LEBIH ebih dari satu dekade belakangan ini, Bahan Bakar Nabati (BBN) yang biasa disebut biofuel atau agrofuel[1] banyak didorong sebagai sumber energi terbarukan pengganti bahan bakar fosil. Berbagai negara, termasuk Indonesia, mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendorong produksi dan penggunaan biofuel. Produksi biofuel secara global pun mengalami peningkatan drastis sejak awal tahun 2000an.
Tidak berapa lama, kritik terhadap biofuel bermunculan. Ada yang menganggap biofuel sebenarnya tidak ramah lingkungan dan inefisien. Kemudian, ekspansi biofuel dianggap mengancam ketahanan pangan, karena lahan yang tadinya digunakan untuk tanaman pangan mulai digeser oleh tanaman biofuel, sehingga muncul isu “pangan vs bahan bakar” (food vs fuel). Lalu, perluasan biofuel juga dianggap ikut mendorong perampasan tanah.
Pertanyaannya, betulkah biofuel tidak bersih lingkungan dan inefisien? Bagaimana hubungan perluasan biofuel dengan ekspansi perkebunan dan perampasan tanah petani atau warga lokal? Betulkah produksi dan penggunaan biofuel didorong untuk kepentingan lingkungan hidup? Tulisan ini hendak mengeksplorasi isu-isu itu, khususnya hubungan perluasan biofuel dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit dan perampasan tanah di Indonesia.
Peran Negara dalam Ekspansi Biofuel
Sejak tahun 2000, produksi etanol dan biodiesel secara global meningkat dengan pesat. Selama 1975-1999, produksi etanol hanya meningkat sebesar 18.086 juta liter. Namun, pada 2000-2009, produksi etanol melonjak sebesar 55.132 juta liter. Pola serupa juga terjadi pada produksi biodiesel. Selama 1991-2000, produksi biodiesel hanya meningkat sebesar 786 juta liter. Tetapi, pada 2000-2009, produksi biodiesel meningkat pesat sebesar 13.919 juta liter (Sorda, Banse dan Kemfert 6678).
Grafik 1
Pesatnya peningkatan produksi biofuel itu terkait dengan kebijakan berbagai negara yang cukup agresif dalam mendorong produksi dan penggunaan biofuel. Diantaranya Amerika Serikat, Kanada; negara-negara Uni Eropa, terutama Jerman dan Perancis; Argentina, Brazil, Kolombia, Tiongkok, India, Malaysia, Thailand, Australia, dan tentu saja Indonesia. Kebijakan yang dikeluarkan antara lain kewajiban mencampur BBM dengan biofuel, dan pengecualian pajak serta subsidi untuk produsen biofuel.[2]
Di Indonesia, setidaknya sejak 2006, pemerintah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan biofuel. Dengan Perpres No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional, pasal 2, pemerintah menetapkan target biofuel sebesar 5% dari konsumsi energi nasional pada 2025. Kemudian, dengan Keppres No. 10 Tahun 2006, pemerintah menetapkan pembentukan Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran.
Tim yang masa kerjanya 2 tahun dan bisa diperpanjang ini, bertugas membuat cetak biru, peta jalan, dan langkah-langkah pengembangan BBN, serta mengevaluasi dan melaporkan kemajuan pengembangan BBN. Lalu, dengan Permenkeu No. 117/PMK 06/2006, pemerintah membuat program pemberian kredit dengan sebagian bunga ditanggung pemerintah untuk usaha bahan baku BBN dan perkebunan, yang mencakup kelapa sawit, karet dan kakao. Program ini dinamakan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP).
Pada 2008, pemerintah mengeluarkan Permen ESDM No. 32 Tahun 2008 yang mewajibkan penggunaan BBN secara bertahap di berbagai sektor. Permen ini direvisi sampai tiga kali. Revisi pertama, dengan Permen ESDM No. 25 Tahun 2013, pasal 3 ayat (3) dan (4), ditambahkan kewajiban mencampur BBN dalam BBM. Revisi terakhir, dengan Permen ESDM No. 12 Tahun 2015, menargetkan campuran biodiesel, bioetanol dan Minyak Nabati Murni dalam BBM di hampir semua sektor masing-masing sebesar 30%, 20% dan 20% pada Januari 2025.
