Foto: Fortune
TERLEPAS dari wacana program Down Payment (DP) rumah 0 rupiah salah pasangan Cagub DKI, harga rumah di Jakarta menyimpan persoalan terkait bagaimana pasar sesungguhnya bekerja.
Merujuk pada pemikiran ekonomi klasik seperti Thomas Robert Malthus (1766-1834), maupun aliran neo-klasik, dari Herman Heinrich Gossen (1810-1858), Alfred Marshall (1842-1924), hingga Augustin Cournot (1801-1877) yang menteorikan pasar oligopoli, para pengambil kebijakan, ekonom bahkan media massa percaya bahwa harga rumah terbentuk dari hasil tarik menarik antara penawaran-permintaan dalam pasar persaingan sempurna dan bebas.
Teori Malthus
Malthus dalam bukunya ”Essay on Principle of Population it Affects the Future” menyatakan pertumbuhan penduduk selalu lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produksi barang dan jasa. Jumlah penduduk mengikuti deret ukur, sementara jumlah produksi hanya tumbuh mengikuti deret hitung.
Demikian jumlah kebutuhan lebih banyak dari ketersediaan alat pemuas (barang dan jasa). Ketidakseimbangan ini mendorong terjadinya kelangkaan atas alat pemuas. Kelangkaan memaksa orang mengeluarkan pengorbanan lebih untuk memperoleh alat pemuas.
Merujuk pada teori kelangkaan Malthus, pengambil kebijakan dan ekonom kemudian menyimpulkan bahwa tingginya harga rumah disebabkan tidak sebandingnya laju pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan rumah. Laju pertumbuhan penduduk Jakarta mencapai 2,3 persen setiap tahunnya, sedangkan laju pertumbuhan perumahan hanya sebesar 2,02 persen.
Rendahnya ketersediaan rumah, disebabkan tingginya biaya produksi, yang dipicu oleh mahalnya harga tanah, akibat terbatasnya ketersediaan lahan.
Di Jakarta dan sekitarnya, kenaikan rata-rata harga tanah mencapai 20-50 persen per tahun, bahkan saat booming property tahun 2012, harga tanah melambung sampai 200 persen. Sebagai gambaran, harga tanah di Alam Sutera (Tanggerang) berkisar angka Rp 16 juta-Rp 21 juta per m2; di BSD City, antara Rp 11 juta-Rp 16 juta; di Bekasi tanah dilepas pada harga Rp 8 juta-Rp 9 juta; sementara di Bogor sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta per m2.
Dalam struktur biaya produksi rumah, porsi harga tanah mencapai 25 persen dari total ongkos produksi. Secara keseluruhan biaya produksi mencapai sekitar 70-80 persen dari harga jual.
Sebagai catatan, struktur biaya produksi terdiri dari atas komponen struktur dan infrastruktur, serta komponen nonstruktur. Komponen biaya struktur dan infrastruktur meliputi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) yang terdiri dari biaya pembangunan (harga tanah sebesar 25 persen, bahan bangunan 15 persen, dan biaya pekerja 10 persen), dan fasilitas pendukung lainnya yang besarnya bisa mencapai 5 persen. Sedangkan biaya infrastruktur terbagi atas biaya pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang mencapai 5 persen. Sementara komponen biaya non struktur terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) besarnya 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, serta biaya promosi yang nilainya bervariasi antara 5-10 persen dari harga jual.
Namun, kenyataannya kelangkaan bukan disebabkan tingginya laju pertumbuhan penduduk, namun disebabkan terkonsentrasinya penguasaan lahan secara besar-besaran pada sekelompok orang dan perusahaan. Ini terkonfirmasi dari rencana pemerintah mendorong harga tanah menjadi kembali lebih rasional, melalui penerapan sistem pajak berkeadilan yang dijabarkan dalam tiga skema pajak lahan, yaitu pajak progresif kepemilikan tanah, pajak atas transaksi jual-beli tanah (capital gain tax) dan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized asset tax).
Situasi yang sama, juga terjadi pada penguasaan rumah tinggal. Tingginya harga rumah disebabkan rumah terkonsentrasi pada segelintir orang kaya. Orang-orang kaya menempatkan rumah bukan sekedar tempat tinggal, tapi sebagai ajang investasi dan spekulasi.
Penguasaan rumah oleh segelintir orang kaya terekam dari pemberitaan Media Indonesia (30/4/2016) yang mengungkapkan Rusun Muara Karang, Penjaringan, yang semula diperuntukkan bagi relokasi korban pengusuran, 95 persen telah dikuasai orang lain.
Pemandangan yang sama juga terjadi di apartemen Kalibata City yang mulanya dibangun untuk masyarakat menengah ke bawah, justru disesaki penghuni bermobil pribadi, bahkan banyak unit rusun disewakan, mulai harian hingga tahunan. Sebagai ilustrasi, satu unit apartemen tipe studio ukuran 28 m2 di Kalibata City disewakan Rp 2,5-3 juta per bulan, sementara tariff sewa harian berkisar Rp 100 hingga Rp 200 ribu.
Kegagalan Gossen dan Marshall
Rumah yang diletakkan sebagai alat investasi, sesungguhnya telah mengugurkan teori marginal utility yang dirumuskan oleh Herman Heinrich Gossen (1810-1858) ke dalam hukum Gossen I yang berbunyi; “jika jumlah suatu barang yang dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu terus ditambah, maka kepuasaan total yang diperoleh juga bertambah. Akan tetapi, kepuasan marginal akan semakin berkurang, bahkan bila konsumsi terus dilakukan, pada akhirnya tambahan kepuasaan yang diperoleh akan menjadi negatif dan kepuasaan total menjadi berkurang.”
