. Orang-orang trans merupakan contoh tentang komunitas yang dipersiapkan sebagai tenaga buruh cadangan (reserved army of labour) bagi industri ekstraktif –terutama perkebunan sawit– meski tidak dalam sebuah rancangan yang baku dan sistematis.
Pertanyaan sekarang: bagaimana moda reproduksi sosial orang-orang trans ketika terusir sebagai petani di tanah terjanji dan berada dalam kondisi transisi (menjadi buruh) itu? Tentu saja kita memerlukan studi-studi tentang krisis rakyat pekerja yang tidak hanya memusatkan pada dimensi produksi, melainkan juga dimensi reproduksi. Kita seharusnya menggunakan dua dimensi produksi dan reproduksi untuk menganalisis kondisi rakyat pekerja dalam struktur basis yang berbeda-beda sejarah perkembangan masyarakatnya. Moda reproduksi sosial merupakan konsep yang operasional untuk mengukur tingkat kerentanan rakyat pekerja dalam melangsungkan kualitas hidup sosialnya. Bagi masyarakat trans yang berada dalam tapal batas transisi, kondisi moda reproduksinya pun mengalam ketidakstabilan. Dalam masyarakat selama ini, perempuan diposisikan sebagai kekuatan moda reproduksi sosial yang mengoperasikan sarana reproduksi (alat-alat rumah tangga yang manual maupun teknologi, sarana komunitas untuk upacara atau keguyuban sosial, dan alat reproduksi biologisnya). Dalam kapasitasnya itu, perempuan berelasi dengan tetangga mengurus gotong royong, membantu tetangga hajatan, dan berhubungan dengan “kekuasaan” (material dan spirituil) dalam masyarakat melalui persembahana makanan (yang disebut sesaji)
Untuk mengamati bagaimana kondisi moda reproduksi sosial orang-orang trans yang sedang mengalami transisi, berikut ini akan ditampilkan Kisah Midah dari keluarga transmigran yang juga bermigrasi untuk mencari tanah terjanji.
***
Midah –anak perempuan keluarga trans dari Jawa Tengah. Midah lahir di kawasan hutan di Sumatera Selatan, kemudian menikah dengan anak orang trans pula. Setelah itu keduanya bermigrasi mencari tanah di Sulawesi Tengah, membuka hutan dan mengubahnya menjadi ladang pertanian. Puluhan tahun mereka hidup tanpa infrastruktur seperti listrik, jalan beraspal dan status adminsitratif wilayah. Selama ini Midah membuka lahan bersama suaminya dan kemudian menanaminya dengan palawija dan padi sembari meramu (food gathering) bahan-bahan pangan yang ada di hutan sekitarnya. Semua itu, tentu saja, yang pertama dan utama adalah untuk makan, beranak pinak dan bermukim. Ketika panen-panen mereka mulai menghasilkan nilai ekonomis yang signifikan, Midah mulai berbelanja untuk perabotan rumah tangga: kursi, kasur tidur dan alat-alat dapur. Tentu saja Midah membeli pakaian untuk dirinya, anak dan suaminya.
Dia hamil dan melahirkan anak sampai 7 orang, namun yang dua anak gagal berkembang sebagai janin pada saat umur kandungannya sekitar 4 bulan. Ia menggunakan jasa dukun –orang trans juga—untuk menolong persalinan. Midah baru berhenti hamil ketika mendapat anak perempuan, dan sangat berkeinginan mempunyai anak perempuan, karena katanya: ”Anak perempuan bisa membantu saya, dan mengurus kami kalau sudah tua”. Midah menceritakan ketika anak perempuannya remaja, dia bisa meminta anaknya itu untuk memijit dan mengerok (kerokan) bagian tubuhnya yang dirasa “masuk angin”. Sementara kepada anak laki-laki ia berharap dapat melanjutkan pekerjaan ayahnya untuk mengolah lahan pertaniannya.
