Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
PESTA Pilkada DKI Jakarta, telah usai. Pemenangnya sudah ditentukan. Lalu apa yang tersisa? Kegembiraan, pesta, kesedihan, penyesalahan, dan rasa takut. Ini semua campur baur, bukan hanya di DKI Jakarta tapi meluas hingga pelosok tanah air. Jakarta adalah kunci, adalah cermin pertarungan politik nasional.
Di permukaan, Pilkada DKI ini memang memunculkan mobilisasi Politik Identitas (ras dan agama) yang paling brutal dalam sejarah pemilu/pemilukada Indonesia. Kubu Anies-Sandi menjadikan isu ras dan agama sebagai senjata utama dalam mengalahkan kubu Badja. Celakanya, kubu Badja juga menggunakan politik identitas ini, walaupun sumberdayanya kalah jauh. Bagi kubu Badja, isu identitas dijadikan tameng pelindung dari serangan kubu Anies-Sandi, melalui isu “kebhinekaan” dan sesekali melakukan serangan balik yang tidak efektif.
Yang tidak muncul di permukaan adalah bahwa mobilisasi Politik Identitas ini telah menutupi kenyataan sesungguhnya bahwa kedua pasangan ini sama-sama bagian atau perpanjangan tangan dari kelas kapitalis (borjuis). Kandidat Anies-Sandi, misalnya mendapat dukungan kuat dari konglomerat-konglomerat seperti Erwin Aksa, pemilik Bosowa Group, Wapres Jusuf Kalla, Hary Tanoesoedibjo, dan Hashim Djojohadikusumo. Sementara pasangan Badja mendapat dukungan dari pengusaha properti macam Agung Podomoro, Sinarmas, dan Agung Sedayu, serta Surya Paloh pemilik Metro TV. Sehingga itu pertarungan politik di DKI ini sejatinya merupakan pertarungan di kalangan fraksi borjuasi domestik. Dan tidak heran, seperti ditulis Ian Wilson jika kedua pasangan ini tidak peduli dengan ketimpangan ekonomi yang semakin parah di Jakarta. Pertanyaannya, fraksi borjuasi mana yang sedang bertarung ini?
Pasca kediktatoran Orde Baru, kita sering mengatakan bahwa pertarungan politik nasional tidak lebih dari pertarungan di antara fraksi-fraksi borjuasi. Tetapi, bagaimana kita memetakan fraksionalisasi itu, masih samar-samar atau abstrak. Pada Pilpres 2014, dengan kemunculan Jokowi, ada yang mengatakan bahwa ini adalah pertarungan antara borjuasi oligarkis vs borjuasi non-oligarkis. Ada juga yang melihatnya sebagai pertarungan antara borjuasi-nasional (bornas) dan borjuasi komprador.
Untuk Pilkada DKI ini, saya mau meminjam perkubuan di kalangan borjuasi di India. Tentu saja ini bukan perbandingan yang komprehensif, mengingat perbedaan historis perkembangan kapitalisme di kedua negara. Namun terdapat satu perkembangan penting dalam perkubuan di kalangan borjuasi India terkait dengan respon mereka terhadap kian terintegrasinya ekonomi India dengan ekonomi neoliberal global, yang jejaknya bisa ditelusuri pada reformasi ekonomi di era pemerintahan Indira Gandhi (1977-1991), yang kemudian dipertegas di masa kepemimpinan perdana menteri Rajiv Gandhi pada 1984. Pada tahun 1991, India secara resmi menganut kebijakan neoliberal dalam arah pembangunan ekonominya. Tahun 1991, oleh intelektual neoliberal paling terkemuka, Gurcharan Das, diklaim sebagai ‘tahun kemerdekaan India yang kedua – sebuah revolusi ekonomi – yang lebih penting ketimbang revolusi politik yang digagas oleh Jawaharlal Nehru pada 1947 (Meera Nanda, 2011).
Nah, di dalam konteks kapitalisme-neoliberal ini, di saat bersamaan berkembang gerakan fundamentalisme di kalangan umat Hindu, yang disebut Hindutva. Dengan klaim superioritasnya, gerakan Hindutva ini mempromosikan agama Hindu yang merupakan agama mayoritas rakyat India, menjadi sebuah identitas nasional, sebuah etos, sebuah cara hidup sehari-hari sekaligus mengeksklusi agama dan keyakinan minoritas. Ekonom kondang Prabhat Patnaik menyebut gerakan Hindutva ini sebagai gerakan fasis. Pada titik ini, borjuasi India terbelah ke dalam dua kubu: Hindutva Neoliberal dan Non-Hindutva Neoliberal. Kedua kubu ini sama-sama mendapatkan dukungan dari borjuasi besar maupun kecil, dan sama-sama mempromosikan dan menerapkan kebijakan neoliberal. Bedanya, Hindutva Neoliberal menggunakan agama Hindu sebagai medium untuk memperlancar penerapan kebijakan-kebijakan neoliberal, terutama di masa kekuasaan Bharatiya Janata Party (BJP), yang dianggap menyuarakan kepentingan umat Hindu. Sementara Non-Hindutva neoliberal mengadvokasi pluralisme, kebebasan individu, pemerintahan yang kecil (small government) dan pemisahan yang tegas antara agama dan negara untuk memuluskan agenda-agenda neoliberalnya.
