APA bedanya antara Marxis dan posmo? Kali ini coba kita arahkan imajinasi ke kehidupan orang Nyinba. Orang Nyinba adalah salah satu kelompok etnik Tibet penghuni lembah-lembah terpencil Himayala bagian utara Nepal. Kebudayaan orang Nyinba menarik (atau mengherankan buat kita) karena mereka mempraktikkan kawin poliandri. Di sana, lazim apabila seorang perempuan mengawini dua atau lebih laki-laki dalam waktu bersamaan. Setelah upacara kawin, mereka akan tinggal dan mengelola rumahtangga bersama. Praktik kawin poliandri di sana juga tak cuma sebentuk. Setidaknya ada empat yang biasa dijalankan. Salah satu yang membikin kebanyakan pembaca laki-laki tak habis pikir ialah poliandri fraternal: seorang perempuan mengawini dua atau lebih laki-laki yang sesaudara kandung. Apabila di sebuah keluarga ada empat anak laki-laki, maka keempat-empatnya diwajibkan mengawini dan membentuk keluarga dengan satu perempuan saja.
Apa kira-kira tanggapan anggota partai yang banyak petinggi laki-lakinya kawin dengan lebih dari satu perempuan sekaligus? Bisa jadi begini: bagaimana bisa ada manusia laki-laki yang sudi berbagi istri dengan saudara-saudaranya? Bagaimana dengan nasab anak-anaknya? Kalau suaminya lebih dari satu, bagaimana menuliskan bin atau binti anak-anaknya? Bukannya merepotkan kalau mau bikin akta lahir dan batu nisan kelak? Kalau suaminya satu, meski istrinya lebih dari satu, kan gampang menelusuri nasab anak-anaknya. Tinggal kita sebut saja Fulan bin Filun atau Fulanah binti Filun. Tak merepotkan pula kalau perlu bikin akta lahir atau nama di nisan. Ada-ada saja orang Nyinba ini. Tak masuk akal. Pasti itu karena mereka belum kenal agama langit.
Melihat seorang laki-laki mengawini lebih dari satu perempuan tak menimbulkan sak wasangka buat anggota partai itu. Tapi jijik menyeruak bahkan sekadar mendengar ada masyarakat yang membolehkan (bahkan orang Nyinba mengidealkan) perkawinan seorang perempuan dengan lebih dari satu laki-laki sesaudara sekaligus. Kalau dia diberi tahu praktik kawin orang Ache atau orang Bari di Amerika Selatan, bisa-bisa muntah. Apa pasal? Orang Ache dan orang Bari termasuk masyarakat yang meyakini bahwa nasab anak bisa dibagi-bagi di antara beberapa bapak. Apabila seorang laki-laki punya istri, dan istrinya itu ketahuan hamil, maka dia disunahkan membawa laki-laki lain (kadang lebih dari satu) untuk berhubungan seks dengan istrinya selama masa kehamilan. Kelak jabang bayi lahir, ‘suami-suami’ tambahan itu berhak menyandang predikat sebagai bapak si anak, meski dengan tambahan predikat ‘separo’. Bapak-bapak separo ini, seperti bapak penuhnya, juga bertanggung jawab terhadap kesejahteraan si anak. Dan seandainya orang Ache kenal akta kelahiran, mereka wajib mencantumkan nama bapak-bapak separo si anak di belakang bin atau binti. Apa orang Ache ini tak pernah belajar biologi? Mana bisa nuftah terbentuk oleh lebih dari sperma dari dua atau lebih laki-laki? Lagi pula sungguh nista membolehkan istri disetubuhi laki-laki lain selama kehamilannya! Pasti laki-laki Ache ini sakit jiwa. Bagaimana mungkin mereka tidak terbit cemburu istrinya disetubuhi laki-laki lain?!
