Kredit foto: Fransiskus Pascaries
Perjalanan melihat ulang pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste selama tiga dekade.
MOBIL Timor Travel, yang membawa kami dari Kupang, hanya berhenti sekitar 15 menit di Atambua, kota Indonesia terakhir sebelum perbatasan Timor Leste. Sopir menurunkan penumpang lantas mengumpulkan paspor semua penumpang yang menuju daerah perbatasan Mota Ain.
Setengah jam kemudian kami tiba di Mota Ain. Mobil berhenti. Agnes Harnadi, isteri saya, dan saya, serta semua penumpang, berjalan kaki menuju gerbang perbatasan. Ada prasasti perbatasan Indonesia dan Timor Leste, ditandatangani Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirajuda dengan mitranya José Ramos-Horta tertanggal 30 Agustus 2005.
Kami masuk ke kantor imigrasi. Hanya ada satu orang depan antrean. Kami bayar biaya visa on arrival USD60 untuk dua orang. Petugas beri stempel di paspor kami: 4 Agustus 2015.
Kami berlalu dari loket dan melewati pemeriksaan x-ray. Saya bawa satu ransel besar, Agnes bawa satu tas punggung kecil berisi identitas, obat, dan beberapa keperluan kecil.
Saat membaca paspor Agnes, seorang petugas tersenyum, “Agnes Monica?”
Agnes tersenyum, “Obrigado barak.”
Kami berlalu. Agnes bersungut-sungut, “Ah, nggak di Indonesia, nggak di Timor Leste. Nama gue selalu disangkut-pautin sama si Agnes Monica.”
Kami berjalan beberapa puluh meter menuju tempat parkir Timor Travel. Ada tiga mobil Timor Travel di sana. Kami menaiki mobil yang berbeda. Sebelumnya mobil nomor Indonesia, kali ini, mobil sejenis tapi plat Timor Leste. Masih tak praktis. Mobil Indonesia sulit masuk ke Timor Leste dan sebaliknya. Saya bayangkan bila praktik begini dijalankan di Eropa atau Amerika Utara. Entah berapa panjang antrian mobil.
Kami memasuki Timor Leste. Di sepanjang jalan, kami lihat sejumlah rumah adat Timor. Babi dan kambing berkeliaran.
Sekali lagi mobil berhenti untuk menjalani pemeriksaan di sebuah pos polisi, sekitar dua kilometer dari kantor imigrasi Mota Ain.
Semua penumpang turun dari kendaraan dan mengumpulkan tanda pengenal ke polisi. Agnes dan saya serahkan paspor ke polisi perempuan.
“Oin la hanesan nee,” guraunya, bolak-balik melihat wajah saya dan foto di paspor.
Saya tersenyum. Masakan wajah saya tak sama dengan gambar paspor?
Kami pun resmi masuk ke Timor Leste. Ini berbeda dengan sekelompok tentara Indonesia, yang 41 tahun sebelumnya, masuk sebagai agen rahasia, guna memulai pendudukan Indonesia terhadap Timor Leste pada akhir 1974.
Menurut majalah Tempo Oktober 2014, Asisten Intelijen Departemen Pertahanan dan Keamanan, Benny Moerdani, menugaskan seorang kapten, waktu itu Kepala Seksi Intelijen Grup II Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha). Tugasnya: merintis penyusupan ke Timor Portugal.
“Waktunya sepekan, lakukan sendiri secara rahasia. Jika tertangkap, kamu tidak akan diakui sebagai prajurit,” kata si kapten menirukan Benny Moerdani.
Si kapten menyamar sebagai mahasiswa hingga kuli angkut. Menurut buku The Field General: Totalitas Prajurit Para Komando karya CH. Robin Simanullang, si kapten menemukan celah penyusupan pertengahan 1975. Operasi militer tersebut diberi sandi Operasi Flamboyan pimpinan Kolonel Dading Kalbuadi, komandan Grup-2 Parako/Kopassandha dan sahabat Moerdani sejak pendidikan militer 1950an. Kopassandha mengirimkan tiga regu berisi 100 orang.
Mereka diberi nama Tim Susi, Tim Tuti, dan Tim Umi. Tim Susi dipimpin Mayor Yunus Yosfiah. Tim Tuti dipimpin Mayor Tarub. Tim Umi dipimpin Mayor Sofian Effendi. Sofian didampingi si kapten sebagai wakil dengan nama samaran Kapten Manix.
Kapten Manix kelak menjadi perwira Kopassus yang pensiun dengan pangkat tiga bintang. Ia pernah menjadi Gubernur Jakarta selama dua periode (1997-2007) dan kepala Badan Intelijen Negara pada 2015-2016. Ia adalah Sutiyoso.
Operasi Flamboyan dimulai dengan muntahan peluru termasuk pembunuhan lima wartawan dari Australia, sementara kami berdua memulai perjalanan dengan pernikahan. Sutiyoso membawa pistol kecil dan teropong, sementara kami membawa satu ransel berisi pakaian dan satu tas punggung berisi obat-obatan.
Kondisi jalan selepas perbatasan ada yang rusak. Beberapa kali sopir harus memperlambat laju kendaraan. Belum lagi lebar jalan yang hanya pas untuk dua kendaraan. Bila dua mobil berpapasan, sopir harus jeli mengambil jarak.
Namun, selama sekitar empat jam perjalanan, dari perbatasan ke Dili, di beberapa bagian ruas jalan sangat mulus.
“Wehhh.. keren banget, jalanannya mulus. Kayak lagi nyusurin jalan-jalan di pegunungan di Eropa,” kata Agnes.