Dari sini kita lihat bahwa dari sudut Politik Kelas keduanya membagi keyakinan yang sama, bahwa kapitalisme neoliberal merupakan jalan terbaik menuju kemakmuran bersama. Mereka juga membagi ketakutan bersama akan munculnya perjuangan berbasis kelas dalam melawan sistem ini. Namun dalam soal Politik Identitas keduanya sewaktu-waktu bisa berseberangan secara diametral guna memenangkan pertarungan politik kekuasaan, atau berebut pengaruh di kalangan elite politik dan bisnis.
Inilah yang kita saksikan dalam momen pilkada lalu. Kubu Anies-Sandi, dengan sangat telanjang berkoalisi dengan kalangan Islam Politik/Islamis untuk mengalahkan kubu Badja. Mereka memainkan isu Islam, bukan hanya sebagai agama mayoritas, tetapi juga sebagai identitas, sebuah etos, dan sebuah cara hidup. Dan untuk kepentingan ini, mereka memanfaatkan dengan sangat maksimal masjid-masjid dan langgar-langgar sebagai medium untuk kampanye dan aktivitas politiknya.
Di India, ketika BJP menang pemilu mereka kemudian menggunakan apa yang disebut Nanda sebagai “state-corporat-temple complex” dalam rangka menerapkan kebijakan neoliberalnya. Artinya, kebijakan neoliberal itu bukan hanya dijalankan oleh negara, melainkan melalui persekutuan antara negara, korporasi, dan kuil-kuil Hindu, sehingga kebijakan itu diterima bukan hanya karena terpaksa melainkan juga berdasarkan iman kehinduannya. Kita masih akan melihat apakah Anies-Sandi akan menggunakan “state-corporate-mosque complex” ketika mereka kelak menjalankan kekuasaannya di Jakarta.
Sementara Kubu Badja, sebagai tandingannya, kemudian mempromosikan isu “kebhinekaan” yang berakar pada paham pluralisme, kebebasan individu, pemerintahan yang kecil, dan pemisahan antara agama dan negara. Bagi kelompok ini, dukungan terhadap Ahok hanyalah sebuah taktik dari strategi besarnya dalam melawan apa yang dengan salah kaprahnya mereka sebut sebagai “Islam radikal.”
Mengkristalnya pertentangan Politik Identitas ini, dan sangat lemahnya kekuatan kelompok yang mendasarkan dirinya pada Politik Kelas, menyebabkan sebagian kelompok dan individu yang mengklaim dirinya demokrat atau progresif terseret dalam dukung mendukung kedua kubu tersebut. Mereka-mereka ini terseret ke dalam arus pertarungan politik dan perebutan pengaruh di kalangan borjuasi dan elit politik. Bagi mereka, Politik Identitas adalah esensi atau fondasi bagi kebaikan maupun keburukan hidup bersama.
Pilkada DKI memang telah usai. Namun banyak yang berpendapat bahwa pilkada Jakarta merupakan representasi dari pertarungan politik nasional, menjelang hingga pilpres 2019. Jika pendapat ini kita terima, maka kita masih akan menyaksikan pertentangan kedua kubu ini dalam intensitas yang lebih luas dan bisa jadi lebih brutal.
Kita tentu tidak ingin melibatkan diri dalam pertarungan Politik Identitas ini. Tetapi, kita juga tidak bisa berdiam diri menyaksikan pertarungan itu dalam kosakata mistik: Golput. Kita harus segera melakukan sesuatu sejak dari sekarang: Membangun kekuatan politik berbasis Politik Kelas yang independen dan radikal. Pertemuan-pertemuan bersama, diskusi-diskusi bersama, pendidikan-pendidikan bersama, penerbitan-penerbitan bersama, dan aksi-aksi bersama sudah saatnya diagendakan. Dan seperti pengalaman lalu-lalu, ini bukan perkara mudah, tetapi inilah satu-satunya cara kita melawan agresi dan hegemoni Politik Identitas yang dipromosikan dan dipraktikkan oleh fraksi-fraksi borjuasi nasional saat ini. Kecuali kita ingin mati merana karena menyaksikan kegilaan ini.***