Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
PADA 2009 lalu, pemerintah meloloskan UU no 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara. Jokowi sejak akhir tahun lalu menekankan untuk menjalankan perundang-undangan ini, di mana hal akan ini memengaruhi posisi PT Freeport Indonesia di dalam negara indonesia. Semenjak teken kontrak awal dengan rezim Soeharto, pada dasarnya PT Freeport Indonesia memiliki posisi yang setara dengan negara. Dengan kata lain, PT Freeport Indonesia adalah negara di dalam negara.
PT Freeport Indonesia tidak puas dengan keputusan Jokowi untuk mulai menerapkan UU tersebut pada tahun ini juga, sebab mereka merasa masih memiliki kontrak yang memberinya posisi setara dengan negara sampai tahun 2020 nanti. Izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia telah habis sejak 12 Januari silam, dan tidak diperbarui oleh Jokowi sebagai langkah untuk menekan PT Freeport Indonesia membangun smelter baru, industri pemurnian konsentrat, di dalam negeri.
Dikarenakan tidak diperbaharukannya izin tersebut, PT Freeport Indonesia mengurangi pengeluaran eksploitasi tambangnya mengingat hanya terdapat satu smelter di Gresik dan kapasitasnya hanya mampu menyerap sekitar 40 persen atau 64 ribu ton bijih per hari. Hal ini menyebabkan banyak pemecatan maupun dirumahkannya para pekerja PT Freeport Indonesia. Sebanyak 10 persen ekspatriat dipecat dan 12 ribu pekerja permanen diturun-kelaskan menjadi pekerja kontrak semenjak 20 Februari lalu.
Indonesia di bawah rezim Jokowi juga menuntut divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia. Hal ini direncanakan untuk dibagi-bagikan kepada investor dan kapitalis nasional. Tak lupa, kabupaten tempat PT Freeport Indonesia bernaung, Mimika, dijanjikan saham sebesar 10 – 20 persen. Tuntutan divestasi Jokowi ini berdampak kepada rencana PT Freeport Indonesia yang bekerja sama dengan korporasi UK, Rio Tinto, untuk membuat pertambangan bawah tanah menggantikan model eksploitasi pertambangan terbuka sebelum ini.
Di lain pihak, salah satu pemegang top saham Freeport McMoran di AS merupakan penasihat Donald Trump. Adapun tokoh-tokoh politik oposisi di Indonesia sekarang ini, dapat dipastikan memiliki koneksi maupun bersimpati dengan rezim Trump, baik dalam hubungan politik maupun bisnis, seperti Fadli Zon, Setya Novanto, Hari Tanoesoedibjo, dsb.
Kisruh PT Freeport Indonesia dengan rezim Jokowi ini tidak disia-siakan begitu saja oleh gerakan kampanye pembebasan nasional Papua, seperti FRI-West Papua beserta Aliansi Mahasiswa Papua dan banyak simpatisan lainnya. Tuntutan yang disuarakan tidak main-main, kampanye pembebasan nasional Papua dan penutupan PT Freeport Indonesia yang telah banyak mengeksploitasi sumber daya alam dan manusianya.
Walau bagaimanapun, ada satu protes dengan suara sumbang terlebih dulu menunggangi gelombang kisruh ini, menamakan kelompok mereka Gerakan Solidaritas Peduli Freeport, dengan tuntutan memberikan kembali izin ekspor kepada PT Freeport Indonesia untuk kelangsungan operasionalnya. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah di Mimika turut mendukung tuntutan tersebut dengan membentuk tim khusus untuk memohon izin ekspor ke pemerintah pusat. Terlihat juga bahwa aksi solidaritas peduli Freeport ini tidak mendapat tindakan represif dari militer yang menduduki ranah sipil di Papua.
Secara ekonomi, aktivitas PT Freeport Indonesia menyumbang pendapatan lokal Mimika sampai sebesar 91 persen. Sebuah kedudukan “monopoli” perekonomian setempat, yang berimbas pada penolakan pinjaman oleh Bank Papua atas nasabahnya yang bekerja sebagai pekerja kontrak di PT Freeport Indonesia, sebanyak 3000 orang.