Selama 7 tahun membuka lahan dan menanaminya –yang disebut Midah masa prihatin—ia mecari umbi-umbian dan dedaunan untuk menu makan sehari-harinya. Seringkali ia dan suaminya memancing ikan di sungai yang tak jauh dari rumahnya, bahkan berburu burung atau binatang hutan lainnya. Ia menganyam tikar dengan bahan dari pohon pandan yang tumbuh di hutan untuk alas tidur dan alas duduk. Perlahan-lahan ia mulai beternak ayam dan kemudian kambing. Lalu suaminya membuat sumur yang lebih baik di belakang rumah, sumur itu bening airnya. Pada tahun ke 10 keluarga Midah bermukim di situ, jagung, palawija dan padi berbuah sangat baik. Bahkan Midah dan suaminya mulai menanam kakao, setelah melihat kakao tetangga tumbuh bagus dan katanya harganya menjanjikan. Panenan itu dijual dan menghasilkan uang. Kesibukan Midah dan suaminya di ladang penghasil uang, menyebabkan ia tak sempat lagi menanam cabe atau sayuran di pekarangan rumahnya seperti sebelumnya. Kini ada penjual sayur yang berkeliling ke kampungnya dan Midah memilih berbelanja pangan –yang ia pandang lebih praktis—ketimbang menanam atau meramu di hutan. Lagipula hutan makin jauh dari pemukimannya, dan kurang menghasilkan bahan pangan yang dibutuhkannya. Selain itu Midah mulai berbelanja barang-barang seperti kursi, kasur busa, kosmetik, pakaian ke pasar kecamatan yang berjarak 20 kilometer dari pemukimannya.
Jumlah tetangga yang tadinya 5 keluarga kini bertambah 10 keluarga. Sedangkan dalam jarak 3 kilometer dari rumahnya juga mulai berkembang pemukiman trans lainnya. Pada tahun ke 14, wilayah pemukimanya itu mendapat status administrasi wilayah, yaitu dusun. Lalu listrik masuk ke dusun Midah pada tahun ke 15. Pada saat yang sama orang-orang trans membangun jalan selebar 5 meter sebagai jalur penghubung dusun Midah ke jalan desa. Lalu Midah mulai membeli sepeda motor agar memudahkan mobilitas ke lahan pertanian, berelasi dengan tetangga, maupun ke pasar kecamatan. Pada saat panen jagung sangat baik, Midah mengambil kredit sepeda motor lagi. Dengan memiliki dua sepeda motor, ia dan suaminya dapat melakukan banyak aktivitas tanpa saling menunggu. Midah dapat dengan leluasa mengurus aktivitasnya sebagai perempuan dengan tetangga-tetangganya yang perempuan pula. Ia dan tetangganya mempunyai perkumpulan pengajian dan mengumpulkan jimpitan hasil panen (jimpitan adalah bentuk kolekte ala petani, dimana mereka mengumpulkan beras atau jagung setiap panen untuk disimpan pada sebuah tempat dan dipergunakan untuk slametan komunitas atau acara hajatan sosial dalam komunitas tersebut).
Pada tahun ke 14 tinggal dalam pemukiman trans itu Midah meninggalkan tungku dan kayu bakar untuk memasak. Sebelumnya mencari kayu bakar di hutan merupakan salah satu aktivitas rutinnya. Dari tungku ia beralih ke kompor minyak. Ada warung yang menjual minyak. Namun demikian harga minyak menjadi mahal, lalu ia pindah ke kompor Elpiji 3 kg. Menurutnya kompor gas lebih efisien dalam hal waktu dan tenaga untuk memasak, apalagi saat sudah ada warung penjual Elpiji kira-kira 5 kilometer dari rumahnya. Biasanya ia membeli Elpiji sendiri ke warung tersebut.