Sebagai alat investasi kepuasaan total tidak berhenti hanya pada barang pertama tapi pada barang-barang selanjutnya. Sebagaimana rumah pertama, pada rumah kedua dan seterusnya kepuasaan total tetap tercapai, karena pemilik memperoleh pendapatan dari sewa rumah-rumah yang dikuasainya.
Begitu juga dengan hukum Gossen II yang berbunyi; “Seorang konsumen akan membagi-bagi pengeluaran uangnya untuk membeli berbagai macam barang sedemikian rupa hingga kebutuhan-kebutuhannya terpenuhi secara seimbang.”
Pada kenyataannya, seorang konsumen tidak selalu membagi-bagi pengeluarannya untuk membeli berbagai macam barang untuk menyeimbangkan kebutuhannya, tapi juga bisa membeli barang yang sama secara berulang-ulang guna mendapatkan keuntungan lebih lanjut di masa depan.
Pasar perumahan Jakarta, bukan saja tak sejalan dengan hukum Gossen, namun juga menegasi hukum permintaan-penawaran yang dikembangkan Alfred Marshall (1842-1924)
Hukum permintaan berbunyi: “apabila harga naik maka jumlah barang yang diminta akan mengalami penurunan, dan apabila harga turun maka jumlah barang yang diminta akan mengalami kenaikan. ”
Pada kenyataanya, ketika harga rumah terus naik, dan semakin tidak terjangkau masyarakat, permintaan atas rumah justeru mengalami peningkatan. Pada tahun lalu (2016) permintaan perumahan tumbuh sebesar 3,9 persen atau naik 0,3 persen dibandingkan tahun 2015 yang hanya tumbuh sebesar 3,6 persen.
Sementara, hukum penawaran berbunyi “bila tingkat harga mengalami kenaikan maka jumlah barang yang ditawarkan akan mengalami kenaikan, dan bila tingkat harga turun maka jumlah barang yang ditawarkan akan mengalami penurunan.”
Tapi pada kenyataannya ketika harga rumah mengalami kenaikan, pasokan rumah justru mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada tahun 2015 terjadi kekurangan kebutuhan (backlog) perumahan di Indonesia mencapai 11,4 juta unit. Dalam kurun waktu lima tahun (2010-2015), diperkirakan jumlah suplai pembangunan rumah per tahun hanya sekitar 400.000 sampai 500.000 unit. Sementara kebutuhan rumah bagi masyarakat mencapai 800.000 unit rumah per tahun.
Tak bekerjanya hukum permintaan-penawaran maupun gugurnya teori marginal utility milik Gossen, mencerminkan bahwa harga rumah seungguhnya tidak bekerja dalam persaingan sempurna, namun ditentukan oleh “kongkalingkong” antara produsen dan segelintir konsumen orang-orang kaya.
Pasar Oligopoli
Harga yang dibentuk dari hasil “kongkalingkong” antara produsen dan segelintir konsumen, mengindikasikan bahwa harga sesungguhnya menyimpan persoalan serius pada dirinya, yakni bergantung pada kebohongan dan penipuan.
Harga yang bergantung pada kebohongan dan penipuan, hanya dapat terjadi dalam pasar persaingan yang tidak sempurna, dan agaknya pasar semacam ini yang sedang berlangsung dalam bisnis perumahan di Jakarta—yang mengambil bentuk pasar oligopoli.
Beroperasinya pasar oligopoli membenarkan pernyataan kaum neo-klasik bahwa laba sepenuhnya dihasilkan dalam ranah sirkulasi, dimana komoditi dapat dijual dengan harga sangat tinggi, sehingga hanya sedikit orang yang mampu membelinya. Ketika rumah dikuasai oleh segelintir orang, maka pemenuhan kebutuhan rumah masyarakat dilakukan dengan sistem sewa.
Namun, ekonomi semacam ini memperlihatkan dengan nyata bagaimana akumulasi keuntungan tanpa batas yang eksploitatif merupakan bentuk dari kapitalisme yang paling brutal.
Kritik Marx
Karl Marx (1818-1883) menyatakan eksploitasi merupakan hal yang inheren dalam sistem kapitalisme. Sistem ini hanya dapat hidup selama modus eksploitasi (mode of exploitation) dapat terus berlangsung.
Melalui teori nilai kerja-nya, eksploitasi dirumuskan Marx kedalam Sirkulasi Kapital, yang secara matematis dituliskan dalam persamaan; M-C-M’ (Money-Commodity-Money).
Dalam persamaan M-C-M’, diandaikan seorang kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli sarana produksi dan bahan baku (constan capital) dan tenaga kerja—upah (variable capital) untuk menghasilkan komoditas yang dapat dijual kembali dan merealisasikan laba.
Karena constan capital bersifat tetap, menurut Marx satu-satunya sumber nilai lebih (laba) adalah variable capital. Demikian nilai lebih merupakan eskpresi dari eksploitasi.
Marx membangun teori nilai lebih dalam asumsi pasar persaingan sempurna. Namun pada pasar oligopoli seperti pasar perumahan di Jakarta, eksploitasi terjadi jauh lebih brutal dari banyangan Marx. Eksploitasi bukan hanya dialami kaum buruh, tapi dialami oleh setengah penduduk Jakarta, terutama yang berpenghasilan rendah.
Demikian, program DP rumah 0 rupiah tidak akan menyelesaikan persoalan perumahan yang dihadapi penduduk Jakarta, sejauh corak produksinya masih eksploitatif dan bentuk pasarnya tidak mengalami perubahan. ***