Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
PERLAWANAN “kartini-kartini” Kendeng (Jawa Tengah) terhadap perusahaan BUMN, PT Semen Indonesia, untuk mempertahankan lanskap Pegunungan Kendeng hampir serupa dengan perlawanan yang dipimpin Aleta Baun untuk menyelamatkan Gunung Mutis (Timor Barat) dari eksploitasi penambangan marmer. Kedua wujud perlawanan perempuan itu mempunyai kesamaan, yaitu mereka melawan pengindustrian ruang fisik (space) yang menjadi tempat mukim (place) mereka menurut sejarah perkembangan masyarakatnya. Mengapa para perempuan itu memimpin atau menjadi motor gerak perlawanan dalam mempertahankan ruang fisik bagi tempat mukimnya?
Perspektif yang dewasa ini mendominasi sudut pandang dalam menjelaskan dorongan perempuan untuk melawan pengindustrian ruang fisik berasal dari pandangan Vandana Shiva. Pandangan Shiva dilatari oleh spiritualitas Hindu yang menekankan pada relasi yang seimbang antara alam dan manusia, antara perempuan dan laki-laki. Keseimbangan relasi-relasi ini yang justru dihancurkan oleh pembangunan yang merusak alam dan mengeksploitasinya tanpa batas. Pembangunan itu sendiri, dalam pandangan Shiva, merupakan karya sains dan teknologi yang maskulin. Karakter maskulin pada sains dan teknologi menghancurkan karakter feminin pada alam, yaitu kemampuan mereproduksi semua spesies kehidupan. Sebagai solusinya, Shiva mengeksplorasi spiritualitas perempuan India sebagai prinsip feminin untuk memulihkan kehancuran alam dan atau membebaskan alam dari kekerasan pembangunan.
Dapat dipahami mengapa pandangan Shiva banyak dianut oleh para feminis yang mendukung gerakan perempuan untuk mempertahankan ruang fisik pegunungannya. Sebab, dirasakan adanya kesamaan kondisi India dan Indonesia sebagai negara mantan jajahan dan korban pembangunan proyek patriarki “Barat”. Perlawanan perempuan Chipko di India yang mempertahankan hutannya, mempunyai kemiripan dengan perlawanan Aleta Baun di Gunung Mutis. Penggusuran perempuan dari produksi pangan pada masa Revolusi Hijau di India, juga serupa dengan di Indonesia. Bahkan sampai dewasa ini perempuan-perempuan petani kecil hampir di seluruh Indonesia tergusur dari produksi pangan karena perluasan teritorial untuk industri ekstraktif.
Namun demikian, Shiva kurang material dalam menjelaskan mengapa para perempuan itu melawan. Lalu apakah makna material yang melandasi perempuan itu melawan perusahaan-perusahaan ekstraktif di wilayahnya?
Tempat Mukim Bagi Kesatuan Workplace dan Home
Para pengampu studi geografi Marxis telah melakukan studi kritis terhadap relasi ruang fisik dan masyarakat, untuk memformulasikan apa yang disebut geografi materialisme yang bertolak pada materialisme sejarah. Geografi materialisme menyoroti tentang ruang produksi (workplace) untuk survival hidup dan ruang reproduksi (home) untuk memulihkan tenaga survival dan keberlangsungan masyarakatnya. Kedua unsur ini merupakan kesatuan fungsional yang menciptakan konsep tempat mukim (place) bagi manusia. Apa yang disebut place merupakan tempat yang dimukimi manusia untuk memanifestasikan kerja –yang menurut Marx adalah hakekat manusia—sehingga dirinya eksis dan mempunyai identitas.
Dalam alur materialisme sejarah, kesadaran manusia terhadap place berkorelasi dengan perkembangan corak produksi, pembagian kerja secara gender dan kepemilikan pribadi (private property). Namun demikian, sebelum terformulasikan konsep hak milik pribadi bapak di dalam keluarga, menurut Engels telah terciptakan pembagian kerja secara gender menurut tempat produksi (workplace) dan tempat reproduksi (home). Sebagai contoh, pada masyarakat primitif, laki-laki melakukan perburuan binatang menurut daya jelalah yang mereka mampu. Sementara perempuan mengambil bahan-bahan pangan dari tetumbuhan yang ada di hutan atau kerang di rawa-rawa sekitar hutan (meramu) untuk menyiapkan pangan sehari-hari bagi reproduksi tenaga kerja keluarganya.