Pada tahun ke 16, Midah dan tetangga-tetangganya dikejutkan oleh aktivitas dari orang-orang tak dia kenal. Mereka membuat pagar batas dan memasang papan nama sebuah perusahaan perkebunan sawit. Yang mengagetkan, pagar batas itu dibangun di atas ladang pertaniannya dan bahkan pekarangannya. Midah dan tetangga-tetangganya memprotes orang-orang yang memasang pagar batas itu. Orang-orang itu menjawab dengan lugas bahwa tanah ini milik sebuah perusahaan perkebunan sawit. Tak hanya Midah, ada sekitar ratusan hektar tanah telah dikapling oleh perkebunan sawit tersebut tanpa ada pembicaraan dengan warga. Kepala desa pun tak mendapat informasi dari perusahaan tersebut. Kepala Desa lantas berupaya untuk menemui managemen perusahaan tersebut, namun sampai dua tahun ini tak pernah mendapat tanggapan. Sementara perusahaan sawit itu mulai beroperasi dengan membongkar tanaman padi dan palawija warga trans yang siap dipanen. Warga trans marah, Midah dan para ibu di dusunnya turun tangan untuk menyelamatkan bulir padi dan palawijanya. Mereka berupaya menghentikan mesin-mesin yang mengilas lahan pertaniannya. Perlawanan orang-orang trans itu berbuah seorang pimpinannya ditahan dan dipenjara beberapa bulan. Adanya penahanan itu menyurutkan perlawanan orang-orang trans. Lalu perusahaan menawarkan pola inti-plasma, yaitu model bagi hasil antara petani pemilik tanah dan eprusahaan. Namun pola bagi hasil itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Setelah perusahaan sawit itu beroperasi, Midah mulai merasakan keberlangsungan hidupnya terganggu. Ia kehilangan 2 hektar lahan pertanian yang sudah memberikan panenan bagus. Ia kini tinggal memiliki 1 hektar untuk lahan pertanian dan 1/5 hektar untuk kakao. Kini masalah baru timbul, debit air tak mencukupi untuk pengairan lahan pertanian warga trans. Terutama pada puncak kemarau, debit air menipis dan petani pun berebut air untuk mengairi lahannya. Turunnya debit air ini merupakan akibat dari rakusnya pohon sawit terhadap air dan mineral tanah. Masalah debit air menurun drastis itu juga menimpa sumurnya. Selain menjadi keruh, air sumur pun mengering. Maka Midah harus menambah daftar belanjanya, yaitu membeli air isi ulang untuk minum dan memasak. Dalam seminggu ia membutuhkan 3 galon besar air. Selain itu air sungai juga mengering pada saat kemarau, namun menimbulkan banjir saat musim hujan. Pendeknya, sejak kehadiran perkebunan sawit itu, keberlangsungan hidup warga trans terancam kehancuran.
Kini Midah merasa berat beban hidupnya. Di satu pihak lahan pertaniannya menyempit, dan di lain pihak daftar belanjanya yang makin panjang, hingga mengakibatkan keperluan atas uang kontan meningkat. Sementara para suami sibuk untuk membangun organisasi perlawanan, dan kurang mempunyai wajtu untuk mengurus lahan. Desakan uang kontan ini mendorong Midah mencari upah ke dalam perkebunan sawit untuk mencabut rumput atau menyemprotkan pupuk ke pohon-pohon itu. Upah itu tidak mencukupi daftar belanja kebutuhan reproduksinya. Lalu Midah beternak ayam potong, sementara suaminya tetap menggarap lahan pertanian. Pernah lahannya itu menganggur 3 bulan saat puncak kemarau, karena debit air habis. Dengan beternak ayam, waktu Midah sudah habis untuk mengurusnya, yang artinya tak sempat lagi mengurus lahan pertaniannya. Midah lantas bergantung hidup pada ternak ayam potong untuk membiayai semua keperluan rumah tangganya. Apalagi anak-anaknya kini mulai sekolah di SMP dan SMA di kota kecamatan dan mondok di sekitar sekolahnya demi menghemat waktu. Sementara tetangga dusun sebelah yang 90% lahan pertaniannya diambil perkebunan sawit, akhirnya menjadi buruh serabutan.
