Kredit ilustrasi: Alit Ambara (Nobodycorp)
NAK semalam ayah menonton film yang indah sekali: Istirahatlah Kata-kata. Berkisah penyair pemberani yang bernama Wiji Thukul. Pria kurus, ceking dan miskin itu ikut mendirikan PRD (Partai Rakyat Demokratik). Partai anak muda yang semangatnya muda: menolak rezim Orba, melawan militerisme dan mengutuk Soeharto. Kala itu kekuasaan berdiri di atas laras senapan dengan dihuni para pejabat yang suka meneror. Pada adegan awal fim itu mempertunjukkan sikap intel yang menginterogasi istri dan anak Thukul: senyum aparat itu tampak sinis dan menghina. Pada situasi seperti itulah puisi Thukul menggedor kesadaran. Tak sekadar mengutuk melainkan mengajak orang untuk punya minat melawan. Bait yang selalu dihapal: hanya satu kata, lawan!
Di pelarian, film itu bertutur dengan hening. Penyair itu juga ada rasa takut, cemas dan bingung. Pada seorang yang mirip serdadu hingga tentara yang sedang cukur. Ini zaman dimana semua aparat tiba-tiba punya rasa curiga pada tiap orang. Bahkan orang gila yang jadi tentara sekalipun juga bersikap serupa. Ironinya film itu melukiskan ringkihnya kekuasaan yang mau berkuasa pada siapa saja. Ringkih karena kekuasaan ternyata tak mampu menaklukkan sang penyair yang tetap menuliskan puisi, tetap bertahan dan masih sanggup untuk berkelit. Bersama kawan-kawanya yang bersikap serupa. Meski di dalam rumah yang sempit, suka mati lampu dan pelosok: Wiji Thukul dapat menggoreskan pena serta sanggup membacakannya.
Nak ini film tak cerita tentang hal-hal yang megah. Pada saat film lain berisi banyolan, kisah cinta yang romantis atau film agama yang dibumbui rasa bangga: film ini mengutarakan hal sederhana, bahwa dulu ada penyair betulan yang hidup dengan keyakinan besar. Tentang keadilan yang didasarkan pada ideologi kiri. Saat mana marxisme seperti racun yang dijauhi oleh semua orang dan menghirupnya sedikit saja akan bawa malapetaka. Teman Wiji Thukul ditangkap, diculik dan bahkan masih hilang hingga kini. Penyair kurus inipun juga lenyap tanpa ada jejak. Tak satupun rezim berani membongkar peristiwa pada masa-masa itu. Berdiri orang tua korban maupun aktivis di depan istana tapi tak satupun penghuni di dalamnya bergeming. Film ini mengoles nurani kita agar tak percaya begitu saja dengan cerita tentang PRD dan ideologi kiri.
Nak kurasa film ini bisa jadi bekalmu. Kalau kau jadi anak muda kenanglah wajah Wiji Thukul. Seorang yang bertutur tentang kebenaran harus dibalas dengan perburuan. Tapi selalu percayalah kalau kebenaran itu letaknya bukan di pangkat, posisi apalagi popularitas. Bisa kebenaran itu berangkat dari puisi yang terang, gagah dan berani. Seperti luapan ombak syair Thukul telah membuat kekuasaan takut, goyah dan kelak kemudian roboh. Di tangan pria yang tidak rupawan itu kita semua bisa malu. Sebab kehilangannya telah jadi tangga bagi banyak orang untuk menapaki karirnya: jadi politisi, jadi pengusaha, jadi tim sukses hingga jadi pejabat. Mungkin Thukul kenal mereka tapi pasti akan terhenyak menyaksikannya saat ini.
Nak film itu akan banyak mengajarimu. Bukan agar kau menyukai puisi. Tapi percaya kalau jalan jadi pejuang itu tak mudah. Melintang di sana ancaman, tekanan dan tikaman pada sekitarmu. Bukan karena ajaranmu itu bahaya tapi memang kebenaran itu harus menaklukkan banyak lapisan. Selapis demi selapis para durjana itu berdiri di sekitar kita. Mereka yang menekan upah buruh, merampas tanah para petani hingga merampok uang rakyat. Barisan itu bukan makin berkurang tapi terus menerus bertambah. Sangkar mereka dulu ada di sekitar jalan Cendana, kini melebar ke jalan mana saja: partai politik, birokrasi, polisi hingga majelis ulama. Itu sebabnya nak kenanglah Wiji Thukul.
