UNTUK kesekian kalinya, saya mendengarkan keluh-kesah mereka yang khawatir tidak bisa memiliki rumah. Akhir bulan lalu, di bilangan Senayan, ketakutan itu datang dari seorang pemuda yang hendak menikah.
“Bang, saya akan menikah akhir minggu ini. Setelah menikah kami memutuskan kost tak jauh dari kantor. Saya tidak mampu membeli rumah. Jangankan di Jakarta, di pinggiran seperti Depok dan Tanggerang saja harga rumah sudah Rp 500 sampai Rp 600 juta. Ada memang yang sedikit lebih rendah di Jakarta, apartemen tipe studio ukuran 21 m2 seharga Rp 300 juta. Dengan gaji Rp 7 juta, ini masih tergolong mahal, angsurannya sekitar Rp 3-4 juta per bulan selama 15 tahun. Selain itu, kalau sudah punya anak, apartemen ukuran ini tidak layak lagi di tempati. ” keluhnya.
Kekhawatiran tak bisa memiliki rumah merupakan salah satu masalah khas yang dihadapi generasi millenial saat ini, sebagaimana diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution awal Februari lalu. “Dalam waktu beberapa tahun generasi millenial itu tidak ada yang bisa cicil rumah,” katanya seperti dikutip berbagai media.
Ketidakmampuan generasi millennial memiliki rumah didorong oleh tidak terkontrolnya harga rumah. Dalam hitungan bulan, harga rumah ukuran kecil (36/72 m2) di pinggiran seperti Depok dan Tanggerang, bisa melonjak hingga 30 persen. Lonjakan harga rumah ini tidak sebanding dengan gaji pekerja yang naik hanya sebesar 10 persen dalam beberapa tahun terakhir.
Tidak terkontrolnya laju kenaikan harga rumah dapat dilihat dari dua sisi; penawaran (supply), dan permintaan (demand).
Sisi Penawaran
Sisi penawaran, tidak terlepas dari struktur biaya produksi yang terbagi atas komponen biaya struktur dan infrastruktur, serta komponen biaya nonstruktur. Secara keseluruhan, biaya produksi mencapai sekitar 70-80 persen dari harga jual.
Komponen biaya struktur dan infrastruktur meliputi atas Harga Pokok Penjualan (HPP) terdiri atas biaya building (harga tanah dan bahan bangunan, biaya pekerja) dan fasilitas pendukung lainnya. Sedangkan biaya infrastruktur terbagi atas biaya pembangunan fasilitas umum (Fasum) dan fasilitas sosial (Fasos). Sementara komponen biaya nonstruktur terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) yang besarnya 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen, dan biaya promosi, yang nilainya bervariasi dari 5 sampai 10 persen dari harga jual.
Salah satu komponen yang mendongkrak tingginya struktur biaya produksi rumah adalah ketersediaan lahan mentah. Rata-rata kenaikan harga tanah mencapai 20-50 persen per tahun, bahkan saat terjadi booming property pada tahun 2012, harga tanah melambung hingga 200 persen.
Sebagai gambaran, harga tanah di luar Jakarta, misalnya di Alam Sutera (Tanggerang), berkisar angka Rp 16 juta-Rp 21 juta per meter persegi. Di BSD City, antara Rp 11 juta-Rp 16 juta per meter persegi, kemudian di Bekasi harga tanah dilepas antara Rp 8 juta-Rp 9 juta per meter persegi, dan di Bogor harga tanah sekitar Rp 5 juta-Rp 10 juta per meter persegi.
Tingginya harga tanah disebabkan terkonsentrasinya penguasaan lahan secara besar-besaran pada sekelompok orang dan perusahaan besar. Celakanya, sebagian dari lahan-lahan tersebut dibiarkan terlantar.
Guna mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan tersebut, pemerintah berencana menerapkan sistem pajak berkeadilan. Sistem ini dijabarkan dalam tiga skema pajak lahan menganggur, yang terdiri atas pajak progresif atas kepemilikan tanah, pajak atas transaksi jual-beli tanah (capital gain tax) dan pajak atas lahan tidak produktif (unutilized asset tax).
Kebijakan sistem pajak berkeadilan diharapkan dapat mengikis praktik pemusatan kepemilikan tanah pada segelintir orang, dan mendorong harga tanah menjadi lebih rasional, sehingga dapat mengurangi beban struktur biaya produksi. Namun, tampaknya kebijakan ini tidak akan berjalan mulus. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/ Kepala BPN) Sofyan Djalil kabarnya “melobby” Menteri Keuangan Sri Mulyani agar membebaskan tabungan lahan (land bank) milik pengembang properti dan kawasan industri dari pengenaan pajak progresif.
Upaya lain pemerintah untuk menekan harga jual rumah yakni memanfaatkan tanah negara yang terlantar (idle) untuk membangun perumahan. Namun langkah ini dinilai tidak akan efektif, bila tidak diiringi dengan kebijakan pembatasan pembangunan rumah tipe kecil oleh pengembang swasta.
Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengadopsi kebijakan penyediaan rumah skala kecil yang diselenggarakan oleh pemerintah melalui BUMN (Perumnas), dengan pemberian fasilitas pengurangan pajak untuk menekan harga jual yang ditujukan kepada pekerja dengan penghasilan rendah. Sementara pengembangan rumah skala menengah dan mewah, diserahkan kepada swasta.