Pos pemeriksaan polisi. Foto oleh Fransiskus Pascaries
MALAM PERTAMA DI DILI, kami menginap di sebuah asrama suster Katolik yang berkarya untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Pantai Kelapa.
Keluarga saya mulai menetap di Baucau sejak 1988. Saya baru usia delapan tahun ketika bapak saya ditugaskan Kementerian Agama di Timor Leste, awalnya Baucau. Pada 1993, bapak dipindah ke Dili dan kami menempati rumah dinas Kementerian Agama, sekitar satu kilometer dari tempat saya dan Agnes menginap. Namun pada 1992-1995, saya tinggal di asrama seminari di Venilale, hanya liburan pulang ke Dili, empat kali setiap tahun. Di Venilale, kemampuan saya berbahasa Tetun terasah. Tetun digunakan setiap kesempatan kecuali dalam pembelajaran di kelas.
Saya ajak Agnes berjalan-jalan ke Praia de Cristo Rei alias Kristus Raja di bukit Fatukama di pinggiran kota Dili. Ini patung bersejarah, besar sekali, bisa terlihat dari Dili. Bukitnya berada di atas pantai putih Areia Branca.
Dengan mikrolet kami berdua beranjak dari Pantai Kelapa. Kami turun di Lecidere, tak jauh dari kediaman Uskup Dili. Rumah besar itu terletak berseberangan dengan Taman Bunda Maria, tepat di bibir pantai. Tidak jauh dari situ ada Taman Largo de Lecidere yang indah, tempat warga Dili biasa bercengkerama.
Sewaktu masih ditempati Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, rumah ini diserang milisi Timor Leste sesudah kekalahan Indonesia dalam referendum Timor Leste 30 Agustus 1999. Rumah ini dicurigai sebagai tempat persembunyian gerakan pro kemerdekaan dan diserang pada 6 September 1999.
Dari tempat itu terlihat bukit Fatukama yang berjarak sekitar 13 kilometer dari pusat kota Dili, dan Pulau Atauro yang berada sekitar 24 kilometer dari pantai utara Dili.
Guardian melaporkan survei biologi marina terbaru bahwa Pulau Atauro berada di perairan dengan spesies ikan karang terbanyak daripada tempat lain di dunia. Saya tak pernah terpikir mengapa selama pendudukan Indonesia tak ada upaya penelitian marina di Pulau Atauro. Mengapa selama pendudukan Indonesia, kebijakan tak beranjak jauh dari pembangunan ekonomi dan pelanggaran hak asasi manusia?
Kami membeli minuman dan makanan ringan tak jauh dari kediaman uskup. Mendaki bukit Fatukama cukup menguras energi apalagi matahari sedang terik-teriknya.
Saya menghampiri satu taksi, “Atu ba Cristo Rei nee. Hira?”
“Lima dolar deit,” kata sopir.
“Aih, pa. Tiga dolar deit sa. Hau mai iha nee dala barak ona.”
Mengikuti nasihat seorang teman, saya menawar tiga dolar.
Sepakat dan tancap gas!
Kami pun naik ke taksi yang penuh dengan aksesoris boneka itu.
Di kaki Cristo Rei, Patung Yesus setinggi 27 meter, saya mengenang masa kecil saya dan cerita pada Agnes bagaimana patung didirikan.
Gagasan Cristo Rei datang dari Gubernur Timor Timur Abilio Jose Osoario Soares kepada Presiden Soeharto sebagai kado ulang tahun “integrasi 20 tahun Timor Timur ke Indonesia” pada 17 Juli 1996.
Soeharto setuju. Patung dikerjakan seniman Mochamad Syailillah dari Institut Teknologi Bandung, selama kurang lebih setahun. Syailillah, tentu saja, seorang Muslim. Namun dia seorang seniman hebat. Gereja Katolik tak pernah meributkan iman Syailillah. Saya selalu prihatin dengan makin maraknya propaganda kebencian atas nama agama di Indonesia.
Cristo Rei diresmikan Presiden Soeharto pada 15 Oktober 1996. Peresmian dilakukannya dari helikopter yang ditumpangi bersama Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan Uskup Carlos Ximenes Belo, mengitari bukit Fatukama.
Moerdiono mengucapkan selamat atas hadiah Nobel Perdamaian yang diterima Uskup Belo.
Soeharto menatap ke bukit yang kering itu dan bertanya, “Mengapa bukit ini kering sekali?”
“Karena tak ada hujan dan sedang musim kemarau,” jawab Belo.
“Lebih baik diberi cat warna hijau,” kata Soeharto.
Belo mengatakan suasana kaku. Soeharto tak menyinggung soal Belo menerima Nobel Perdamaian. Teoretis, Belo adalah warga negara Indonesia pertama yang menerima Hadiah Nobel Perdamaian.
“Saya memimpin misa pemberkatan (Cristo Rei) pada 28 November 1996,” kata Belo.
Ketiga tokoh itu mengakhiri penerbangan dengan kembali ke titik keberangkatan yaitu bandar udara Comoro, setelah 10 menit terbang di langit kota Dili.
Cristo Rei pernah tercatat sebagai patung Yesus tertinggi kedua di dunia setelah Christ Redeemer (38 meter) di Rio de Janeiro, Brasil. Tapi ketinggiannya ”disalip” oleh patung Yesus di Polandia (50,9 meter) dan patung Yesus di Tana Toraja (40 meter).
Patung Cristo Rei Dili. Foto oleh Fransiskus Pascaries
Siang yang terik di terminal bus Baucau, 6 Agustus 2015. Bus dari Dili akhirnya tiba, setelah menempuh jarak sekitar 130 kilometer dalam empat jam. Ada sekitar 20 penumpang termasuk saya dan Agnes.