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif fiskal untuk memacu penggunaan biofuel. Selama Oktober-Desember 2009, pemerintah menanggung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan BBN di dalam negeri dengan Permenkeu No. 156/PMK.011/2009. Pagu anggaran untuk insentif fiskal itu berjumlah Rp180 miliar. Lalu, selama Januari-Desember 2010, pemerintah menanggung PPN atas subsidi BBM yang telah dicampur dengan BBN melalui Permenkeu No. 215/PMK.03/2010.
Menurut data Kementerian ESDM, persediaan biofuel Indonesia pada 2014 berjumlah 88.842.904 BOE (Barrel of Oil Equivalent) atau Setara Barel Minyak, dan tidak ada yang berasal dari impor. Jumlah itu adalah sekitar 5% dari total persediaan energi Indonesia. Pertumbuhan persediaan biofuel selama 2006-2014 juga sangat pesat, yaitu sebesar 87.422.500 BOE atau 6.155%. Jika dilihat dari persentasenya, pertumbuhan persediaan biofuel adalah yang tertinggi dibandingkan sumber energi lain. Namun, jika dilihat dari jumlah BOE-nya, pertumbuhan persediaan biofuel menempati posisi kedua setelah batu bara yang angka pertumbuhannya adalah 292.025.454 BOE.[3]
Biofuel, Perkebunan Sawit dan Perampasan Tanah
Kelapa sawit adalah salah satu bahan baku biofuel—terutama biodiesel—dan juga salah satu produk utama Indonesia. Menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat, setidaknya sejak 2011/12 – 2015/2016, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan angka produksi antara 26,2 – 33 juta ton (16). Menurut data BPS, jumlah produksi dan luas lahan perkebunan kelapa sawit juga jauh lebih besar daripada tanaman perkebunan lain di Indonesia. Pada 2013, misalnya, jumlah produksi kelapa sawit adalah 27,8 juta ton, sementara karet yang jumlah produksinya kedua terbesar hanya 3,2 juta ton (“Produksi Tanaman Perkebunan”). Adapun luas lahan sawit pada 2013 adalah 1.046.502 hektar, sementara kelapa yang luas lahannya kedua terbesar hanya 365.452 hektar (“Luas Tanaman Perkebunan”).
Sebagai produsen sawit yang besar, Indonesia juga menggunakan sawit sebagai bahan baku biodiesel. Jumlah minyak sawit mentah (Crude Palm Oil disingkat CPO) yang digunakan untuk biodiesel di Indonesia meningkat dari 265 ribu ton pada 2007 menjadi 3,2 juta ton pada 2014 (Wright dan Rahmanulloh 11). Jumlah ini memang tidak seberapa dibandingkan dengan total produksi minyak sawit Indonesia. Adapun menurut data Departemen Pertanian AS, sebagian besar minyak sawit Indonesia diekspor.[4] Namun, sebagian ekspor ini juga untuk memenuhi permintaan biodiesel di Eropa (Down to Earth; Wright dan Rahmanulloh 8). Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), ekspor minyak sawit Indonesia ke negara-negara Uni Eropa pada 2015 adalah yang kedua terbesar setelah India, dengan angka 4,23 juta ton.
Adanya hubungan yang cukup menguntungkan antara perkebunan sawit dengan produksi biofuel mendorong beberapa perusahaan sawit bekerjasama dengan produsen biofuel. Bahkan sebagian melebarkan sayapnya ke usaha biofuel. Golden Agri-Resources, misalnya, yang berada di bawah Sinar Mas Group, salah satu usaha kelapa sawit terbesar di Indonesia dengan total luas lahan 788.907 hektar, pernah bekerjasama dengan China National Offshore Oil Co. dan Hongkong Energy Ltd. untuk proyek pengembangan biodiesel berbasis sawit dan bioetanol berbasis ubi kayu serta tebu (TuK Indonesia 17; Grain, “The palm-oil biodiesel nexus”). Kemudian, mereka juga membangun dua pabrik biodiesel, masing-masing dengan kapasitas 300 ribu ton per tahun, di Tarjun, Kalimantan Selatan dan Marunda, Jakarta (Wibawa).