Memang ada program 1 juta rumah yang didorong oleh pemerintah, dengan memberikan fasilitas penurunkan KPR dari 7,25 persen menjadi 5 persen, serta bantuan pengembangan saran dan utilitas dan kemudahan perizinan. Namun program ini tidak banyak membantu karena lokasi pengembangan dilakukan di pinggiran, dan jauh dari tempat kerja mereka yang berpenghasilan rendah, sehingga akibatnya banyak yang tidak tertarik pada program ini.
Di samping itu struktur biaya produksi dalam program 1 juta rumah tidak banyak berubah. Pemerintah tetap menetapkan pajak yang tinggi kepada pengembang, sekain itu harga lahan juga tidak mampu ditekan, bahkan pada lokasi-lokasi dimana program 1 juta akan dilaksanakan, meningkat sangat pesat.
Dari sisi supply, kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mengendalikan harga rumah menggunakan dua instrumen yang dimilikinya. Pertama instrumen regulasi (perpajakan) dan kedua intervensi pasar (program 1 juta rumah dan pemanfaatkan lahan idle untuk dibangun perumahan).
Namun upaya yang dilakukan pemerintah dari sisi penawaran ini, tidak akan berdampak signifikan bagi turunnya harga jual rumah, jika tidak diiringi dengan terobosan-terobosan kebijakan pada sisi permintaan.
Sisi Permintaan
Secara teori semakin, tinggi jumlah penduduk maka semakin tinggi permintaan akan rumah, demikian semakin tinggi pula harga jual rumah.
Namun, tingginya jumlah penduduk tak selalu berbanding lurus dengan permintaan. Jakarta, misalnya, hampir separoh penduduknya (48,91 persen) tidak memiliki rumah atau tempat tinggal sendiri. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional sebesar 82,63 persen. Besarnya jumlah penduduk Jakarta yang tidak memiliki rumah sendiri disebabkan tinggi harga jual rumah.
Menariknya, properti residensial yang dibangun pengembang selalu habis terjual. Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR), SHPR kuartal IV-2016 volume penjualan properti residensial tumbuh sebesar 5,06 persen (qtq), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang sebesar 4,65 persen (qtq). Padahal Bank Indonesia (BI) mencatat terjadi kenaikan pertumbuhan harga properti residensial, seperti tercermin dari indeks harga properti residensial (IHPR) pada kuartal IV-2016 yang tumbuh sebesar 0,37 persen (qtq). Ini sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan kuartal III-2016 yang tercatat sebesar 0,36 persen (qtq). Kenaikan terutama terjadi pada rumah tipe kecil, yakni sebesar 0,57 persen.
Tingginya permintaan properti disebabkan segelintir orang yang memiliki uang menjadikan properti sebagai ajang spekulasi (investasi). Satu orang bisa memiliki banyak rumah dan unit apartemen. Selanjutnya unit-unit tersebut disewakan kepada orang lain. Sebagai ilustrasi, satu unit apartemen tipe studio ukuran 28 m2 di Kalibata City disewakan seharga Rp 2-3 juta per bulan, sedangkan sewa kamar kos-kosan di wilayah pemukiman (perkampungan) dengan fasilitas AC dan tempat tidur ditawarkan sekitar Rp 1,5 sampai 2 juta perbulan. Tanpa fasilitas AC berkisar Rp 1-1,5 juta. Untuk rumah ukuran 36 m2 disewakan sekitar Rp 35-40 juta per tahun.
Berkaca dari banyaknya rumah tipe kecil dikuasai oleh orang kaya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengambil langkah terobosan, dengan memberlakukan kebijakan larangan kepemilikan rumah ukuran kecil lebih dari satu.
Selanjutnya setelah menerbitkan kebijakan pembatasan, pemerintah perlu mempertimbangkan penghapusan pajak untuk pembeli (bea perolehan hak atas tanah dan bangunan [BPTHB]). Selama ini komponen BPTHB dianggap terlalu membebani mereka yang berpenghasilan rendah. Memang ada kebijakan pada daerah tertentu, misalnya Jakarta yang menghapuskan BPTHB untuk rumah ukuran kecil, namun daerah lain tidak menerapkan kebijakan serupa.
Terakhir, pemerintah perlu berkoordinasi dengan BI untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit perumahan (KPR), khususnya rumah tipe kecil yang masuk dalam program pemerintah. Saat ini rata-rata suku bunga KPR berada pada kisaran 11 persen hingga 14 persen.
Pilihan menurunkan tingkat suku bunga KPR sesungghunya cenderung lebih realitis, ketimbang usulan program Uang Muka (Down Payment/DP) nol rupiah yang ditawarkan oleh salah satu pasangan calon (Paslon) Gubernur Jakarta beberapa waktu lalu. DP 0% ini berpotensi mengganggu sistem makro prudential, karena dapat meningkatkan risiko sistemik, walaupun dimungkinkan oleh Peraturan Bank Indonesia No.18/16/PB/2016 tentang rasio loan to value untuk kredit properti dan rasio financing to value untuk pembiayaan properti, khususnya untuk program penyediaan rumah yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah, sebagaimana diatur dalam pasal 17.
Sayangnya, sejauh ini tampaknya pemerintah condong melihat masalah harga rumah hanya secara parsial, hanya dari sisi penawaran saja, belum samasekali melirik sisi permintaan. Padahal masalah ini seharusnya diatasi dengan pendekatan yang kompehensif dan berimbang. Kebijakan pemerintah yang cenderung parsial dikhawatirkan tidak akan mampu untuk menjawab keresahan generasi millennial akan perumahan yang murah dan terjangkau. ***