Bus juga sarat dengan beras, ayam hidup, sayuran, serta hasil bumi lain. Tak ada AC. Sepanjang perjalanan, musik diputar silih berganti. Ada lagu lawas dari Dewa 19, Nike Ardilla, hingga tembang-tembang terkini berbahasa Indonesia, Tetun, Portugis, bahkan lagu berbahasa Spanyol Bailando dari Enrique Iglesias. Pengeras suara memekakkan telinga.
Di perjalanan, dua kali kami berhenti untuk menjalani pemeriksaan keamanan. Semua penumpang harus turun dan menunjukkan identitas masing-masing kepada aparat keamanan Timor Leste. Mereka bersenjata laras panjang. Saya kontan ingat tahun 1988 ketika bersama keluarga, pertama kali tiba di Timor Timur, yang waktu itu masih berstatus provinsi Indonesia. Sepanjang perjalanan Dili menuju Baucau, pemeriksaan keamanan bisa terjadi lebih dari lima kali. Perjalanan yang normalnya hanya empat jam, bisa mulur jadi enam jam.
Pemeriksaan kali ini dilakukan karena pemerintah Timor Leste sedang melakukan pengejaran kelompok desersi tentara pimpinan Mauk Moruk. Beberapa penumpang yang akan pergi ke Laga, sebuah subdistrik di Baucau, ditanyai ini dan itu oleh tentara. Untuk apa ke sana? Apakah kenal Mauk Moruk? Tapi karena aparat merasa para penumpang tak terkait dengan si pemberontak, mereka tak ditahan. Kami kembali masuk ke dalam bus.
Sang kondektur menawari saya rokok. Saya menolaknya, “Lae, obrigado.”
Setibanya Baucau, dengan menggunakan mikrolet, saya jalan ke Kota Lama. Saya kembali mereka-reka sejumlah tempat yang dulu pernah saya kenali: rumah di Tirilolo, kantor Pemda Baucau, SMAN 1, SMPN 2, RS Umum Daerah, dan sebagainya.
Kami turun tak jauh dari kompleks sekolah São Domingos Savio di Kota Lama. Ada sejumlah pedagang yang menjajakan sayuran, sirih, tembakau dan sebagainya. Kami menyusuri jalan itu berdua, ke arah katedral São Antonio.
Katedral itu terletak bersikuan dengan sebuah rumah besar yang selama pendudukan Indonesia menjadi rumah dinas Bupati Baucau. Tak banyak orang lalu lalang di siang terik itu. Setelah berfoto dan sejenak melihat pengumuman di gereja itu, kami bergeser ke sebuah taman di Centro de Convenções de Baucau. Ia biasa digunakan untuk pameran kebudayaan, pariwisata, pendidikan, dan sebagainya.
Saya menceritakan pada Agnes kejadian yang dialami ibu dan keempat adik saya pada Oktober 1992. Bapak saat itu sedang ada keperluan dinas di Dili. Saya sudah masuk ke asrama seminari di Venilale. Tiga adik perempuan saya berusia masing-masing 11, 9 dan 7 tahun. Sedangkan si lelaki bungsu baru berumur 4 tahun.
Pada Oktober 1992 diadakan pameran pembangunan selama lima hari di Baucau. Acara penutupan diadakan pada hari ulang tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia 5 Oktober. Setiap instansi pemerintah maupun swasta buka stan untuk memamerkan produk-produk dan kegiatan-kegiatan mereka. Beberapa panggung hiburan dan sejumlah permainan disediakan untuk menarik pengunjung.
Pada hari terakhir, 5 Oktober 1992, ibu saya dan keempat adik saya berangkat ke taman bersama tetangga kami. Ketika sedang bercanda ria, sambil menikmati makanan ringan, tiba-tiba dari bangunan yang agak tinggi terdengar bunyi letusan senjata api.
Daarr …. daarrr ….. darrr….
Para pengunjung pameran teriak histeris. Mereka lari ke sana-ke mari. Ibu dan adik-adik saya tiba di sebuah pos tentara. Konon, tembakan terjadi karena terjadi perebutan senjata antara gerilyawan Falintil (Forças Armadas da Libertação Nacional de Timor-Leste). Militer Indonesia biasa menyebut mereka sebagai Gerakan Pengacau Keamanan.
“Bu, sini aja, Bu …,” kata seorang tentara.
Spontan ibu menggandeng keempat anaknya, yang menangis, masuk ke ruangan itu.
Sekian detik berdiri, ibu saya mengatakan pada saya bahwa ada orang teriak, “Bu, jangan di situ. Bisa jadi sasaran tembak!”
Ibu bertambah panik. Terlebih saat dia melihat seorang tentara, membuka sebuah kotak amunisi dan mengokang senapan berlaras panjang.
Krek … krekkk … krekkk … krekkk …
Tanpa basa-basi, ibu segera menarik keempat adik saya ke luar. Mereka bergabung dengan beberapa tetangga kami untuk mencari tumpangan menuju ke rumah. Mereka menemukan sebuah mobil bak terbuka milik Perusahaan Listrik Negara melintas. Mereka naik ke atas mobil itu sambil tiarap.
Mobil melaju kencang. Sepanjang jalan yang gelap beberapa kali terdengar bunyi tembakan dan dentuman granat. Ibu saya menduga, ada baku tembak antara tentara dan gerilyawan.
Ibu dan keempat adik saya tiba dengan selamat di rumah. Mereka segera mematikan semua alat penerangan di rumah, dan beranjak ke tempat tidur masing-masing.
Rentetan tembakan masih terdengar hingga beberapa jam kemudian. Dari cerita ibu, saya tahu bahwa malam itu mereka lalui dengan kecemasan. Mungkin ia menggambarkan perasaan paling gelap dari warga Indonesia yang tinggal di Timor Leste.