Usaha perkebunan sawit yang juga melebarkan sayapnya ke biofuel adalah grup Wilmar International. Pada tahun 2013, grup ini memiliki pemasukan terbesar dibandingkan grup usaha sawit lainnya di Indonesia, yakni sebesar US$44.085, meskipun luas lahannya berada di bawah beberapa grup lainnya (Tuk Indonesia 8). Wilmar memproduksi baik biodiesel maupun bioetanol.[5] Selain memiliki pabrik biodiesel di Dumai dan Gresik, Wilmar juga memiliki kilang yang besar di Rotterdam, Belanda (Down to Earth; Grain, “The palm-oil biodiesel nexus”; “Wilmar Akan Bangun”). Menurut analisis Down to Earth, Wilmar banyak mengekspor biodiesel dan juga minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel ke Eropa.
Adapun ekspansi perkebunan sawit secara agresif telah mengakibatkan berbagai kerusakan ekologis dan sosial, seperti deforestasi, degradasi tanah dan perampasan lahan. Menurut catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 2015, terjadi setidaknya 252 konflik agraria struktural dengan luas wilayah konflik 400.430 hektar. Sektor yang paling banyak konfliknya dan paling luas wilayah konfliknya di tahun itu adalah sektor perkebunan dengan 127 konflik (50%) dan luas wilayah konflik 302.526 hektar (76%) (KPA 4, 7). Tidak ada data perkebunan komoditi apa yang jumlah dan luas wilayah konfliknya paling besar. Namun, karena jumlah produksi dan luas lahan perkebunan sawit adalah yang terbesar di sektor perkebunan Indonesia, cukup masuk akal untuk mengasumsikan bahwa banyak konflik itu terjadi di perkebunan sawit.
Konflik agraria juga dialami oleh usaha perkebunan yang terkait atau memiliki usaha biofuel. Pada Agustus 2011 di Jambi, misalnya, PT Asiatic Persada yang saat itu berada di bawah Wilmar, berupaya menggusur masyarakat lokal dari daerah mereka di Sungai Beruang. Konflik ini mengakibatkan 80 rumah dihancurkan oleh Brimob dan seorang warga lokal ditembak dengan peluru karet. Kemudian, pada Juli 2013, di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, empat penduduk desa terluka oleh satpam perkebunan PT Bumi Sawit Kencana milik Wilmar saat memprotes penggalian parit di lahan yang diklaim oleh mereka. Selain konflik agraria, grup Wilmar juga ditemukan terlibat dalam persoalan lain seperti pembakaran ilegal untuk membersihkan lahan, pembabatan hutan primer, dlsb. (Down to Earth).
Memang tidak semua perkebunan sawit ditujukan untuk memasok bahan baku biofuel. Ada berbagai komoditi lain yang menggunakan sawit sebagai bahan bakunya, seperti minyak goreng, margarin, sabun, kosmetik, dlsb. Begitu pula, tidak semua konflik tanah disebabkan oleh perkebunan sawit. Namun, karena adanya ekspansi biofuel sejak awal tahun 2000an dan sebagian biofuel menggunakan sawit sebagai bahan bakunya, cukup masuk akal untuk berhipotesis bahwa ekspansi biofuel ikut mendorong perluasan perkebunan sawit yang pada gilirannya ikut mengakibatkan perampasan tanah.
Kredit gambar: https://www.rainforest-rescue.org
Kepentingan di Balik Ekspansi Biofuel
Di permukaan, penggunaan biofuel terlihat banyak didorong oleh kepentingan lingkungan hidup untuk mengganti bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan. Betulkah demikian? Mungkin dulu sebagian penggiat lingkungan hidup mendukung biofuel. Tetapi saat ini, sebagian dari mereka sudah bersikap kritis terhadap biofuel. Organisasi lingkungan hidup Friends of the Earth, misalnya, menganggap kebanyakan biofuel yang dipakai saat ini merusak lingkungan hidup, meskipun mereka terbuka kepada biofuel yang ramah secara sosial dan ekologi.
