LEWAT artikel sebelumnya kita berkenalan dengan pemikiran David Hume lewat pamflet An Abstract of a Treatise of Human Nature [1740]. Di sejarah ilmu, pemikiran Hume kerap diklasifikasi dalam istilah ‘empirisisme’, berakar dari kata Yunani kuno empeiria, yang berarti pengalaman. Jadi empirisisme bisa juga kita katakan sebagai ‘pengalaman-isme’. Istilah empirisisme tidak identik dengan istilah-istilah yang mengandung kata dasarnya, misalnya ‘ilmu empiris’, ‘pengamatan empiris’, ‘pendekatan empiris’, ‘penyelidikan empiris’ atau ‘metode empiris’. Satu aktivitas ilmiah bisa saja melakukan ‘penyelidikan empiris’ tanpa mesti digolongkan sebagai bagian dari empirisisme. Pembedaan ini agaknya penting sebab seluruh ilmu-ilmu modern pada dasarnya amat bergantung pada penyelidikan empiris. Selain itu, istilah empirisisme juga kerap dikenakan pada pemikir-pemikir lain seperti Francis Bacon, Pierre Gassendi, Thomas Hobbes, John Locke, dan George Berkeley. Pemaknaan mereka tidak seragam. George Berkeley misal, membangun pemikirannya justru lewat kritik atas pemikiran John Locke. Kalaupun mau digunakan, penggolongan pemikiran Hume sebagai bagian dari ‘empirisisme’ mesti dilakukan dengan kemawasan akan kompleksitas sejarah istilahnya. Ini kenapa pada artikel terdahulu pemikiran Hume dipaparkan tanpa satu kali pun diasosiasikan dengan istilah empirisisme.
“David Hume” bukan nama asing di kepustakaan Marxis. Marx, Engels, dan Lenin masing-masing pernah meluangkan waktu-energi mengomentari pemikiran Hume. Komentar ketiganya ini semestinya sudah lebih dari cukup buat meyakinkan arti penting pemikiran Hume. Apalagi komentar ini mencakup dua bidang penting, filsafat dan ekonomi-politik. Engels dan Lenin lebih banyak mengomentari filsafat Hume, sementara Marx, ekonomi-politik. Menyambung artikel sebelumnya, kali ini kita akan menengok komentar di bidang filsafat. Niatnya, artikel ini dan artikel sebelumnya bisa menjadi bahan dasar untuk melengkapi komentar panjang Marx atas pemikiran ekonomi-politik Hume di A Contribution to the Critique of Political Economy dan Capital.
Vladimir Lenin mengomentari Hume dalam bab mengenai teori pengetahuan Marxis di Materialism and Empirio-criticism. Di sana Lenin menulis;
“…mesti dikatakan bahwa banyak idealis dan semua agnostik (termasuk para Kantian dan Humean) menyebut materialis sebagai metafisikawan, sebab tampaknya bagi mereka untuk mengakui keberadaan dunia eksternal yang independen dari pikiran manusia berarti melampaui batas-batas pengalaman”[1]
Penyebutan para Kantian dan Humean sebagai para ‘agnostik’ ini berakar dari Engels[2] yang sebabnya nanti akan kita lihat juga. Yang menarik adalah anggapan para Kantian dan Humean yang menyebut para materialis sebagai “metafisikawan”, sebab para materialis “mengakui keberadaan dunia eksternal yang independen dari pikiran manusia” yang tidak terjangkau “batas-batas pengalaman”. Jika bagi Lenin, Hume dan pengikutnya tidak mengakui keberadaan dunia eksternal, Hume menganggap Lenin seorang metafisikawan; “Lenin-sang-metafisikawan”. Mengapa Lenin menyimpulkan pemikiran Hume tidak mengakui keberadaan dunia eksternal? Dari definisinya mengenai “impresi”, satu dari dua jenis “persepsi”, Hume nampak mengakui adanya realitas eksternal. Hume menulis:
“ketika kita merasakan gairah atau emosi apapun jenisnya, atau menerima citra dari objek-objek eksternal yang dicerap oleh indera-indera kita, persepsi dari pikiran ini disebut sebagai impresi-impresi…”[3]
Sebelum menjawab, kita mundur ke Friedrich Engels van Haar. Engels mengomentari Hume di Ludwig Feuerbach and the End of Classical German Philosophy [1886]. Dalam bagian buku yang lantas masyhur karena pembelahan Engels atas sejarah filsafat ke dalam dua kutub besar, materialisme dan idealisme, Engels menulis:
“Sebagai tambahan masih ada beberapa filsuf lain—yakni mereka yang menolak kemungkinan setiap kognisi, atau setidaknya kognisi yang menyeluruh, akan dunia. Di antara mereka, yang paling terkini, kita temukan Hume dan Kant, dan mereka telah memainkan peran yang sangat penting di dalam perkembangan filosofis.”[4]
Jika Lenin anggap pemikiran Hume tidak “mengakui keberadaan dunia eksternal yang independen dari pikiran manusia” di luar “batas-batas pengalaman”, bagi Engels filsafat Hume “menolak kemungkinan setiap kognisi, atau setidaknya kognisi yang menyeluruh, akan dunia”.