Melihat seorang laki-laki menyetubuhi lebih dari satu perempuan karena dia terikat akad nikah sah dengan semua perempuan itu, tak timbul sak wasangka apa-apa. Tapi sekadar mendengar kabar dari antropolog ada masyarakat yang bahkan mensunahkan suami mencarikan laki-laki lain untuk menyetubuhi istrinya akan menerbitkan kejijikan di benak anggota partai itu. Apa pasal? buat anggota partai yang banyak petingginya punya lebih dari satu istri itu, kawin kalau tidak monogami (seorang laki-laki dengan seorang perempuan) ya poligini (seorang laki-laki dengan beberapa perempuan sekaligus). Cuma dua praktik kawin ini saja yang dianggapnya lazim. Kelaziman keduanya bertalian dengan kelaziman-kelaziman kultural lain yang diajarkan masyarakatnya. Misalnya kelaziman pandangan bahwa nasab anak itu turun dari bapaknya, bukan ibunya, karena darah mengalir melalui bapak ke anak-anak, bukan dari ibu ke anak-anak. Nah untuk yang terakhir ini, anggota partai yang banyak petinggi laki-lakinya mengawini lebih dari satu perempuan itu, pasti akan muntah darah kalau tahu ada masyarakat yang tidak peduli pada kebapakan anak-anak. Buat orang Nayar misalnya, nasab itu tidak diturunkan dari bapak ke anak, tapi dari ibu ke anak. Siapa pun bapak biologisnya, yang harus jelas (dan jelas-jelas paling jelas) ialah siapa ibunya (karena bapak tidak bisa hamil dan beranak!). Perempuan Nayar juga boleh berhubungan seks dengan laki-laki mana pun yang disukai, sebelum maupun setelah upacara kawin. Satu-satunya larangan ialah berhubungan seks dengan laki-laki dari kasta lebih rendah. Kelak dia hamil dan melahirkan, anaknya akan dinasab sebagai anak dari klan ibunya. Jadi, siapa bilang kalau nasab itu harus lewat laki-laki? Siapa bilang poliandri itu tak normal? Jawabannya: masyarakat tempat si anggota partai itu yang bilang. Melalui petuah orangtua, ceramah ustadz, pengajaran guru sekolah, wartawan media massa dan cerita sinetron, dan sebagainya masyarakat membentuk individu sebagai subjeknya; sebagai bagian dari keberadaannya sebagai sistem metafisik dan moral. Untuk beroperasi sama sekali, suatu masyarakat memerlukan individu-individu normal, yang sesuai dengan batas-batas keberadaannya. Karena kenormalan memungkinkan keteraturan kehidupan sosial dan keteraturan ini memungkinkan kendali lebih efektif atas perilaku orang-orang, bukan suatu kebetulan apabila di semua masyarakat kenormalan (metafisik) diartikan sebagai kebaikan (moralitas). Dalam banyak contoh, moralitas ini juga diwujudkan ke dalam hukum bersanksi untuk memperkokoh kendali masyarakat atas subjek-subjeknya.
Tapi masyarakat bukanlah entitas yang keberadaannya terlepas dari orang-orang yang menghidupinya. Masyarakat bukan pula sekarung kentang dalam sekarung kentang yang semuanya kentang. Masyarakat senantiasa tersusun atas golongan dan lapisan-lapisan. Kalau cuma ada golongan atau lapisan beda sih tak jadi soal. Masalahnya adanya golongan dan lapisan sosial itu bertalian erat dengan penggolongan dan pelapisan kendali atas syarat-syarat material kehidupan orang-orang. Ada segolongan orang yang memedang kendali dan dengan demikian menentukan aturan-aturan. Kendali ini penting selama hasilnya ialah kesesuaian tatanan kehidupan yang dikendalikan dengan kepentingan-kepentingan pemegangnya.
Masyarakat tempat si anggota partai yang petinggi laki-lakinya banyak kawin poligini itu menjadi subjeknya punya ideologi berbeda dengan masyarakat Nyinba. Itulah sebabnya dia mengutuki poliandri Nyinba sebagai tidak normal. Itu pula yang membuatnya mengutuki praktik kawin orang Ache sebagai bejat atau pernasaban orang Nayar sebagai ngaco. Semua yang ada di luar batas-batas metafisik dan moralitas masyarakatnya dianggap tidak normal. Dan karena normal itu baik, maka tidak baik bila tidak normal. Di sini si anggota partai adalah subjek ideologis masyarakatnya. Sementara itu, sebagai subjek-subjek masyarakatnya, orang Nyinba merasa kehidupan yang di dalamnya ada poliandri adalah kehidupan normal. Baginya sungguh suatu kejadian luar biasa apabila ada keluarga yang terbentuk oleh kawin poligini seperti dalam masyarakatnya si anggota partai itu.
Seperti dibilang para petinggi Marxis Perancis, beroperasinya ideologi di dalam kehidupan manusia itu pada dasarnya mencakup pembentukan dan pemolaan bagaimana umat manusia (merasa) menghidupi kehidupan mereka sebagai tindakan-tindakan sadar di dalam dunia yang terstruktur dan bermakna. Dengan kata lain, ideologi beroperasi sebagai diskursus yang menyasar dan menyusupi manusia sebagai subjek-subjek masyarakat.
Sampai di sini, Marxis dan posmo tampak sejalan. Tapi kalau posmo langsung menyerukan relativisme kebudayaan, yakni bahwa setiap masyarakat tak lebih dari diskursus yang cuma ada di dalam dan melalui pikiran diskursif yang tak tereduksi pada apapun sehingga tak ada faedahnya mencari sebab-sebab, Marxis tidak begitu. Marxisme datang bukan sebagai pembela narasi-narasi kecil sebagai narasi-narasi kecil belaka. Pertama-tama ia datang untuk menjelaskan akar dari pikiran-pikiran diskursif itu. Ideal poliandri orang Nyinba bisa ditelusuri basis materialnya. Begitu pula dengan wacana ‘Muhammad adalah seorang pengusaha’.***