Jalan beraspal mulus. Foto oleh Fransiskus Pascaries
Dari kota Baucau kami beranjak ke Fatumaca, sebuah daerah di Suco/Desa Gariuai, Sub-Distrik Baucau, Distrik Baucau. Kami menemui sahabat kami, Pastor Rui Gomes SDB, yang bertugas di Escola Técnica Vocacional de Don Bosco Fatumaca. Ia teman satu angkatan saya di SMP Seminari Venilale 1992-1995.
Sekolah teknik itu berada dalam kompleks Colégio Nossa Senhora de Fátima. Ia juga digunakan oleh seminari calon imam Katolik, gereja, pastoran, lapangan sepakbola, lapangan basket, laboratorium komputer, bengkel perkayuan, bengkel kelistrikan, perkebunan dengan luas sekitar 35 hektar, asrama, peternakan ayam serta sebuah Gua Maria. Luasnya sekitar 100 hektar. Sejak masa pendudukan Indonesia, saya rasa, sekolah teknik ini merupakan yang terbaik di Timor Leste. Ia berdiri tahun 1973.
Tempat itu mengingatkan saya pada kisah Uskup Belo.
Pada 25 April 1986, di kompleks tersebut, Belo bersama beberapa biarawan Salesian di Fatumaca, diam-diam menemui komandan Falintil Xanana Gusmão. Pertemuan diadakan atas permintaan Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Francesco Canalini.
Para biarawan itu menyampaikan salam dan pesan dari Francesco Canalini: Pertama, menawarkan bantuan Gereja Katolik sebagai perantara sekiranya Xanana akan bepergian ke luar negeri. Kedua, Gereja Katolik minta agar Xanana dan para pengikutnya lebih mengedepankan perjuangan diplomasi. Gereja Katolik sadar bahwa dengan perjuangan bersenjata, Xanana takkan menang melawan Indonesia. Ketiga, Gereja Katolik meminta agar Xanana dan para pengikutnya tak lagi membakar rumah dan barang para warga.
“Kami gerilyawan tidak akan ke luar negeri, ini negeri kami. Walaupun kami akan mati dan terkikis habis, kami tak akan menyerahkan diri, juga tak akan pergi ke luar negeri. Kami siap untuk mati berdiri seperti tumbuhan,” jawab Xanana.
Menjelang tengah malam pertemuan itu berakhir. Seorang imam menemani Xanana hingga ke perkebunan untuk kembali masuk hutan. Uskup Belo dan para imam itu pun kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Uskup Belo dan Pastor José António da Costa, yang mendampinginya dari keuskupan Dili, kembali ke Dili keesokan harinya.
Tak ada seorang pun di sana mengetahui pertemuan ini.
Saya dan Agnes berbincang dengan Pastor Rui tak jauh dari ruangan di mana pertemuan rahasia 1986 itu berlangsung.
Dari Fatumaca, Pastor Rui dan rekannya, Pastor João da Costa Boavida SDB, mengantar saya dan Agnes ke Venilale.
Dalam perjalanan kami ke Venilale Pastor João bilang, “Banyak jalan menuju Roma. Tapi hanya ada satu jalan ke Venilale.”
Memang benar. Hanya jalan itu yang bisa kami lalui untuk menuju Venilale.
Hawa dingin mulai terasa dalam perjalanan sekitar 17 kilometer itu. Sepanjang jalan kami berdiri pohon di kiri dan kanan jalan. Sempitnya jalan, yang hanya pas untuk dua mobil, membuat setiap kendaraan yang berpapasan harus memperlambat lajunya agar tak senggolan. Aspalnya pun tak mulus.
Kami mendatangi asrama Seminari Menengah Pertama Don Filipe Rinaldi, yang pernah saya huni 1992-1995, sebagai seminaris. Kami bertemu dengan Benicio Guterres, seorang penduduk asli Venilale, rekan seangkatan saya di sana.
Saat kekerasan meletus di seantero Timor Leste pada 1999, ia dan keluarganya terpencar ke dua wilayah berbeda di pegunungan Venilale. Beruntung ia beserta keluarga bisa berkumpul kembali dalam kondisi selamat. Saya bergidik mendengar kisahnya itu. Ada perasaan malu dan marah, karena pajak yang dibayarkan rakyat Indonesia, turut digunakan untuk membiayai kegiatan militer itu.
Saya dan istri berjalan-jalan di sore yang dingin di Venilale. Kami berfoto di depan Gereja Sagrado Coração de Jesus, tempat saya menerima sakramen krisma pada 12 Desember 1992 dari Uskup Belo. Saya lantas berfoto di halaman Sekolah Menengah Pertama St. Cristovão, tempat saya dan rekan-rekan seangkatan, menjalani ujian nasional pada 1995. Kami, para seminaris, meski sehari-hari belajar di asrama, juga mempelajari kurikulum nasional plus sedikit sejarah Gereja Katolik serta berbagai ajaran Katolik. Karena menginduk pada SMP St. Cristovão, kami wajib mengikuti EBTA/EBTANAS di sekolah itu.
Di seberang sekolah itu, ada satu lapangan sepakbola dan satu lapangan basket milik seminari. Di sana saya dan teman-teman dulu melawan udara dingin Venilale. Di sebelah lapangan itu, di dataran yang sedikit lebih tinggi, berdiri gedung Sekolah Menengah Kejuruan Katholik yang dikelola suster-suster Katolik Tarekat Puteri-Puteri Maria Penolong Umat Kristiani (FMA, Figlie di Maria Ausiliatrice).
