Sebuah Catatan Perjalanan
RONA merah langit memudar digantikan oleh biru gelap, malam sudah diujung hidung, seorang pria nampak merapal mantera, tubuhnya diselimuti oleh kain tenun mollo dengan corak khusus berwarna coklat dan kuning gelap, pria kurus ini terus berbicara sambil bergumam nyaris tanpa jeda.
Semua orang disekelilingnya yang duduk dan sebagian lagi berdiri melingkar nampak hening, riak liar lilin yang dipukul oleh hawa dingin sumber cahaya satu-satunya memantul disebagian wajah mereka, sambil kupicingkan mata mengamati mereka satu persatu, mereka nampak sedang khusyuk, mencoba mengikuti prosesi ritual ini dengan khidmat. “Ini upacara ritual tutur adat,” ujar Yanto Babo, seseorang disebelah mencoba menjelaskan dengan setengah berbisik.
Dalam tuturnya, pria kurus tadi menyebut-nyebut roh leluhur dan nenek moyang, tangannya menuangkan sopi, minuman tradisional di NTT, dan meminta peserta ikut meneguknya dengan gelas kecil, bergiliran.
Puncaknya seekor ayam disembelih menyusul beras yang telah ditabur pada sebuah lingkaran berisi batu-batu terhimpun seukuran genggaman orang dewasa yang ditengahnya berdiri sebuah ranting pohon. Lingkaran tersebut menjadi titik sentral kami berkumpul, darahnya dibiarkan mengalir menetes beberapa saat. “Nanti apa doa kita akan terjawab setelah ayam tersebut dibersihkan isi perutnya, leluhur akan menyampaikannya, semoga acara kita direstui esok” ujar Yanto Babo seorang pria asal Soe ini. Yanto Babo kukenal hari ini saat berangkat bersama dari markas OAT (Organisasi Ataimamus) di Soe, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Aku dan Yanto Babo adalah rombongan kesekian setelah, beberapa rombongan lain telah tiba sejak sehari sebelumnya. Begitu juga rombongan berikutnya. kami semua adalah rombongan dari berbagai wilayah menuju pegunungan Fatu Nausus, Mollo Utara.
Tiap tahun atau tiap restu semesta dan leluhur tiba, orang-orang merayakan festival ningkam haumeni, festival ini juga penanda ingatan, bahwa mereka pernah mengalahkan tambang marmer yang, puncaknya 2007 tambang berhenti karena aksi ratusan perempuan menduduki lokasi tambang, lalu menenun sebagai symbol perlawanan. Tahun ini ada acara tambahan yaitu menggelar upacara pemulihan di situs-situs penting Nausus yang sempat dirusak oleh korporasi tambang, upacara ini juga bagian dari peluncuran Mama Aleta Foundation , sebuah inisiatif lanjutan dari perjuangan pemulihan alam.
Banyak orang diundang dalam agenda tahun ini, mereka bahkan mengundang pemanjat dinding dari Universitas Indonesia, anak – anak muda tersebut diperkenankan memanjat gunung-gunung batu sebagai bagian dari kampanye pentingnya gunung batu bagi masyarakat adat Mollo, gunung untuk dipanjat bukan untuk ditambang.
Mengingat uma’ bubu, Menziarahi Arsitektur Perlawanan
Mengunjungi Nausus berarti menziarahi arsitektur perlawanan. Tiga hari acara kami digelar dan mempergunakan dengan optimal eks-camp, bangunan beton persegi berjejer empat ruangan ini dulunya adalah camp tempat tidur dan rehat para pekerja tambang marmer namun setelah tambang kalah dan pergi diusir warga, fungsi bangunan ini kembali ke sediakala, menjadi bagian dari arsitektural perjuangan, tempat menampung rombongan dari Tiga Batu Tungku tiap festival tiba, menjadi dapur umum untuk menanak nasi, merebus singkong, memasak babi bahkan menjadi etalase tenun perempuan Mollo.
Halamannya yang dipenuhi rerumputan liar menjadi arena lomba tradisi, pertunjukan tari-tarian perang oleh bapak-bapak, tempat mamak – mamak menabuh gong, menenun, aduh kekuatan melalui lomba tarik tambang hingga menjadi tempat membuang ludah saat mamak menginang.
Tak jauh dari situ, belasan lopo berjejeran, versi rumah bulat yang agak lebih besar dari Uma’ Bubu. Rupanya, ada dua macam, Lopo yang tanpa dinding dan lebih terbuka dan lopo yang tertutup dengan dinding kayu lengkap dengan pintu mungilnya,
Lopo-lopo ini berdampingan dengan pemandangan yang mencolok mata, gunung – gunung batu, tiga gunung batu yang disimbolkan dengan tiga batu tungku. amanuban, ammanatun dan mollo. Lopo dibangun untuk ‘penanda arsitektural’ pengambil-alihan kembali kawasan yang pernah direbut korporasi tambang marmer.