Bukan karena ia penyair yang hebat. Tapi karena syairnya banyak mengubah negeri ini. Tidak dikuasai oleh diktator lagi dan kebebasan bicara tak bisa lagi ditekan. Ia telah menanam keberanian dalam rekaman kata dan memahat nyali pada bait puisi. Mungkin itu yang membuat Soeharto sangat marah pada PRD: kumpulan anak muda itu seperti membangunkan dirinya dari kesadaran. Bahwa kekuasaannya memang tak lagi layak dipatuhi. Dan ancaman bedil itu ternyata tak membuat takut. Karena itulah lagu Darah Juang di film itu dibuat nada siul. Siulan yang mencekam sekaligus jadi pertanda kalau PRD tetap bertahan. Jika kamu berada pada suasana zaman itu nak: film ini seperti sebuah panduan masa lalu. Masa dimana tak semua anak muda itu melacurkan keyakinan apalagi tersungkur menjualbelikan idealisme.
Kini berlalu sudah masa-masa itu. Wiji Thukul menghilang bersama banyak kawan muda lainnya. Tinggal di sini kita yang selamat dengan menjalani hari sambil menyeret kenangan yang indah tapi berat. Berat karena kita ditagih untuk memenuhi apa yang dulu kita tambatkan sebagai janji: negeri yang demokratis, diperintah oleh penguasa yang tidak diktator dengan kebijakan melawan sistem buas ekonomi pasar. Ditempuh janji itu dengan kepalan tangan beriringan puisi Thukul serta dikuatkan lagi oleh Darah Juang. Kini kesempatan untuk memenuhinya ada, tapi kita juga tahu tak mudah melakukannya. Secara bersama kita tak lagi seperti dulu. Bisa saling membantu, melindungi dan bertahan dengan cara apa saja. Sekarang posisi berubah, pendapat berbeda dan kepentingan berseberangan. Kita tak lagi seperti kata puisimu: dengar!/Ayo gabung ke kami/Biar jadi mimpi buruk presiden!
Hanya karena film tentang dirimu diputar di jejaring XXI suara protes bertebaran. Seakan itu kutukan dan dosa. Melukiskan dirimu pada tempat yang dulu kita kutuk bersama. Seolah para penontonnya adalah para pengkhianat yang tak setia dengan garis rakyat. Jujur sejak kapan kita jadi manusia amatir yang bertanya soal tak prinsip sama sekali? Kita kecewa dengan kaum puritan yang membuat agama seperti berparas Arab tapi kita melakukanya lebih brutal: mengutuk teman sendiri hanya karena nonton film di XXI. Bahkan memutar film itu di sana dianggap berkhianat pada bunyi puisimu. Di antara mereka, sedikit, bahkan tak pernah, berdiri bersama kami untuk mencari tahu tentangmu. Aksi Kamisan pun belum tentu mereka ada. Kini merekalah yang menyesaki perjuangan: berteriak, mengutuk, menghardik semua teman yang dianggap keluar dari perjuangan. Seolah merekalah para penilai yang cermat soal konsistensi.
Biarlah nak kuberitahukan padamu: gerakan itu bisa dicemari oleh pengkhianatan dan hasutan. Berkhianat itu saat mereka beralih posisi. Sedang hasutan saat mereka saling mengutuki satu dengan yang lain. Di film itu Thukul hanya takut diburu, tapi hari ini kita semua takut dihakimi. Mungkin itu yang akan membuat kisah Thukul abadi: ia tak pernah sangsi siapa penolongnya, ia tak juga kuatir siapa kawannya dan ia tak pernah curiga pada perjuangan para sahabatnya. Ia percaya kalau menjatuhkan rezim adalah perkara prinsip dan soal berikutnya adalah berjuang bersama. Baginya ada kecemasan yang mengganggu saat istrinya dituduh pelacur tapi Thukul tak kemudian memukuli tetangganya. Ia mengerti zaman itu buat orang saling curiga, tapi keyakinan membuatnya percaya bahwa perjuangan tak boleh disibukkan oleh hal-hal demikian. Istirahatlah Kata-kata merupakan sebuah jalan ajakan untuk percaya, tetap berjuang dan jangan pernah menyerah. Sebab katamu: sesungguhnya suara itu akan menjadi kata/ialah yang mengajari aku bertanya/dan pada akhirnya tidak bisa tidak/engkau harus menjawabnya/apabila engkau tetap bertahan/aku akan memburumu seperti kutukan (sajak Suara).***