Suhu di sana boleh dingin, tapi hampir semua warga lokal yang berpapasan dengan kami di sana menyapa kami dengan selamat sore.
“Boa tarde,” begitu mereka menyapa kami berdua.
Kami membalas dengan sapaan sama, sambil tersenyum dan sedikit menganggukkan kepala.
Agnes sangat terkesan dengan keramahan itu. Sapaan para warga lokal itu mengingatkannya saat ia menempuh studi master di Girona, Spanyol, tahun 2011-2012.
Di Girona, Agnes sering menerima sapaan sederhana dalam bahasa Catalan, macam “hola”, “bon dia” dari warga lokal ketika berpapasan di jalan. Bahkan, ketika akan turun dari bus, penduduk di Girona terbiasa mengucapkan salam perpisahan “adéu” pada penumpang lain.
“Sapaan yang sederhana tetapi membuat hati senang,” kata Agnes.
Ketika jalan-jalan sore, kami melewati markas kepolisian Venilale. Ada kerumunan orang di sana. Kami berdua mengira ada penangkapan pencuri atau semacamnya. Tapi belakangan kami tahu, polisi dan tentara hari itu menembak mati kepala pemberontak Mauk Moruk bersama sejumlah pengikutnya. Mauk Moruk dan para pengikutnya tertembak di Fatulia, sebuah dusun beberapa kilometer dari tempat kami berkunjung.
Pemandangan dari pelataran puncak Monumen Cristo Rei. Foto oleh Fransiskus Pascaries
KAMI MENGINAP SEMALAM di asrama seminari. Agnes dan saya kembali ke Dili pada 7 Agustus 2015. Kami naik bus dari Venilale, yang singgah di Baucau, sebelum berlanjut ke Dili. Benicio Guterres juga ikutan karena ada keperluan di Dili.
Kami bertiga duduk di bangku paling belakang bus, di beberapa titik kami melewati daerah bertebing sebelah kiri dan jurang di kanan. Beberapa kali kami melewati pantai nan indah. Di belakang jok kami, ada ayam hidup milik penumpang. Mereka ikut meramaikan suasana dengan suara dan kepakan sayapnya.
Seorang kerabat Benicio menjemput kami di Terminal Becora.
Dari sana kami mendatangi Escola Secundaria 12 de Novembro. Nama ini buat mengenang pembantaian pemuda-pemuda Timor Timur di Dili pada 12 November 1991. Semasa pendudukan Indonesia, sekolah itu bernama SMA Negeri 1 Dili –almamater Benicio dan saya.
Ceritanya, pada Agustus 1991, diumumkan rencana kunjungan delegasi parlemen Portugal. Praktiknya, Timor Leste sudah diduduki Indonesia namun secara legal, Timor Timur masih merupakan wilayah yang status hukumnya belum jelas. Portugal, sebagai mantan penguasa kolonial Timor Leste, diberi kesempatan buat menilai keadaan di Timor Leste.
Berbagai organisasi pro-kemerdekaan Timor Leste, menyiapkan demonstrasi, yang rencananya digelar 4 November 1991.
Tapi, 25 Oktober 1991 parlemen Portugal membatalkan kunjungan itu, karena ada permintaan dari Indonesia, agar dua wartawan –Jill Jolliffe dari Australia dan Rui Araujo dari Portugal– tak diikutkan dalam delegasi Portugal.
Pembatalan ini mengecewakan banyak warga Timor Leste. Namun gangguan dari pihak intel Indonesia terus berjalan. Gangguan memuncak pada penyerbuan Gereja Motael, Dili, pada 28 Oktober 1991.
Penyerbuan tersebut menewaskan dua orang: seorang informan Timor Leste dan seorang aktivis klandestin, Sebastião Gomes Rangel, yang dimakamkan keesokan harinya. Pihak pro kemerdekaan lalu memanfaatkan acara tabur bunga untuk Sebastião pada 12 November -ketika Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, Peter Kooijmans, juga sedang berada di Dili- untuk berdemonstrasi menuntut kemerdekaan.
Sekitar 3.500 orang menghadiri misa di Gereja Motael pada pagi hari 12 November. Mereka lantas menggelar prosesi dari gereja menuju ke pemakaman Santa Cruz. Prosesi lalu berubah menjadi demonstrasi, ketika para aktivis kemerdekaan memampangkan spanduk dan bendera-bendera kemerdekaan Timor Leste. Setelah melewati kantor gubernur, demonstrasi tersebut beralih ke pertigaan dekat markas Kodim Dili, karena jalan menuju Hotel Turismo telah diblokir oleh Brimob.
Dalam pikiran banyak warga Indonesia, termasuk tentara dan polisi, melihat bendera Timor Leste bisa bikin sakit kepala –juga berlaku buat bendera Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan maupun Bintang Kejora di Papua. Ironisnya, mereka sulit membedakan antara aspirasi politik secara damai dengan gerakan bersenjata. Mereka juga menerapkan standar ganda: bisa membedakan antara aspirasi negara Islam Indonesia secara damai –termasuk Khilafah— dan terorisme atas nama Islam.
Di Santa Cruz, ketidakmampuan membedakan aspirasi politik dan kekerasan meledak dalam penembakan, membabi buta, kepada para demonstran. Serdadu-serdadu Indonesia kehilangan disiplin. Celakanya, tak ada laporan yang bermutu soal peristiwa tersebut dari pihak Indonesia. Dalam laporan East Timor 1999: Crimes against Humanity, Geoffrey Robinson mencatat bahwa tragedi Santa Cruz ini menelan korban sebanyak 270 orang. Mereka tewas karena ditembak atau dipukuli. Max Stahl, seorang kamerawan Inggris, mengabadikan penembakan tersebut sehingga jadi berita televisi seluruh dunia. Ia memicu kemarahan dan mendorong terbentuknya berbagai gerakan solidaritas Timor Timur di banyak negara. Robinson menulis laporan, yang terbit tahun 2003, berdasarkan penugasan dari Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR).