Lopo dan uma’ bubu adalah pendamping dari gunung-gunung batu. jika uma’bubu adalah rumah bulat dengan versi utuh terbuat dari rumput alang-alang, lopo menambahnya dengan dinding barisan kayu dan empat tiang pancang didalamnya. Ukurannya juga agak lebih besar. Dinding rumah bulat ini melingkar dengan garis tengah antara tiga sampai lima meter. Atapnya yang berbentuk seperti kepala jamur merang terbuat dari rumput alang-alang. Ujung alang-alangnya hampir menyentuh permukaan tanah. Dindingnya terbuat dari potongan-potongan kayu dan bambu. Pintunya setengah lonjong dengan ketinggian kurang satu meter. Untuk masuk orang dewasa harus membungkukkan badan terlebih dahulu. Membangun rumah bulat tidaklah sukar. Biayanya bisa dijangkau oleh masyarakat, karena semua bahan dasarnya tersedia di hutan dan kebun.
Dalam membuat lopo, proses pengerjaan alang-alang atau rumputnya dibagi perorang dan dikerjakan bergotong royong, minimal membutuhkan 2 – 30 orang keluarga dan tetangga, para ibu dan perempuan memasak. “Jika membangun uma’ bubu, membutuhkan banyak masak daging sapi, seperti sebuah pesta namun dengan banyak doa,” ujar Petrus Almeit.
“Rumah adat prinsipnya menggunakan apa yang ada dan yang telah kita miliki dsekitar kita, untuk menyatukan pake tali dari kayu hutan, pake alang-alang untuk atap,” lanjut pria setengah baya yang akrab dipanggil Peu ini.
Adiknya, Yusak Banu yang turut dalam perbincangan mengatakan rumah persegi hanya rumah yang dipergunakan saat menerima tamu. “Jika pak datang kami terima dirumah persegi, namun untuk kehidupan, kita pak gunakan uma’ bubu,” jelasnya.
“uma’ bubu, melambangkan bonet, sebuah lingkaran, seperti namanya rumah bulat bagaikan orang berpegangan tangan atau kesatuan sebuah marga,” Peu menjelaskan sembari menunjuk corak khas tenun mollo pada kain tenun yang ia pakai ditubuhnya. “corak – corak tersebut juga terlihat di tenun ini,” ujarnya lagi sambil setengah nungging menunjuk corak kain tenun yang menutupi pangkal pinggangnya.
“Jagung dan makanan disimpan di uma’ bubu, menurunkan marga juga dilakukan di uma’ bubu, mamak – mamak melahirkan juga di uma’ bubu, seluruh lingkaran kehidupan kami ada di uma’ bubu. uma’ bubu adalah martabat dan adat kami orang timor, di uma’ bubu bukan dirumah persegi,” tutup Petrus Almeit memungkaskan perbincangan.
Bahkan uma’ bubu juga berfungsi bak rumah bersalin, Yusak dan Peu menceritakan bagaimana mamak – mamak saat melahirkan dirawat di uma’ bubu, kompres dilakukan dengan meletakkan mamak di atas tempat tidur yang kolongnya diletakkan air panas seperti dipanggang. Menurut mereka, cara tradisional ini melenyapkan penyakit, menghilangkan darah kotor dan menguatkan mamak dan jabang bayi mereka. kehebatan lain dari uma’ bubu adalah berkali-lipat lebih hangat dari rumah persegi atau rumah semen,
uma’ bubu adalah produk jenius orang-orang Timor. Rumah bulat ini jauh berkali lipat dapat meredam hawa dingin ketimbang rumah semen yang dipromosikan oleh pemerintah. Orang Timor tahu betul bahwa alang-alanglah material tercanggih untuk menghadapi iklim disana. Namun bagi pemerintah uma’ bubu adalah penanda kemiskinan dan ketertinggalan sehingga mereka mencoba memberantasnya.
Kredit foto: Merah Johansyah Ismail
Semen, sang anak kandung arsitektural kapitalis
Marginalisasi kelas dalam studi arsitektur dan kapitalisme, diungkap Peggy Deamer dengan banyak debat menarik yang mengikutinya. Urbanisasi dan penciptaan pabrik – pabrik di beberapa kawasan pinggiran kota kapitalis menunjukkan bagaimana tata ruang dan arsitektural kapital menjadi pembentuk kelas borjuasi berdasarkan ruang dan arsitektural .
Bukan cuma yang diungkap Deamer, salah satu ciri yang juga luput dinukil adalah unifomity of materials atau penyeragaman bahan utama, tata ruang dan arsitektural kapitalis telah mepatenkan suatu standar dan gaya hidup baru bernama hidup dengan beton yang tak terpisahkan dengan cerita tentang ekspansi industri semen.