Kritik atas biofuel juga datang dari kalangan akademisi, seperti ahli tanaman dan tanah Fred Magdoff. Dengan menggunakan contoh etanol dari jagung, ia menyatakan etanol adalah bahan bakar yang inefisien. Energi yang digunakan untuk memproduksi etanol bisa lebih besar daripada energi yang terkandung dalam etanol. Ini berarti energi tambahnya bisa minus. Kalaupun ada energi tambah, paling banter hanya 20%. Sementara, dengan kuantitas yang sama, nilai energi etanol hanya 2/3 dari bensin. Jika semua jagung dan kedelai di Amerika Serikat pada 2005 dijadikan biofuel, energi tambah yang dihasilkan hanya 2% dari penggunaan bensin dan 3% dari konsumsi diesel. Ini dengan asumsi optimis energi tambahnya 20%.
Artinya, kalau biofuel “dipaksa” menjadi bahan bakar utama pengganti fossil fuel, bisa terjadi perubahan pola tanam besar-besaran, dimana lahan yang tadinya digunakan untuk tanaman pangan berubah menjadi untuk energi. Hal ini bisa mengancam persediaan pangan umat manusia. Menurut Magdoff, 63 galon etanol yang nilai energinya sama dengan 42 galon bensin atau dua kali full tank mobil SUV, memerlukan sejumlah jagung yang bisa memberikan kalori yang cukup untuk 16 orang dalam setahun. Adapun ekspansi biofuel merupakan salah satu faktor penyebab krisis pangan pada 2007-08.
Kemudian, biofuel juga berdampak pada polusi udara. Awalnya, biofuel dianggap ramah lingkungan karena biofuel hanya mengeluarkan karbon dioksida yang sebelumnya diserap oleh tanaman bahan bakunya. Artinya, tidak ada penciptaan karbon dioksida baru seperti dalam bahan bakar fosil. Namun, yang kurang diperhitungkan adalah jenis polutan lain dan polusi yang terjadi selama proses produksi biofuel. Etanol, misalnya, mengeluarkan Volatile Organic Compounds (VOC) dengan jumlah besar. Jadi, meski penggantian bensin oleh etanol bisa mengurangi emisi karbon monoksida dan mungkin polutan lainnya, tetapi etanol menambah emisi VOC (Magdoff).
Selain itu, terdapat berbagai macam dampak lingkungan lain dari ekspansi biofuel, seperti polusi air, deforestasi, dlsb. Ekspansi biofuel juga mengakibatkan masalah sosial seperti krisis pangan dan perampasan tanah. Pertanyaannya, jika biofuel memiliki berbagai dampak negatif, kenapa biofuel tetap dipromosikan secara agresif? Jawabannya, karena kepentingan lingkungan hidup bukanlah pendorong utama ekspansi biofuel. Kepentingan dominan di balik ekspansi biofuel adalah kepentingan berbagai perusahaan yang hendak menjadikan biofuel sebagai bisnis yang menguntungkan.
Laporan organisasi non-pemerintah Corporate Europe Observatory (CEO), misalnya, menunjukkan, bagaimana kebijakan biofuel Uni Eropa banyak dipengaruhi oleh kepentingan perusahaan. Berbagai perusahaan berupaya mempengaruhi kebijakan biofuel Uni Eropa melalui lembaga-lembaga perumus dan penasihat. Sebagai contoh, pada awal 2005, Direktorat Jenderal Komisi Eropa membentuk Biofuels Research Advisory Council (BIOFRAC). Lembaga ini bertugas menyusun visi biofuel ke depan, menyiapkan landasan “Agenda Riset Strategis” dan memberikan masukan ke Seventh Framework Research Programme (FP7), instrumen utama Uni Eropa untuk mendanai riset di Eropa selama 2007-2013.