Sekalipun pembagian kerja secara gender dalam corak produksi primitif diasumsikan komunal dan egaliter, yaitu laki-laki berburu binatang, sedangkan perempuan meramu, melahirkan dan mengasuh anak-anak, namun realitas itu tidak mengesampingkan adanya segegrasi gender dalam menata tempat bermukim manusia (place). Tempat untuk berburu merupakan arena jelajah laki-laki, sedangkan tempat meramu dan mereproduksi anak merupakan arena mobilitas perempuan. Bagi masyarakat berburu dan meramu di dalam hutan, para perempuan dapat pergi ke workplace untuk meramu bahan makanan, seperti mengambil jamur, kepompong ulat, kerang dan kepiting rawa hutan, dsbnya, dan kembali ke dalam home tanpa ada garis batas yang memisahkannya.
Munculnya corak produksi pertanian dalam tradisi Asiatik malah menyatukan pekerjaan perempuan dan laki-laki dalam workplace yang sama. Namun munculnya konsep private property dan keluarga patriarkhal yang dikontrol oleh bapak lantas memobilisasi perempuan sebagai kekuatan produksi keluarga. Segregasi gender semakin jelas untuk membedakan worksplace sebagai tempat laki-laki dan home sebagai tempat perempuan. Meski dalam masyarakat pertanian prakapitalis pengertian tempat untuk workplace dan tempat untuk home tidak terpisah. Para petani mendirikan rumah di sekitar ladang pertaniannya atau mereka membangun rumah di pinggir-pinggir sungai dan berladang di dalam hutan.
Dengan demikian relasi workplace dan home dalam masyarakat prakapitalis Asiatik setara dan berada dalam kesatuan ruang yang terhubung sebagai tempat mukim (place) bagi kelangsungan dan pembangunan identitas masyarakat tersebut.
Industri Ekstraktif dan Pemisahan Space dengan Place
Di bawah kapitalisme konsepsi tentang space dimaknai sebagai ruang fisik untuk kegiatan eksploitasi seluruh sumberdaya yang terdapat di dalamnya. Perusahaan-perusahaan kapitalis berkepentingan untuk melakukan eksploitasi untuk kepentingan akumulasi, sedangkan pemerintah memberikan ijin bagi perusahaan tersebut untuk memperoleh pendapatan negara/daerah. Cara pandang perusahaan kapitalis dan pemerintah terhadap space menempatkannya sebagai ruang fisik yang menafikan kenyataan ruang sebagai place bagi masyarakat. Pengindustrian space untuk perusahaan tambang maupun perkebunan: pertama, mengubah tempat bermukim masyarakat menjadi ruang fisik untuk memroduksi komoditas (mengubah place menjadi space untuk produksi). Kedua, mengambil-alih workplace masyarakat menjadi kepemilikan pribadi dan menempatkannya superior atas home masyarakat. Dengan kata lain, ruang produksi perusahaan kapitalis yang patriarkis dominan atas ruang reproduksi masyarakat yang dikelola oleh perempuan. Kenyataannya, hutan-hutan yang telah diubah menjadi perkebunan sawit di Sumatra Timur, Sulawesi Tengah ataupun tambang di Kalimantan, telah memisahkan kesatuan ruang produksi dan reproduksi masyarakat menjadi private property perusahaan kapitalis. Ketika ruang produksi telah menjadi hak milik pribadi kapitalis, maka para perempuan tak lagi dapat meramu ataupun bercocoktanam di tempat yang telah dikapling perusahaan kapitalis tersebut.
Maka para perempuan kehilangnan workplace untuk mencari sesuatu bagi pemenuhan kebutuhan reproduksi anggota keluarganya pada tempat yang disebut home bagi keberlangsungan hidup mereka. Arti dari kehilangan ini ialah bahwa para perempuan mengalami hambatan untuk mengembangkan kualitas home sebagai sarana melangsungkan eksistensi atas identitas sosialnya.
Apalagi perempuan yang hendak masuk ke dalam workplace kapitalis, mereka harus menjadi buruh yang diorganisir menurut unit kerja berdasarkan gender pula. Dalam perusahaan sawit, kerja buruh perempuan diorganisir untuk memberi pupuk pohon-pohon sawit, sementara kerja laki-laki diorganisir untuk mengolah tanah atau memanen sawit. Tetapi ada banyak perempuan yang tidak diserap tenaganya sebagai buruh, melainkan hanya menjadi tenaga cadangan (reserved army of labour) yang diserap pada saat perusahaan kapitalis mengalami kelebihan produksi.
Dalam kontradiksi antara space dan place, perempuan mengalami alienasi (keterasingan) sebagai tenaga kerja dalam kesatuan produksi dan reproduksi. Mereka digiring ke dalam subordinasi sebagai tenaga reproduksi untuk pemenuhan kebutuhan produksi kapitalis (Vogel: 1983). Dengan demikian, alam itu tidak sepenuhnya mempunyai prinsip yang feminin, melainkan alam itu juga mempunyai prinsip yang maskulin. Selain itu apa yang disebut ruang fisik dalam wujud hutan, gunung, sungai dan lainnya bukanlah ruang tak bertuan. Ruang fisik itu selalu berada dalam kepemilikan komunal hingga kepemilikan pribadi yang berasal dari gagasan patriarkhal untuk pengumpulan kekayaan dan keberlangsungan kapital.