Bagaimana dengan Marx?
Nama Hume sudah muncul di kata pengantar Marx atas karya disertasinya. Sayangnya kutipan itu kurang signifikan, dalam arti Marx tidak mengajukan penilaian filosofis. Lebih menarik adalah munculnya nama Hume dalam salah satu eksperimen sastrawi Marx, Scorpion and Felix: A Humoristic Novel. Di sana, Marx jadikan filsafat Hume bahan satir;
“David Hume menyatakan bahwa bab ini adalah locus communis dari bab sebelumnya, dan bahkan menyatakan itu sebelum saya telah menuliskannya. Pembuktiannya ialah sebagai berikut: semenjak bab ini ada, maka bab sebelumnya tidak ada, tetapi bab ini telah menyisihkan bab awal yang darinya ia timbul, meski tidak melalui operasi sebab dan akibat, karena inilah yang ia permasalahkan. Kini tiap raksasa, dan karenanya tiap bab dengan duapuluh baris, mengandaikan seorang kurcaci; tiap genius mengandaikan filistin kacangan, dan tiap badai di lautan—lumpur, dan seketika yang pertama lenyap, yang kemudian muncul, duduk di meja, mengangkang kakinya dengan arogan.
Sebab-musabab terlalu akbar untuk dunia ini, oleh karena itu mereka disingkirkan. Namun ‘akibat’ menancap dan tetap ada di sana, seperti yang bisa kita lihat dari fakta, betapa sampanye meninggalkan sisa getir sesudah dirasa, Caesar sang pahlawan meninggalkan Octavianus pemain-sandiwara, Kaisar Napoleon meninggalkan Louis Phillippe sang raja borjuis, filsuf Kant meninggalkan Krug ksatria karpet, penyair Schiller; Raupach Hofrat, surga Leibniz, ruang kelas Wolf, dan anjing Boniface meninggalkan bab ini.
Sebagai hasil dasarnya mengendap, sementara semangat menguap.”[5]
Ada dua hal dari pemikiran Hume yang Marx kemukakan, dua hal yang diuraikan juga oleh Hume dalam “An Abstract…”; soal sebab-akibat dan pembuktian keberadaannya.