Keanggotaan BIOFRAC didominasi oleh perwakilan perusahaan. Industri otomotif memiliki 4 perwakilan; biofuel 3 perwakilan; minyak 3 perwakilan; bioteknologi 1 perwakilan melalui kelompok lobi EuropaBio; makanan 1 perwakilan; kehutanan 1 perwakilan dan energi 1 perwakilan. Jadi, ada 14 perwakilan perusahaan. Sementara, perwakilan dari petani hanya 1 orang, dan 8 orang lagi dari universitas serta lembaga penelitian, yang celakanya memiliki hubungan erat dengan industri minyak dan bioteknologi. Adapun BIOFRAC merumuskan target 25% bahan bakar transportasi darat Uni Eropa akan menggunakan biofuel pada 2030 (CEO).
Pada 7 Juni 2006, masa kerja BIOFRAC berakhir. Atas rekomendasi BIOFRAC, dibentuk European Biofuels Technology Platform (EBFTP) untuk mengembangkan teknologi, industri dan penggunaan biofuel di Uni Eropa. Salah satu peran kunci EBFTP adalah mengelaborasi Agenda Riset Strategis Uni Eropa. Sama seperti BIOFRAC, keanggotaan EBFTP juga didominasi oleh perusahaan. Di komite pengarahnya, ada 11 perwakilan perusahaan, hanya 1 perwakilan petani dan 4 perwakilan universitas atau lembaga penelitian. Di kelompok kerjanya, dari 125 anggota, hanya 2 orang yang berasal dari organisasi non-pemerintah (CEO).
Industri yang berkepentingan dengan ekspansi biofuel bukan hanya industri biofuel. Di atas, kita sudah melihat kaitan antara industri biofuel dengan sawit. Laporan CEO menyebutkan 3 industri lain yang berkepentingan dengan biofuel, yakni otomotif, minyak dan bioteknologi. Kepentingan industri otomotif adalah agar produk mereka tetap bisa dipakai tanpa melanggar syarat emisi karbon dioksida yang lebih rendah. Kepentingan industri minyak adalah untuk mempertahankan ketergantungan atas bahan bakar cair, selain juga karena tergiur oleh insentif yang diberikan negara kepada usaha biofuel. Kepentingan industri bioteknologi adalah agar berbagai tanaman rekayasa genetika mereka bisa tetap dipakai di tengah gencarnya resistensi publik terhadap penggunaan tanaman rekayasa genetika untuk makanan.
Berbagai macam industri itupun melakukan kemitraan-kemitraan untuk mengembangkan biofuel. Pada 2003, misalnya, perusahaan minyak BP, perusahaan bioteknologi DuPont, perusahaan otomotif Ford dan perusahaan makanan British Sugar bekerjasama dalam sebuah proyek biobutanol. Kemudian, pada 2006, perusahaan minyak Shell, perusahaan bioteknologi Iogen dan perusahaan otomotif Volkswagen melakukan kerjasama dalam proyek etanol selulosa di Jerman. Contoh lainnya, perusahaan biofuel CHOREN Industries, perusahaan minyak Shell, perusahaan otomotif DaimlerChrysler serta Volkswagen bekerjasama mengembangkan SunDiesel, sebuah bahan bakar cair dari biomassa (Biomass to Liquid biasa disingkat BTL) (CEO).
Catatan Penutup
Sejak tahun 2000, produksi biofuel secara global meningkat dengan pesat. Peningkatan itu terkait dengan kebijakan berbagai negara, termasuk Indonesia, yang cukup agresif mendorong produksi dan penggunaan biofuel. Alasan yang suka dipakai untuk membenarkan ekspansi biofuel adalah alasan lingkungan hidup untuk mengganti bahan bakar fosil yang semakin langka dan tidak ramah lingkungan. Namun, biofuel tidaklah sebersih anggapan umum. Ekspansi biofuel bisa mengakibatkan masalah ketahanan pangan, polusi udara, polusi air, deforestasi, dlsb.
Terkait sawit, kelapa sawit merupakan salah satu bahan baku biofuel, terutama biodiesel. Sebagian produksi sawit dunia—Indonesia sejak 2011/12 adalah produsen terbesarnya—ditujukan untuk memasok bahan baku biodiesel. Adapun ekspansi perkebunan sawit telah mengakibatkan berbagai kerusakan ekologis dan sosial, seperti deforestasi, degradasi tanah dan perampasan lahan. Karena sebagian biofuel menggunakan sawit sebagai bahan bakunya dan sejak awal tahun 2000an terjadi ekspansi biofuel, cukup masuk akal untuk berhipotesis bahwa ekspansi biofuel ikut mendorong perluasan perkebunan sawit yang pada gilirannya ikut mengakibatkan perampasan tanah.