Percaturan Jokowi
Semakin mencuatnya aspirasi bangsa Papua untuk menuntut pembebasan West Papua dari imperialisme Indonesia-Amerika, menggambarkan sebuah pergerakan nasional yang akan semakin sulit dibendung apabila rezim Jokowi tidak segera mengambil jalan tengah. Penyebaran barak-barak militer beserta aparatus organiknya dinilai tidak relevan dengan semakin gencarnya ekspos kekejaman militer Indonesia atas masyarakat sipil di Papua.
Pendekatan dengan modus bonapartisan nampaknya akan perlahan diganti dengan memasukkan elemen borjuis nasional dalam sengketa sumber daya alam Papua dan manusianya. Jokowi melihat ada kesempatan untuk tawar-menawar dengan menggunakan divestasi saham PT Freeport Indonesia kepada borjuis nasional bahkan lokal. Harapannya adalah untuk menjinakkan pergerakan massa yang menuntut pembebasan nasional Papua melalui campur tangan borjuis nasional dan aparatus daerah yang juga akan diberi jatah saham PT Freeport Indonesia.
Bagaimanapun pendekatan baru Jokowi ini juga berpotensi mendapat perlawanan dari pemodal lama PT Freeport Indonesia beserta lawan politik rezim Jokowi di dalam oposisi, yang kebanyakan berkaitan dengan partai-partai populis kanan dan kroni-kroni Trump serta kedekatan dengan keluarga Cendana. Persiapan awal percaturan politik populis kanan yang menunggangi identitas keagamaan ini juga sangat jelas mewarnai dalam perang pilgub DKI Jakarta yang digadang-gadang sebagai gladi bersih pilpres mendatang.
Tak dinafikan bahwa tuntutan pembebasan nasional Papua ini salah satunya berkat dorongan ekonomi di mana masyarakat Papua dianak-tirikan. Namun langkah proteksionis Jokowi dalam menebar saham ke dalam negeri dan mencoba menciptakan lapangan pekerjaan melalui smelter-smelter dalam negerinya tampak menemui jalan buntu, di mana tuntutan FRI-West Papua dan simpatisan justru dengan tegas menyatakan untuk menutup operasi Freeport di bumi Papua. Sebuah gestur radikal yang menandakan penolakan kepada permainan modal dan ekonomi kapitalis.
Peran Kiri Sebagai Kepimpinan Politik Pergerakan
Perang tiga arah telah nampak di pelupuk mata. Tarik ulur kekuasaan liberal-demokrat rezim Jokowi dengan kubu oposisi populis kanan di parlemen di satu pihak, dan perjuangan rakyat tertindas bangsa Papua melawan imperialisme kulit coklat atas orang Papua, di lain pihak.
Bukan tidak mungkin perjuangan kiri ini dibajak oleh kelompok populis kanan untuk menarik simpati dan menyudutkan pemerintah demi meraih kemenangan dalam pilpres mendatang. Laiknya kemenangan Republikan di AS dari Demokrat karena adanya janji-janji program yang menarik bagi kelas pekerja.
Perang kekuasaan dalam parlemen adalah perang antar sesama kubu pro-kapital, kemenangan salah satu dari mereka akan tetap menjadi kemenangan bagi kelas kapitalis dan tetap akan menyengsarakan kelas pekerja.
Bagaimanapun jua perjuangan pembebasan nasional tidak cukup dengan agitasi kelas pekerja, mahasiswa dan rakyat Papua saja. Pembangunan program transisi dengan kelas pekerja secara umum di Indonesia merupakan keharusan sebagai kekuatan yang mampu menghentikan ekonomi dan agenda keuntungan bagi kapitalis.