Melawan Dominasi Workplace Kapital
Para perempuan yang bejuang untuk mempertahankan ruang fisik, seperti yang dilakukan perempuan Molo maupun perempuan Kendeng, sejatinya melawan pemisahan dan dominasi workplace kapital terhadap home yang dikelola perempuan. Pemisahan itu mematahkan keterkaitan antara workplace dan home atau antara produksi dan reproduksi sebagai kesatuan (Vogel, 1983). Itu sebabnya para perempuan Molo maupun perempuan Kendeng terdorong untuk melawan, karena eksistensi mereka sebagai insan yang bertanggungjawab untuk melangsungkan proses reproduksi masyarakat akan mengalami hambatan. Masalah ini bukan sekadar mereka akan kehilangan lahan produksi, namun yang paling utama bagi perempuan adalah bahwa mereka tak akan dapat lagi melangsungkan proses reproduksi masyarakat.
Seturut dalam skema sejarah perkembangan masyarakat, perempuan Molo maupun Kendeng, menolak berada dalam subordinasi cara produksi kapitalis. Seandainya para perempuan itu tidak melawan atau gagal dalam melawan perusahaan kapitalis, maka hal itu mempercepat proses perubahan corak produksi prakapitalis menjadi kapitalis. Lambat atau cepat, perubahan itu akan terjadi di Indonesia –sebagaimana yang terjadi di negara Asia dan Afrika, melalui ekspansi industri ekstraktif.
Namun apabila perlawanan itu pun berhasil menggagalkan perusahaan kapitalis dalam mengambil-alih workplace perempuan, para perempuan itu masih menghadapi ancaman menjadikan dirinya sebagai sumber konsumen yang konsumtif. Di bawah kapitalisme, tanah, air, tumbuh-tumbuhan, tambang, udara, dan lainnya bernilai komoditas yang dapat dipertukarkan dengan uang. Petani yang berhasil melakukan pengambil-alihan tanah di Jambi, sebagai contoh, pada akhirnya meninggalkan tanaman pangan dan menggantinya dengan kelapa sawit yang saat ini sedang menjadi komoditas unggulan. Petani yang ingin survive mau tak mau mengikuti trend untuk menanam tanaman komoditas yang memiliki citra maskulin, seperti kelapa sawit. Karakter perkebunan ini menghilangkan peran perempuan di dalamnya, namun demikian mampu menghasilkan uang lebih baik daripada tanaman pangan. Adanya uang yang lebih “melimpah” daripada sebelumnya, dalam banyak contoh, tidak mampu memulihkan pengembangan home sebagai rumah bagi proses reproduksi sosial. Uang-uang itu dialokasikan untuk membeli gadget, kulkas (padahal belum ada listrik), kipas angin (padahal daerahnya berhawa dingin), dan membeli sepeda motor melampaui kebutuhan mereka, dan bukan untuk peningkatan gizi pangan, kesehatan dan pendidikan untuk melanjutkan generasi petani yang berkualitas unggul. Sebab para perempuan ini telah kehilangan identitas agrarisnya hingga tak tahu lagi reproduksi masyarakat seperti apa yang akan mereka persiapkan di masa depan.
Maka dukungan atas perlawanan perempuan terhadap perusahaan ekstraksi yang menjadikan tempat bermukim mereka sebagai ladang eksploitasi, kiranya tidak cukup dengan mengembalikan perempuan ini sebagai bagian dari alam. Tak cukup melestarikan para perempuan ini sebagai agensi yang memulihkan space dan place, namun lebih penting lagi adalah membantu para perempuan ini untuk mengembangkan kualitas reproduksinya dalam mempersiapkan tenaga kerja pertanian yang berkualitas. Sebab, ada banyak cerita dari keluarga-keluarga petani yang berhasil meningkatkan pendidikan anak-anaknya, namun anak-anak yang telah mengenyam pendidikan itu tak lagi bersedia kembali ke tempat mukimnya sebagai petani. Bahkan anak-anak itu memilih menjadi buruh-buruh bagi perusahaan kapitalis.
Maka makna melawan dominasi kapital terhadap tempat mereka bermukim tak bisa lagi hanya melalui perspektif produksi masyarakat, melainkan harus sejalan dengan perspektif reproduksi masyarakat. Kiranya, mengapa para perempuan Kendeng dan Molo (dan perjuangan perempuan lainnya yang serupa) memiliki daya perlawanan yang tangguh karena berhubungan dengan kepentingan mereka dalam melaksanakan proses reproduksi sosial masyarakatnya.***