Pertanyaannya, kenapa biofuel tetap dipromosikan secara agresif meskipun memiliki berbagai dampak negatif? Jawabannya, karena kepentingan lingkungan hidup bukanlah pendorong utama ekspansi biofuel. Kepentingan dominan di balik ekspansi biofuel adalah kepentingan akumulasi kapital. Di Eropa, misalnya, berbagai perusahaan berupaya mempengaruhi kebijakan biofuel Uni Eropa melalui lembaga-lembaga perumus dan penasihat. Adapun industri biofuel bukanlah satu-satunya industri yang berkepentingan dengan ekspansi biofuel. Industri lain seperti perkebunan sawit, otomotif, minyak dan bioteknologi juga berkepentingan dengan ekspansi biofuel.
Masalah biofuel saat ini bukan karena biofuel-nya itu sendiri. Penggunaan material biologis, seperti kayu, kelapa, jarak pagar dan kotoran hewan, untuk bahan bakar sudah berlangsung lama dalam peradaban manusia (Magdoff; White dan Dasgupta 598). Namun, hal itu sebelumnya tidak pernah menimbulkan masalah seperti yang sekarang ada. Apa yang membedakan penggunaan biofuel di zaman dulu dengan sekarang adalah sistem ekonomi dimana penggunaan itu berlangsung. Produksi dan penggunaan biofuel saat ini mengakibatkan berbagai kerusakan sosial dan ekologis, karena berlangsung dalam sistem ekonomi yang tujuannya bukan kemaslahatan manusia, tetapi pencarian keuntungan, yaitu kapitalisme.
Tulisan ini pernah dimuat di majalah Seputar Rakyat, Edisi 1 Tahun 2016, yang diterbitkan Yayasan Tanah Merdeka (YTM). Dimuat ulang di sini untuk tujuan pendidikan.
Kepustakaan:
Badan Pusat Statistik. “Luas Tanaman Perkebunan Menurut Propinsi dan Jenis Tanaman, Indonesia (000 Ha), 2012-2014*).” Badan Pusat Statistik. Web. 1 Mei 2016. https://www.bps.go.id/.
Badan Pusat Statistik. “Produksi Tanaman Perkebunan Menurut Propinsi dan Jenis Tanaman, Indonesia (000 Ton), 2012-2014*).” Badan Pusat Statistik. Web. 23 April 2016. https://www.bps.go.id/.
Corporate Europe Observatory (CEO). “The EU’s agrofuel folly: policy capture by corporate interests.” Corporate Europe Observatory briefing paper, Juni 2007. Web. 13 Mei 2016. http://archive.corporateeurope.org.
Departemen Pertanian Amerika Serikat. Layanan Pertanian Luar Negeri. “U.S. Ending Stocks are a Barometer for Global Soybean Supply and Demand.” Oilseeds: World Markets and Trade, April 2016. Web. 24 April 2016. http://www.usda.gov/.
Down to Earth. “Kenapa jangan Wilmar?” DTE 96-97, Desember 2013. Web. 27 April 2016. http://www.downtoearth-indonesia.org.
Friends of the Earth. “Biofuel.” Friends of the Earth. Web. 11 Mei 2016. http://www.foe.org.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Refleksi Industri Kelapa Sawit 2015 dan Prospek 2016. Jakarta: GAPKI, 20 Januari 2016. Web. 24 April 2016. http://www.gapki.or.id.
Grain. “Corporate power: The palm-oil biodiesel nexus.” Seedling, Juli 2007. Web. 26 April 2016. https://www.grain.org/.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2015. Jakarta: 2015. Web. 22 April 2016. http://esdm.go.id/.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Catatan Akhir Tahun 2015 Konsorsium Pembaruan Agraria: Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria Disandera Birokrasi. Jakarta: Konsorsium Pembaruan Agraria, 2016. Web. 6 Mei 2016. http://www.kpa.or.id.