Saya dan Benicio berpose di prasasti bertandatangan Heribertus Sudayat selaku kepala sekolah SMA Negeri 1 Dili saat itu.
Di prasasti itu tertulis: “Lustrum SMA Negeri I Dili. 13 Maret 1994. Tema: Dengan Koordinasi dan Kerjasama Keluarga Besar SMA I Dili Kita Tingkatkan Mutu Pendidikan dan Sumber Daya Manusia untuk Masa Depan Bangsa dan Negara”. Prasasti itu masih berdiri, meski ada bekas semprotan berwarna biru di atas tulisan tersebut. Saya senang bahwa sejarah dihargai, tak semata-mata dihapus dan diganti propaganda. Saya percaya ada banyak warga Indonesia, termasuk Heribertus Sudayat, yang bekerja tulus di Timor Leste.
Dari sana kami makan siang dan berkeliling kota Dili, termasuk ke daerah Pantai Kelapa, tempat saya dan keluarga dulu menetap tahun 1993-1999. Mobil yang membawa kami berhenti sejenak dan saya mengambil beberapa foto di rumah tinggal kami, dulu milik Kementerian Agama. Kami juga sempat melewati pemakaman Santa Cruz yang bersejarah itu.
Dulu para pejabat negara, termasuk Presiden Soeharto, bila berkunjung ke Dili selalu melewati Jalan Pantai Kelapa, sebelum menuju rumah dinas Gubernur Timor Timur. Saya sering melihat rombongan pejabat lewat rumah tersebut. Rumah megah dan luas itu sekarang digunakan menjadi Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Timor Leste. Saya tentu tak pernah berpikir bahwa rumah yang sehari-hari saya lewati itu berubah jadi Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Monumen Patung Yohanes Paulus II Tasitolu. Foto oleh Fransiskus Pascaries
SENJA terakhir di Dili, 7 Agustus 2015, Agnes, Benicio, dan saya mengunjungi kawasan Monumen Patung Yohanes Paulus II di kawasan Tasitolu, tak jauh dari bandara Presiden Nicolau Lobato, Dili Barat. Monumen tersebut diresmikan Presiden José Ramos-Horta pada 15 Juni 2008, guna mengenang kedatangan Paus Yohanes Paulus II pada 12 Oktober 1989.
Selain Dili, Paus Yohanes Paulus II juga mendatangi Jakarta, Yogyakarta, Maumere-Flores, serta Medan. Saya masih berumur sembilan tahun ketika Paus kelahiran Polandia itu datang ke Dili.
Paus yang terlahir dengan nama Karol Józef Wojtyła itu merupakan pemimpin dunia pertama yang berkunjung ke Timor Timur, sebagai provinsi ke-27 Indonesia, yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Dia menggunakan kunjungan tersebut untuk mengenang kembali pertumpahan darah, serta mendorong perdamaian antara masyarakat Timor Timur dan pemerintah Indonesia.
Menurut koran New York Times, Paus Paulus Yohanes II memimpin misa yang dihadiri sekitar 100 ribu umat Katolik. Setelah misa, keributan bermula ketika sekitar 20 orang pemuda muncul dari kerumunan umat dan coba merangsek ke altar, yang dijaga aparat keamanan. Saat para pemuda membentangkan spanduk sambil meneriakkan kemerdekaan Timor Leste, mereka menghadapi polisi berpakaian preman, yang mendorong mereka kembali ke belakang.
Kunjungan itu sungguh berarti bagi rakyat Timor Timur. Seperti dicatat Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) dalam laporan mereka, Chega! , Alex Gusmão, salah satu pelajar yang berdemonstrasi seusai misa Kepausan di Tasitolu, menyampaikan: “Kami merasa sangat bangga. Apabila ia hanya mengunjungi Indonesia, berarti ia menerima Timor Leste sebagai bagian dari Indonesia, tetapi ia mengunjungi kita. Hal ini memberi banyak harapan bagi kita.”
Beranjak dari Tasitolu, kami mendatangi kediaman seorang sahabat lama kami sesama mantan penghuni Seminari Venilale, Ruben Gusmão. Ia dan sang istri mengundang Agnes, Benicio dan saya, dalam jamuan makan malam bersama di rumahnya. Masakan khas Timor Leste nan lezat kami santap dengan lahap.
“Akhirnya bisa ngerasain masakan rumahan khas Timor Leste. Enak banget bumbunya,” kata Agnes, memuji masakan Lumi, istri Ruben.
Kami mendapatkan oleh-oleh berupa sekantong kecil bumbu masak khas Timor Leste dari Lumi.
Makan malam yang berkesan sebelum keesokan harinya kami bertolak dengan Valley Desert Travel kembali ke Kupang melalui Kefamenanu.
KEFAMENANU salah satu kota di Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur. Mulanya Februari 1999, bapak saya mendapat tugas baru di Kementerian Agama di Oekussi, Timor Timur. Namun ibu dan keempat adik saya menetap di Kefamenanu demi pendidikan mereka. Pendidikan di Oekussi saat itu kurang baik daripada Kefamenanu. Jadinya, bapak saya bekerja di Oekussi, namun seminggu sekali ia pulang menengok keluarga di Kefamenanu.
Pada 1999, saat mengisi libur semesteran dari kuliah saya di Purwokerto, Jawa Tengah, pada Agustus 1999, saya bertandang ke Kefamenanu. Kota mungil itu hanya diramaikan oleh pasar di pagi hingga siang hari. Setiap matahari surut, perlahan tapi pasti keramaian pun segera beringsut.