Oleh karena itu kepimpinan pergerakan pembebasan nasional Papua perlu memiliki haluan yang jelas, yaitu agenda sosialis sebagai alternatif dari kapitalisme. Bukan tidak mungkin gelombang perjuangan ini menjadi pencetus pembentukan partai revolusioner sosialisme, sembari menekan pemerintah untuk menasionalisasikan pertambangan milik PT. Freeport Indonesia secara khusus dan industri-industri lain secara umum, tentu dengan memberikan kontrol secara demokratis atas industri-industri tersebut di bawah kendali para pekerja. Menolak segala campur tangan modal dalam pengambilan keputusan serta menyuarakan untuk mendirikan komite-komite pekerja, komite-komite rakyat sebagai badan demokratis untuk merancang tugas-tugas politik dan ekonominya.
Menasionalisasi Industri Sejalan dengan Pembebasan Nasional
Tuntutan menasionalisasi industri di bawah kelas pekerja sejatinya dibawa bersama dengan pembentukan negara pekerja. Hal ini tidak mungkin dimenangkan apabila kelas yang menguasai kerajaan merupakan golongan kelas pemodal. Sehingga perjuangan untuk menasionalisasikan cara-cara produksi haruslah menjangkau seluruh lapisan kelas pekerja dan rakyat yang tertindas, yang dalam konteks ini adalah kelas pekerja di Indonesia, yaitu para pekerja Indonesia dan para pekerja Papua yang sama-sama dijajah oleh imperialis Indonesia. Kalau kita melirik balik pada kemenangan revolusi Rusia 1917, pekerja dari beragam bangsa, dari Rusia, Polandia, Ukraina, Belarus, Finlandia, Trans-Kaukasia dan lain-lain, di bawah jajahan Tsar bersatu padu dalam gerakan revolusi pekerja sampai menggulingkan pemerintahan borjuisnya dan menggantikannya dengan negara pekerja serta menggulirkan pembebasan nasional di area-area bekas jajahan Tsar sebelumnya sehingga rakyat dan pekerjanya dapat menentukan nasib sendiri.
Pelajaran sejarah tersebut menunjukkan bahwa sebuah negara di bawah kontrol kelas pekerja tidak memiliki masalah untuk memberikan hak menentukan nasib sendiri kepada sesama kelas pekerja. Kelas pekerja di Indonesia tentunya juga tidak memiliki masalah dengan pembebasan nasional sebagai bentuk solidaritas kepada para pekerja dari berbagai latar belakang etnik, khususnya para pekerja Papua. Musuh kelas pekerja bukanlah kelas pekerja dari etnik-bangsa atau latar belakang yang berbeda. Musuh utama kelas pekerja adalah kelas kapitalis yang menindas pekerja demi memperoleh keuntungan mereka, baik itu pemodal asing, pemodal Indonesia, maupun pemodal lokal Papua.
Skenario lain pun dapat ditempuh, apabila rakyat Papua berhasil untuk menentukan nasib sendiri dan keluar dari jajahan pemodal Indonesia terlebih dulu, maka agenda untuk menasionalisasi industri pertambangan Freeport maupun industri lain di bawah kontrol pekerja Papua merupakan keharusan dalam menjalankan negara pekerja yang baru. Memimpin arah perkembangan negara pekerja ke arah sosialisme dengan kontrol demokratis kelas pekerja pada perencanaan ekonominya.
Dengan ini kami, Komite Internasional Pekerja, menyerukan: perluasan pergerakan dan solidaritas dengan semua kelas pekerja dan rakyat tertindas di Indonesia untuk menaikkan kesadaran politik kolektif. Hal ini merupakan jalan yang wajib ditempuh untuk melumpuhkan imperialisme dan kapitalisme, baik itu di tanah Papua secara khusus maupun di Indonesia secara umumnya. Tentunya tidak melupakan semangat utama untuk menyatukan kekuatan kelas pekerja di seluruh dunia dengan seruan, “Kelas pekerja seluruh dunia bersatulah!”***
Penulis aktif di Komite Internasional Pekerja