Magdoff, Fred. “The Political Economy and Ecology of Biofuels.” Monthly Review, Vol. 60, Issue 03, Juli-Agustus 2008. Web. 8 Mei 2016. http://monthlyreview.org.
Republik Indonesia. Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Percepatan Pengurangan Kemiskinan dan Pengangguran. Jakarta: 2006. Web.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 12 Tahun 2015 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Jakarta: 2015. Web.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 25 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Jakarta: 2013. Web.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 Tahun 2008 Tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Sebagai Bahan Bakar Lain. Jakarta: 2008. Web.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan No. 117/PMK 06/2006 Tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan. Jakarta: 2006. Web.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan No. 156/PMK.011/2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati di Dalam Negeri untuk Tahun Anggaran 2009. Jakarta: 2009. Web.
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK.03/2010 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Subsidi Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Nabati dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) Tabung 3 (Tiga) Kilogram Bersubsidi Tahun Anggaran 2010. Jakarta: 2010. Web.
Republik Indonesia. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional. Jakarta: 2006. Web.
Sorda, Giovanni, Martin Banse dan Claudia Kemfert. “An overview of biofuel policies across the world.” Energy Policy, Vol. 38, Issue 11, November 2010: 6677-6988. Web. 20 April 2016. https://www.researchgate.net/.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia. Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia. Jakarta: 2015. Web. 27 April 2016http://www.tuk.or.id/.
White, Ben dan Anirban Dasgupta. “Agrofuels capitalism: a view from political economy.” The Journal of Peasant Studies, Vol. 37, No. 4, Oktober 2010: 593-607. Web. 14 Mei 2016. http://www.tandfonline.com.
Wibawa, Annisa Aninditya. “Sinar Mas investasi pabrik biodiesel US$ 200 juta.” Kontan.co.id, 13 Agustus 2015. Web. 26 April 2016. http://investasi.kontan.co.id.
Wilmar. Wilmar International Limited. Web. 27 April 2016. http://www.wilmar-international.com.
“Wilmar Akan Bangun Dua Pabrik Biodiesel Baru.” Katadata, 24 November 2014. Web. 27 April 2016. http://katadata.co.id/.
Wright, Thom dan Arif Rahmanulloh. “Indonesia Biofuels Annual Report 2015.” Laporan Global Agricultural Network No. ID1525, Departemen Pertanian Amerika Serikat, Layanan Pertanian Luar Negeri, 7 Juli 2015. Web. 24 April 2016. http://www.usda.gov/
———-
[1] Ada yang membedakan arti istilah biofuel dan agrofuel berdasarkan keumuman-kekhususannya. Fred Magdoff, misalnya, menggunakan istilah biofuel untuk semua bahan bakar yang berasal dari makhluk hidup, termasuk kotoran hewan dan manusia. Sementara, khusus untuk bahan bakar yang hanya berasal dari tanaman, ia menggunakan istilah agrofuel. Namun, dalam tulisan ini, penulis akan banyak menggunakan istilah biofuel untuk merujuk ke bahan bakar nabati, karena istilah inilah yang populer di Indonesia
[2] Sorda, Banse dan Kemfert meninjau secara cukup lengkap kebijakan biofuel di berbagai negara.
[3] Ada sedikit perbedaan dalam angka total persediaan energi yang penulis gunakan untuk menghitung dengan data Kementerian ESDM. Misalnya, di data Kementerian ESDM, total persediaan energi pada tahun 2014 adalah 1.767.310.910 BOE. Tetapi, ketika penulis menghitung kembali dengan menambah komponen-komponennya, totalnya adalah 1.759.310.911 BOE. Adapun angka yang penulis gunakan adalah yang berasal dari penghitungan penulis.
[4] Pada tahun 2014/15, misalnya, dari 33 juta ton minyak sawit yang diproduksi, 25,96 juta ton atau sekitar 78,7%-nya diekspor.
[5] Informasi ini bisa dilihat di situs Wilmar di subbagian “Tropical Oils Products” dan “Bioethanol” yang berada di bawah “Our Business.”