Pamflet pendek Hume mulai dengan pernyataan akan menarik kesimpulan hanya melalui sarana pengalaman (experience)[6]. Proposisinya mensubordinasi ‘ide-ide’ sepenuhnya di bawah ‘impresi-impresi’[7]. Hume lalu memeriksa ide soal ‘sebab-akibat’ lewat uji coba empiris, karena ide soal ‘sebab-akibat’ mesti dapat diturunkan dari peristiwa empiris yang dapat dicerap secara inderawi, atau dengan kata lain, diterima oleh impresi-impresi. Hasil uji-coba bola biliar Hume, seperti yang sudah kita lihat, membawa pada kesimpulan sederhana; pengalaman hanya dapat memastikan hubungan sebab-akibat di masa lalu dan di masa kini tanpa bisa memastikan hubungan sebab-akibat di masa yang akan datang. Sebab pengalaman tidak dapat menjangkau masa depan dan tidak ada jaminan alam berlangsung seragam—tidak ada jaminan hubungan sebab-akibat yang sama terjadi di masa yang akan datang dan hanya adat-istiadat dan kebiasaan yang bikin manusia meyakini hubungan sebab-akibat yang sama juga akan terjadi di masa depan.[8]
Problem Hume adalah fiksasinya pada ‘pengalaman’ yang ia gunakan sebagai sumber pengetahuan, namun juga sebagai isi dan alat penarikan kesimpulan ilmu. Sebagai pembanding, epistemologi Marxis juga sangat bergantung pada pengalaman, mengakui pengalaman yang diperoleh dari persepsi dan panca indera manusia sebagai sumber utama dan satu-satunya pengetahuan manusia atas dunia eksternal. Tanpa panca indera, manusia tidak jauh berbeda dengan boneka; tidak memiliki pengetahuan akan dunia. Namun pengertian ‘pengalaman’ Hume berbeda. Ia memaknai pengalaman sebagai persepsi, sarana manusia memperoleh tampakan subjektif (subjective semblance) dari realitas[9], sementara epistemologi Marxis memahami persepsi sebagai sarana manusia memperoleh tampakan objektif dari realitas. Memahami persepsi sebagai sarana memperoleh tampakan objektif realitas, berarti mengakui apa yang kita ketahui barulah sebagian kecil dari keseluruhan realitas. Sebagai suatu tampakan, artinya tampakan itu hanya satu sisi, bagian gejala-gejala yang seringkali malah sama sekali berlainan dengan esensi realitasnya. Sedangkan sebagai suatu yang objektif, realitas itu ada terpisah dari persepsi kita atas penampakannya dan esensinya tidak terpengaruh persepsi kita atasnya. Pengertian seperti ini mengandung pemahaman proses pengetahuan yang tidak berhenti pada tahap persepsi, pada tampakan-tampakan dan gejala-gejalanya saja, melainkan juga terus menerus diperdalam demi menangkap unsur-unsur realitas secara keseluruhan beserta hakikatnya.
Sementara memahami persepsi sebagai sarana manusia memperoleh tampakan subjektif berarti menyamakan gagasan kita atas penampakan realitas dengan realitas itu sendiri. Realitas dalam pengertian ini “tergantung sudut pandang” manusia saja. Ini sudah terlihat dari proposisi pertama yang Hume ajukan, yakni semua ide (‘persepsi lemah’) diturunkan dari impresi (‘persepsi kuat’). Saat mengajukan proposisi ini Hume awalnya mengikuti konsepsi Locke akan tidak adanya ide bawaan dalam diri manusia (no idea are innate). Namun Hume juga mengkritisi Locke yang menyamakan semua jenis persepsi dengan ide, sementara Hume percaya bahwa tidak seperti ide, ada jenis persepsi atau impresi yang sudah sejak lahir berada dalam diri manusia. Misalnya kasih sayang, kemarahan, dan cinta akan kebijaksanaan[10]. Pengertian ini selain memperlihatkan Hume yang meyakini manusia sebagai mahluk yang pada dasarnya filsuf, membuat Hume mereduksi ide (‘persepsi lemah’) sebagai hasil dari impresi (‘persepsi kuat’) sepenuhnya—mereduksi apa yang mampu dipikirkan manusia dengan kemampuan organ otak pada cerapan kelima indera sepenuhnya. Jadi apa yang dapat kita pikirkan sudah pasti tercakup pada apa yang kita rasakan. Dengan kata lain, tidak ada kemampuan berpikir yang independen sedikitpun terhadap hasil cerapan pancaindera.