Menurut web pemerintah Timor Leste, Distrik Oekussi terletak di pantai utara dari bagian barat Pulau Timor. Wilayah ini unik karena ia secara geografis terletak di sebelah Timor Barat, dikelilingi wilayah Indonesia kecuali sisi utara yang berbatasan dengan Laut Sawu. Oekussi terpisah dari wilayah Timor Leste.
Luas Oekussi 815 km² dan dihuni oleh 64,025 jiwa, menurut sensus 2010. Ibukotanya, Pante Macassar, selama pemerintahan Portugis disebut Vila Taveiro. Di distrik ini sekarang ada sub-distrik Nitibe, Oesilo, Pante Macassar dan Passabe.
Kefamenanu terletak sekitar satu jam perjalanan mobil dari Oekussi. Apa yang terjadi di Timor Leste mudah terbawa ke Kefamenanu. Pada 1999, beberapa kali dalam dua pekan liburan di Kefamenanu, bunyi dentum senjata terdengar pada malam hari. Entah dari mana.
Pernah juga saya berada dalam mikrolet bersama dengan seorang pria bercambang yang membawa senjata rakitan. Aroma minuman keras menguar dari mulutnya. Jantung saya berdetak kencang, membayangkan seandainya orang itu mengamuk.
Pengalaman lebih menegangkan dialami bapak saya. Pada 30 Agustus 1999, ia dengan jas warna abu-abu berada di sebuah tempat pemungutan suara jajak pendapat di Oekussi. Ia kebagian tugas sebagai pembawa doa di sana. Ia sempat berfoto dengan salah satu personil Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengumumkan hasil jajak pendapat pada 4 September 1999. Seluruh dunia pun tahu apa hasilnya. Indonesia kalah telak dalam referendum. Warga Timor Leste menolak integrasi dengan Indonesia.
Pada 7 September itu, bapak mengajak saya untuk ikut dengannya mengambil beberapa barang dari kantornya di Oekussi. Tapi saya, yang belum pernah sama sekali bertandang ke Oekussi, dilarang ibu.
“Ah, ngapain sih? Situasi lagi kayak begini,” protes ibu.
Akhirnya, bapak berangkat sendiri dari Kefamenanu ke Oekussi. Ia menyewa satu truk, berikut satu sopir dan pengawal milisi bersenjata laras panjang. Jadilah ia duduk di tengah, diapit kedua orang itu.
Kepada si sopir, sang pengawal berkata, “Kalau ada yang halangi di jalan, tabrak saja!”
Beberapa kilometer jelang tiba di Oekussi, si bapak melihat api melalap sejumlah rumah. Asap pun mengepul di sana-sini. Banyak ternak yang berkeliaran ke sana-ke mari, beberapa mati tergeletak begitu saja.
Mereka bertiga pun tiba di kantor Kementerian Agama. Kantor yang baru direnovasi itu pun sudah kacau balau, kotor, dan berantakan. Gorden yang belum lama diganti telah robek. Brankas berisi uang sudah tak jelas siapa yang menggondol. Bapak hanya mengambil meja dan beberapa barang pribadi yang memungkinkan untuk dibawa dengan truk.
Beberapa jam kemudian ia pun pulang dengan selamat ke Kefamenanu bertemu kembali dengan istri dan kelima anaknya.
Demi tanggungjawab pekerjaan, bapak memilih bertahan di Kefamenanu, saat semua bawahannya mengungsi ke Kupang, Pulau Jawa, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Bapak baru membawa keluarga pindah ke Bekasi, Jawa Barat, via Jakarta beberapa bulan kemudian. Ia lantas menjalani penugasan baru di kantor Kementerian Agama, di Lapangan Banteng, Jakarta, hingga pensiun tahun 2009.
Saya beruntung pernah wawancara bapak saya sebelum ia meninggal pada Oktober 2015.
Apa yang terjadi tahun 1999, sejatinya adalah ekor dari pendudukan Indonesia di Timor Timur, yang diawali dengan penugasan Benny Moerdani kepada Sutiyoso pada akhir tahun 1974.
Pada 1 Desember 1976, ketika invasi Indonesia terhadap Timor Timur dibahas di Sidang Umum PBB, hasilnya resolusi, yang menolak klaim Indonesia bahwa Timor Timur sudah berintegrasi dengan Indonesia. Resolusi tersebut didukung 68 negara, ditentang 20 negara, dan 49 lainnya menyatakan abstain. Artinya, hanya 50 persen anggota PBB setuju Timor Timur masuk Indonesia.
Pada 28 November 1977, saat kembali dibahas di Sidang Umum PBB, resolusi serupa kurang lebih menghasilkan suara yang setali tiga uang. Mayoritas negara di dunia sepakat bahwa warga Timor Timur berhak menentukan nasib diri mereka sendiri. Resolusi itu didukung 67 negara, ditentang 26 negara, dan 47 lainnya abstain. Artinya, Indonesia tak pernah berhasil secara sah memiliki Timor Leste.
Namun pemerintah Indonesia, di dalam negeri, selalu mengklaim semua urusan di Timor Timur sudah selesai sebagai “provinsi ke-27.” Saya, anak seorang pegawai negeri, yang percaya bahwa Timor Timur adalah provinsi Indonesia.
Pada 1999, Presiden B.J. Habibie, yang menggantikan diktator Soeharto, sadar bahwa Timor Timur adalah beban bagi Indonesia dan mendorong diadakannya jajak pendapat. Pengalaman bapak saya pada Agustus 1999 merupakan ekor pahit dari kenyataan bahwa Indonesia gagal mengadili berbagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur, selama tiga dekade, menciptakan keadilan, akhirnya, juga gagal mendapatkan hati warga Timor Leste.