Pada suatu hari, ayam potong Midah terserang wabah dan satu persatu mati. Midah menjerit histeris. Sementara perjuangan warga trans untuk menuntut tanahnya dari pencaplokan perkebunan sawit mengalami jalan buntu. Kemudian muncul kabar bahwa lahan di dusun tetangga telah dikapling sebuah perusahaan gas alam, penduduk yang tinggal di dalamnya akan direlokasi. Tak tahan lagi hidup dalam kepungan perkebunan sawit, Midah dan suaminya lantas menjual rumah dan lahan pertaniannya. Ia dan keluarganya membeli tanah dan membangun rumah di kota kecamatan, dengan maksud untuk berdagang. Ia membuka kios bensin dan pulsa, sementara suaminya menjadi buruh serabutan.
Belum pernah bagi Midah hidup dalam tegangan stres yang tinggi seperti sekarang ini. Dulu ia dan suaminya, bahkan orang tuanya, bermigrasi untuk mencari tanah agar memperoleh hidup lebih sejahtera. “Hidup kami sengsara namun tidak stres seperti sekarang”, kata Midah. Apa yang membuat Midah stres, yaitu ketidakpastian nafkah hidup sehari-hari, karena ia tidak mempunyai lahan pertanian, sedangkan menjadi pedagang bensin dan buruh serabutan tidak memberikan kecukupan atas kebutuhan uang untuk pemenuhan keberlangsungan hidup keluarganya. Rupanya penghasilan Midah dan suaminya lebih kecil ketimbang pengeluaran untuk reproduksi sosial, hingga membuatnya terjerat pada hutang. Hampir semua pemenuhan biaya reproduksi sosialnya dipenuhi dengan hutang. Ia membuka hutang baru untuk membayar hutang lama. Pun peghasilan yang didapatnya dari berdagang dan memburuh juga habis untuk membayar hutang. Kini Midah telah berhutang pada warung sembako, tukang kredit pakaian, dan dua “bank keliling” (renternir). Ia pun menjadi sering marah pada suaminya yang menurutnya kurang trampil mencari nafkah. Rupanya tak mudah juga bagi suaminya yang trampil menggarap lahan pertanian untuk menyesuaikan diri sebagai tenaga kerja upahan (buruh bangunan, kuli angkut barang).
***
Kisah Midah terusir dari tanah terjanji dan kemudian hidup terikat pada hutang merupakan gejala masyarakat di Luar Jawa dan Bali yang kini menjadi umum. Posisi Midah dalam peralihan petani mandiri menjadi tenaga kerja cadangan (reserved army of labour) yang sewaktu-waktu dimobilisir untuk industri ekstraktif, namun secara temporer. Anak-anak Midah yang makan sekolahan sama sekali tidak mengenal bertani, sedangkan anaknya yang paling besar ingin merantau ke kota besar untuk bekerja sebagai “karyawan perusahaan” (baca: buruh) agar memiliki upah reguler –tak seperti orang tuanya. Sementara relasi sosial Midah dengan tetangganya kurang seakrab saat di pemukiman trans, karena semua berada dalam kesibukan masing-masing.
Kisah Midah menggambarkan bagaimana krisis itu berjalan lambat atau cepat di Luar Jawa –terutama wilayah yang diproyeksikan untuk investasi ekstraktif. Krisis itu menggambarkan tegangan dan kontradiksi di dalam reproduksi sosial dan ekonomi di kalangan rakyat pekerja. Di satu pihak moda reproduksi sosial keluarga Midah didorong ke dalam pembentukan tenaga kerja baru untuk kapitalisme, dan di lain pihak sarana reproduksi sosial dipercanggih dengan alat-alat “modern” yang tak dapat direproduksi oleh rakyat pekerja (ibaratnya sekali pakai, rusak, lalu dibuang) itu sendiri. Mereka dalam posisi teralienasi dari alam, dari apa yang mereka makan dan minum, bahkan dari masa depan anak-anak yang mereka besarkan. Gambaran ini kini menjadi narasi wilayah-wilayah yang dikapling untuk industri ekstraktif, yang mungkin 20 tahun kemudian anak-anak mereka akan terserap ke dalam pekerjaan manufaktur di kota besar atau buruh migran.
Gambaran Midah adalah gambaran krisis sosial yang sampai dewasa ini, kondisi kerentanannya tak terurus oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat!***