Dalam “An Abstract…” pengutamaan impresi ini Hume jalankan dengan menguji ide sebab-akibat lewat ujicoba empiris. Mengapa gagasan mengenai hubungan sebab-akibat yang dituju Hume? Karena seperti yang ia nyatakan dalam pamfletnya, adanya peristiwa-peristiwa mestilah karena ada korelasi sebab-akibat antar objek-objek empiris. ‘Peristiwa-peristiwa’ biasa dipandang sebagai ‘akibat’ dari satu ‘sebab’ tertentu. Gagasan mengenai ‘sebab-sebab’ inilah yang sebelum Hume kerap dipandang sebagai ‘substansi’ dan ‘esensi’ dari realitas. Aristoteles, misalnya, memiliki doktrin empat penyebab dalam Fisika. Substansi tak lain adalah agen kausal dari adanya peristiwa-peristiwa. Namun di titik ini perbedaan Hume dengan para Marxis lagi-lagi mengemuka. Jika dalam filsafat Marxis sebab primer adanya peristiwa internal terhadap halnya (menubuh dalam unsur-unsur spesifik yang menyusun materialitas halnya), maka dalam Hume penjelasan adanya peristiwa didasarkan pada kategori-kategori relasional yang dipisahkan dari unsur-unsur spesifik penyusun materialitas halnya. Ini mengapa Hume memahami adanya peristiwa-peristiwa, adanya gerak dari bola biliar dengan menjelaskannya lewat kategori-kategori persinggunggan (contiguity), prioritas sebab dalam waktu, dan konjungsi kontan antar dua bola biliar dengan mengabaikan materialitas bola biliar itu sendiri yang memiliki bobot, ukuran, bentuk dan unsur-unsur khas yang menyusun materialitas bola bilar. Bagi Hume, peristiwa dan gerak realitas empiris hanya ada dalam bentuk relasi-relasi formal-idealistik saja. Pertanyaannya, mengapa Hume bahkan tidak mampu mengakui adanya unsur-unsur yang khas dari tiap-tiap realitas? Seperti yang pembaca duga, semuanya berakar dari proposisi yang Hume ajukan sejak awal, yakni fiksasi pada pengalaman atau lebih persisnya impresi-impresi sebagai alat utama penarikan kesimpulan. Masalahnya impresi tidak akan mampu menangkap unsur-unsur penyusun realitas karena apa yang bisa ditangkap oleh impresi hanya penampakan subjektif dari realitas-realitas dalam bentuk peristiwa-peristiwa.
Bagi Engels cara paling mudah untuk menguji kebenaran teori akan adanya hakikat realitas yang berada di luar dan tidak terpengaruh oleh impresi-impresi Humean adalah lewat jalan praktik sosial, yakni lewat eksperimentasi ilmiah, produksi kehidupan, dan hal-hal lain yang mengundang manusia bersentuhan dan mengubah realitasnya. Dalam praktik manusia bersentuhan langsung dengan realitas yang telah ia pahami sebelumnya di dalam akal dan dalam praktik manusia membuktikan pengetahuannya secara bersama-sama atau kolektif. Melalui praktik sosial pengetahuan manusia bukan hanya mendapatkan pembuktiannya lewat bersentuhan langsung dengan realitas yang ia kaji, akan tetapi ia juga mendapatkan sifat keumuman. Pengetahuan yang diuji melalui praktik sosial akan dapat divalidasi, diujicoba, dan dibuktikan juga orang-orang lain. Dalam praktik, pengalaman tidak lagi dimengerti secara subjektif seperti Hume, namun tidak juga dipahami sebagai amatan atas objek-objek eksternal yang terpisah dari keindrawian manusia. Dalam praktik, manusia dipaksa menemukan ‘substansi’ dan ‘esensi’ yang dengan susah payah dicari-cari oleh Hume. Hanya dengan praktik segala pemahaman yang ia peroleh mau tidak mau terbentur dengan kenyataan di luar dirinya. Dalam perbenturan dengan realitas ini jika manusia dengan benar memahami realitas—memahami bukan hanya gejala-gejala, peristiwa-peristiwa, melainkan juga mekanisme penyebab gejala-gejala dan peristiwa-peristiwa yang terjadi—maka ia akan sukses melaksanakan pekerjaannya. Sementara jika ia gagal, artinya ia belum benar-benar memahami hakikat realitas. Namun prasyarat praktik sosial yang tepat guna memerlukan teori. Jika pengetahuan persepsi membawa kita mengenali dan menyelidiki gejala-gejala dari realitas, maka pengetahuan rasional dalam bentuk pengetahuan teoretis saja yang dapat membantu menemukan hakikat realitas. Pengujian kebenarannya lah yang dilaksanakan pada tingkat praktik sosial. Salah satu teori besar yang dilahirkan oleh Marxisme adalah teori mengenai hukum gerak kapitalisme di bidang ekonomi-politik. Kita telah melihat bagaimana Hume berupaya menyingkirkan konsep substansi dalam filsafat dan akan kita lihat nanti bagaimana David Hume juga berupaya melakukan hal yang sama di ekonomi-politik lewat teori kuantitas uang (quantity theory of money).***
————–
[1] “It should be said that many idealists and all agnostics (Kantians and Humeans included) call the materialists metaphysicians, because it seems to them that to recognise the existence of an external world independent of the human mind is to transcend the bounds of experience.” Lenin Collected Works, vol. 14, hal: 63.