Kini, tak banyak lagi orang membangun uma’ bubu, produk semen untuk membangun rumah merangsek masuk, mencoba menggantikan rumput alang-alang. Selain itu, menurut Yanto Babo, penggunaan racun kimia round-up oleh pekebun dan petani ikut menyumbang berkurangnya rumput alang-alang, bahan utama rumah bulat. Disisi lain membangun rumah semen jauh lebih efisien, kalau mau membangun uma’ bubu, harus menjalani sejumlah ritual dan dilakukan dengan mengundang tetangga dan orang lain dalam membangunnya. ia adalah rumah hasil kerjasama, sang pemilik rumah adalah pemiliki hajat, ia harus menyediakan makan buat tenaga para warga yang bekerjasama membangun rumah uma’ bubu, ceritanya.
Beton adalah simbol penetrasi modernisasi, dalam era booming ekonomi, semen secara harfiah adalah lem kemajuan. Agen yang mengikat yang merekatkan bahan-bahan lain seolah konkret menjadi beton, semen merupakan komponen penting mendirikan gedung menjulang dan perakitan jalan-jalan raksasa.
Akumulasi kapital yang sudah tak mungkin dicapai lagi oleh eropa dan bergesernya bandul booming ekonomi ke negara berkembang di Asia Tenggara menyebabkan 80 persen semen dibuat dan digunakan. semuanya guna menopang pertumbuhan ekonomi yang berarti ‘peng-kota-an’, mega city dan mega infrastruktur.
Itulah sepenggal kalimat pembuka dalam sebuah artikel New York Times, Oktober 2007, saat itu debat tentang isu perubahan iklim sedang ramai, industri semen berada di pusat pusaran debat tersebut .
Peng-kota-an dan mega infrastruktur negara-negara berkembang telah menyebabkan peningkatan laju penambangan bahan baku utama, yaitu penambangan batu gamping dan penambangan pasir. begitu juga penetrasi pada indonesia, di Nusa Tenggara Timur (NTT), salah satunya.
Rencana penambangan dan pembangunan sejumlah pabrik semen mengalahkan hawa dingin pegunungan Mollo, di awal bulan April ini.
Tak ada tempat bagi arsitektur lokal
Di Pati, Jawa Tengah, sesungguhnya masyarakat Samin juga melakukan perlawanan dengan membangun Omah Kendeng, sebuah rumah dengan arsitektur tradisional berdiri tanpa menggunakan semen persis serupa dengan ideologi uma’ bubu atau rumah bulat di Timor Tengah Selatan.
Sudah tiga tahun belakangan ini rencana beroperasinya Semen Indonesia yang menggaet Semen Kupang menyeruak, konon investasi BUMN ini mencapai 2 triliun rupiah. Pihak perusahaan mengatakan pangsa pasar semen ini bukan hanya dalam negeri, namun juga akan menyasar pasar semen di Timor Leste dan Australia, dua Negara tetangga terdekatnya.
Sejak 2012 memang Semen Indonesia bukan lagi korporasi biasa, namun sudah bertransformasi menjadi korporasi multinasional, sebagai perusahaan multinasional ber-plat merah maka belakangan karena perseteruan melalui penolakan warga sepanjang Pegunungan Kendeng Utara membuat perusahaan ini sampai merekrut orang eks militer dalam komposisi baru komisarisnya, salah satunya Jendral Sutiyoso, mantan Panglima Kodam Jaya. Bukan cuma itu, Sutiyoso juga adalah representasi kuasa intelejen. “Sebagai prajurit berketerampilan intelejen, saya sudah lama berpengalaman di divisi intelejen saat di kopassus” ujarnya dalam sebuah wawancara media saat dipromosikan menjadi kepala BIN oleh Presiden Jokowi .
Arsitektur lokal makin terhimpit oleh arsitektur kapitalis, sirkuitnya nampak terang, kebudayaan kapitalis baru menghimpit kebudayaan rakyat. Jika di Mollo pernah punya sejarah memenangkan perlawanan melawan tambang marmer karena restu gunung – gunung, mampukah hal yang sama berulang kini menyemangati perlawanan melawan serbuan industri semen yang menganggap menara beton dan infrastrukturisasi adalah puncak peradaban ? wallahu a’lam.
Selama orang-orang masih berziarah pada perlawanan leluhurnya, maka ia takkan pernah lupa caranya melawan, tambang marmer atau pabrik semen sekalipun yang harus dihadapi. ***
Penulis adalah Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di laman Jatam. Dimuat ulang di sini untuk tujuan Pendidikan sekaligus merayakan Hari Bumi.