Bis yang membawa kami dari Baucau ke Dili. Foto oleh Fransiskus Pascaries
PERJALANAN Agnes dan saya memang tak biasa. Bulan madu yang berbeda dari kebanyakan pasangan lain yang baru menikah. Tak sedikit teman dan sanak saudara kami yang terkejut saat mengetahui rencana bulan madu kami. Episode hidup sejak tahun 1988 hingga 1999 ini merupakan bagian tak terpisahkan dari diri saya. Saya menjalani usia 8 hingga 18 tahun di sana, plus sekitar dua pekan liburan tahun 1999.
“It was amazing, unique, awesome and unusual,” kata Ruben.
“Are you serious?” kata seorang teman pada Agnes.
Beberapa bulan sebelum kami menikah, Agnes juga sudah menyatakan keinginannya untuk berbulan madu ke sana. Bukan ke daerah atau negara lain, yang jadi tujuan bulan madu pada umumnya.
“Nggak pernah ngebayangin bisa ke Timor Leste. Antusias banget pas kesempatan itu ada di depan mata.”
Di Timor Timur, saya belajar bagaimana bergaul dengan orang Timor Leste, yang latar belakang budayanya berbeda dari masyarakat Indonesia pada umumnya. Di sana saya merasakan kesenangan, kesedihan, ketakutan, kemarahan atas banyak hal yang terjadi. Banyak hal melekat dalam ingatan saya: pantai yang indah, tuak yang nikmat, persahabatan dengan banyak teman Timor Leste, bunyi tembakan, demonstrasi anti pemerintah Indonesia, dan banyak lagi.
Perasaan saya mendua setiap kali berbicara atau menulis tentang Timor-Leste. Ada perasaan risih, karena pajak rakyat Indonesia juga dipakai untuk mengongkosi operasi militer, yang berujung pada pelanggaran HAM tahun 1975-1999. Di sisi berbeda, ada perasaan rindu untuk bertandang ke sana. Menginjakkan kaki di pantainya yang indah. Mencicipi kulinernya yang lezat sambil berbincang dengan teman-teman. Teman-teman yang selalu menyambut dengan sepasang tangan terbuka dan hati yang lapang. Saya kerap marah saat melihat kesewenang-wenangan aparat dalam menghadapi warga Timor Timur dulu. Jadi, jauh sebelum jajak pendapat digelar, saya sudah berkeyakinan bahwa akan tiba saatnya Timor Timur menjadi negara berdaulat. Saya selalu ingin tahu bagaimana duduk persoalan Timor Timur.
PADA 2001, United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET) membentuk Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR) guna melakukan pencarian kebenaran periode 1974-1999, memfasilitasi rekonsiliasi komunitas untuk kejahatan yang tak terlalu berat, dan melaporkan hasil pekerjaan dan penemuannya serta membuat rekomendasi.
Laporan mereka, berjudul Chega! diserahkan kepada pemerintah Timor Leste pada Oktober 2005. Isinya, lebih dari 8.000 kesaksian korban dan saksi serta lebih dari 1.300 kesaksian mantan milisi. CAVR merekomendasikan dibentuknya pengadilan terhadap semua kejahatan, yang pernah terjadi, serta rekonsiliasi dan pemaafan untuk kejahatan ringan. Chega! juga meminta beberapa negara, termasuk Indonesia dan Australia, membayar kerugian kepada para korban.
Tapi, laporan 2.800 halaman, yang menghabiskan dana sekira US$5 juta, menjadi laporan, tanpa ada kemauan politik, terutama dari pihak Indonesia, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, buat dijalankan. Presiden Xanana membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan bersama Yudhoyono. Isinya, basa-basi menyelesaikan persoalan hak asasi manusia akibat pendudukan Indonesia. Beberapa orang Timor Timur diadili tapi tak ada satu pun tentara atau polisi Indonesia dihukum. Timor Leste adalah negara mungil. Mereka takkan berani mengambil risiko punya hubungan tegang dengan tetangga raksasa: Indonesia.
Bagi Agnes, perjalanan ke Timor Leste ini seakan ingin memberitahu kami berdua, bahwa kehidupan pernikahan itu tidak selalu sesuai dengan apa yang direncanakan dan diharapkan. “Jalan berliku yang kadang-kadang berlubang pasti ada kalanya terjadi. Tapi, kemudian mulus dan lurus lagi. Dan, akhirnya sampai ke tempat tujuan. Persis banget kayak perjalanan dari Kupang ke Dili,” katanya.
Ketika di Timor Leste, banyak kenalan yang membantu kami. Ada yang menyediakan tumpangan. Ada pula yang mempersilakan kami untuk bermalam di kediamannya.
Menjalani pernikahan, tak melulu soal kebahagiaan. Namun, sebaliknya, manusia tidak akan selamanya larut dalam elegi. Ketika kesulitan menghampiri, sahabat dan relasi datang membantu. Tetapi, kami tidak bisa selalu mengandalkan mereka. Istilah Agnes, “Kamilah pemeran utama dalam “lakon” pernikahan kami, mereka supporting actors dan cameo-nya.”
Saya sendiri meyakini, manusia takkan bisa melangkah maju ke depan tanpa belajar dari sejarah. Semoga hal itu berguna untuk pernikahan kami kini, nanti, dan selamanya. ***
Penulis bekerja di sebuah kedutaan besar di Jakarta. Dia mengikuti kursus menulis di Yayasan Pantau sebelum perjalanan bulan madu di Timor Leste.