[2] Penyebutan ini dapat dilihat dari kalimat berikut, “If, neverthless, the Neo-Kantians are attempting to resurrect the Kantian conception in Germany and the agnostics that of Hume in England (where it never became extinct), this is, in view of their theoretical and practical refutation accomplished long ago, scientifically a regression and practically merely a shamefaced way of surreptitiously accepting materialism, while denying it before the world”. Marx-Engels Collected Works, vol. 26, hal: 368.
[3] “When we feel a passion or emotion of any kind, or have the images of external objects conveyed by our senses, the perception of the mind is what he calls an impression, which is a word that he employs in a new sense.” Semua kutipan dari Hume memakai versi tanpa halaman yang bisa diperoleh di sini: https://people.rit.edu/wlrgsh/Abstract.pdf
[4] “In addition there is yet another set of philosophers—those who dispute the possibility of any cognition, or at least of an exhaustive cognition, of the world. Among them, of the more recent ones, we find Hume and Kant, and they have played a very important role in philosophical development”. MECW, vol. 26, hal: 367.
[5] “David Hume maintained that this chapter was the locus communis of the preceding, and indeed maintained so before I had written it. His proof was as follows: since this chapter exists, the earlier chapter does not exist, but this chapter has ousted the earlier from which it sprang, though not through the operation of cause and effect, for this he questioned. Yet every giant, and thus also every chapter of twenty lines, presupposes a dwarf, every genius a hidebound philistine, and every storm at sea—mud, and as soon as the first disappear, the latter begin, sit down at the table, sprawling out their legs arrogantly.
The first are too great for this world, and so they are thrown out. But the latter strike root in it and remain, as one may see from the facts, for champagne leaves a lingering repulsive after taste, Caesar the hero leaves behind him the play-acting Octavianus, Emperor Napoleon the bourgeois king Louis Philippe, the philosopher Kant the carpet knight Krug, the poet Schiller the Hofrat Raupach, Leibniz’s heaven Wolf’s Schoolroom, the dog Boniface this chapter.
Thus the bases are precipitated, while the spirit evaporates.” MECW, vol. 1, hal: 628.
[6] “He proposes to anatomize human nature in a regular manner, and promises to draw no conclusions but where he is authorized by experience.”
[7] “The first proposition he advances is that all our ideas, or weak perceptions, are derived from our impressions, or strong perceptions, and that we can never think of anything which we have not seen without us, or felt in our own minds.”
[8] “It is evident that Adam, with all his science, would never have been able to demonstrate that the course of nature must continue uniformly the same, and that the future must be conformable to the past. What is possible can never be demonstrated to be false; and it is possible the course of nature may change, since we can conceive such a change. Nay, I will go farther, and assert that he could not so much as prove by any probable arguments that the future must be conformable to the past. All probable arguments are built on the supposition that there is this conformity betwixt the future and the past, and therefore can never prove it. This conformity is a matter of fact, and, if it must be proved, will admit of no proof but from experience. But our experience in the past can be a proof of nothing for the future, but upon a supposition that there is a resemblance betwixt them. This, therefore, is a point which can admit of no proof at all, and which we take for granted without any proof.”
[9] “Our author begins with some definitions. He calls a perception whatever can be present to the mind, whether we employ our senses, or are actuated with passion, or exercise our thought and reflection. He divides our perceptions into two kinds, viz. impressions and ideas. When we feel a passion or emotion of any kind, or have the images of external objects conveyed by our senses, the perception of the mind is what he calls an impression, which is a word that he employs in a new sense. When we reflect on a passion or an object which is not present, this perception is an idea. Impressions, therefore, are our lively and strong perceptions; ideas are the fainter and weaker. This distinction is evident; as evident as that betwixt feeling and thinking.”
[10] Kalimat ini adalah sambungan dari kalimat yang dikutip di catatan kaki no. Vii. “This proposition seems to be equivalent to that which Mr. Locke has taken such pains to establish, viz. that no ideas are innate. Only it may be observed, as an inaccuracy of that famous philosopher, that he comprehends all our perceptions under the term of idea, in which sense it is false that we have no innate ideas. For it is evident our stronger perceptions or impressions are innate, and that natural affection, love of virtue, resentment, and all the other passions, arise immediately from nature.”